ME...

ME...
MUSCAT-OMAN 2005

Selasa, 03 Juli 2012

RUMUSAN PENDIDIKAN BERBASIS MORALITAS MENURUT HADRATUSYAIKH HASYIM ASY’ARI: ANALISIS KITAB ADAB AL-’ALIM WA AL-MUTA’ALLIM

(Ringkasan artikel ini telah dimuat di Jurnal al-Burhan,vol. XII 2012) ”Sebuah buku yang menarik, estetik,ditulis secara ringkas dan mudah dipahami oleh siapapun. Isinya penting dan perlu dipelajari oleh setiap orang alim. Penulisnya jelas merupakan sosok mulia yang diridhai” (Abdul Hamid Sunbul Hadidy). Kemajuan sebuah bangsa berbanding lurus dengan kemajuan pendidikannya. Rumusan ini berlaku umum mengingat pendidikan adalah cara terbaik yang bisa digunakan untuk meningkatkan kualitas manusia. Dengan pendidikan, manusia menjadi tahu, dan dengan pendidikan pula pengetahuan itu berkembang. Karenanya, mendiskusikan pendidikan sejatinya merupakan ikhtiar strategis untuk memperbaiki dan meningkatkan kemajuan bangsa. Pendidikan itu sendiri bukan semata kumpulan catatan berisi kurikulum dan materi ajar, melainkan juga nilai-nilai kemuliaan yang terinternalisasi dalam diri manusia. Keberhasilan dari sebuah proses pendidikan, bisa dilihat dari perbaikan sikap dan sifat manusia yang menjadi peserta didik. Karena tujuan utama dari pendidikan adalah memperbaiki kualitas manusia, maka pendidikan yang berhasil akan menciptakan manusia berpengetahuan dan berakhlak mulia. Sebaliknya, pendidikan yang menciptakan manusia pintar namun bermental korup yang manipulatif, tidak bisa disebut sebagai sebuah keberhasilan. ”Kita ingin membuat gerakan baru, gerakan nasional untuk membuat kesadaran kolektif tentang pentingnya pendidikan moral, jati diri, karakter, budaya, akhlak mulia.” Demikian ungkap Mendiknas Muhammad Nuh. Penanaman moralitas yang terintegrasi dalam proses pendidikan dan pengajaran sedemikian penting, karena kecerdasan intelektual tanpa dikawal kecerdasan moral dan kecerdasan spiritual akan melahirkan pemimpin lalim, korup, dan tidak bermoral. Mengingat pentingnya moralitas sebagai landasan sistem pendidikan nasional, perlu rasanya kita mengulas konsep pendidikan yang ditawarkan oleh Hadratusyaikh Hasyim Asy’ari yang termaktub dalam buku yang ditulisnya: Adab al-’Alim wa al-Muta’allim. Hadratusyaikh adalah guru yang berhasil mendidik banyak pemimpin bangsa yang cerdas dan berakhlak mulia. Menurutnya, moralitas atau akhlaqul karimah merupakan esensi dari pendidikan, dan bahwa proses pengajaran ilmu harus terintegrasi dengan moralitas. Epistemologi Ilmu Pengetahuan Ilmu pengetahuan (bisa juga kita pahami bahwa ilmu berbeda dari pengetahuan), bisa diperoleh melalui dua hal: Belajar, dan ilham (termasuk wahyu). Secara epistemologis, keduanya berbeda dilihat dari sisi bagaimana ilmu itu diperoleh. Belajar adalah proses aktif seseorang mendapatkan pengetahuan dan ilmu tertentu, dengan tahapan-tahapan yang terstruktur. Keberhasilan seseorang dalam mendapatkan ilmu pengetahuan, biasanya berbanding lurus dengan proses belajar yang dijalaninya. Dari sini, proses belajar itu bisa direncanakan dan dievaluasi. Pencapaian ilmu yang diperoleh melalui mekanisme belajar juga bisa diukur dan diduplikasi. Lain halnya dengan ilham, yang merupakan proses “monolog” antara Tuhan dengan manusia. Tuhan diibaratkan sumber mata air yang mengalirkan air ke cawan yang disebut manusia. Ilmu pengetahuan yang diperoleh berdasarkan ilham tidak bisa distrukturisasi dan diukur. Ada hak prerogatif Allah Ta’ala yang menentukan siapa dan berapa besaran ilmu yang diberikan-Nya melalui ilham ini. Cara memperoleh ilmu berdasarkan ilham tidak bisa dipelajari sebagaimana ia tidak bisa dievaluasi. Namun demikian, hasil dari ilmu yang diperoleh melalui ilham bisa dirasakan selayaknya ilmu yang diperoleh melalui proses belajar. Para nabi merupakan contoh manusia yang mendapatkan ilmu melalu proses ilham, yang kita sebut sebagai wahyu. Rasulullah Muhammad menjelaskan banyak hal yang bersifat ghaib (eskatologis) dan tanabbuat (prophecy/perkiraan-perkiraan peristiwa yang akan terjadi di masa depan) yang diketahuinya tanpa melalui proses belajar. Bahkan, sekarangpun masih bisa kita temui manusia yang bukan nabi (dan tidak ada nabi diutus setelah Rasulullah Muhammad) yang memiliki keilmuan yang melebihi “titel” kependidikannya. Hal ini merupakan fakta yang kita ketahui bersama (common sense) yang tidak bisa dibantah. Alquran sendiri mengakui adanya dua cara memperoleh ilmu pengetahuan ini. Dalam surah al-‘Alaq ayat 1-5 dinyatakan manusia memperoleh pengetahuan melalui perantara al-qalam, “Bacalah dengan Nama Tuhanmu Yang telah Menciptakan. (Dia) menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah dan Tuhanmu adalah Maha Mulia. (Dia) Yang telah mengajarkan dengan perantara al-qalam. (Dia) Mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya”. Al-Qalam atau pena adalah simbol dari kegiatan membaca dan menulis. Keduanya merupakan inti dari kegiatan untuk memperoleh ilmu pengetahuan dengan cara yang konvensional, yaitu belajar. Di waktu yang sama, Alquran juga mengisahkan seorang laki-laki yang diberikan ilmu langsung dari Allah Ta’ala. Kisah ini termaktub dalam surah al-Kahf ayat 65, “Dan keduanya mendapati seorang hamba yang Kami berikan kepadanya rahmat dan kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami”. Proses memperoleh ilmu secara langsung dari Allah Ta’ala tanpa proses pembelajaran secara implisit dinyatakan dalam surah al-Baqarah ayat 282, “...Maka bertakwalah kalian kepada Allah, niscaya Allah akan memberi ilmu pada kalian...” Kedua cara dalam memperoleh ilmu ini, yaitu belajar dan ilham, tidak selayaknya diperbandingkan dan dipisahkan. Dalam artian bahwa setiap orang yang bisa mendapat ilmu dengan belajar, maka dirinya tidak usah lagi bertakwa. Tidak juga dipahami sebaliknya, di mana orang “dipersilahkan” malas belajar dengan asumsi bahwa ibadah semata bisa menjadikannya pintar. Memisahkan belajar dari konsep ketakwaan jelas merupakan sebuah kesalahan epistemologis yang fatal. Idealnya, kegiatan pembelajaran disertai dengan ketakwaan. Orang yang bertakwa bisa dengan mudah belajar dan memperoleh ilmu, karena ada “sinaran Ilahi” yang membuat kalbunya bersih. Ketakwaan juga bisa menimbulkan ketenangan mental dan spiritual yang mendukung proses pembelajaran sehingga ilmu pengetahuan bisa dengan mudah didapat dan meresap dalam jiwanya. Ketakwaan seseorang sebagai sebuah konsep hati memang bersifat abstrak, namun bisa dilihat melalui perilaku, sikap dan sifat yang kita sebut sebagai akhlak. Seseorang disebut bertakwa ketika ia memiliki akhlaqul karimah atau budi pekerti yang mulia. Dari premis seperti ini kita fahami bahwa pintu memperoleh ilmu adalah belajar dan berakhlak mulia. Hadratusyaikh Hasyim Asy’ari menyatakan bahwa kedua cara tadi, yaitu belajar dan akhlaqul karimah (ketakwaan), perlu dimiliki oleh siapapun yang terlibat dalam proses pembelajaran. Bukan semata murid, gurupun diminta memiliki ketakwaan agar proses transformasi ilmu yang dilakukannya berlangsung lancar. Sehingga tepat rasanya beliau menulis buku Adab al-’Alim wa al-Muta’allim yang diperuntukkan kepada guru dan murid. Mengenal Sosok Guru Besar Bidang Pendidikan Hadratusyaikh Hasyim Asy’ari lahir pada hari Selasa Kliwon, 24 Dzulqa’dah 1287 H bertepatan dengan 14 Februari 1871. Ia merupakan anak ketiga dari sebelas bersaudara. Kelahirannya ditandai dengan mimpi ibunya yang mendapati rembulan berada di pangkuannya. Jika diruntut dari sudut geneologi jalur ayahnya, tokoh yang memiliki nama asli Muhammad Hasyim merupakan keturunan dari Ahlu Syaiban yang dikenal sebagai klan para da’i. Dengan meruntut lebih ke atas, kita dapati nama Ja’far Shodiq bin Muhammad Baqir. Sehingga, Hadratusyaikh sejatinya merupakan keturunan Rasulullah yang lumrah disebut sebagai habib, sayyid, atau syarif. Sementara jika diruntut dari jalur ibunya yang bernama Halimah, disebutkan bahwa Hadratusyaikh merupakan keturunan dari raja Brawijaya yang dikenal sangat berwibawa dan berpengaruh di tanah jawa. Hadratusyaikh terlahir dari keluarga pesantren. Ayahnya yang bernama kiai Asy’ari merupakan pendiri dan pengasuh pesantren Keras di Jombang. Kakek dan buyutnya juga merupakan pengasuh pesantren. Dibesarkan di rumah kakeknya, Hadratusyaikh mengenal dengan baik dunia pesantren. Baru ketika usianya beranjak lima tahun, beliau tinggal bersama ayahnya dan belajar di pesantren Keras. Hadratusyaikh kecil dikenal sangat cerdas dan memiliki determinasi (ketekunan) yang tinggi. Tujuh tahun belajar, beliau dinyatakan layak mengajar kitab-kitab kuning. Saat itu kira-kira usianya baru menginjak tiga belas tahun di mana anak-anak sebayanya masih berfikiran lugu dan senang bermain. Pada usia lima belas tahun, Hadratusyaikh memulai rihlah ilmiah guna menambah ilmu dan wawasannya. Hadratusyaikh singgah dan belajar di pesantren Wonorejo, pesantren Wonokoyo, dan pesantren Langitan. Beliau juga ke Madura untuk berguru ke kiai Muhammad Cholil yang lebih dikenal dengan nama mbah Cholil Bangkalan. Beliau kemudian melanjutkan perjalanan studinya di pesantren Siwalan Panji di Sidoarjo. Terlahir, dibesarkan dan hidup di pesantren, telah membentuk kepribadian Hadratusyaikh sebagai sosok pendidik yang ulung. Pada tahun 1892 Hadratussyaikh menunaikan haji di tanah suci dan bersama istrinya tinggal di kota Mekkah selama beberapa bulan. Beliau kemudian ”mudik” ke tanah jawa dan berada di kampung halaman selama tiga bulan. Selanjutnya Hadratusyaikh kembali berangkat ke tanah suci dan belajar selama sekitar tujuh tahun. Pada tahun 1899 Hadratusyaikh kembali ke tanah air. Pada tahun ini pula beliau mendirikan pesantren Tebuireng yang mendapatkan pengakuan dari kolonial Belanda pada bulan Rabi’ul Awwal 1324 H bertepatan dengan Februari 1906. Tokoh yang tercatat sebagai pahlawan nasional ini mendirikan organisasi massa bernama Nahdlatul Ulama (NU) pada tanggal 16 Rajab 1344 H bertepatan dengan 31 Januari 1926. Sekarang NU merupakan organisasi massa terbesar di Indonesia. Hadratusyaikh Hasyim Asy’ari hidup di masa kolonialisme. Hal ini menuntut beliau untuk berjuang memperoleh kemerdekaan. Beliau adalah pahlawan nasional yang dikenang sebagai tokoh yang memimpin perjuangan melawan penjajah. Tidak kurang tokoh seperti panglima Soedirman dan Bung Tomo menjadikan Hadratusyaikh sebagai pemimpin spiritual yang memberikan arahan dalam perjuangannya. Namun demikian, beliau memahami bahwa kemerdekaan bukan semata terbebas dari penjajahan dan kolonialisme. Mengusir penjajah merupakan usaha yang sangat penting, dan yang lebih penting dari itu adalah bagaimana menyiapkan anak bangsa mengisi kemerdekaannya. Oleh karenanya, Hadratusyaikh memutuskan untuk menjadi pengajar dan pendidik. Sejatinya, Hadratusyaikh sudah menjadi pengajar dan pendidik saat usianya masih belia. Ketika menjadi santri, beliau juga diminta mengajar di pesantren. Perjalanan ”karir” yang panjang, menjadikan Hadratusyaikh sebagai pengajar dan pendidik yang ulung. Tidak aneh rasanya kita dapati banyak rekan Hadratusyaikh selama di pesantren, kemudian belajar dari Hadratusyaikh dan menjadi murid beliau. Banyak murid Hadratusyaikh yang menjadi tokoh nasional dan mengisi lini-lini kehidupan berbangsa dan bernegara. Hadratusyaikh memilih mendirikan pesantren sesaat setelah kepulangannya dari menuntut ilmu, karena pesantren telah terbukti berhasil melahirkan manusia-manusia pandai yang bermoral. Saat itu, pesantren merupakan satu-satunya lembaga pendidikan formal yang bisa diakses oleh seluruh anak bangsa. Sementara sekolah-sekolah yang didirikan oleh pemerintah kolonial bersifat eksklusif bagi keluarga keraton dan dimaksudkan untuk memperkuat kolonialisasi. Hadratusyaikh menulis banyak buku, beberapa sudah ditahqiq dan diterbitkan. Tulisan Hadratusyaikh membahas banyak tema, mulai hadis, fiqh, tafsir, akidah, dan akhlak. Hal ini menunjukkan keluhuran ilmu Hadratusyaikh Hasyim Asy’ari sebagai ulama ensiklopedis (al-’alim al-jami’). Pada tanggal 7 Ramadhan 1366 H sekitar jam 3 Shubuh tanggal 7 Ramadhan 1366 bertepatan dengan 25 Juli 1947 Hadratusyaikh wafat. Inna lillah wa inna ’ilayhi raji’un. Semoga Allah membalas amal baik Hadratusyaikh Hasyim Asy’ari dengan keridhaan-Nya. Buku Adab al-’Alim wa al-Muta’allim Melihat judulnya, kita bisa mengetahui gambaran isi sebuah buku. ”Etika Orang Yang Berilmu Dan Orang Yang Belajar” demikian judul buku itu jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Hadratusyaikh Hasyim Asy’ari menghendaki orang yang berilmu untuk mengetahuinya, sebagaimana orang yang menjadi murid mempelajarinya. Buku ini berisi tuntunan dalam melaksanakan proses pembelajaran secara utuh, baik di dalam maupun di luar kelas. Mungkin timbul pertanyaan: Mengapa Hadratusyaikh memilih kata ”al-’alim” yang bermakna orang berilmu dari pada kata ”al-mu’allim” yang berarti guru sebagai pembanding kata ”al-muta’allim” yang bermakna murid? Nampaknya Hadratusyaikh menghendaki siapapun yang menjadi guru, haruslah ia berilmu terlebih dahulu. Kita bisa pahami, bahwa guru bukan sekedar profesi yang bisa diperoleh oleh seseorang dengan berbekal ijazah kependidikan dan pengajaran. Guru haruslah berilmu, dan ijazah hanyalah bukti yang bersifat formalistik terhadap kompetensi seseorang dalam mendidik dan mengajar. Kesan yang muncul adalah bahwa banyak orang yang tidak berprofesi sebagai guru namun memiliki ilmu yang luas dan bisa mengajar, atau orang yang menjadi guru padahal sebenarnya ia belum layak untuk mengajar. Pemilihan kata ”al-’alim” dan ”al-muta’allim” juga bisa dipahami mengingat Hadratusyaikh merupakan pakar hadis. Nampak beliau melakukan iqtibas atau kutipan dari hadis untuk menamai bukunya tersebut. Dalam sebuah hadis kata “al-‘alim” dan “al-muta’allim” digunakan, العالم والمتعلم شريكان في الأجر “al-‘Alim (orang yang berilmu) dan al-muta’allim (orang yang belajar) keduanya bersekutu dalam pahala” (HR. Ibn Majah dari Abu Umamah). Dalam hadis lain didapati juga penggunaan keduanya, اغد عالما أو متعلما.... “Jadilah ‘alim (orang yang berilmu) atau al-muta’allim (orang yang belajar)” Buku Adab al-‘Alim wa al-Muta’allim terdiri dari sebuah prolog (khutbah), delapan bab, dan epilog. Berikut adalah ulasan dari isi dari buku tersebut. Prolog Buku Hadratusyaikh memulai bukunya dengan basmalah, hamdalah dan shalawat. Sebuah tradisi penulisan buku yang belaku umum di kalangan kaum muslimin. Kemudian beliau menyebutkan banyak riwayat yang isinya menjelaskan kewajiban orang tua untuk mengajarkan adab (akhlak) yang mulia kepada anaknya. Beliau menjelaskan betapa pengajaran akhlak itu perlu mendapat perhatian besar, karena akhlak mulia merupakan sari pati dari tauhid. Beliau dengan tegas menyatakan bahwa akhlak dan ilmu merupakan dua hal yang tidak terpisahkan. Motivasi penulisan buku, atau kitab, ini adalah kebutuhan para murid (santri) akan tuntunan akhlak yang dijelaskan secara terperinci. Beliau menilai akhlak sedemikian penting, namun banyak orang yang merasa ”samar” akannya. Buku ini menjadi rujukan bagi mereka. Bab I: Keutamaan Ilmu, Ulama, Mengajar, Dan Belajar Hadratusyaikh menafsirkan ayat 11 surah al-Mujadilah sebagai dalil bahwa ulama mendapatkan kemuliaan dikarenakan mereka memiliki ilmu dan mengamalkan ilmunya. Beliau menyebutkan Alu Imran ayat 18 untuk menggambarkan kemuliaan yang diterima ulama. Pada bab ini disebutkan juga hadis-hadis yang menerangkan bahwa ilmu adalah tanda kebaikan, kemuliaan derajat, dan bahwa ulama sejatinya merupakan pewaris para nabi. Hadratusyaikh menilai ulama memiliki sifat ”khasyah” atau takut kepada Allah Ta’ala, dan sifat tersebut adalah ciri sebaik-baik makhluk sebagaimana dikesankan dalam surah al-Bayyinah ayat 6-8 dan Fathir ayat 28 . Hadratusyaikh menerangkan kewajiban mencari ilmu dan keutamaan orang yang mau mengajar dan balajar. Beliau mengutip riwayat-riwayat yang menyebutkan kemuliaan majelis ilmu dan kegiatan belajar-mengajar. Belajar merupakan ibadah yang dijanjikan pahala besar oleh Allah Ta’ala. Pada bagian akhir, Hadratusyaikh mengutip banyak riwayat dan syair tentang pentingnya ilmu dan bahayanya kebodohan. Orang yang bodoh akibat kemalasannya, akan menjadi sumber petaka bagi dirinya sendiri dan bagi orang lain. Hadratusyaikh mengisyaratkan bahwa proses pembelajaran perlu mendapatkan perhatian semua pihak, bukan semata menjadi urusan pribadi orang perorang. Pada bab ini, Hadratusyaikh menambahkan satu fashal (sub bab) untuk mengingatkan bahwa keutamaan-keutamaan ilmu tersebut diperuntukkan bagi ulama yang ikhlas dan mau mengamalkan ilmunya. Beliau menyebutkan riwayat-riwayat yang isinya ancaman bagi mereka yang mempermainkan ilmu, juga yang menjadikan pembelajaran (belajar-mengajar) untuk riya dan pamrih duniawi. Bab II: Etika Murid Terhadap Dirinya Pada bab ini, Hadratusyaikh menjelaskan sepuluh etika yang harus dimiliki dan dipegang teguh oleh murid. Beliau memulai dengan penjelasan bahwa akidah yang lurus dan hati yang bersih merupakan pijakan pertama dalam proses mencari ilmu. Selanjutnya, beliau menerangkan etika kedua yaitu bahwa setiap murid perlu menjaga keikhlasan hatinya selama belajar. Sifat riya dan segala macam motivasi duniawi wajib dihindari oleh siapapun yang sedang mencari ilmu. Etika yang ketiga adalah menyegerakan diri untuk mencari ilmu dan bersungguh-sungguh dalam belajar. Pada etika keempat, Hadratusyaikh mengingatkan pentingnya kesederhanaan makanan dan pakaian sebagai faktor yang mendukung keberhasilan dalam belajar. Etika kelima adalah optimalisasi waktu dalam belajar. Menurut beliau, waktu terbaik untuk menghafal adalah pertengahan akhir malam hari yang dikenal sebagai waktu sahur. Sementara untuk belajar dan mengaji adalah pagi hari. Kemudian, waktu terbaik untuk menulis pelajaran (dan juga buku) adalah siang hari, dan untuk mengulang pelajarannya malam hari. Hadratusyaikh memberikan tips belajar efektif, yaitu menjauh dari sumber kebisingan dan keramaian yang bisa mengalihkan konsentrasi belajar. Pada etika keenam, Hadratusyaikh mengingatkan murid untuk memperhatikan makanannya. Bahwa makan dan minum berlebihan akan mengganggu pembelajaran, dan bisa menimbulkan penyakit. Selanjutnya, Hadratusyaikh mengajak murid untuk bersifat wara’ dengan cara meninggalkan segala perbuatan haram dan makruh, serta dengan memastikan kehalalan seluruh makanannya, pakaiannya, tempat tinggalnya, dan kebutuhan sehari-harinya. Sifat wara’ akan membuat hati disinari oleh Allah Ta’ala dan hal ini memudahkan proses penerimaan ilmu. Seakan menyatakan besarnya pengaruh makanan terhadap pembelajaran, pada etika kedelapan Hadratusyaikh mengajak murid untuk menghindari makanan yang bisa membuat tumpul otak seperti buah yang masam dan cuka. Hadratusyaikh juga mengingatkan kita bahwa melakukan perbuatan sia-sia bisa mengganggu pembelajaran. Etika kesembilan adalah cukup istirahat. Berlebihan tidur membuat otak tumpul, sebagaimana kurang istirahat juga bisa menyebabkan hal yang sama. Hadratusyaikh menyatakan bahwa berhibur diri juga perlu, ketika murid sudah mencapai proses jenuh dalam belajar. Terakhir, Hadratusyaikh mengingatkan kita untuk cermat memilih teman. Bab III: Etika Murid Kepada Gurunya Pada bab ini, Hadratusyaikh menjelaskan dua belas etika murid terhadap gurunya. Pertama seorang murid haruslah selektif dalam memilih guru yang menjadi sumber ilmu dan teladan akhlaknya. Hadratusyaikh menyebutkan ahliyyah (kompetensi), syafaqah (rasa kasih sayang), muruah (kepribadian luhur), shiyanah (terjaga dari dosa dan keburukan, dan profesionalitas dalam mengajar sebagai bahan pertimbangan dalam memilih guru. Hadratusyaikh menyatakan bahwa guru yang baik adalah orang yang melewati proses pembelajaran dari guru yang juga baik. Ia haruslah sosok manusia yang memiliki wawasan luas. Ketiga, seorang murid hendaknya senantiasa dekat dengan gurunya dan taat terhadap tuntunannya. Murid yang baik seperti pasien yang patuh terhadap dokter yang merawatnya. Ia senantiasa menghormati gurunya, dan berupaya memperoleh ridhanya. Hadratusyaikh menjadikan pandangan hormat dan i’tikad bahwa guru adalah sosok manusia yang mulia sebagai etika keempat. Etika kelima, seorang murid harus memahami hak guru, mengingat kebaikannya, mendoakannya beserta keluarganya. Selanjutnya, seorang murid diminta bersabar jika ia mendapati dari gurunya sesuatu yang menurutnya tidak baik. Ia harus berperasangka baik kepada gurunya. Apa yang dilihat dari gurunya tidak baik, haruslah ditakwilkan dan diprasangkakan baik. Ketujuh, seorang murid meminta izin ketika hendak menemui guru di luar jam pembelajaran. Ketika mengetuk pintu, hendaknya ia menggunakan jarinya agar tidak menimbulkan suara yang gaduh. Murid menemui dengan kondisi bersih, berpakaian baik, dan mengenakan sedikit wewangian. Sebisa mungkin ia berlaku santun di hadapan gurunya. Kedelapan, seorang murid mengikuti pembejaran dengan baik dan sungguh-sungguh. Hal ini nampak dari bagaimana ia duduk, konsentrasi terhadap pelajaran, dan merespon pertanyaan dan pernyataan gurunya. Murid harus menghindari sikap dan perbuatan yang mengganggu proses belajar mengajar. Hadratusyaikh menjadikan kesantunan berbicara dan menyampaikan pendapat dalam etika kesembilan, terutama saat ia hendak menyampaikan pendapat yang bertentangan dengan pendapat guru. Masih menitikberatkan kesantunan, Hadratusyaikh menyebutkan etika kesepuluh terkait bagaimana sikap seorang murid saat mendengar penjelasan dari guru yang sudah pernah didengarnya. Hadratusyaikh mengingatkan murid untuk tetap menunjukkan antuasiasmenya seakan ia belum pernah mendengar dan mengetahui penjelasan itu. Kesebelas, seorang murid tidak mendahului perkataan guru sebagaimana ia diharap tidak ”melangkahi” gurunya dalam menjawab pertanyaan atau memberikan penjelasan. Murid diharapkan fokus terhadap pengajaran dan merespon pertanyaan gurunya. Hadratusyaikh mengingatkan murid agar tidak melamun sehingga guru perlu menyapanya dua kali atau menanyakan sesuatu dua kali akibat murid tidak mendengarnya. Terakhir, Hadratusyaikh mengingatkan murid untuk selalu menggunakan tangan kanannya ketika menerima sesuatu dari guru. Kalau posisi dirinya dengan guru berjauhan, maka murid yang harus berdiri dan menghampiri guru. Murid harus sigap dalam menyiapkan hal-hal yang diperlukan guru, termasuk menyiapkan sandal guru ketika ia berkehendak meninggalkan majelis pengajaran. Hadratusyaikh juga menjelaskan etika berjalan bersama guru, di mana murid berada di belakang guru, kecuali ketika perjalanan dilakukan di tempat yang asing atau berbahaya. Hadratusyaikh menjelaskan etika berkendara bersama guru, dan beliau mengakhiri penjelasannya terkait etika murid ketika ia tahu bahwa pendapat gurunya salah. Bab. IV: Etika Murid Dalam Pembelajarannya Pada bab ini, Hadratusyaikh menerangkan 13 etika yang perlu dimiliki murid dalam pembelajarannya. Pertama, seorang murid harus mendahulukan pembelajaran ilmu yang fardhu ayn, yaitu ilmu tauhid (ma’rifah Dzat Allah dan Sifat-Nya), fiqh, dan akhlak/tasawuf (ahwal, maqamat, dst). Kedua, murid mempelajari Alquran termasuk tafsirnya, baru kemudian mempelajari ilmu penunjang seperti nahwu dan sharf. Ilmu-ilmu penunjang dikaji secara ringkas, bukan pendalaman. Murid membaca Alquran setiap hari dengan istiqamah dan menjaga hafalan Alqurannya. Ketiga, murid menjauhkan diri dari mempelajari ikhtilaf dan perdebatan kecuali jika ia sudah menguasai ilmu-ilmu yang dibutuhkan. Murid mempelajari satu disiplin ilmu dengan baik, seperti mempelajari satu mazhab fiqh saja sebelum ia mempelajari perbandingan mazhab. Kemudian (etika keempat), murid harus memastikan keshahihan ilmu sebelum ia menghafalnya. Kelima, murid memulai belajarnya di usia muda khususnya dalam mempelajari hadis. Dalam konteks ini, murid juga mempelajari ilmu hadis dan kajian atas sanadnya. Hendaknya ia memulai kajiannya dengan Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim, dilanjutkan dengan kitab-kitab primer (ushul) yang terpercaya semisal al-Muwattha’ karya Malik. Keenam, setelah mengetahui penjelasan dari ilmu-ilmu yang dipelajarinya, ia mulai membaca kitab-kitab penjelas (mabsuthat). Seorang murid diharapkan memiliki cita-cita tertinggi, dan jangan merasa puas terhadap ilmu yang telah dia ketahuinya karena pasti ia hanyalah sedikit. Ia menggunakan segala kesempatan yang tersedia dengan baik untuk menimba ilmu sebanyak mungkin. Ketujuh, murid haruslah istiqamah mengikuti seluruh pembelajaran yang diberikan gurunya. Ia harus memiliki skala prioritas ilmu yang akan dipelajarinya. Ilmu yang telah diperolehnya secara berulang-ulang dipelajari lagi agar meresap. Sebaik-baik waktu mengulang pelajaran adalah malam hari. Kedelapan, ketika memasuki dan meninggalkan majelis ilmu hendaknya murid mengucapkan salam. Ia duduk di tempat yang tersedia, dengan tidak mengganggu orang lain yang datang sebelumnya. Ia tidak duduk di tengah-tengah orang yang sudah duduk berkelompok, atau di antara dua shahabat karib, atau posisi duduknya lebih tinggi di atas orang yang lebih utama darinya. Kesembilan, murid tidak malu untuk bertanya. Ia bertanya dengan santun dan beretika. Ia juga tidak malu untuk menyatakan bahwa dirinya tidak tahu, ketika guru bertanya dan dirinya memang tidak tahu. Kesepuluh, murid mengetahui urutannya ketika ia dan murid yang lain mengajukan pertanyaan atau mendapatkan penjelasan. Murid jangan memaksakan diri memperoleh jawaban dari pertanyaan sebelum murid lain yang bertanya sebelumnya memperoleh jawaban. Kesebelas, ia duduk mengikuti pelajaran dengan baik, membawa buku atau catatan milik sendiri, dan tidak meletakkan buku di atas lantai/tanah. Ia membaca buku setelah mendapat izin dari guru, dan tidak membaca di hadapan guru yang perasaannya sedang tidak enak. Ia memulai membaca buku dengan isti’adzah, basmalah, dan shalawat yang dilanjutkan dengan doa bagi guru dan pengarang buku serta seluruh kaum muslimin. Kedua belas, murid tidak berpindah dari satu buku atau satu ilmu kecuali ia sudah menguasainya. ia juga tidak berpindah dari satu tempat belajar ke tempat lain yang bisa mengganggu konsentrasi dan fokusnya dalam belajar. Selama belajar, murid bertawakkal dan tidak perlu mengkhawatirkan hal lain utamanya masalah ekonomi (rezeki). Ia diharap tidak berdebat yang bisa menyia-siakan waktunya dan menambah kotor hati. Selama belajar, ia tidak bergaul dengan orang-orang yang senang merusak dan bermaksiat. Saat belajar ia menghadap kiblat, dan senantiasa mengamalkan sunnah Rasulullah. Ia diharapkan memperbanyak shalat yang dilakukannya dengan khusyu’. Ketiga belas, murid memotivasi murid-murid lainnya dalam belajar. Ia membantu sebisa mungkin apa yang mereka butuhkan, dan menunjukkan hal-hal yang bisa membantu mereka dalam belajar. Yang demikian ini akan memberikan keberkahan pada ilmu yang didapatnya. Bab V: Etika Orang Alim Terhadap Dirinya Hadratusyaikh menyebutkan dua puluh etika yang harus dimiliki oleh orang alim. Pertama, ia harus senantiasa ingat dan sadar bahwa Allah mengawasinya. Kedua, ia selalu takut kepada Allah, utamanya terhadap ilmu yang dititipkan Allah pada dirinya. Ketiga sampai keenam, ia harus menjaga ketenangan diri, sifat wara’ (menghindari hal-hal yang syubhat), tawadhu’ (rendah hati), dan kekhusyuan. Ketujuh, seorang alim harus menjadikan Allah sebagai tujuan dan tempat bersandar dalam hidupnya. Kedelapan, ia tidak menjadikan ilmunya sebagai tangga menuju kekayaan dan kejayaan duniawi. Kesembilan, ia tidak memuliakan manusia yang orientasi hidupnya adalah dunia. Kesepuluh, ia selalu menjaga sifat zuhud dan qana’ah dalam batasan kewajaran. Selanjutnya seorang alim hendaknya menghindari melakukan dan memiliki pekerjaan yang kurang terhormat dalam pandangan syariat dan sosial masyarakat Kedua belas, seorang alim menghindari hal-hal yang bisa menimbulkan salah duga dan hal-hal yang bisa merendahkan muruahnya (kehormatannya). Jika dianggap perlu, ia bisa menyampaikan klarifikasi atas apa yang telah dilakukannya sehingga tidak ada orang yang berdosa akibat memiliki prasangka buruk terhadapnya. Ketiga belas, seorang alim wajib menjaga syiar Islam seperti shalat berjamaah di masjid, menyebarkan salam, amar ma’ruf nahi munkar, dan tidak takut celaan orang dalam mengamalkan syariat Allah. Ia harus sabar dalam mengemban amanah itu sebagai konsekuensi menjadi orang yang berilmu. Keempat belas, seorang alim senantiasa menampakkan pelaksanaan sunnah Rasulullah dan upayanya dalam memberangus bid’ah. Semua yang dilakukannya harus berdasarkan kepentingan dan kemashlahatan kaum muslimin. Ia diharap selalu melakukan perbuatan yang terbaik, karena dirinya adalah teladan (role model) bagi masyarakat. Apa yang dilihat oleh orang awam darinya, akan dianggap sebagai ajaran Islam itu sendiri. Karenanya ia harus melakukan hal yang terbaik, bukan sekedar yang boleh. Kelima belas, dirinya senantiasa istiqamah melakukan amalan sunnah. Alquran senantiasa dibaca dan dzikir selalu menghiasi bibirnya. Ia membaca doa-doa ma’tsur harian yang diajarkan Rasulullah Keenam belas, ia selalu memperlakukan orang dengan mulia. Wajahnya selalu cerah dengan senyuman. Sebisa mungkin ia menahan amarahnya, dan menolong orang lain. Ketika melihat seseorang melakukan kekeliruan, ia memberikan pengajaran dengan santun. Ketujuh belas, seorang alim senantiasa menyucikan zahir dan batin dari dirinya dari akhlak yang rendah. Sifat-sifat buruk dihindari seperti dengki, keras kepala, marah tanpa alasan, riya, sombong, pelit, mencari-cari kejelekan orang lain, fanatisme buta, adu domba, gunjing, dan lalai akan aib sendiri. Ia harus senantiasa mengingat ayat dan hadis yang menjeaskan bahaya sifat-sifat buruk, dan memperbanyak doa agar Allah menjaganya dari sifat-sifat buruk tersebut. Kedelapan belas, seorang alim senantiasa menjaga motivasinya dalam belajar dan mengamalkan ilmu. Ia menghindari hal-hal yang tidak perlu dilakukan. Kesembilan belas, ia tidak segan mendapat ilmu dari orang yang derajatnya lebih rendah (misalnya dari muridnya) atau yang usianya lebih muda. Dan etika terakhir (kedua puluh), seorang alim harus menulis dan berkarya. Bab VI: Etika Orang Alim Terhadap Pembelajarannya Seorang alim mendatangi majelis ilmunya dalam keadaan suci dari hadas dan najis. Ia mengenakan pakaian yang layak sesuai dengan kemuliaan dirinya, dan menggunakan wewangian sewajarnya. Hal itu dilakukan demi memuliakan ilmu yang diamanahkan kepadanya. Pembelajaran atau pengajaran yang diberikannya, semata diniatkan untuk memperoleh keridhaan Allah Ta’ala dan menjaga Agama. Saat keluar dari rumah, seorang alim berdoa dengan doa-doa yang diajarkan Rasulullah. Sesampainya di majelis ilmu, ia mengucapkan salam kepada para jamaah (murid-muridnya). Ia duduk menghadap kiblat, dengan menjaga ketenangan dan kewibawaan selama mengajar. Ia menjaga pergerakan tangan dan anggota tubuhnya, utamanya mata, dari hal-hal yang tidak perlu. Gurauan dan tertawa hendaknya dihindari, karena bisa mengurangi kewibawaannya. Seorang alim menghindari mengajar saat dirinya dalam keadaan lapar, mengantuk, dan perasaan hati tidak enak. Kondisi lingkungan seperti cuaca juga perlu diperhatikan. Ia memuliakan murid-muridnya sesuai kedudukan masing-masing, dan tidak berlaku pilih kasih terhadap mereka. Pengajaran dimulai dengan pembacaan Alquran, yang dilanjutkan doa untuk dirinya sendiri dan seluruh hadirin beserta kaum muslimin. Kemudian ia membaca isti’adzah, basmalah dan shalawat. Jika ia mengajar banyak disiplin ilmu dalam satu majelis, maka hendaknya ia memulai pengajaran ilmu yang paling mulia seperti tafsir Alquran dan hadis. Wacana yang kontroversial dihindari untuk diangkat dalam pengajaran. Seorang alim tidak memperpanjang penjelasan yang menimbulkan kejemuan. Suaranya dijaga, sebatas kewajaran yang bisa didengar oleh seluruh murid-muridnya saja. Ia menyampaikan penjelasannya dengan perlahan dan sistematis, sehingga bisa dicerna dengan baik oleh murid-muridnya. Jika perlu, ia mengulang-ulang penjelasannya. Tempat-tempat yang bising tidak bisa dijadikan majelis ilmu, karena bisa mengakibatkan penerimaan informasi yang salah. Sebisa mungkin, ia menghindari perdebatan yang tidak perlu. Jika ada orang yang ‘ngeyel’ atau mengganggu pembelajaran, ia wajib menegurnya. Ketika ada pertanyaan yang tidak diketahui jawabannya, seorang alim tidak malu menyatakan bahwa dirinya tidak tahu. Seorang alim memberikan perhatian khusus bagi murid yang belum dikenalnya yang datang dari tempat yang jauh. Namun, perhatian itu bukan dimaknai selalu memandanginya, karena hal itu justru bisa membuat gugup. Seorang alim mengakhiri pembelajarannya dengan ucapan “Allah A’lam”. Sehingga pembelajarannya dimulai dengan dzikr (menyebut) Allah dan diakhiri juga dengan dzikr. Ia tetap di tempatnya sampai murid-muridnya keluar, agar ia tidak berdesak-desakan dengan mereka. Ketika hendak berdiri meninggalkan majelis ilmunya, ia membaca doa kaffarah majelis. Bab VII: Etika Orang Alim Terhadap Muridnya Bab ini memuat empat belas etika. Pertama, tujuan mengajar adalah keridhaan Allah Ta’ala, menyebarkan ilmu, dan menghidupkan syariat. Pengajaran merupakan perbuatan yang mendapat ganjaran pahala, dan berkah doa dari orang-orang yang mempelajarinya. Kedua, seorang alim tidak melarang murid yang belum memiliki niat yang ikhlas karena keberkahan ilmu bisa memunculkan niat yang baik (ikhlas). Namun demikian, seorang alim akan senantiasa mengingatkan dan mengajarkan muridnya agar mempunyai niat yang ikhlas. Ketiga, ia mencintai bagi murid-muridnya apa yang dicintai bagi dirinya sendiri. Demikian juga sebaliknya, ia membenci bagi murid-muridnya apa yang dia benci bagi dirinya. Karenanya, seorang alim akan berupaya membantu muridnya, sayang terhadap mereka, dan sabar terhadap hal-hal yang ada pada murid yang tidak disukainya. Ia perlu mengingat bahwa manusia pasti memiliki kekurangan, termasuk dalam masalah adab. Keempat, seorang alim mempermudah muridnya yang ingin menemuinya. Ia menyampaikan pengajaran dengan bahasa yang dimengerti murid-muridnya. Ia tidak enggan menyampaikan ilmu yang diketahuinya. Seorang alim tidak mengajarkan ilmu yang belum bisa diterima oleh muridnya. Ketika ada murid yang bertanya sesuatu yang menurutnya belum layak diketahuinya, seorang alim tidak menjawab dengan menjelaskan bahwa murid tersebut tidak atau belum boleh mempelajarinya. Seorang alim bisa saja mengajukan pertanyaan untuk dijawab oleh murid-muridnya dengan berangkat dari dalil dan ilmu yang baru diajarkannya.. Kelima, seorang alim menjelaskan pelajaran dengan sederhana. Ia bisa menggunakan pendekatan contoh dalam memberikan penjelasan, sebagaimana ia bisa mengulang-ulang pelajaran sehingga murid-muridnya faham. Keenam, seorang alim meminta murid-muridnya mengulang-ulang pelajaran, dan ia memberikan ujian (test) kepada mereka. Ketujuh, seorang alim menasihati muridnya yang berlebihan dalam menuntut ilmu agar berlaku sewajarnya dan tidak menyiksa diri. Jika muridnya nampak jenuh, ia menyuruhnya untuk beristirahat. Etika selanjutnya, seorang alim akan memperlakukan semua muridnya dengan sama tanpa pandang bulu dan membeda-bedakan. Kesembilan, seorang alim mengasihi murid-muridnya. Ia menanyakan perihal murid yang tidak hadir dalam majelisnya. Karenanya, seorang alim diharapkan mengenali murid-muridnya secara personal. Ia menjaga akhlak dan perilaku murid-muridnya, dan menegur murid yang melakukan perbuatan terlarang. Teguran yang diberikan di majelis ilmu dilakukan tanpa menjelaskan secara lugas siapa murid yang sedang ditegur, namun murid yang bersangkutan mengetahui bahwa dirinya sedang ditegur. Kesepuluh, seorang alim mentradisikan murid-muridnya dengan kebiasaan mulia seperti mengucapkan salam ketika bertemu, kesantunan dalam berbicara, dan bekerja sama dalam kebaikan dan takwa. Kesebelas, seorang alim senantiasa membantu murid-muridnya. Kedua belas, ketika ada murid yang sering tidak hadir, ia menanyakan kabarnya bahkan jika perlu mengunjunginya. Jika murid itu sakit, ia menjenguknya. Jika murid itu sedang kesusahan ia membantunya. Ia mengupayakan kebaikan untuk murid-muridnya walau sekedar doa. Ketiga belas, seorang alim senantiasa santun dan rendah hati terhadap muridnya. Dan keempat belas, seorang alim menghormati murid-muridnya dan memanggil mereka dengan panggilan yang disenangi oleh mereka. Dengan tersenyum, ia menyambut kedatangan muridnya. Ia menanyakan kabar muridnya dan kabar keluarganya sebagai salah satu perwujudan kepedulian dan rasa kasih sayang. Bab VIII: Etika Terhadap Buku Ada lima etika yang disebutkan Hadratusyaikh pada bab terakhir ini. Pertama, murid hendaknya memegang kitab yang dikaji, baik dengan cara membeli maupun meminjam. Karena buku adalah media pembelajaran. Kedua, jika memungkinkan seseorang diharap meminjamkan kitab kepada orang yang membutuhkan. Orang yang dipinjami perlu menyampaikan rasa terima kasihnya dan segera mengembalikannya setelah kitab tersebut selesai dikaji. Kitab yang dipinjamnya, tidak dipinjamkan kepada orang lain dan tidak ditulisi apapun. Ia harus ingat bahwa dirinya tidak layak mengutip atau menyalin isi kitab kecuali seizin pemiliknya. Ketiga, ketika menyalin atau menuliskan ulang, kitab tidak digeletakkan begitu saja di atas lantai. Kitab dimuliakan karena berisi ilmu yang dimuliakan. Upaya untuk memuliakan buku ini juga berlaku pada masalah penyimpanannya. Etika selanjutnya, jika bukunya ada kekurangan lembar, atau urutannya tidak benar, maka orang yang memegangnya perlu memperbaikinya. Kelima, ketika seseorang menyalin kitab yang berisi ilmu-ilmu syariah, maka hendaknya ia dalam keadaan suci dan menghadap kiblat. Setiap bab yang ditulis dimulai dengan basmalah. Jika buku yang disalin dimulai dengan hamdalah dan shalawat, maka orang yang menyalin tetap dianjurkan memulai tulisannya dengan basmalah (sebelum hamdalah dan shalawat tadi). Dalam proses penyalinan dan penulisan, kaedah penulisan perlu diterapkan dengan tepat. Setiap menulis lafal jalalah ”Allah” hendaknya diikuti dengan penghormatan berupa kata ”Ta’ala” atau ”Azza wa Jalla”, sebagaimana nama Rasulullah diikuti dengan ”shallalahu ’alayhi wa sallam”. Shalawat yang ditulis setelah nama Rasulullah tidak disingkat menjadi ”SAW”. Demikian pula ketika menulis nama shahabat diikuti ”radhiya Allah ’anhu” dan nama ulama diikuti dengan ”rahmah Allah ’alayhi”. Epilog Buku Hadratusyaikh menerangkan bahwa buku ini selesai ditulis pada waktu pagi, hari Senin tanggal 22 Jumada al-Tsaniyah tahun 1343 H. Penutup Buku Adab al-’Alim wa al-Muta’allim memuat banya sekali rujukan berupa ayat-ayat Alquran dan riwayat hadis. Hal ini menggambarkan kepada siapapun yang membacanya betapa luas ilmu dan wawasan yang dimiliki Hadratusyaikh Hasyim Asy’ari. Bahasa yang digunakan sederhana dan mudah difahami. Etika yang diajarkan sangat mungkin untuk diterapkan oleh siapapun. Bab-bab yang ditulis oleh Hadratusyaikh, memberikan pemahaman bahwa keberhasilan proses pendidikan dan pengajaran itu terkait dengan tiga komponen: Pengajar, murid, dan media ajar (yang difahami sebagai buku atau kitab). Ketiganya perlu diketahui hak dan kewajibannya sebagai sebuah konsep pendidikan yang terintegrasi dengan moralitas (akhlaqul karimah). Buku ini berhasil memberikan gambaran akan urgensi akhlak yang mulia dalam proses pendidikan dan pengajaran. Bahwa dengan melihat sejarah kita dapati fakta bahwa orang-orang yang berhasil adalah mereka yang memiliki ilmu yang tinggi dan akhlak yang mulia. Tanpa akhlak yang mulia, orang yang berilmu akan membawa bencana dan madharat bagi orang lain. Koruptor, bandar narkoba, dan penjahat lintas negara bukanlah orang bodoh, namun justru orang-orang jenius yang tidak bermoral sehingga ilmunya digunakan untuk kejahatan dan kehancuran umat manusia. Karenanya, pendidikan dengan berbasis moral menjadi kewajiban yang tidak bisa ditawar lagi. Karena dengan moral aksiologi ilmu terjaga, yaitu untuk menciptakan dan menyebarluaskan kebaikan dan kemashlahatan di tengah-tengah umat manusia. DAFTAR BACAAN Mushaf Alquran al-Karim www.diknas.go.id www.mahadalytebuireng.wordpress.com www.nu.or.id Al-Haytsami,’Alî bin Abû Bakar, Majma’ al-Zawâid wa Manba’ al-Fawâid, Beirut: Dâr al-Kitâb al-‘Arabî,1407 H. Hasyim Asy’ari, Muhammad, Adab al-‘Alim wa al-Muta’allim, ttp, tth. Al-Qazwînî, Muhammad bin Yazîd Ibn Majah, Sunan Ibn Mâjah, Beirut: Dâr al-Fikr, tth al-Thabrany Sulaiman bin Ahmad, al-Mu’jam al-Kabir, (Musol: Maktabah al-‘Ulum wa al-Hikam, 1983), cet. II.

MATERI ULUMUL HADIS 2


1.Etika pelajar hadis (thalib al-hadits), pakar hadis (muhaddits), dan majelis periwayatan hadis
2.Tata cara periwayatan hadis atau al-tahammul wa al-ada' (al-sima', al-qiraah, al-ijazah, al-munawalah, al-wijadah, al-washiyyah, dan i'lam)
3.Riwayah bi al-ma'na wa ikhtishar al-hadits
4.Al-Jahalah (al-mubham, jahalah al-'ayn, jahalah al-hal/mastur)
5.Mushahhaf wa muharraf (ketelitian dalam harakat dan titik dalam kata)
6.Mukhtalaf al-hadits (al-jam', al-naskh, al-tarjih, al-tawaqquf)
7.Konsepsi shahabat dan tabi'in: kajian atas hadis mursal
8.Mudabbaj (riwayah al-aqran, riwayah shahabi 'an shahabi akhar, riwayah shahabi 'an tabi'in, riwayah al-aba' an al-abna, riwayah al-abna 'an al-aba)
9.Ma'rifah tarikh wafayat, rihlah fi thalab al-hadits, al-buldan)
10.Shahih li ghayrihi, hasan li ghayrihi, shahih muhtaff bi al-qarain

sumber:
1. Tadrib al-Rawi karya al-Suyuthi
2. Taysir Mushthalah al-hadis karya al-Thahhan
3. literatur lain yang relevam

Contoh Hadis-hadis Yang Menjadi Objek Kajian Dalam Mata Kuliah Metode Memahami Hadis

كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلًا مَرْبُوعًا بَعِيدَ مَا بَيْنَ الْمَنْكِبَيْنِ عَظِيمَ الْجُمَّةِ إِلَى شَحْمَةِ أُذُنَيْهِ عَلَيْهِ حُلَّةٌ حَمْرَاءُ مَا رَأَيْتُ شَيْئًا قَطُّ أَحْسَنَ مِنْهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ، أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَخَلَ يَوْمَ فَتْحِ مَكَّةَ، وَعَلَيْهِ عِمَامَةٌ سَوْدَاءُ يُعَذَّبُ الْمَيِّت بِبُكاءِ أهْلِهِ عَلَيْه عَلَيْكُمْ بالأدْهَم الأقْرَح مَنْ كاَنَ لَهُ شَعْرٌ فَلْيُكْرِمْه نِعْمَ الإدَامُ الخَلّ فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَكَاةَ الفِطْرِ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ، أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ عَلَى العَبْدِ وَالحُرِّ، وَالذَّكَرِ وَالأُنْثَى، وَالصَّغِيرِ وَالكَبِيرِ مِنَ المُسْلِمِينَ، وَأَمَرَ بِهَا أَنْ تُؤَدَّى قَبْلَ خُرُوجِ النَّاسِ إِلَى الصَّلاَةِ