ME...

ME...
MUSCAT-OMAN 2005

Kamis, 05 Februari 2009

ISLAM MULIAKAN PEREMPUAN

Anda, seperti halnya saya, sudah sering mendengar isu dan wacana yang isinya mendiskreditkan Islam dan ajaran-ajarannya. Gender misalnya, sebuah gagasan yang diimport dari barat yang disertai pemaksaan untuk dianut oleh bangsa-bangsa muslim. Maka tidak aneh kalau kemudian kita mendengar wacana adanya ayat Alquran dan hadis yang dituduh misoginis (merendahkan wanita), yang kalau dicermati lebih lanjut sebenarnya ahistoris (tidak sesuai fakta sejarah), distorsi (memuat kebohongan data), dan provokatif.

Sebagai sebuah sistem nilai (maaf kalau istilah ini tidak berkenan), Islam membawa ajaran dan dogma kepada seluruh manusia (dan jin). Penyelewengan dan kedurjakaan terhadap ajaran Islam yang dilakukan oleh sebagian kaum muslimin, bukan sebuah justifikasi (pembenaran) atas tuduhan-tuduhan miring terhadap Islam.


Berikut sikap Islam terhadap perempuan, yang dalam perspektif ”mereka” sering direndahkan dan dihinakan:

1. Islam menilai seseorang beradasarkan kinerja dan sikap diri/akhlaq (âmanû wa ’amilû al-sâlihât), yang dalam bahasa Agama disebut taqwa, bukan berdasarkan ras, suku bangsa, dan jenis kelamin (QS. Al-Hujurat: 13)

2. Islam membuka kesempatan bagi setiap orang untuk ”memuliakan diri” (QS. Al-Isra`: 7)

3. Islam memberikan hak dan kewajiban yang proporsional kepada perempuan ”wa lahunna mitsl al-ladzî ‘alayhinna bil ma’rûf” (QS. Al-Baqarah: 228)

4. Islam memahami bahwa kesamaan hak dan kewajiban bersifat proporsional, dan bahwa ada kelebihan yang dimiliki laki-laki dan ada kelebihan yang dimiliki perempuan ”wa lirrijâl ’alayhinna darajah” (QS. Al-Baqarah: 228). Menyamakan seratus persen antara laki-laki dan perempuan tentulah bukan sesuatu yang benar. Dalam banyak hal, perempuan dapat melakukan apa-apa yang dilakukan laki-laki, sementara dalam beberapa hal ada kekhasan yang dimiliki laki-laki atau perempuan saja.

5. Sikap eropa terhadap perempuan sebelum abad 18 sangat tidak manusiawi, sementara pada zaman Rasulullah (abad 6) perempuan diberi hak waris (dan zaman ’Umar ada perempuan yang menjadi kepala pasar/pemegang otoritas moneter dan fiskal dalam definisi yang sederhana), hak dalam kemiliteran, menjadi cendekiawan (Aisyah menjadi mufti bagi shahabat).

6. Islam memahami bahwa budaya paternalistik dan dominasi laki-laki atas perempuan, seringkali membatasi hak-hak perempuan. Pembatasan ini bukan dikarenakan doktrin agama, tetapi lebih pada ”perilaku pasar” dan ”sifat manusiawi manusia” di mana yang kuat akan mendominasi yang labih lemah.

7. Islam mendudukan ibu tiga tingkat di atas ayah, dan bahwa surga berada di ”telapak kaki” ibu.

8. Saat ini ada kesalahpahaman terhadap ajaran Agama, sehingga muncul sikap dan perilaku yang misoginis dan cenderung membatasi hak-hak perempuan, seperti anggapan bahwa perempuan tidak pantas memegang kekuasaan politis, dan tidak boleh mengendarai mobil sendirian (kasus Saudi). Hal ini lebih tepat dikarenakan budaya paternalistik dan pemahaman yang tidak membedakan ajaran Agama (al-Qur`an dan Sunnah) dengan penafsiran ulama.

9. Pembacaan yang setengah-setengah terhadap ajaran Agama menimbulkan pemahanan yang keliru, misalnya anggapan adanya doktrin yang misoginis (bias gender) dalam ajaran Agama, Islam agama teroris (akibat hanya membaca ayat ”pedang” dan tidak membaca ”ayat toleransi), Islam agama yang identik dengan kekumuhan dan dan keterbelakangan, serta Islam anti barat

10. Sayangnya, alih-alih mengkaji lebih lanjut ajaran Islam, atau bertanya kepada pihak-pihak yang memiliki kompetensi dalam bidang agama (mujtahid), sebagian orang yang ”kurang tahu” melakukan ”black campagne” terhadap Islam.

Rabbunâ al-Musta’ân.