Selasa, 26 Mei 2009

PROFIL TAFSIR DEPAG RI (telah dimuat dalam jurnal AL_BURHAN)

Oleh: Andi Rahman, MA
(http://www.ptiq.ac.id/index.php?option=com_content&task=view&id=89&Itemid=1)

A.Penyusunan Tafsir

Departemen Agama RI telah menyosialisasikan Tafsir ini dalam Jurnal Lektur Keagamaan yang diterbitkan oleh Puslitbang Lektur Keagamaan Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan Departemen Agama RI. Dalam sebuah artikel yang ditulis oleh M. Shohib Tahar, profil Tafsir ini diterangkan dengan lengkap.

Setelah menerbitkan Terjemah Al-Qur’an pada tahun 1965, Departemen Agama menyusun Tafsir Al-Qur`an yang ide penulisannya dilandasi oleh komitmen pemerintah untuk memenuhi kebutuhan masyarakat di bidang Kitab Suci, dan untuk membantu umat Islam dalam memahami kandungan Kitab Suci Alquran secara lebih mendalam.

Kehadiran tafsir Al-Qur’an tersebut sangat membantu masyarakat untuk memahami pengertian dan makna ayat-ayat Al-Qur’an, walaupun disadari bahwa tafsir Al-Qur’an sebagaimana terjemah Al-Qur’an dalam bahasa Indonesia tidak akan dapat sepenuhnya menggambarkan maksud ayat-ayat Al-Qur’an. Demikian sambutan Menteri Agama RI, Muhammad M. Basyuni.

Tafsir yang diberi nama Al-Qur’an dan Tafsirnya ini, disusun oleh sebuah tim yang dibentuk oleh Menteri Agama. Tim ini disebut Dewan Penyelenggara Pentafsir al-Qur`an. Tim ini bertugas menulis tafsir yang di kemudian hari disempurnakan oleh Tim Penyempurnaan Al-Qur`an dan Tafsirnya.
Sebagai kelanjutan dari terbitnya Al-Qur’an dan Terjemahnya, pada tahun 1972 dibentuklah Dewan Penyelenggara Pentafsir al-Qur’an yang diketuai oleh Prof. R.H.A. Soenarjo, S.H. guna menyusun tafsir Alquran. Pembentukan Tim ini didasarkan pada Keputusan Menteri Agama (KMA) No. 90 Tahun 1972. Setahun kemudian, KMA itu direvisi dengan KMA No. 8 Tahun 1973 yang salah satu isinya menetapkan Prof. H. Bustami A. Gani sebagai ketua Tim. Penyempurnaan tim dilakukan lagi melalui KMA RI No. 30 Tahun 1980 dengan ketua Tim yang baru yaitu Prof. KH. Ibrahim Hosen, LML.

Sebagai respon atas banyaknya tanggapan dan saran dari masyarakat terkait penyempurnaan al-Qur’an dan Tafsirnya, baik isi, format, maupun bahasa, Departemen Agama menerbitkan KMA RI No. 280 Tahun 2003 yang isinya memberikan mandat Pembentukan Tim Penyempurnaan al-Qur’an dan Tafsirnya Depag RI.
Pada awal kehadirannya, Tafsir Departemen Agama tidak dicetak utuh dalam 30 juz, melainkan bertahap. Percetakan pertama kali pada tahun 1975 berupa jilid I yang memuat juz I sampai juz III. Dan percetakan secara lengkap 30 juz baru dilakukan pada tahun anggaran 1980/1981 dengan format dan kualitas yang sederhana. Selanjutnya, Lajnah Pentashih Mushaf Al-Qur`an melakukan perbaikan dan penyempurnaan materi dan teknis penulisannya secara gradual. Perbaikan Tafsir yang relatif agak luas dilakukan pada tahun 1990. Perbaikan ini lebih banyak dilakukan pada sisi aspek kebahasaan dengan pertimbangan perkembangan bahasa, dinamika masyarakat serta ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek).iii Berikut adalah aspek-aspek perbaikan dan penyempurnaan yang ada dalam Tafsir edisi 2004:
1.Bahasa, sesuai perkembangan bahasa Indonesia kontemporer
2.Substansi, yang terkait makna dan kandungan ayat
3.Munâsabah dan asbâb nuzûl
4.Transliterasi yang mengacu pada Pedoman Transliterasi Arab-Latin berdasarkan SKB Dua Menteri tahun 1978
5.Teks ayat Alquran dengan menggunakan rasm Utsmânî yang diambil dari Mushaf Al-Qur’an Standar yang ditulis ulang
6.Terjemah ayat dengan mengacu kepada Al-Qur’an dan Terjemahnya Departemen Agama yang disempurnakan (edisi 2002)
7.Dengan melengkapi kosa kata yang fungsinya menjelaskan makna lafal tertentu yang terdapat dalam kelompok ayat yang ditafsirkan
8.Dengan mencantumkan indeks pada bagian akhir setiap jilid
9.Dengan membedakan karakteristik penulisan teks Arab antara kelompok ayat yang ditafsirkan, dengan ayat-ayat pendukung dan penulisan teks hadis.


B. Sumber Rujukan

Baik saat penyusunan awal hingga tahapan penyempurnaan, Tafsir ini ditulis secara kolektif oleh tim yang terdiri dari pakar-pakar tafsir, hadis, dan ilmu-ilmu keislaman lainnya yang terkait. Referensi yang digunakan saat penyempurnaan juga mengalami penambahan. Awalnya, kitab-kitab tafsir yang masyhur seperti tafsir al-Marâgî, Tafsir Mahâsin al-Ta`wîl, tafsir Anwar al-Tanzîl wa Asrâr al-Ta`wîl, dan Tafsir Ibn Katsîr. Sementara dalam edisi revisi, setidaknya ada 60 literatur yang dikutip, termasuk di dalamnya Bibel yang seringkali dinamakan riwayat isrâiliyat.
Terkait dengan penggunaan Bibel sebagai sumber, penulis menganggap hal ini menarik walaupun sebenarnya bukan hal yang baru. Kitab-kitab tafsir klasik seperti al-Tabarî dan al-Qurtubî juga telah menjadikan isrâiliyat sebagai rujukannya. Sependek pembacaan penulis, tidak ada larangan atau anjuran mengambil informasi dari Bibel atau dari para pemuka agama Nashrani dan Yahudi, dalam artian bahwa keterangan dan informasi itu seratus persen benar atau salah sama sekali. Dalam sebuah hadis, Rasulullah menyatakan bahwa informasi yang berasal dari al-Kitab (Bibel) dan ahli kitab statusnya mengambang dan tingkat kebenaran dan kesalahannya sama-sama lima puluh persen,
لا تُصَدِّقُوا أهْلَ الكتابِ ولا تكذِّبُوهم وقُوْلُوا آمنَّا بِالله وما أُنْزِل إلينا وما أنزل إليْكُم... الآية
”Janganlah kalian membenarkan ahli kitab dan jangan pula mendustakan mereka. Tetapi katakanlah bahwa kalian beriman kepada apa-apa yang telah diturunkan Allah kepada kita dan apa-apa yang telah diturunkan kepada kalian” (HR. Al-Bukhârî dari Abu Hurayrah).v
Saat menafsirkan ayat 30 surah Yûsuf, Tafsir ini enggan berpolemik seputar identitas al-’Azîz dan istrinya. Hal ini dikarenakan nama-nama tersebut tidak terdapat dalam riwayat yang sahîh,vi walaupun ada banyak riwayat dalam tafsir-tafsir dan literatur lainnya yang menyebutkan namanya. Namun saat menafsirkan ayat 246-252 surah al-Baqarah, Tafsir ini memberikan penjelasan panjang (hampir empat halaman) terkait kisah Samuel dan Dâwud, dengan menggunakan Bibel sebagai rujukannya.vii
Penggunaan Bibel, dengan melihat kasus ”istri al-’Azîz” dan ”Samuel”, sedikit menggambarkan adanya inkonsistensi terkait penggunaan sumber yang valid dan riwayat yang sahîh sebagai rujukan Tafsir ini.


C. Metodologi Penulisan

Tafsir ini menggunakan metode tahlîlî atau penafsiran ayat per ayat sesuai urutan yang ada dalam mushâf mulai al-Fâtihah hingga al-Nâs. Penafsiran dilakukan sesuai topik yang bisa terdiri dari beberapa ayat dan terkadang hanya satu ayat saja. Sementara untuk menentukan topiknya, dilakukan penelitian terkait keselarasan kandungan (munâsabah) yang ada dalam ayat.
Beberapa ayat yang memiliki tema yang sama disatukan dalam satu topik dan ditafsirkan secara pararel. Jika satu ayat memiliki kandungan tema yang utuh, sementara ayat sebelumnya dan sesudahnya tidak memiliki keterkaitan tema dengannya, maka satu ayat tersebut ditafsirkan sendirian, misalnya ayat 92 surah Âlu ’Imrân.

Setiap ayat ditulis terpisah dari ayat yang lain. Pemisah antar ayat tersebut adalah nomor ayat tersebut yang ditulis dalam kurung. Terjemahan ayat diambil dari Al-Quran dan Terjemahnya yang telah diterbitkan oleh Depag RI terlebih dahulu.

Penafsiran dimulai dengan menerangkan secara singkat kandungan surahnya. Informasi singkat seputar surah dipaparkan, misalnya nama surah (terkadang disebutkan dari mana penamaan surah itu berasal), jumlah ayatnya, apakah ia masuk kategori makiyah atau madaniyah, dan pokok-pokok isinya. Munasabah atau keselarasan isi antar ayat, antar topik, dan satu surah dengan surah selanjutnya juga diterangkan.

Terkait dengan penafsiran ayat per ayat, pada umumnya kesimpulan ayat-ayat sebelumnya diterangkan secara sekilas. Asbâb nuzûl atau kondisi yang melatar belakangi turunnya ayat juga dijelaskan. Jika ayat yang ditafsirkan mengandung masalah fiqh, maka kadang-kadang pendapat para sahabat, tabi’in dan ulama disebutkan.

Tafsir ini juga banyak mengeksplorasi kajian kebahasaan terkait etimologi kosa kata (satu kata berbahasa Arab seringkali memiliki banyak makna), derivasi dan kanjugasi kata, serta repetisi atau pengulangan kata tersebut (beserta turunannya berupa konjugasi dan derivasinya) dalam Alquran. Kajian kebahasaan ini banyak kita dapati di awal penafsiran ayat, misalnya dalam penafsiran ayat 1 dan 2 surah al-Fâtihah.viii

Dalam melakukan penafsiran banyak dicantumkan ayat Alquran dan hadis. Hal ini mempertegas corak bi al-ma’tsûr tafsir ini, di mana penjelasan suatu ayat dilakukan dengan mengaitkannya dengan ayat lain yang relevan dan dengan hadis.

Di akhir pembahasan dibuatkan kesimpulan berupa intisari dan nilai yang terkandung dalam ayat. Karena Tafsir ini bercorak hidaî, maka dalam kesimpulan akhir diketengahkan sisi-sisi hidayah dari ayat yang ditafsirkan.ix Poin-poin kesimpulan disebutkan dalam pointers dengan menggunakan angka, dengan redaksi yang singkat dan mudah dimengerti.


D. Bentuk dan Corak Tafsir

Tafsir Depag RI adalah tafsir bi al-ma’tsûr atau bi al-riwâyah, di mana penafsirannya berdasarkan nash-nash berupa ayat Alquran, hadis, serta pendapat sahabat dan tabi’in. Bentuk penafsiran seperti ini mengandalkan riwayat-riwayat yang telah ada, dengan tetap melakukan relevansi serta aktualisasi dengan kondisi sekarang.

Sementara ditinjau dari sisi coraknya tafsir ini adalah tafsir sunnî, yaitu tafsir yang menggunakan dasar-dasar atau prinsip-prinsip ahlus sunnah wal jamaah. Term ahlus sunnah di sini adalah Asy’ariyyah/Maturidiyyah sebagai pembanding dari syî’ah.

Tafsir ini mengangkat sisi kebahasaan (lugawî) sekaligus sisi filosofis (falsafi), hukum (ahkâm), dan logika ilmu pengetahuan (’ilmî). Terkait dengan penafsiran ayat hukum, tafsir ini mengunggulkan madzhab Syâfi’î dengan banyak menyebutkan dalil yang menguatkan madzhab ini. Misalnya saat menafsirkan kata ”qurû” dalam surah al-Baqarah ayat 228, tafsir ini cenderung mendukung pendapat yang mengartikannya sebagai suci, pendapat yang populer dalam madzhab Syâfi’î. Padahal dari sisi kebahasaan, arti quru` adalah suci dan hayd (menstruasi) sekaligus.x Hal yang serupa juga terjadi saat memaparkan perbedaan pendapat seputar pelafalan basmalah dalam surah al-Fâtihah, di mana Tafsir ini banyak menyebutkan dalil yang memperkuat pendapat madzhab Syâfi’î yang menyatakan bahwa basmalah adalah bagian dari al-Fâtihah.xi


E. Periwayatan Hadis Dalam Tafsir

Tafsir Depag RI banyak memuat riwayat (hadis) dengan berbagai variasi penukilannya. Idealnya, dalam menukil hadis kita menyebutkan redaksinya dalam bahasa Arab (matannya) beserta terjemahnya dan dengan menyebutkan sumber hadis itu (mukharrij) beserta penilaian atas kualitas hadis itu, baik penilaian tersebut merupakan penilaian sendiri maupun kutipan dari orang lain.

Jika diperlukan, nama perawi sahabatnya juga dicantumkan untuk membantu proses verifikasi dan penilaian atas kualitas hadisnya. Karena satu hadis terkadang diriwayatkan oleh lebih dari satu sahabat. Jika ada hadis yang diriwayatkan oleh lebih dari satu sahabat, maka penakhrîjan dilakukan atas hadis yang diriwayatkan oleh sahabat yang telah ditentukan.

Dalam banyak tempat, Tafsir ini melakukan penyebutan hadis (matan dan sanadnya) beserta mukharrij, perawi sahabatnya dan kualitas dari hadis itu sendiri. Namun demikian, tidak jarang penyebutan hadis dilakukan tidak seperti itu. Berikut adalah variasi penyebutan dan pengutipan hadis yang ada dalam Tafsir ini:
1.Mengisyaratkan hadis tanpa menyebutkan sama sekali redaksi atau matan hadisnya dan mukharrijnya. Misalnya saat menyatakan bahwa peletakan surah dalam Alquran adalah berdasarkan tawqîfi atau petunjuk dari Allah yang disampaikan kepada Nabi Muhammad.xii Pernyataan ini tentu berdasarkan fakta, dan fakta yang terkait hal-hal yang bersifat gaib pasti memiliki riwayat. Karena tidak mungkin informasi adanya ”petunjuk” Allah ini merupaka hasil perenungan seseorang, ijtihad, atau sekedar asumsi saja. Peristiwa ”penunjukan” letak surah-surah dalam Alquran pastilah berdasarkan kabar dan berita dari Rasulullah. Kabar dan berita ini terekam dalam riwayat-riwayat yang kita kenal sebagai hadis.
2.Menyebutkan terjemah hadis tanpa menyebutkan redaksi hadisnya (matannya) dalam berbahasa Arab. Misalnya saat menafsirkan ayat 71 surah al-Baqarah, Tafsir ini menyatakan: Dalam suatu hadis disebutkan, ”Kalau sekiranya mereka langsung menyembelih saja seekor sapi betina di kala mereka menerima perintah, cukuplah sudah. Tetapi mereka mengajukan pertanyaan yang memberatkan mereka sendiri, maka Allah pun memberatkannya” (Riwayat Ibnu Jarir dari Ibnu ’Abbas).xiii
3.Menyebutkan adanya riwayat tanpa penjelasan apakah riwayat itu marfû’ (dinisbatkan kepada Rasulullah) atau mawqûf (nisbatnya kepada sahabat), misalnya pada saat menafsirkan surah al-Fâtihah disebutkan: ”...Menurut riwayat, di sekitar Ka’bah terdapat 360 buah patung.”xiv
Dengan membaca redaksinya, kita akan dapati kemungkinan riwayat tersebut bersifat marfû’ atau mawqûf, karena bisa saja Rasululah memberitakan kondisi ini kepada sahabat, di waktu yang sama bisa juga sahabat itu yang mengisahkan apa yang dilihatnya pada masa sebelum Rasulullah di angkat menjadi rasul. Para sahabat senior seperti Abû Bakar dan ’Umar bin al-Khatab mengetahui kondisi Ka’bah sebelum kerasulan Muhammad didakwahkan.
Status hadis sebagai marfû’ dan mauqûf memiliki korelasi dengan kehujjahannya, di mana hadis yang berasal dari Rasulullah dipastikan menjadi hujjah, sementara jika hadis itu dinisbatkan kepada sahabat kehujjahannya masih diperdebatkan.
4.Menyebutkan hadis mawqûf tanpa penjelasan atas mukharrij hadisnya. misalnya saat memaparkan perbedaan terkait basmalah apakah ia termasuk ayat dalam al-Fâtihah atau bukan, dinyatakan: Abu Hurayrah juga salat dan mengeraskan bacaan basmalah. Setelah selesai salat, dia berkata: saya ini adalah orang yang salatnya paling mirip dengan Rasulullah.xv
5.Mengutip hadis dari mukharrij yang tidak populer, seperti ’Abd al-Qadir al-Rahâwî dalam masalah memulai perbuatan dengan membaca basmalah,xvi (sementara riwayat yang terekam dalam kitab populer adalah memulai perbuatan dengan hamdalah).
6.Menyebutkan matan hadis dan mukharrijnya tanpa penjelasan siapa perawi sahabatnya. Misalnya kutipan hadis ”Allah hanya sayang kepada hamba-hamba-Nya yang pengasih” (Riwayat at-Tabrânî).xvii Penyebutan perawi sahabat akan memudahkan proses takhrîj dengan menggunakan metode ”musnad”.
7.Menyebutkan hadis secara tidak lengkap seperti saat menafsirkan ayat 62 surah al-Baqarah disebutkan potongan hadis: ”Agar kamu beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan pada hari Kiamat, dan kamu percaya qadar baik atau buruk. (Riwayat Muslim dari ’Umar r.a.).xviii Kebolehan memotong hadis masih menjadi perdebatan di kalangan ulama.xix
8.Menyebutkan matan hadis, perawi sahabat yang meriwayatkannya beserta penilaian atas hadis tersebut. Misalnya saat memaparkan perdebatan seputar status basmalah dalam surah al-Fâtihah, Tafsir ini mengutip hadis yang diriwayatkan oleh Ahmad, Abû Dâwud, Ibnu Khuzaymah, dan al-Hâkim yang dijadikan dalil bahwa basmalah merupakan bagian dari al-Fâtihah. Di akhir kutipan hadis itu disebutkan penilaian dari al-Dâruqutnî bahwa hadis itu sanadnya sahîh.xx
9.Menyebut matan hadis beserta mukharrij dan perawi sahabatnya tanpa menyebutkan sanad dan kualitas hadis. Misalnya saat menyebutkan dalil yang mendukung pendapat bahwa basmalah tidak termasuk bagian dari surah al-Fâtihah, Tafsir ini mengutip hadis yang diriwayatkan oleh al-Bukhârî dan Muslim dari sahabat Anas bin Malik.xxi
Variasi cara penyebutan hadis ini, dalam satu sisi memang diperlukan agar tidak menimbulkan kejemuan pembaca. Namun di sisi lain, hal-hal prinsip dalam penukilan hadis tetap perlu dijaga.
Saat seseorang menyebutkan sebuah hadis, maka hadis itu haruslah sahîh, atau setidaknya hasan. Karena hanya hadis sahîh dan hasan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah sebagai dalil. Sementara jika hadis yang disebutkan kualitasnya da’îf, maka perlu dijelaskan keda’îfannya.xxii Atau jika kualitas hadisnya tidak disebutkan, maka sanadnya perlu dicantumkan agar pembaca dapat melakukan kajian lanjutan terkait penilaian atas kualitas hadis itu.
’Ali Mustafa Yaqub, salah seorang anggota tim, menyatakan bahwa penyebutan hadis da’îf dalam Tafsir ini dimungkinkan selama masih sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan oleh para ulama. Jika di kemudian hari terdapat kajian yang menyatakan bahwa ada hadis yang da’îf yang tidak sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan ulama, atau bahkan hadisnya mawdû’, maka kemungkinan dilakukan revisi dan perbaikan atas Tafsir ini selalu terbuka. Secara pribadi, Ali Mustafa Yaqub menyarankan pihak-pihak yang berkompeten agar melakukan kajian atas Tafsir ini, dan menyampaikan hasil kajiannya kepada pihak-pihak terkait.xxiii

F. Kualitas Riwayat
Penulis meneliti kualitas riwayat yang ada dalam Tafsir Depag RI. Ada 115 riwayat yang dikaji, yang terdapat dalam dua surah al-Fatihah dan al-Baqarah. Penelitian dilakukan pada aspek nisbat riwayat (marfû’, mawqûf, atau maqthû’), jenis periwayatannya (hadis atau sabab nuzul), dan kesahihannya. Berikut adalah perinciannya,
Pertama, berdasarkan nisbah:
1.Sebanyak 90 riwayat, atau 78% dari total riwayat yang dikaji, diasosiasikan kepada Rasulullah atau yang lebih dikenal sebagai hadis marfû’.
2.Riwayat yang diasosiasikan kepada sahabat, yang lebih dikenal sebagai hadis mawqûf, ada 23 riwayat atau 20% dari total riwayat yang dikaji.
3.Riwayat yang diasosiasikan kepada tabi’in, yang lebih dikenal dengan istilah hadis maqtû’, ada 1 riwayat atau 1%.
4.Dan 1 riwayat atau 1% total riwayat yang dikaji, penulis tidak mengetahui penisbatannya, karena sumber-sumber yang memuat periwayatannya tidak menyebutkan sanad.
Kedua, berdasarkan dengan jenis periwayatannya:
1.Sebanyak 84 riwayat, atau 73% dari total riwayat yang dikaji, merupakan hadis.
2.Sisanya sebanyak 31 riwayat, atau 27% dari total riwayat yang dikaji, masuk kategori Asbâb al-Nuzûl atau riwayat yang menjadi latar belakang turunnya ayat. Ketiga, berdasarkan kualitas:
1. Sebanyak 77 riwayat, atau 67% dari total riwayat yang dikaji, kualitasnya sahîh
2. Sebanyak 12 riwayat, atau 10% dari total riwayat yang dikaji kualitasnya hasan
3. Sebanyak 23 riwayat, atau 20% dari total riwayat yang dikaji, kualitasnya da’îf dengan 2 riwayat masuk kategori palsu
4. Dan 3 riwayat, atau 3% dari total riwayat yang dikaji, penulis tidak memberi penilaian karena ketiadaan sanad yang memungkinkan dilakukan kajian takhrîj.
Terkait dengan penyampaian riwayat, penulis mendapati beberapa kekurangan yang perlu diperbaiki oleh Tafsir ini, misalnya: Kesalahan pengutipan berupa penisbahan atau asosiasi riwayat kepada mukharrij yang ternyata tidak meriwayatkannya, pengutipan matan secara tidak tepat, kekeliruan dalam penyebutan perawi sahabat (seperti Abu Mas’ûd dikira Ibn Mas’ûd), kekurangcermatan berupa penyebutan hadis yang diriwayatkan oleh al-Bukhârî dan Muslim dengan pernyataan bahwa hadis itu diriwayatkan oleh hanya salah satu dari keduanya, kekurangcermatan berupa penyebutan bahwa al-Bukhârî dan Muslim meriwayatkan sebuah hadis, padahal sebenarnya hanya salah satu dari keduanya yang meriwayatkannya, penggunaan riwayat yang kurang kuat padahal ada riwayat lain yang dimiliki al-Bukhâri dan atau Muslim, atau riwayat lain yang lebih kuat.
Penelitian ini jelas tidak menggambarkan secara utuh tentang periwayatan yang ada dala tafsir Depag RI. Namun temuan-temuan yang penulis paparkan perlu mendapatkan perhatian dari pihak terkait agar tafsir ini menjadi lebih baik. Penulis menyarankan beberapa hal:
1.Pihak-pihak terkait melakukan kajian ulang yang komprehensif terkait keabsahan (kesahîhan) seluruh riwayat yang ada dalam kajian Tafsir ini. Selain dilakukan oleh Tim penulis Tafsir Depag itu sendiri, kajian ini juga melibatkan pihak-pihak lain yang berkompeten seperti kalangan akademisi di universitas dan pesantren.
2.Riwayat-riwayat yang da’îf dihilangkan dari Tafsir ini. Jika memang dianggap perlu untuk mencantumkan riwayat yang da’îf dalam Tafsir ini, maka hendaknya diberikan penjelasan yang lugas terkait keda’îfannya.
3.Pengutipan riwayat dilakukan secara cermat dan bertanggungjawab, dalam artian dijelaskan kualitas-kualitasnya (kesahîhannya), sumber rujukan (mukharrijnya), dan dengan memilihkan periwayatan yang lebih sahîh ketika ada lebih dari satu riwayat dalam satu permasalahan.

1 komentar:

  1. assalamualaikum mas klo boleh tau jurnal al burhan itu terbitan mna ?

    BalasHapus