ME...

ME...
MUSCAT-OMAN 2005

Jumat, 12 Juni 2009

ISLAM MENGENTASKAN KEMISKINAN (opini republika 12 juni 2009)


Oleh: Andi Rahman, MA.

Islam menghendaki terwujudnya kehidupan yang berkecukupan, di mana setiap orang mampu menghidupi dirinya sendiri. Hal ini dilihat dari banyaknya ayat Alquran yang mensyariatkan zakat, sedekah, infaq dan sejenisnya. Orang yang menunaikan zakat atau infaq pastilah berkecukupan bahkan berkelebihan. secara tidak langsung, Alquran memerintahkan umat Islam untuk menjadi umat yang mapan secara ekonomi.
Walaupun Islam menyatakan ”keinginannya” agar seluruh umat Islam mapan, namun ia menyadari bahwa kemiskinan adalah sebuah keniscayaan. Kekayaan dan kemiskinan adalah ”keberpasangan” yang menjadi sunnatulah, seperti laki-laki dan perempuan, atau siang dan malam. Dan sikap Islam terhadap kemiskinan adalah jelas: Keberpihakan terhadap orang miskin.
Keberpihakan Islam terhadap kaum miskin bisa dilihat dari banyaknya instrumen ekonomi yang secara eksplisit terkait dengan pengentasan kemiskinan yang jumlahnya belasan, seperti zakat, infaq, shadaqah, wakaf, kaffarat, dam, khumus, ’usyur, ghanimah, fay’, fidyah, dan hibah.
Instrumen ekonomi ”pro orang miskin” ini tidak bersifat filantropis, sebagaimana yang dipahami oleh sebagian orang. Instrumen-instrumen ini harus dikelola oleh pemerintah bukan diserahkan kepada swasta, dan memiliki kekuatan hukum di mana orang yang enggan menunaikannya bisa diancam pidana dan perdata.
Instrumen ekonomi Islam tidak sama dengan pajak, mengingat penerima ”kebaikan” pajak adalah seluruh warga negara baik miskin maupun kaya, misalnya pembangunan infrastruktur dan subsidi BBM (bahan bakar minyak) yang ditetapkan oleh pemerintah. Sehingga kewajiban warga negara untuk menunaikan pajak tidak menggugurkan kewajiban menunaikan ”instrumen ekonomi Islam”, demikian juga sebaliknya.
Pihak-pihak yang menerima ”kabaikan” instrumen ekonomi Islam sudah ditetapkan oleh Islam. Faqir miskin adalah pihak yang dipastikan mendapat bagian dari seluruh instrumen tersebut. Hal ini merupakan gambaran tingginya keberpihakan Islam terhadap orang miskin.

KEWAJIBAN BERZAKAT
Zakat merupakan kewajiban yang masuk dalam kategori ma’lum min al-din bi al-dharurah di mana orang yang mengingkari kewajiban zakat menjadi murtad. Hal ini karena kewajiban zakat telah dijelaskan dalam banyak ayat Alquran (misalnya al-Baqarah 43) dan hadis shahih (misalnya hadis tentang rukun Islam). Khalifah Abu Bakar pernah menyatakan bahwa orang yang membeda-bedakan antara kewajiban shalat dan zakat wajib diperangi. Kebijakan Abu Bakar ini ditaati oleh seluruh shahabat sehingga dengan sendirinya menjadi ijma’ (konsensus) shahabat.
Vonis murtad ini berlaku bagi orang yang mengingkari kewajiban zakat padahal dia sadar dan mengetahui kewajiban itu. Karena mengingkari kewajiban zakat sama saja dengan mendustakan ayat dan hadis. Orang yang mendustakan ayat dan hadis tidak bisa dianggap muslim. Sementara orang yang tidak menunaikan zakat karena rasa enggan, dengan tetap meyakini bahwa zakat adalah sebuah kewajiban bagi orang yang telah terpenuhi syaratnya, maka ia berdosa besar.
Zakat secara etimologis bermakna tumbuh kembang (al-nama`), pertambahan (al-ziyadah), dan penyucian (al-tathir). Muzakki (orang yang berzakat) akan disucikan jiwanya, dan harta yang dizakatinya akan berkembang dan bertambah secara kuantitatif dan kualitatif, walaupun secara secara zahirnya ia berkurang akibat adanya proses pengalihan kepemilikan harta kepada mustahiq (penerima zakat). Pemaknaan zakat sebagai sebuah aktivitas yang bisa mengembangkan dan menambah harta, dinyatakan secara lugas oleh Rasulullah dalam sabdanya, "Tidak akan berkurang harta dengan shadaqah” (HR. Al-Tirmidzi dengan kualitas hasan shahih)
Secara kualitatif, zakat akan mengembangkan harta orang yang menunaikannya. Hal ini secara implisit dinyatakan dalam surah Ibrahim ayat 7, "Dan ingatlah ketika Tuhanmu memaklumkan sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami (Allah Ta'ala) akan menambahkan (ni'mat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (ni'mat Allah) maka sesungguhnya siksa-Ku sangatlah pedih".
Dalam ayat di atas, Allah Ta'ala mengaitkan proses penambahan ni'mat dengan syukur, yang dalam bahasa statistik lazim disebut positive correlation antara penambahan aset dan proses syukur yang salah satu manivestasinya adalah pengeluaran zakat. Allah Ta'ala mungkin sudah merencanakan rezeki tahap dua, namun pencairannya ditangguhkan sampai syukur dan zakat terjadi dahulu. Jika infaq dan zakat terjadi, maka turunlah rezeki tahap dua itu. Sebaliknya jika zakat dan infaq tidak terjadi, maka rezeki berikutnya pun tidak turun juga.
Dalam Alquran Surat al-Baqarah ayat 268 diterangkan bahwa, ”Syaithan menjanjikan (menakut-nakuti) kalian dengan kemiskinan dan menyuruh kalian berbuat kejahatan (kikir); Sedang Allah menjanjikan untuk kalian ampunan dari-Nya dan karunia, dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui.”
Juga dalam Surat al-Naba' ayat 39 Ia berfirman, “Katakanlah: Sesungguhnya Tuhanku melapangkan rezeki bagi siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya dan menyempitkan baginya (siapa yang dikehendaki-Nya). Dan barang apa saja yang kamu nafkahkan, maka Allah akan menggantinya dan Dialah Pemberi rezeki yang sebaik-baiknya.”
Seseorang yang enggan berzakat padahal persyaratan wajib zakat telah terpenuhi padanya, dengan alasan bahwa dengan menafkahkan rezeki hartanya menjadi berkurang, maka sesungguhnya ia telah membenarkan syaitan, dan mendustakan Allah Ta'ala. Karena syaitan merayunya untuk menjadi nritil dan pelit serta menakut-nakutinya dengan kemiskinan jika ia berzakat, padahal Allah Ta'ala justru menjanjikan keberkahan dan kekayaan kepada siapa saja yang ikhlas berinfaq dan berderma.
Di Indonesia, nampaknya baru zakat yang mendapat tempat di hati umat Islam. Pemerintah telah menetapkan UU Zakat, membentuk BAZ (Badan Amil Zakat), dan mengizinkan LAZ (Lembaga Amil Zakat). Padahal potensi zakat relatif sedikit (2,5%) dibandingkan dengan instrumen lainnya, sebut saja ghanimah (20%), dan infaq yang tidak dibatasi limit minimal dan maksimalnya. Potensi zakat yang sedikit itupun belum dioptimalkan. Padahal jika zakat diterapkan secara optimal dan konsisten, program pemerintah berupa pengentasan kemiskinan bisa lebih akseleratif.
Terpilihnya anggota dewan untuk masa bakti 2009-2014 mudah-mudahan memunculkan ide-ide segar yang berpihak kepada orang miskin. Mengadopsi nilai dan ajaran Ilahi bisa menjadi jawaban dari stagnasi upaya mengentaskan kemiskinan dari bumi Indonesia secara khusus dan dunia secara umum. Allah A’lam.

Rabu, 03 Juni 2009

siswa menulis karya ilmiah

Menulis adalah cara efektif untuk menyampaikan ide, gagasan, saran, informasi, sanggahan, kritik dan ilmu pengetahuan. Dengan menulis, kita dapat berbagi rasa, asa, dan cita kepada orang yang kita kenal dan tidak kita kenal melampaui batas waktu dan tempat. seorang penulis akan tetap hidup bertahun-tahun setelah kematiannya, selama buku dan karyanya masih di baca orang lain. Sedemikian penting peran tulisan dalam kehidupan dan peradaban manusia, sehingga kita harus mulai menulis dan terus menulis untuk kemudian dipersilahkan mati.
Bagi saya, menulis lebih tepat disebut sebagai keterampilan dari pada sebuah disiplin ilmu.

Karenanya, kemampuan menulis seseorang tidak berbanding lurus dengan berapa banyak teori tulis menulis yang ia pelajari atau pelatihan jurnalistik yang ia ikuti, melainkan sesering apa ia mengasah keterampilan menulisnya. Sebagai sebuah keterampilan, setiap orang bisa mengasah bakat jurnalistiknya. Tulisan yang dihasilkan bisa sekedar catatan harian maupun karya ilmiah dan hasil penelitian.

Sebuah karya ilmiah memiliki karakteristik, kekhasannya, sistematika dan metodologi yang diterapkan secara konsisiten. Untuk mahasiswa, buku pedoman penulisan karya ilmiah (skripsi, tesis, dan disertasi) dapat dibeli dengan mudah di toko buku. Lain halnya dengan pedoman penulisan karya ilmiah yang ditujukan untuk kalangan siswa sekolah menengah yang bisa dikatakan tidak ada sama sekali.

Mungkin kita mengira penulisan karya ilmiah untuk siswa sekolah menengah, sama dengan penulisan karya ilmiah untuk mahasiswa, padahal keduanya tidak sama. Ini setidaknya dilihat dari subjek penulisan (siswa atau mahasiswa) dan objek kajian atau penelitiannya.

Untuk mengisi kekosongan literatur ini, sebuah buku telah diterbitkan. Buku yang diberi nama Pedoman Penulisan Karya Ilmiah Untuk Siswa Sekolah Menengah memuat dua hal: Pedoman penulisan karya ilmiah, dan pedoman penyelenggaraan program penulisan karya ilmiah di sekolah.
Buku ini dilengkapi contoh-contoh formulir-formulir yang digunakan dalam penulisan karya ilmiah guna memudahkan siswa yang biasanya masih bersifat imitatif (meniru yang telah ada). Buku ini bisa anda beli di toko buku terdekat, atau melalui Penerbit Media Alo Indonesia.

Penulis juga ”menyediakan dirinya” untuk mendampingi sekolah yang mau menyelenggarakan program penulisan karya ilmiah. Penulis memang sedang mengemban misi ”INDONESIA MENULIS” yang bertujuan meningkatkan budaya menulis di kalangan siswa sekolah menengah (SMP dan SMA/ sederajat). Silahkan menghubungi penulis di 08158241298 dan andiwowo@yahoo.com

Senin, 01 Juni 2009

MEMPERTANYAKAN KONSEP AL-NASKH DALAM ALQURAN (telah dipublikasikan dalam jurnal Studi Alquran)

Oleh: Andi Rahman, MA.

Perlu saya nyatakan adanya perbedaan antara agama dan pemikiran keagamaan. Agama bersumber dari wahyu yang diturunkan oleh Allah Ta’ala dengan nilai kebenaran yang bersifat absolut. Sementara pemikiran keagamaan merupakan penafsiran dari wahyu dan kebenarannya bersifat relatif.
Tafsir bersifat dinamis dan terus berkembang mengikuti dinamika zaman. Adanya perbedaan tentang pemahaman keagamaan antar pemikir Agama pada satu masa dengan masa yang lain, dikarenakan suatu pemikiran sangat terpengaruh oleh sosio-kultural di mana pemikiran itu lahir. Bahkan perbedaan antara para pemikir pada satu generasi lumrah terjadi akibat perbedaan pemahaman mereka tentang wahyu, tingkat penguasaan terhadap literatur keagamaan, dan sudut padang yang digunakan. Dalam sejarah kita temui adanya seorang pemikir memiliki lebih dari satu pendapat dalam satu masalah seperti al-Syafi’i dengan qawl qadim dan qawl jadid-nya. Perbedaan memang merupakan keniscayaan yang tak dapat dielakkan.
Saya berasumsi bahwa pembaca memiliki pendapat yang sama dengan mayoritas ulama tentang eksistensi naskh dalam Alquran. Asumsi ini ‘menggelitik’ dan menyemangati saya menulis sanggahan.
Harapan saya, tulisan ini tidak dianggap bid’ah yang harus diberantas, tetapi sebuah ijtihad yang, walaupun salah, semoga dapat meramaikan kajian Ulumul Qur`an.

Kesatuan Kndungan Alquran
Sebagai kitab suci, Alquran memiliki kesatuan isi yang utuh. Seluruh nilai, norma, dogma, ajaran, dan informasi yang dikandung ayat-ayatnya saling melengkapi, menjelaskan, dan menafsirkan. Kesatuan ini diibaratkan sebuah jauhar (esensi) yang tidak mungkin terbagi-bagi.
Statusnya sebagai kitab suci yang keotentikannya dijamin oleh Allah Ta'ala, menafikan adanya pertentangan antar ayat-ayatnya. Firman-Nya dalam surat al-Hijr ayat 9, Sesungguhnya Kamilah (Allah) yang menurunkan Alquran, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.
Alquran merupakan kitab yang berfungsi sebagai panduan manusia untuk memperoleh kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat. Tiap manusia harus mempelajarinya, untuk kemudian mengamalkan kandungan dan ajarannya. Di waktu yang sama, kitab suci ini berfungsi sebagai sumber hukum pertama dalam Islam.
Hukum dan perundang-undangan harus bersifat lugas, tegas, jelas, dan memiliki kepastian. Dari sini, semisal kita temukan adanya ayat Alquran yang zhahir manthuq (makna eksplisit)-nya bertentangan dengan ayat yang lain, pada hakikatnya tidak ada pertentangan itu. Karena adanya pertentangan manthuq pada ayat-ayat Alquran akan menimbulkan ketidakpastian, dan ketidakpastian dengan sendirinya akan menyebabkan orang yang mengimani Alquran tidak tenang dalam mengamalkan ajarannya. Allah Ta'ala berfirman dalam Surat al-Nisa' ayat 174, Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu bukti kebenaran dari Tuhanmu, dan telah Kami turunkan kepadamu 'nuran mubinan' cahaya yang terang benderang (yaitu Alquran).
Namun demikian, kejelasan (nuran mubinan) dan ketiadaan pertentangan antar ayat Alquran, hanya diketahui oleh ulama yang memiliki kapasitas keilmuan yang mumpuni. Ulama tersebut ditembungkan dalam Alquran dan dipanggil (dijuluki) dengan nama Ulul Albab (orang yang berakal). Mereka memiliki kejernihan hati dan ketulusan niat dalam mengerahkan potensi akal budinya untuk memahami pesan dan ajaran yang terkandung dalam Alquran.1
Untuk membantu masyarakat awam dalam memahami Alquran, para ulul albab kemudian ‘menciptakan’ disiplin Ulumul Quran, beragam jenis dan corak penafsiran Alquran, dan metode-metode penafsiran.

Kontradiksi Antar Ayat-ayat Alquran
Konsep al-naskh muncul guna memahami ayat-ayat yang zahirnya kontradiktif (bertentangan) yang sebenarnya hanya ada dalam persangkaan. Demikian ungkap al-Suyuthi (w. 911 H.).2 Memang, bagi pengkaji pemula terkadang timbul persepsi adanya kontradiksi (antar ayat-ayat Alquran) yang sebenarnya tidak ada, sehingga dibutuhkan upaya untuk menghilangkan kontradiksi tersebut.3 Wahbah al-Zuhaili juga menyatakan bahwa apa yang diklaim sebagai kontradiksi pada zahir ayat-ayat Alquran, sebenarnya merupakan persepsi, yang ketika dianalisa lebih mendalam akan nampak bahwasanya kontradiksi itu tidak pernah ada.4
Kontradiksi semata merupakan persepsi zahir yang nampak bagi mujtahid sesuai nalar intelektualitasnya, bukan dalam kenyataan dan hakikatnya. Syari'ah tidak memiliki kontradiksi, karena kontradiksi artinya saling bertentangan, dan Allah Pemilik syariat lagi Maha Bijaksana tidak mungkin mengeluarkan dua buah dalil yang saling bertolak belakang pada satu waktu dan dalam satu objek hukum, karena yang demikian merupakan tanda ketidakmampuan yang mustahil disandarkan kepada Allah Ta’ala.5
Demikian ujar Wahbah al-Zuhayly.
Ketika ada dua nash yang zahirnya kontradiktif, maka kita wajib berupaya ‘memalingkannya’ dari nalar tekstual, dan menganalisa hakikat kedua dalil tersebut, demi menyucikan Allah Yang memiliki syari'ah lagi Maha Bijaksana dari adanya kontradiksi pada syari'ah-Nya.6 Allah Ta’ala Berfirman dalan Surat al-Nisa ayat 82, Maka apakah mereka tidak memperhatikan Alquran? Kalau kiranya Alquranitu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya.
Memang ulama sepakat bahwasanya syari'ah Islam tidak memiliki kontradiksi yang hakiki. Namun demikian mereka juga menyadari bahwa dalam Alquran ada beberapa ayat yang kandungannya memiliki kontradiksi, yang tentu sebatas zahirnya saja. Untuk memahami ayat-ayat ini, mayoritas ulama menggunakan pendekatan al-naskh. Dalam pendekatan ini, ada ayat yang bersifat nasikh (yang menaskh) dan ada yang bersifat mansukh (yang di-naskh). Al-Suyuthi menyatakan bahwa ayat-ayat mansukh berjumlah dua puluh ayat.7 Al-Baghdadi menyatakan jumlahnya ada 66 ayat. Menurut al-Nuhas 134 ayat, Ibn Salamah menyatakan 213 ayat, Muhammad bin Hazm menyatakan 214 ayat, Ibn al-Jauzy menyatakan 247 ayat,8 dan ada juga ulama yang menyatakan lebih dari itu.
Selain pendekatan al-naskh, masih ada dua pendekatan lain yang dapat digunakan untuk memahami ayat-ayat yang zahirnya bertentangan, yaitu al-Jam’ (mengkompromikan ayat-ayat tersebut), dan tawaquf (tidak melakukan pembandingan antar ayat yang bertentangan). Tiga pendekatan ini, yaitu naskh, jam’, dan tawaquf, dituturkan al-‘Imrithi dalam manzhumah-nya,
Mengkompromikan antar dalil (ayat) yang (zahirnya) bertentangan wajib hukumnya. Sekiranya tidak mungkin dikompromikan, maka tawaquf, selama tidak ditemui keterangan waktunya (pensyariatannya). Kalau kita mengetahui waktunya, maka (ayat) yang kedua me-naskh ayat yang (turun) sebelumnya.9

Konsep al-Naskh Dalam Alquran
a.Definisi Naskh
Dalam tinjauan bahasa, naskh memiliki tiga arti, al-Raf’u wa al-Izalah (pengangkatan dan penghilangan),10 al-Naql wa al-Tahwil (pemindahan dan pengubahan),11 dan al-Tabdil (perubahan)12.
Dalam tinjauan terminologis, naskh diartikan sebagai keterangan atas berakhirnya penerapan sebuah hukum syariat sebab adanya hukum syariat (yang lain) yang diturunkan belakangan. 13
Maksudnya, sebuah hukum syariat dibatasi di sisi Allah dengan batasan waktu tertentu. Ketika batas ini tiba, maka hukum itu dengan sendirinya berakhir. Ada juga yang mendefinisikan sebagai penghilangan sebuah hukum syariat dengan adanya dalil syariat yang lain yang turun belakangan.14

b. Eksistensi Naskh Dalam Alquran
Ada perbedaan pendapat tentang eksistensi naskh dalam Alquran. Mayoritas ulama mengiyakan, bahkan ada yang menyatakan bahwa umat Islam telah membuat ijma’ (konsensus) akan eksistensi naskh dalam Alquran.15 Namun kiranya anggapan konsensus ini tidak mendasar, mengingat ada beberapa ulama yang memberikan penolakan, seperti Abu Muslim al-Ashfahani.16Menurut al-Syaukani, mayoritas ulama berpendapat bahwa ijma’ menjadi tidak sah ketika ada mujtahid yang memiliki pendapat yang berbeda.17 Beberapa ulama kontemporer juga menyatakan penolakannya terhadap naskh, seperti ‘Abd al-Muta’al al-Jabary, Ahmad Hasan al-Baqury, ‘Abd al-Razzaq Naufal, dan Muhammad al-Ghazaly Saqa.18 Kelompok yang menolak eksistensi naskh ini cenderung fanatik.19

c.Argumentasi Atas Eksistensi Naskh Dalam Alquran
Ulama yang berpendapat bahwa naskh ada dalam Alquran, memiliki dalil ‘aqly dan naqly. Argumentasi aqli dibangun berdasarkan asumsi bila kita memahami hukum-hukum Allah sesuai dengan kemashlahatan manusia, seperti yang diyakini oleh Mu’tazilah, maka revisi-revisi dan perubahan hukum merupakan sesuatu yang wajar. Karena kemashlahatan manusia dari waktu ke waktu berbeda. Bahkan dalam satu masa, tiap orang berbeda kemashlahatan dan kepentingannya.
Mengingat bahwa kemashlahatan manusia berubah-ubah, maka sudah seharusnya perintah dan larangan Allah Ta’ala mengalami penyesuaian. Analoginya seperti dokter yang memerintahkan pasiennya meminum obat tertentu dengan dosis tertentu. Ketika kondisi pasien berubah, maka obat dan terapi pengobatan yang dilakukan juga berubah. Demikian juga pantangan pasien yang harus ditinggalkan pasien, dapat kita analogikan dengan larangan yang diberikan Allah.
Adapun ketika kita meyakini bahwa ketetapan Allah tidak terikat dengan kemashlahatan manusia, seperti yang diyakini oleh golongan Ahl al-Sunnah, maka sudah selayaknya Allah berbuat sesuai kehendak-Nya. Termasuk kebebasan bagi-Nya dalam memberikan perintah dan larangan, atau memerintahkan sesuatu untuk di kemudian waktu melarangnya.
Naskh sebagai bentuk penyesuaian Allah atas syariat-Nya terhadap kemashlahatan manusia atau merupakan kebebasan-Nya dalam memberikan perintah dan larangan, keduanya merupakan dalil eksistensi naskh dalam Alquran.
Para ulama juga memiliki dalil naqli guna mengukuhkan pendapat eksistensi naskh dalam Alquran:
Pertama, firman Allah Ta’ala dalam Surah al-Baqarah ayat 106,20 Ayat mana saja yang Kami nasakh, atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya. Tiadakah kamu mengetahui bahwa sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu?
Kedua, firman Allah Ta’ala dalam Surah al-Ra’d ayat 39,21 Allah menghapuskan apa yang Dia kehendaki dan menetapkan, dan di sisi-Nya-lah terdapat Ummul-Kitab.
Ketiga, Firman Allah dalam al-Nisa ayat 160,22 Maka disebabkan kezaliman orang-orang Yahudi, Kami haramkan atas mereka (memakan makanan) yang baik-baik (yang dahulunya) dihalalkan bagi mereka, dan karena mereka banyak menghalangi (manusia) dari jalan Allah
Keempat, firman Allah dalam Surah al-Nahl ayat 101,23 Dan apabila Kami letakkan suatu ayat di tempat ayat yang lain sebagai penggantinya padahal Allah lebih mengetahui apa yang diturunkan-Nya, mereka berkata: "Sesungguhnya kamu adalah orang yang mengada-adakan saja". Bahkan kebanyakan mereka tiada mengetahui.
Kelima, kumpulan ayat-ayat yang diklaim memiliki kadungan ayat yang saling kontradiktif merupakan bukti adanya naskh. Al-Zarqani bekata, “Sesungguhnya di dalam Alquran terdapat banyak ayat yang hukumnya di-naskh”24

d. Dialektika Dalil
Sanggahan terhadap argumentasi aqliyah bahwa ketetapan Allah sesuai dengan kemashlahatan manusia, tidak sesuai dengan pendapat teologis mereka yang menyatakan bahwa Allah tidak wajib berbuat yang terbaik untuk hamba-Nya. Sikap inkonsistensi ini secara tidak langsung melemahkan argumentasi mereka.
Sekiranya memang ketetapan Allah berbanding lurus dengan kemashlahatan manusia, sementara kemashlahatan tiap orang berbeda pada tiap kurun waktunya demikian juga orang-orang yang hidup pada satu masa sehingga butuh penyesuaian dan ‘revisi-revisi’ syariat, maka kondisi kita saat ini lebih memerlukan ‘penyesuaian’ dari pada masa Rasulullah pada 15 abad yang lalu. Namun, naskh—yang merupakan penyesuaian syariat—tidak mungkin terjadi pasca wafatnya Rasulullah,25 Karena Agama telah sempurna (QS. Al-Maidah ayat 3)
Argumentasi ini semakin lemah saat mereka menganalogikan Allah dengan dokter, dan syariat Allah dengan obat-obatan. Karena ilmu Allah bersifat obsolut dan menyeluruh,26 sementara ilmu dokter terbatas. Selain itu, hukum-hukum dan syariat Allah berlaku universal, tidak terikat waktu dan tempat, serta berlaku untuk semua manusia, sementara terapi dokter hanya berlaku pada pasien tertentu.
Asumsi mereka yang kedua, bahwa Allah Ta’ala berhak berbuat apa yang ia kehendaki, juga debatable. Bukan pada tataran landasan teologisnya, tetapi pada aplikasinya terhadap eksistensi naskh dalam Alquran, yaitu ketika mereka menyatakan bahwa Allah berhak mengganti ketetapan-Nya kapan saja. Masalah yang timbul adalah kelayakan naskh dalam Alquran. Karena Allah Ta’ala telah menyatakan bahwa tidak ada ‘kebengkokan’ dalam Alquran (QS. Al-Zumar ayat 28) sehingga perlu untuk ‘diluruskan’.
Kemudian sanggahan atas argumentasi naqli pertama mereka (QS. Al-Baqarah ayat 106), yang menyatakan bahwa Allah secara eksplisit menyebutkan kata naskh, terbantahkan dengan argumentasi sebagaimana berikut:
Bahwa kata ‘ayat’ yang terdapat dalam Alquran dapat diartikan sebagai ayat matluwah (ayat yang dibaca, yaitu Alquran)27, dan ayat ghair matluwah (ayat yang tidak dapat dibaca). Ayat ghairu matluwah sendiri memiliki beberapa makna, yaitu mukjizat para Rasul,28 penciptaan dan penomena alam semesta,29 serta syariat.30
Kata ‘ayat’ dalam Surah al-Baqarah ayat 106 lebih cocok dipahami sebagai penomena alam semesta, seperti yang dinyatakan oleh Muhammad Mushthafa Abu al-‘Ala`, dengan alasan bahwa akhir ayat berupa kata ‘Qadir’ yang sesuai jika disandingkan dengan penomena alam. Seandainya ayat di sini diartikan sebagai ayat Alquran, maka akhir ayat yang lebih pantas adalah ‘Hakîm’ atau ‘Alîm’.31 Kata ‘ayat’ pada Surah al-Baqarah ayat 106 juga dapat diartikan sebagai Taurat dan Injil, seperti yang dinyatakan oleh Abu Muslim al-Ashfahni.32 Ayat tersebut juga bisa diartikan sebagai semua syariat yang ada sebelum Rasulullah, sebagaimana yang dinyatakan oleh Abd al-Muta’al al-Jabari, karena bentuknya (‘ayat’) yang nakirah (indefinitif).33
Menjadikan Surah al-Baqarah ayat 106 sebagai dalil naskh memang tepat, tetapi bukan naskh ayat-ayat Alquran. Ayat ini cocok dijadikan dalil naskh syariat yang ada sebelum Rasulullah dengan syariat beliau. Atau naskh mukjizat seorang nabi dengan nabi yang lain.
Dalil kedua (Surah al-Ra’d ayat 39), yang mengisyaratkan adanya penetapan dan pencabutan ayat, juga masih dapat dibaca ulang. Pasalnya untuk mengetahui maksud dari sebuah ayat, kita perlu menafsirkannya dengan menggunakan ayat Alquran yang lain, bisa juga dengan melihat keserasian (munasabah) antara sebuah ayat dengan ayat sesudah dan sebelumnya.
Pada ayat sebelumnya (38) dinyatakan bahwa Allah telah mengutus para rasul, dan memberikan mereka istri dan anak keturunan. Kemudian dinyatakan bahwa para rasul tidak mendatangkan ‘ayat’ kecuali atas izin Allah. Dari sini kita pahami bahwa ‘ayat’ yang dimaksud adalah ayat ghair matluwwah, yaitu mukjizat para rasul yang tidak dapat didatangkan kecuali atas izin Allah. Penggunaan ayat ini dalam arti mukjizat juga dikuatkan oleh redaksi ayat selanjutnya.
Argumentasi ketiga (QS. Al-Nisa ayat 160), terbantahkan dengan kenyataan bahwa ayat ini menerangkan keadaan orang-orang yahudi. Tidak menerangkan tentang orang-orang Islam, apalagi tentang naskh ayat Alquran.
Argumentasi keempat (QS. Al-Nahl ayat 101) yang menerangkan penggantian ayat, sesungguhnya tidak membicarakan tentang naskh, tetapi tentang urutan mushaf. Susunan mushaf bukan berdasarkan kronologis turunnya ayat, melainkan berdasarkan petunjuk Allah melalui Rasul-Nya. Mujahid menafsirkan ayat ini sebagai “Kami angkat sebuah ayat, dan kami jadikan ayat lain menempati tempatnya”.34 Bila kita renungi lebih dalam, maka akan nampak bahwa maksud ayat ini adalah mukjizat para nabi.35
Argumentasi kelima, yang menjadikan ayat-ayat yang diklaim sebagai ayat mansukhah sebagai dasar eksistensi naskh dalam Alquran, belum dapat dijadikan argumentasi. Pasalnya, para ulama yang menyatakan eksistensi naskh masih berselisih tentang jumlah ayat mansukhah. Seperti al-Suyuthi yang menyatakan bahwa jumlah ada dua puluh, hingga Ibn al-Jauzy yang menyatakan ada 247.36 Bahkan beberapa ayat yang bersifat muhkam (yang artinya jelas dan lugas, serta tidak memiliki kontradiksi dengan ayat lain) juga diklaim mansukh.37
Sebagai ilustrasi dari betapa klaim naskh terkadang kurang didasari oleh analisa data yang signifikan, apa yang dinukil al-Suyuthi dari penyataan Ibn al-Arabi, bahwa semua ayat dalam Alquran yang menerangkan tentang pemaafan kepada orang kafir, serta perintah berpaling dari mereka, di-naskh oleh 'Ayat Pedang' pada surat al-Taubah ayat 5. Ayat-ayat mansukhah tersebut berjumlah 124 (seratus dua puluh empat) menurut perhitungan al-Suyuthi,38 atau 114 (seratus empat belas) menurut perhitungan Muhammad al-Andalusi.39 Dalam kitab al-Tashil (I/10-11), al-Andalusi menyebutkan bahwa mereka yang berlebihan dalam menggunakan metode naskh ini, menyatakan bahwa total ayat mansukhah dalam Alquranada 212 (dua ratus dua belas) ayat.40
Jika memang klaim naskh ini benar, maka setidaknya 3,42 % (tiga koma empat puluh dua persen) dari jumlah keseluruhan ayat yang terdapat dalam al-Quran41 menjadi mulghah (tidak memiliki ajaran untuk diamalkan).42 Jika dibandingkan dengan total jumlah ayat ahkam (ayat yang memiliki kandungan hukum),43 maka jumlah ayat yang mulghah menjadi 42,4 % (empat puluh dua koma empat persen),44 atau hampir setengah dari ayat-ayat Alquran yang berkaitan dengan hukum dan perundang-undangan, tidak memiliki kewajiban untuk diamalkan. Perselisihan pendapat juga terjadi pada eksistensi naskh Alquran dengan hadis, dan sebaliknya.

Mengkompromikan Ayat-ayat “Kontradiktif”
Terhadap ayat-ayat yang diklaim memiliki kontradiksi, kita wajib melakukan reintepretasi yang memungkinkan kita menghilangkan kontradiksi ini. Selama masih dapat dikompromikan (al-jam’), ayat-ayat ini harus dikompromikan sehingga ayat-ayat tersebut dapat diamalkan. Hal ini sesuai dengan kaidah al-Ashl fi al-dalil i’maluhu la Ihmaluhu (pada prinsipnya dalil harus diamalkan, tidak didiamkan).45
Ayat-ayat yang diklaim memiliki kontradiksi, yang jumlahnya sampai ratusan, menjadi faktor pendorong ulama untuk mencoba mengkompromikannya. Enam abad yang lalu al-Suyuthi telah mencoba mengkompromikan ayat-ayat tersebut, hingga tinggal dua puluh saja. Maka ulama dan cendekiawan abad XXI dengan fasilitas dan literatur ilmiyah yang berlimpah, diharapkan bisa menyelesaikan kedua puluh ayat ini.
Sebagai penutup dari tulisan ini, penulis mencoba mengetengahkan tawaran kompromi pada satu ayat yang dinyatakan al-Suyuthi sebagai ayat yang mansukh akibat upaya kompromi yang dilakukannya tidak membuahkan hasil.
Dalam Surat al-Baqarah ayat 234 disebutkan, Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber-`iddah) empat bulan sepuluh hari. Kemudian apabila telah habis `iddahnya, maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat.
Abdul Wahab Khalaf46 menyatakan bahwa ayat tersebut menaskh firman Allah Ta’ala pada Surat yang sama ayat 240, Dan orang-orang yang akan meninggal dunia di antaramu dan meninggalkan isteri, hendaklah berwasiat untuk isteri-isterinya, (yaitu) diberi nafkah hingga setahun lamanya dengan tidak disuruh pindah (dari rumahnya)...
Secara sepintas nampak kontradiksi pada kedua ayat tersebut, karena pada ayat 234 Surat al-Baqarah diterangkan bahwa masa iddah wafat bagi wanita yang tidak hamil adalah empat bulan sepuluh hari, sementara pada ayat 240 dinyatakan selama satu tahun.
Ali al-Shabuni menyatakan bahwa walaupun ayat “iddah empat bulan sepuluh hari” letaknya sebelum ayat “iddah satu tahun”, tetapi waktu turunnya ayat “iddah empat bulan sepuluh hari” setelah ayat “iddah satu tahun”. Sesungguhnya urutan mushaf tidak berdasarkan urutan turunnya ayat, tetapi merupakan petunjuk dari Allah (tawqifi). Dari sini dapat dinyatakan bahwa ayat pertama (iddah empat bulan sepuluh hari) menaskh ayat kedua (iddah satu tahu), dan yang demikian ini adalah pendapat mayoritas ulama.47 Perlu digarisbawahi adalah ijma’ ulama tentang urutan mushaf yang berdasarkan petunjuk Allah Ta’ala, bukan hasil ijtihad Rasulullah atau shahabat dan ulama sesudahnya. Hal ini dinyatakan oleh al-Suyuthi dalam al-Itqan.48
Namun hampir tidak bisa ditemukan berbagai riwayat yang mengatakan bahwa ayat sekian ditempatkan setelah ayat ini dan sebagainya. Sekiranya ada, maka Alquran membutuhkan sekian ribu riwayat Nabi atau shahabat tentang urutan ayat Alquran, mengingat ayat-ayat tersebut diturunkan secara terpisah dalam 23 tahun. Demikian tulis M. Quraish Shihab dalam pengantar buku Rekonstruksi Sejarah al-Qur’an.49 Kasarnya, ada sejarah yang hilang untuk menjelaskan beberapa ayat atau susunan ayat Alquran dari surat al-Fatihah sampai Surat al-Nas. Lanjut M. Quraish Shihab.50 Al-Jabari menyatakan bahwa keterangan bahwa keterangan shahabat tentang tanggal (turunnya ayat Alquran) sedikit sekali, dan yang sedikit ini tidak datang melalui jalur yang mutawatir atau masyhur.51
Sebatas penelitian penulis, tidak ada keterangan tanggal dan waktu turunnya kedua ayat tersebut, hingga kita dapat berkata bahwa ayat 234 Surat al-Baqarah diturunkan setelah ayat 240 pada Surat yang sama. Sehingga klaim naskh pada ayat iddah ini, menjadi lemah historis.
Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, penggunaan metode naskh harus dilakukan setelah metode jam’ (kompromis). Berikut dua kompromi yang penulis coba tawarkan:
Pertama, ayat yang menerangkan masa iddah selama empat bulan sepuluh hari bukanlah ayat yang menaskh, tetapi ia muhkamah (dijadikan sandaran hukum perundang-undangan). Ayat ini merupakan pengurangan dari masa iddah setahun, seperti shalat orang yang bepergian yang mengqashar empat rakaat menjadi dua rakaat. Baik iddah selama empat bulan maupun shalat qashar dua rakaat tidak merupakan naskh, melainkan dispensasi (rukhshah).52 Ketika kedua ayat iddah ini bersifat muhkamah, maka bagi wanita yang ditinggal mati suaminya dan ia tidak dalam keadaan hamil, maka ia berhak memilih masa iddah yang ia kehendaki.
Kedua, wanita yang beriddah tersebut memilih. Jika ia merupakan wanita yang sudah renta atau wanita yang muda sekalipun selama tidak berkehendak untuk menikah lagi dalam waktu dekat karena satu dan lain hal, maka hendaknya ia beriddah selama satu tahun dengan niat beribadah. Karena iddah adalah perintah Allah Ta’ala, dan melaksanakan perintah-Nya adalah ibadah. Semakin berat suatu ibadah dilaksanakan (bukan membuat-buat berat) akan semakin besar pahala yang diterima. Rasulullah pernah bersabda kepada Ummul Mukminin Aisyah, “Dan bagimu pahala sesuai kesulitanmu (dalam menunaikan ibadah tersebut) dan nafkahmu”.53 Wanita yang beriddah selama satu tahun—insya Allah—mendapatkan pahala lebih besar dari pada yang beriddah selama 4 bulan 10 hari.

Daftar Bacaan
Mushaf Al-Qur'an al-Karim
Abdul Ghani, As’ad, dan Mahmud, Ahmad Mukhtar, Muhadharat fi Ushul al-Fiqh (tingkat IV), (Cairo: Universitas al-Azhar, 2002)
Ahmadi, Muhammad Sya’rani, Tarjamah Tashil al-Thuruqat li Nadzm al-Waraqat, (Kudus: Penerbit Qudsiyah),
Al-Andalusi, Muhammad, Kitab al-Tashil li Ulum al-Tanzil, (Beirut: dar al-Fikr), tth
Al-Jabari, Abdul Muta’al Muhammad, al-Nasikh wa al-Mansukh Bayn al-Nafy wa al-Itsbat, (Cairo: Maktabah Wahbah, 1987)
Ibrahim bin Umar al-Ja’bary, Rusukh al-Akhbar fi Mansukh al-Akhbar, ttp. Tth
Kamal, Taufik Adnan, Rekonstruksi Sejarah al Quran, (Yogyakarta: Forum kajian Budaya dan Agama, 2001)
Khalaf, Abdul Wahab, ‘Ilm Ushul Fiqh, (Kuwait: Dar al-Kuwaitiyah, 1967), cet. VIII
Khirribah, Muhammad Abd al-Mun’im, Dirasat fi ‘Ulum al-Quran, (Cairo: Percetakan Hisan, 1983)
Al-Naisabury, Al-Hakim, al-Mustadrak ‘Ala al-Shahihain, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘ilmiyah, 1990)
Al-Qurthuby, Muhammad bin Ahmad, Tafsir al-Qurthuby, (Cairo: Dar al-Sya’b, 1372 H.), cet. II
Al-Rumzi, Abdul Aziz, Mandzumah al-Tafsir, (Surabaya: Maktabah al-Hidayah, 1960)
Al-Shabuni, Muhammad Ali, Rawa’i al-Bayan fi Tafsr Ayat al-Ahkam min Alquran, 1391 H. I/363
Al-Suyuthi, Jalaluddin, al-Itqan fi ‘Ulum Alquran, (Beirut: Dar al-Fikr, 1951)
Al-Thufi, Sulaiman bin Abdul Qawi, Syarh Mukhtashar al-Raudhah, (Kerajaan Saudi Arabiya: Kementrian Agama, Wakaf dan Dakwah, 1998)
Al-Zarqany, Muhammad Abd al-‘Azhim, Manahil al-‘Irfan fi ‘Ulum al-Qur`an, (Cairo: Percetakan al-Taufiqiyah), tth.
Al-Zuhaili, Wahbah, al-Wajiz, (Beirut: Dar al-Fikr al-Mu’ashir, 1997)