ME...

ME...
MUSCAT-OMAN 2005

Selasa, 22 Desember 2009

mengeraskan bacaan basmalah

Ibn Taymiyah menyatakan,
”Para pakar hadis (ahl al-ma’rifah bi al-Hadîts) sepakat bahwa tidak ada satu hadispun yang menjadi dalil mengeraskan bacaan basmalah. Para kolektor hadis yang masyhur seperti Abû Dâwud, al-Tirmidzî, dan al-Nasâî tidak meriwayatkan hadis yang menjelaskan bahwa basmalah dibaca secara keras. Hadis yang ada seputar membaca basmalah secara keras adalah palsu yang diriwayatkan oleh al-Tsa’labî dan al-Mâwardî dan tokoh-tokoh lain seperti keduanya dalam literatur tafsir dan sebagian literatur fiqh yang ditulis oleh ahli fiqh yang tidak bisa membedakan antara hadis palsu dan tidak palsu...Yang lebih mengherankan adalah bahwa ada sebagian pakar fiqh tidak mengutip hadis dari (sahîh) al-Bukhârî, kecuali satu hadis tentang basmalah, tapi sebenarnya hadis itu tidak ada dalam (sahîh) al-Bukhârî. Jika hanya segitu pengetahuannya terhadap hadis, bagaimana bisa ia memberikan pendapat dalam masalah ini (mengeraskan bacaan basmalah)?!

Atau hadis ini diriwayatkan oleh mereka yang memiliki keilmuan terhadap hadis, seperti al-Dâruqutnî dan al-Khatîb yang mengoleksi riwayat-riwayat (tentang mengeraskan bacaan basmalah). Ketika mereka ditanya tentang kesahîhan hadisnya, mereka menjawab sesuai keilmuan yang mereka miliki. Misalnya saat memasuki negeri Mesir, al-Dâruqutnî diminta mengumpulkan hadis terkait pengerasan suara saat membaca basmalah. Iapun melakukannya. Saat ditanya apakah hadis-hadis itu ada yang sahîh, ia menyatakan bahwa tidak ada riwayat yang sahîh yang berasal dari Rasulullah (hadis marfû’). Sementara riwayat yang berasal dari sahabat ada yang sahîh dan ada yang da’îf.

Hal serupa juga terjadi pada al-Khatîb saat ditanya pertanyaan yang serupa, dia mengutip dua hadis mauqûf kepada Mu’âwiyah. Al-Khatîb menilai bahwa riwayat yang dikutipnya sangat kuat sebagai dalil, namun, menurut Ibn taymiyah, sebenarnya lemah (laysa bi hujjah).”

’Abd al-Fattâh Abû Guddah, al-Sunnah al-Nabawiyah wâ Bayân Madlûlihâ al-Syar’î wa Ta’rîf bi Sunan al-Dâruqutnî¸(Aleppo: Maktab al-Matbû’ât al-Islâmiyah, 1992), cet. I, hal. 26;
lihat juga Ibn Taymiyah, Majmû’ Fatâwâ Ibn Taymiyah, vol. V, hal. 194 dalam www.al-islam.com.
Al-Albani berkata, ”Pendapat yang benar adalah tidak ada hadis yang lugas (sarîh) yang sahîh terkait dengan pengerasan suara bacaan basmalah.
Muhammad Nâsir al-Dîn al-Albânî, Tamâm al-Minnah fi al-Ta’lîq ’alâ Fiqh al-Sunnah¸ (al-Maktabah al-Islâmiyah, 1409 H), ttp., cet. III, hal. 168

Selasa, 01 September 2009

RELASI MUSLIM DENGAN NON MUSLIM

Oleh: Andi Rahman, MA

Secara lugas Alquran menjelaskan tipologi manusia menjadi dua: Mukmin dan kafir. Dalam pemaknaan sederhana, mukmin adalah orang yang menerima dan mempercayai kerasulan Muhammad, sementara kafir adalah orang yang menolak kerasulan Muhammad. Kemudian kafir itu sendiri terbagi menjadi musyrik dan ahlul kitab (QS. Al-Bayyinah: 6-7).
Ahlul kitab adalah umat yahudi dan nashrani yang diturunkan kepada mereka kitab suci, namun menolak kerasulan Muhammad yang termaktubkan dalam Taurat dan Injil (QS. Al-A’raf: 157). Sementara musyrik adalah orang yang beragama bukan berdasarkan kitab suci yang diturunkan dari ”langit”.
Dalam interaksi sosial, tidak ada pembedaan perlakuan yang diterima ahlul kitab dan musyrik. Kedua-duanya merupakan kafir. Hal ini dilihat dari fakta bahwa Rasulullah memperlakukan majusi (penyembah api) selayaknya ahlul kitab, yaitu diberikan hak-hak azasi mereka (termasuk hak menjalankan agama) dengan disertai kewajiban membayar jizyah (upeti) sebagai ”apresiasi” atas perlindungan yang mereka terima dari kaum muslimin.

Pluralitas Dan Eksklusivisme Agama
Pluralitas agama diakui oleh Alquran, dengan penegasan bahwa Islam adalah satu-satunya agama yang benar (QS. Alu Imran: 19 dan 85) dan yang diridhai oleh Allah (QS. Al-Maidah: 3). Walaupun Islam adalah satu-satunya agama yang benar dan umat Islam diwajibkan menyampaikan kebenaran ini, Alquran melarang segala bentuk pemaksaan dalam beragama (QS. Al-Baqarah: 256). Kebenaran Islam wajib disampaikan dengan cara mauizhah (santun) dan hikmah (QS. Al-Nahl: 125).
Klaim eksklusivisme agama atau ”merasa benar sendiri” bukan hanya diyakini oleh umat Islam, tetapi pemeluk agama-agama yang lain juga meyakini hal serupa. Adanya upaya merelatifkan kebenaran agama, tertolak oleh seluruh keyakinan keberagamaan. Masing-masing pemeluk agama pasti meyakini kebenaran agamanya, yang secara tidak langsung menafikan kebenaran agama lain, dan hal ini bukanlah sebuah ancaman bagi keharmonisan kehidupan manusia selama masing-masing umat beragama saling menghargai dan bekerja sama.
Sebagian orang menyatakan bahwa apapun agama yang dianut seseorang, selama ia memiliki keyakinan terhadap eksistensi Tuhan, maka ia pasti dalam kebenaran. Tuhan dianalogikan sebagai tujuan, dan agama adalah jalan walaupun ada yang berkelok namun seluruhnya bermuara kepada satu tujuan.
Pernyataan seperti ini merupakan sebuah kekonyolan melihat fakta bahwa doktrin agama-agama saling menafikan kebenaran satu sama lain. Seseorang tidak bisa beragama Islam dan Hindu dalam waktu yang sama, melihat bahwa Islam tidak membenarkan doktrin Hindu dan demikian juga sebaliknya. Alquran sendiri menyatakan bahwa orang-orang yang menyembah berhala dengan tujuan mendekatkan diri kepada Allah, adalah pendusta dan kafir (QS. Al-Zumar: 3). Alquran juga dengan tegas menilai kafir orang yang meyakini trinitas, yang menjadi keyakinan umat Nashrani (QS. Al-Maidah: 73). Meyakini kebenaran semua agama akan menciptakan agama baru dengan doktrin teologis yang mustahil bisa dirumuskan.
Ketika seseorang ”memproklamirkan” diri sebagai seorang muslim, maka dengan sendirinya ia menyatakan dirinya kafir terhadap agama-agama lain. Demikian juga ketika ada orang yang menyatakan dirinya beragama selain Islam, maka dirinya telah beriman dengan agamanya itu dan kafir terhadap Islam dan agama lainnya.

Dialog Antar Umat Beragama
Antar pemeluk agama diharuskan berdialog untuk mencari titik kesamaan, bukannya titik perbedaan (QS. Alu Imran: 64), karena agama-agama yang berbeda pastilah memiliki nilai kebaikan yang universal. Nilai-nilai ini yang dikembangkan dan diamalkan bersama-sama dalam kehidupan bermasyarakat.
Dialog antar umat beragama yang dilakukan dengan baik, akan mengantarkan manusia ke dalam kebenaran agama berupa hidayah dari Allah Ta’ala (Islam). Namun demikian, tidak menutup kemungkinan bahwa Allah Ta’ala tidak menganugerahkan hidayah-Nya kepada orang yang Dia kehendaki (QS. Al-Qashash: 56). Kepada mereka yang belum atau tidak mendapatkan hidayah dari Allah Ta’ala, Alquran mengajarkan kita sebuah sikap yang arif: Bagimu agamamu dan bagiku Agamaku (QS. Al-Kafirun: 6). Kesadaran akan pluralias agama, akan menciptakan keharmonisan dalam kehidupan manusia yang didasari rasa saling menghargai dan bekerja sama, bukan sikap saling curiga dan saling memusuhi.
Alquran memang mewajibkan kaum beriman memerangi kaum kafir, namun demikian ia juga mengajarkan nilai-nilai toleransi. Ayat-ayat peperangan dan ayat-ayat perdamaian yang termaktub dalam Alquran perlu dipahami secara komprehensif dan proporsional. Rasulullah yang merupakan Penafsir Alquran, tidak menyerang Nahsrani di Najran, Yahudi di Madinah, dan Majusi di Hajar karena kekafiran mereka. Beliau memerangi Yahudi bani Quraizhah akibat pengkhianatan mereka kepada kesepakatan yang mereka buat bersama umat Islam.
Umat Islam boleh, bahkan wajib berperang ketika mereka diserang dan diusir dari rumah mereka (QS. Al-Hajj: 39-40). Selama berperang, kaum muslimin dilarang melampaui batas seperti menyerang orang tua dan anak-anak yang bukan kombatan (QS. Al-Baqarah: 190). Sementara dalam kondisi bukan berperang, umat Islam wajib menjaga hak-hak orang kafir dan berbuat baik kepada mereka sesuai aturan Agama (QS. Al-Mumtahanah: 8-9). Menyerang kaum kafir di saat damai, atau sebaliknya berdiam diri saat diserang merupakan perbuatan konyol yang jelas kelirunya. Demikian juga memerangi mereka yang tidak boleh diperangi atau bersekutu dengan kaum kafir yang menyerang umat Islam juga merupakan kesalahan fatal. Allah Ta’ala A’lam.
Penulis adalah kontributor buku Agama Dan Radikalisme Di Indonesia

SOFTPOWER PENANGANAN EKSTRIMISME (telah dimuat di mejalah Dzulfikar edisi Ramadhan 1430 H)

Oleh: Andi Rahman, MA.


Sesaat setelah bom meledak di hotel JW Marriott dan Rizt Carlton, dunia terhenyak: Terorisme masih bertaji di Indonesia. Presiden SBY bereaksi dengan mengeluarkan statement dugaan motif di balik serangan bom itu. Menurutnya, dalang di balik meledaknya bom ini adalah pihak-pihak yang kecewa dengan pelaksanaan pemilu 2009. Belakangan sikap reaktif presiden ini disayangkan oleh banyak kalangan, mengingat belum ada bukti kuat yang mendukungnya.
Kepolisian kembali menggiatkan operasi penanganan terorisme. Penangkapan orang-orang yang diduga terkait dengan peristiwa itu marak dilakukan. Dalam telekonfrensi bersama kepala daerah seluruh Indonesia, presiden SBY menekankan perlunya “kesiagaan nasional” akan aksi teror lanjutan. Masyarakat diminta aktif menjaga wilayahnya dan melapor ke pihak berwajib kalau ada orang yang dicurigai terkait kelompok tertentu yang selama ini dituduh menjadi pelaku teror di Indonesia.
Pemerintah mengedepankan pendekatan “keras” dalam menangani kasus terorisme. Orang-orang yang diduga menjadi pelaku teror dicokok. Sebagian dari mereka ada yang dibebaskan karena tidak terbukti terlibat, dan sebagian yang lain berakhir di penjara (bahkan ada yang divonis mati). Penjara, sebaik apapun fasilitas yang tersedia, merupakan tempat yang menimbulkan trauma. Orang-orang yang sempat dipenjara, baik yang terbukti terlibat terorisme maupun yang menjadi korban salah tangkap, akan terstigmakan sebagai teroris. Perasaan ini memicu trauma yang mematik “rasa dendam”. Akhirnya kebencian terhadap hal-hal yang selama ini menjadi objek perlawanan para ekstrimis semakin meningkat. Saat bebas dari penjara, akan sangat mungkin mereka kembali ke terlibat dalam aksi teror. Bagus Budi Pranoto dan Air Setiawan adalah contoh narapidana terorisme yang kembali melakukan aksinya setelah keluar dari penjara.

Fenomena Global Ekstrimisme Agama
Sebagai sebuah gerakan (movement), ekstrimisme tidak sepi dari nilai. Mengingat bahwa formulasi aksi yang dipilih bersifat radikal, maka nilai yang membangun gerakan kalangan ekstrimis itu dipastikan juga radikal. Agama yang bersifat fundamental adalah “jubah” yang paling pas untuk membungkus aksi radikalistik. Dari sini kemunculan ekstrimisme mengatasnamakan agama menjadi fenomena global yang tidak terelakkan.
Ekstrimisme atas nama agama ditemui di banyak agama, kalau tidak mau dinyatakan ada di semua agama. Di Irlandia ada konflik antara umat Katolik dan Kristen, di India ada ekstrimis Hindu, dan di Indonesia ada ekstrimis muslim. Hal ini tentunya menimbulkan pertanyaan: Apakah agama mengajarkan nilai yang memicu kekerasan dan ekstrimisme?
Memahami perilaku ekstrimistik dengan satu paradigma akan memicu prejudis yang tidak perlu. Stigma teroris yang dilekatkan pada agama, Islam misalnya, adalah bukti kegagalan kita memahami membaca fenomena ekstimisme. Sejatinya para ekstrimis mengenakan topeng agama guna melancarkan aksinya, menyalahgunakan ayat-ayat kitab suci dan keluguan umat untuk mempropagandakan agendanya. Ada faktor politik, ekonomi, sosial, dan budaya yang menyuburkan ideologi ekstrimisme yang perlu dicermati dan dicari pemecahannya.
Agama sendiri bukanlah faktor yang memunculkan radikalisme dan ekstrimisme, karena banyak tokoh-tokoh agama tidak menyetujui aksi ekstrimistik. Bahkan mayoritas umat beragama menolak aksi yang dilakukan para ekstrimis. Agama memicu ekstrimisme ketika ia difahami secara eksklusif dan ditafsirkan keliru dengan melupakan konteksnya. Menggunakan “ayat-ayat pedang” dalam kondisi damai telah memicu aksi ekstrimisme. Orang yang tidak seagama dinilai sebagai musuh dan layak dibunuh. Demikian juga sebaliknya, menggunakan “ayat merpati” dalam kondisi perang juga merupakan sebuah kekeliruan. Di sini, ayat-ayat kitab suci harus ditafsirkan secara utuh dan kontekstual.
Ekstrimisme bukan tanpa sebab dan tanpa sasaran. Ada kepentingan pihak-pihak tertentu yang dengan sengaja menebar benih terorisme. Dalam setiap aksi teror, ada kompleksitas ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, dan rasa ketidakadilan. Mereka yang melakukan aksi terorisme bisa jadi berfikir bahwa keadaan buruk yang mereka rasakan tidak bisa diubah kecuali dengan kekerasan. Mereka yang meyakini bahwa sistem demokrasi yang diterapkan di Indonesia bertentangan dengan nilai-nilai fundamental keyakinannya, perlu diajak dialog untuk mencari titik temu. Mereka yang karena kebuntuan ekonomi memilih ikut serta dalam aksi ekstrimisme, perlu dibukakan akses ekonominya. Satu persatu faktor yang menyuburkan ekstrimisme perlu ditangani.
Selama faktor-faktor penumbuh ekstrimisme belum tertangani, upaya penanggulangan aksi-aksi ekstrimisme hanya akan mengantar kita kepada keberhasilan semu. Semakin banyak terorisme dipenjara, memang membuktikan aparat kepolisian dan intelejen berhasil melakukan counterattack terhadap terorisme. Namun kita perlu memikirkan apa yang terjadi setelah mereka dibebaskan dari penjara dan mendapati bahwa kenyataan masih seperti dulu, kemudian mereka kembali melakukan aksi-aksi terornya. Kita perlu merumuskan alur penanganan yang lebih lembut (softpower) yang bisa menyelesaikan terorisme sampai ke akar-akanya.
Penulis adalah pengajar pesantren Darus-Sunnah, Ciputat.

Rabu, 26 Agustus 2009

Shalat Witir Dua Kali Dalam Satu Malam

Beberapa orang menanyakan kepada saya tentang pelaksanaan shalat Witir di mana ada anjuran untuk melaksanakannya sebelum kita tidur, di waktu yang sama ada juga perintah menjadikan witir sebagai akhir shalat malam kita. Bagaimana jika seseorang telah melaksanakan shalat Witir sebelum tidur, dan ketika bangun malam saya hendak melaksanakan shalat malam, apakah ia harus shalat Witir lagi?

Hadis tentang anjuran melaksanakan shalat Witir sebelum tidur ini, terdapat dalam riwayat al-Bukhari dari Abu Hurairah,
أَوْصَاني خَلِيْلِيْ بِثَلاَثٍ لاَ أَدَعُهُنَّ حَتىَّ أَمُوْتَ صَوْمِ ثَلاَثَةِ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ وَصَلاَةِ الضُّحىَ وَنَوْمٍ عَلىَ وِتْرٍ
"Aku (Abu Hurairah) mendapat pesan dari Rasulullah tiga perkara yang tidak akan aku tinggalkan sampai aku meninggal; (yaitu) Puasa tiga hari pada tiap bulan, (melaksanakan) shalat Dhuha, dan tidur dalam keadaan (telah melaksanakan shalat) Witir".

Anjuran yang sama juga disampaikan oleh Rasulullah kepada Abu Darda' ra. dan Abu Dzar ra.

Sementara hadis tentang perintah melaksanakan shalat Witir sebagai penutup shalat malam, terdapat dalam riwayat muttafaq ‘alayh dari Ibn Umar ra.,
اجْعَلُوْا آخِرَ صَلاَتِكُمْ بِالَّّليْلِ وِتْرًا
"Jadikanlah shalat Witir sebagai akhir (penutup) shalat malam kalian"

Berdasarkan dua hadis di atas dapat disimpulkan bahwa kita boleh melaksanakan shalat Witir di awal malam, yaitu sebelum kita tidur, atau di akhir malam sebagai penutup shalat malam kita. Yang demikian ini sesuai dengan ajaran Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam sebagaimana terdapat dalam hadis riwayat Muslim dari Jabir ra.,
مَنْ خاَفَ أَنْ لاَ يَقُوْمَ مِنْ آخِرِ الَّليْلِ فَلْيُوْتِرْ أَوَّلَهُ وَمَنْ طَمَعَ أَنْ يَقُوْمَ آخِرَهُ فَلْيُوْتِرْ آخِرَ الَّليْلِ فَإِنَّ صَلاَةَ آخِرِ الَّليْلِ مَشْهُوْدَةٌ وَذَلِكَ أَفْضَلُ
"Siapa yang khawatir tidak dapat bangun pada akhir malam, maka hendaknya ia melaksanakan shalat Witir di awal malam. Dan siapa yang merasa mampu bangun pada akhir malam, maka hendaknya ia melaksanakan shalat Witir pada akhir malam, karena shalat pada akhir malam itu 'masyhudah' (disaksikan oleh malaikat), dan yang demikian itu lebih baik."

Rasulullah terkadang melaksanakan shalat Witir pada awal malam, juga pada pertengahan malam, dan seringkali beliau melaksanakannya pada akhir malam sebagai penutup shalat malam, demikian keterangan dari Ali bin Abu Thalib sebagaimana disebutkan dalam ¬Musnad Ahmad.

Abu Dawud meriwayatkan hadis dari Abu Qatadah, sesungguhnya Rasulullah bertanya kepada Abu Bakar, "Kapan engkau melaksanakan shalat Witir?", Abu Bakar menjawab pada awal malam. Kemudian Rasulullah menanyakan hal yang sama kepada Umar bin al-Khathab, yang dijawab bahwa ia melaksanakan shalat Witir pada akhir malam. Rasulullah kemudian bersabda,
فَقاَلَ لأَبي بَكْرٍ أَخَذَ هَذَا بِالحَزْمِ وَقَالَ لِعُمَرَ أَخَذَ هَذَا بِالْقُوَّةِ
"Orang ini (maksudnya Abu Bakar) mengambil (waktu pelaksanaan shalat Witir) dengan kebijaksanaan, dan orang ini (maksudnya Umar bin al-Khathab) mengambil dengan kekuatan"

Permasalahan yang muncul adalah jika seseorang telah melaksanakan shalat Witir sebelum tidur, kamudian pada malam harinya ia hendak melaksanakan shalat malam, apakah anda masih dianjurkan menutup shalat malam dengan Witir? Jikalau ia melaksanakan Witir lagi pada akhir shalat malamnya, sebagai penutup ibadah shalat malam, maka ia telah melaksanakan perintah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, namun ia telah "menggenapkan" shalat Witirnya.. Sebaliknya ketika ia tidak melaksanakan Witir di akhir shalat malamnya, maka ia tetap "menjaga" Witirnya, tetapi anda tidak melaksanakan perintah Rasulullah untuk menutup ibadah shalat malam dengan Witir.

Ibn Qudamah dalam kitab al-Mughny (II/597-599) menerangkan bahwa orang yang telah melaksanakan Witir (pada awal malam), lalu ia bangun malam dan melaksanakan shalat malam, maka disunahkan baginya melaksanakan shalat sunat dua raka't dua raka'at, tanpa membatalkan Witirnya. Artinya ia tidak usah melaksanakan shalat Witir di awal ibadah shalat malamnya, dan melaksanakan shalat Witir lagi di akhir shalat malamnya sebagai penutup.

Pendapat ini dipegang oleh banyak shahabat seperti Abu Bakar, 'Ammar bin Yasir, Sa'ad bin Abi Waqash, Abu Hurairah, Ibn Abbas (dalam salah satu pendapatnya), dan Ummul Mukminin Aisyah. Dari golongan ulama banyak juga yang berpendapat demikian, seperti Malik bin Anas, al-Hasan al-Bashry, 'Alqamah, Said bin al-Musayyab, al-Syafi'I, Ahmad bin Hanbal, Abu Tsaur, al-Auza'iy, dan Qadhi 'Iyadh.
Al-Tirmidzi meriwayatkan hadis dari Thalq bin Ali, sesungguhnya beliau pernah mendengar Rasulullah bersabda,
لاَ وِتْرَانِ فيِ لَيْلَةٍ
"Tidak ada dua Witir dalam satu malam",
Al-Tirmidzi menilai hadis ini hasan.

Abu Bakar pernah berkata, "Adapan diriku, maka sungguh aku tidur, dan ketika aku terbangun, maka aku shalat dengan (raka'at) genap sehingga masuk waktu shubuh" (al-Mughny II/598). 'Ammar bin Yasir juga berkata demikian (Tuhfah al-Ahwadzy II/470).

Beberapa shahabat seperti Ali bin Abu Thalib, Usamah, Umar bin al-Khathab, Utsman bin 'Affan, Ibn Umar, Ibn Abbas (dalam salah satu riwayat darinya), dan Ibn Mas'ud, serta beberapa ulama seperti Ishaq berpendapat bahwa orang tersebut hendaknya memulai shalat malamnya dengan satu rakaat guna menggenapkan shalat Witir yang telah dilaksanakannya pada awal malam (sebelum ia tidur), kemudian ia shalat malam dua raka'at dua raka'at dan menutupnya dengan shalat Witir. Pendapat kedua ini berpegang kepada sabda Rasulullah, "Jadikanlah shalat Witir sebagai akhir (penutup) shalat malam kalian".

Ibn Abbas pernah berkata, "Jika seseorang telah melaksanakan shalat Witir pada awal malamnya, kemudian ia berkehendak untuk melaksanakan shalat (tahajud) maka hendaknya ia menggenapkan Witirnya (dengan memulai shalatnya satu raka'at), kemudian ia melaksanakan shalat sunah sebanyak yang ia kehendaki, untuk kemudian ia menutupnya dengan shalat Witir" (Tuhfah al-Ahwadzy II/469). Ibn Umar juga melaksanakan hal yang sama, hal ini dijelaskan oleh putera beliau yang bernama Salim.

Tentang perbedaan ini, Ummul Mukminin Aisyah pernah berkata, "Orang-orang yang membatalkan Witirnya (yaitu memulai shalat malam dengan shalat satu rakaat) adalah orang-orang yang bermain-main dengan shalatnya". Yang senada juga diriwayatkan oleh Ibn Abbas, dan saat diberitahu bahwa Ibn Umar melaksanakan "penggenapan" Witir, beliau tidak merasa heran (menyalahkannya) dengan hal tersebut, seraya berkata, "Sesungguhnya Ibn Umar melaksanakan shalat Witir sebanyak tiga kali dalam satu malam. (Tuhfah al-Ahwadzy II/470).

Dari sini saya berpendapat bahwa kita boleh saja melaksanakan "penggenapan" Witir, yaitu yang memulai shalat malamnya dengan satu rakaat, kemudian melaksanakan shalat malam dua raka'at dua raka'at, dan mengakhirinya dengan shalat witir. Demikian juga kita dibenarkan untuk tidak melaksanakan "penggenapan" Witir, dan yang demikian itu bukan berarti kita tidak mematuhi perintah Rasulullah dalam sabda baliau, "Jadikanlah shalat Witir sebagai akhir (penutup) shalat malam kalian".

Demikian jawaban dari saya, semoga benar adanya.***

Selasa, 21 Juli 2009

pertanyaan "anak seribu pulau"

seorang teman saya bekerja di kepulauan seribu, menjalankan bisnis budi daya ikan bandeng. beberapa waktu yang lalu dia mengirimkan pertanyaan, yang secara singkat saya jawab berikut ini:

the question:
Kang....orang2 yg tiap harinya berbuat maksiat, misalnya mabuk terus, benar ga kalo dia meninggal ga boleh di shalatin oleh orang2 muslim,,,hadisnya gmn kang??? ke 2..orang yang kerjanya tiap hari menyelam seperi nelayan..gmn puasanya..sah ga? krn pasti ada air yg masuk,,,jawaban yg bijak tuk mereka tu gm dan apa dalilnya? maklum pertanyaan di pulau, sy sulit cari referensi..

my answear:
1. Allah melarang Rasulullah menyalati orang munafiq (QS. al-Taubah ayat 84) dan rasulullah pernah menyatakan keengganan menyalati orang yang berhutang sampai shahabat Ali berkenan menanggung sementara hutang tersebut.
hati orang tidak ada yang tahu. Rasulullah tahu orang munafiq karena Allah memberi tahunya. sementara ente dan saya tidak bisa menebak hati orang dan tidak diberi tahu Tuhan...jadi, ente dan saya tidak tahu apakah seseorang itu munafiq atau tidak munafiq.
keengganan Rasulullah menyalati orang yang berhutang bukan karena semata faktor hutangnya, tapi mungkin ada faktor lain yang tidak "tersampaikan secara lugas" dalam hadis tersebut.

menyalati orang artinya kita mendoakan dirinya. dan muslim yang banyak dosa tentu sangat layak didoakan.
Alquran mengajarkan kita mendoakan orang mukmin yang sudah mati tanpa membedakan apakah ia banyak dosa atau sedikit (QS. al- Hasyr ayat 10)
perlu kita ingat, setipa kita selalu dalam kondisi "berdosa", di mana banyak kesalahan yang secara sadar maupun tidak sadar kita lakukan sementara kebaikan yang kita lakukan belum tentu diterima...maka kita pun layak didoakan dan dishalati.

kemudian, orang yang menyelam tetep bisa berpuasa selama dia tidak melakukan hal-hal yang membatalkan puasanya. semisal secara tidak sadar meminum air (yang sudah diupayakan untuk dihindari), maka itu termasuk rezeki yang Allah berikan kepadanya (QS. al-Baqarah ayat 286 dan 184), dan Allah senantiasa menghendaki kemudahan bagi hamba-Nya (QS. al-Baqarah ayat 185)

Jumat, 12 Juni 2009

ISLAM MENGENTASKAN KEMISKINAN (opini republika 12 juni 2009)


Oleh: Andi Rahman, MA.

Islam menghendaki terwujudnya kehidupan yang berkecukupan, di mana setiap orang mampu menghidupi dirinya sendiri. Hal ini dilihat dari banyaknya ayat Alquran yang mensyariatkan zakat, sedekah, infaq dan sejenisnya. Orang yang menunaikan zakat atau infaq pastilah berkecukupan bahkan berkelebihan. secara tidak langsung, Alquran memerintahkan umat Islam untuk menjadi umat yang mapan secara ekonomi.
Walaupun Islam menyatakan ”keinginannya” agar seluruh umat Islam mapan, namun ia menyadari bahwa kemiskinan adalah sebuah keniscayaan. Kekayaan dan kemiskinan adalah ”keberpasangan” yang menjadi sunnatulah, seperti laki-laki dan perempuan, atau siang dan malam. Dan sikap Islam terhadap kemiskinan adalah jelas: Keberpihakan terhadap orang miskin.
Keberpihakan Islam terhadap kaum miskin bisa dilihat dari banyaknya instrumen ekonomi yang secara eksplisit terkait dengan pengentasan kemiskinan yang jumlahnya belasan, seperti zakat, infaq, shadaqah, wakaf, kaffarat, dam, khumus, ’usyur, ghanimah, fay’, fidyah, dan hibah.
Instrumen ekonomi ”pro orang miskin” ini tidak bersifat filantropis, sebagaimana yang dipahami oleh sebagian orang. Instrumen-instrumen ini harus dikelola oleh pemerintah bukan diserahkan kepada swasta, dan memiliki kekuatan hukum di mana orang yang enggan menunaikannya bisa diancam pidana dan perdata.
Instrumen ekonomi Islam tidak sama dengan pajak, mengingat penerima ”kebaikan” pajak adalah seluruh warga negara baik miskin maupun kaya, misalnya pembangunan infrastruktur dan subsidi BBM (bahan bakar minyak) yang ditetapkan oleh pemerintah. Sehingga kewajiban warga negara untuk menunaikan pajak tidak menggugurkan kewajiban menunaikan ”instrumen ekonomi Islam”, demikian juga sebaliknya.
Pihak-pihak yang menerima ”kabaikan” instrumen ekonomi Islam sudah ditetapkan oleh Islam. Faqir miskin adalah pihak yang dipastikan mendapat bagian dari seluruh instrumen tersebut. Hal ini merupakan gambaran tingginya keberpihakan Islam terhadap orang miskin.

KEWAJIBAN BERZAKAT
Zakat merupakan kewajiban yang masuk dalam kategori ma’lum min al-din bi al-dharurah di mana orang yang mengingkari kewajiban zakat menjadi murtad. Hal ini karena kewajiban zakat telah dijelaskan dalam banyak ayat Alquran (misalnya al-Baqarah 43) dan hadis shahih (misalnya hadis tentang rukun Islam). Khalifah Abu Bakar pernah menyatakan bahwa orang yang membeda-bedakan antara kewajiban shalat dan zakat wajib diperangi. Kebijakan Abu Bakar ini ditaati oleh seluruh shahabat sehingga dengan sendirinya menjadi ijma’ (konsensus) shahabat.
Vonis murtad ini berlaku bagi orang yang mengingkari kewajiban zakat padahal dia sadar dan mengetahui kewajiban itu. Karena mengingkari kewajiban zakat sama saja dengan mendustakan ayat dan hadis. Orang yang mendustakan ayat dan hadis tidak bisa dianggap muslim. Sementara orang yang tidak menunaikan zakat karena rasa enggan, dengan tetap meyakini bahwa zakat adalah sebuah kewajiban bagi orang yang telah terpenuhi syaratnya, maka ia berdosa besar.
Zakat secara etimologis bermakna tumbuh kembang (al-nama`), pertambahan (al-ziyadah), dan penyucian (al-tathir). Muzakki (orang yang berzakat) akan disucikan jiwanya, dan harta yang dizakatinya akan berkembang dan bertambah secara kuantitatif dan kualitatif, walaupun secara secara zahirnya ia berkurang akibat adanya proses pengalihan kepemilikan harta kepada mustahiq (penerima zakat). Pemaknaan zakat sebagai sebuah aktivitas yang bisa mengembangkan dan menambah harta, dinyatakan secara lugas oleh Rasulullah dalam sabdanya, "Tidak akan berkurang harta dengan shadaqah” (HR. Al-Tirmidzi dengan kualitas hasan shahih)
Secara kualitatif, zakat akan mengembangkan harta orang yang menunaikannya. Hal ini secara implisit dinyatakan dalam surah Ibrahim ayat 7, "Dan ingatlah ketika Tuhanmu memaklumkan sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami (Allah Ta'ala) akan menambahkan (ni'mat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (ni'mat Allah) maka sesungguhnya siksa-Ku sangatlah pedih".
Dalam ayat di atas, Allah Ta'ala mengaitkan proses penambahan ni'mat dengan syukur, yang dalam bahasa statistik lazim disebut positive correlation antara penambahan aset dan proses syukur yang salah satu manivestasinya adalah pengeluaran zakat. Allah Ta'ala mungkin sudah merencanakan rezeki tahap dua, namun pencairannya ditangguhkan sampai syukur dan zakat terjadi dahulu. Jika infaq dan zakat terjadi, maka turunlah rezeki tahap dua itu. Sebaliknya jika zakat dan infaq tidak terjadi, maka rezeki berikutnya pun tidak turun juga.
Dalam Alquran Surat al-Baqarah ayat 268 diterangkan bahwa, ”Syaithan menjanjikan (menakut-nakuti) kalian dengan kemiskinan dan menyuruh kalian berbuat kejahatan (kikir); Sedang Allah menjanjikan untuk kalian ampunan dari-Nya dan karunia, dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui.”
Juga dalam Surat al-Naba' ayat 39 Ia berfirman, “Katakanlah: Sesungguhnya Tuhanku melapangkan rezeki bagi siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya dan menyempitkan baginya (siapa yang dikehendaki-Nya). Dan barang apa saja yang kamu nafkahkan, maka Allah akan menggantinya dan Dialah Pemberi rezeki yang sebaik-baiknya.”
Seseorang yang enggan berzakat padahal persyaratan wajib zakat telah terpenuhi padanya, dengan alasan bahwa dengan menafkahkan rezeki hartanya menjadi berkurang, maka sesungguhnya ia telah membenarkan syaitan, dan mendustakan Allah Ta'ala. Karena syaitan merayunya untuk menjadi nritil dan pelit serta menakut-nakutinya dengan kemiskinan jika ia berzakat, padahal Allah Ta'ala justru menjanjikan keberkahan dan kekayaan kepada siapa saja yang ikhlas berinfaq dan berderma.
Di Indonesia, nampaknya baru zakat yang mendapat tempat di hati umat Islam. Pemerintah telah menetapkan UU Zakat, membentuk BAZ (Badan Amil Zakat), dan mengizinkan LAZ (Lembaga Amil Zakat). Padahal potensi zakat relatif sedikit (2,5%) dibandingkan dengan instrumen lainnya, sebut saja ghanimah (20%), dan infaq yang tidak dibatasi limit minimal dan maksimalnya. Potensi zakat yang sedikit itupun belum dioptimalkan. Padahal jika zakat diterapkan secara optimal dan konsisten, program pemerintah berupa pengentasan kemiskinan bisa lebih akseleratif.
Terpilihnya anggota dewan untuk masa bakti 2009-2014 mudah-mudahan memunculkan ide-ide segar yang berpihak kepada orang miskin. Mengadopsi nilai dan ajaran Ilahi bisa menjadi jawaban dari stagnasi upaya mengentaskan kemiskinan dari bumi Indonesia secara khusus dan dunia secara umum. Allah A’lam.

Rabu, 03 Juni 2009

siswa menulis karya ilmiah

Menulis adalah cara efektif untuk menyampaikan ide, gagasan, saran, informasi, sanggahan, kritik dan ilmu pengetahuan. Dengan menulis, kita dapat berbagi rasa, asa, dan cita kepada orang yang kita kenal dan tidak kita kenal melampaui batas waktu dan tempat. seorang penulis akan tetap hidup bertahun-tahun setelah kematiannya, selama buku dan karyanya masih di baca orang lain. Sedemikian penting peran tulisan dalam kehidupan dan peradaban manusia, sehingga kita harus mulai menulis dan terus menulis untuk kemudian dipersilahkan mati.
Bagi saya, menulis lebih tepat disebut sebagai keterampilan dari pada sebuah disiplin ilmu.

Karenanya, kemampuan menulis seseorang tidak berbanding lurus dengan berapa banyak teori tulis menulis yang ia pelajari atau pelatihan jurnalistik yang ia ikuti, melainkan sesering apa ia mengasah keterampilan menulisnya. Sebagai sebuah keterampilan, setiap orang bisa mengasah bakat jurnalistiknya. Tulisan yang dihasilkan bisa sekedar catatan harian maupun karya ilmiah dan hasil penelitian.

Sebuah karya ilmiah memiliki karakteristik, kekhasannya, sistematika dan metodologi yang diterapkan secara konsisiten. Untuk mahasiswa, buku pedoman penulisan karya ilmiah (skripsi, tesis, dan disertasi) dapat dibeli dengan mudah di toko buku. Lain halnya dengan pedoman penulisan karya ilmiah yang ditujukan untuk kalangan siswa sekolah menengah yang bisa dikatakan tidak ada sama sekali.

Mungkin kita mengira penulisan karya ilmiah untuk siswa sekolah menengah, sama dengan penulisan karya ilmiah untuk mahasiswa, padahal keduanya tidak sama. Ini setidaknya dilihat dari subjek penulisan (siswa atau mahasiswa) dan objek kajian atau penelitiannya.

Untuk mengisi kekosongan literatur ini, sebuah buku telah diterbitkan. Buku yang diberi nama Pedoman Penulisan Karya Ilmiah Untuk Siswa Sekolah Menengah memuat dua hal: Pedoman penulisan karya ilmiah, dan pedoman penyelenggaraan program penulisan karya ilmiah di sekolah.
Buku ini dilengkapi contoh-contoh formulir-formulir yang digunakan dalam penulisan karya ilmiah guna memudahkan siswa yang biasanya masih bersifat imitatif (meniru yang telah ada). Buku ini bisa anda beli di toko buku terdekat, atau melalui Penerbit Media Alo Indonesia.

Penulis juga ”menyediakan dirinya” untuk mendampingi sekolah yang mau menyelenggarakan program penulisan karya ilmiah. Penulis memang sedang mengemban misi ”INDONESIA MENULIS” yang bertujuan meningkatkan budaya menulis di kalangan siswa sekolah menengah (SMP dan SMA/ sederajat). Silahkan menghubungi penulis di 08158241298 dan andiwowo@yahoo.com

Senin, 01 Juni 2009

MEMPERTANYAKAN KONSEP AL-NASKH DALAM ALQURAN (telah dipublikasikan dalam jurnal Studi Alquran)

Oleh: Andi Rahman, MA.

Perlu saya nyatakan adanya perbedaan antara agama dan pemikiran keagamaan. Agama bersumber dari wahyu yang diturunkan oleh Allah Ta’ala dengan nilai kebenaran yang bersifat absolut. Sementara pemikiran keagamaan merupakan penafsiran dari wahyu dan kebenarannya bersifat relatif.
Tafsir bersifat dinamis dan terus berkembang mengikuti dinamika zaman. Adanya perbedaan tentang pemahaman keagamaan antar pemikir Agama pada satu masa dengan masa yang lain, dikarenakan suatu pemikiran sangat terpengaruh oleh sosio-kultural di mana pemikiran itu lahir. Bahkan perbedaan antara para pemikir pada satu generasi lumrah terjadi akibat perbedaan pemahaman mereka tentang wahyu, tingkat penguasaan terhadap literatur keagamaan, dan sudut padang yang digunakan. Dalam sejarah kita temui adanya seorang pemikir memiliki lebih dari satu pendapat dalam satu masalah seperti al-Syafi’i dengan qawl qadim dan qawl jadid-nya. Perbedaan memang merupakan keniscayaan yang tak dapat dielakkan.
Saya berasumsi bahwa pembaca memiliki pendapat yang sama dengan mayoritas ulama tentang eksistensi naskh dalam Alquran. Asumsi ini ‘menggelitik’ dan menyemangati saya menulis sanggahan.
Harapan saya, tulisan ini tidak dianggap bid’ah yang harus diberantas, tetapi sebuah ijtihad yang, walaupun salah, semoga dapat meramaikan kajian Ulumul Qur`an.

Kesatuan Kndungan Alquran
Sebagai kitab suci, Alquran memiliki kesatuan isi yang utuh. Seluruh nilai, norma, dogma, ajaran, dan informasi yang dikandung ayat-ayatnya saling melengkapi, menjelaskan, dan menafsirkan. Kesatuan ini diibaratkan sebuah jauhar (esensi) yang tidak mungkin terbagi-bagi.
Statusnya sebagai kitab suci yang keotentikannya dijamin oleh Allah Ta'ala, menafikan adanya pertentangan antar ayat-ayatnya. Firman-Nya dalam surat al-Hijr ayat 9, Sesungguhnya Kamilah (Allah) yang menurunkan Alquran, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.
Alquran merupakan kitab yang berfungsi sebagai panduan manusia untuk memperoleh kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat. Tiap manusia harus mempelajarinya, untuk kemudian mengamalkan kandungan dan ajarannya. Di waktu yang sama, kitab suci ini berfungsi sebagai sumber hukum pertama dalam Islam.
Hukum dan perundang-undangan harus bersifat lugas, tegas, jelas, dan memiliki kepastian. Dari sini, semisal kita temukan adanya ayat Alquran yang zhahir manthuq (makna eksplisit)-nya bertentangan dengan ayat yang lain, pada hakikatnya tidak ada pertentangan itu. Karena adanya pertentangan manthuq pada ayat-ayat Alquran akan menimbulkan ketidakpastian, dan ketidakpastian dengan sendirinya akan menyebabkan orang yang mengimani Alquran tidak tenang dalam mengamalkan ajarannya. Allah Ta'ala berfirman dalam Surat al-Nisa' ayat 174, Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu bukti kebenaran dari Tuhanmu, dan telah Kami turunkan kepadamu 'nuran mubinan' cahaya yang terang benderang (yaitu Alquran).
Namun demikian, kejelasan (nuran mubinan) dan ketiadaan pertentangan antar ayat Alquran, hanya diketahui oleh ulama yang memiliki kapasitas keilmuan yang mumpuni. Ulama tersebut ditembungkan dalam Alquran dan dipanggil (dijuluki) dengan nama Ulul Albab (orang yang berakal). Mereka memiliki kejernihan hati dan ketulusan niat dalam mengerahkan potensi akal budinya untuk memahami pesan dan ajaran yang terkandung dalam Alquran.1
Untuk membantu masyarakat awam dalam memahami Alquran, para ulul albab kemudian ‘menciptakan’ disiplin Ulumul Quran, beragam jenis dan corak penafsiran Alquran, dan metode-metode penafsiran.

Kontradiksi Antar Ayat-ayat Alquran
Konsep al-naskh muncul guna memahami ayat-ayat yang zahirnya kontradiktif (bertentangan) yang sebenarnya hanya ada dalam persangkaan. Demikian ungkap al-Suyuthi (w. 911 H.).2 Memang, bagi pengkaji pemula terkadang timbul persepsi adanya kontradiksi (antar ayat-ayat Alquran) yang sebenarnya tidak ada, sehingga dibutuhkan upaya untuk menghilangkan kontradiksi tersebut.3 Wahbah al-Zuhaili juga menyatakan bahwa apa yang diklaim sebagai kontradiksi pada zahir ayat-ayat Alquran, sebenarnya merupakan persepsi, yang ketika dianalisa lebih mendalam akan nampak bahwasanya kontradiksi itu tidak pernah ada.4
Kontradiksi semata merupakan persepsi zahir yang nampak bagi mujtahid sesuai nalar intelektualitasnya, bukan dalam kenyataan dan hakikatnya. Syari'ah tidak memiliki kontradiksi, karena kontradiksi artinya saling bertentangan, dan Allah Pemilik syariat lagi Maha Bijaksana tidak mungkin mengeluarkan dua buah dalil yang saling bertolak belakang pada satu waktu dan dalam satu objek hukum, karena yang demikian merupakan tanda ketidakmampuan yang mustahil disandarkan kepada Allah Ta’ala.5
Demikian ujar Wahbah al-Zuhayly.
Ketika ada dua nash yang zahirnya kontradiktif, maka kita wajib berupaya ‘memalingkannya’ dari nalar tekstual, dan menganalisa hakikat kedua dalil tersebut, demi menyucikan Allah Yang memiliki syari'ah lagi Maha Bijaksana dari adanya kontradiksi pada syari'ah-Nya.6 Allah Ta’ala Berfirman dalan Surat al-Nisa ayat 82, Maka apakah mereka tidak memperhatikan Alquran? Kalau kiranya Alquranitu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya.
Memang ulama sepakat bahwasanya syari'ah Islam tidak memiliki kontradiksi yang hakiki. Namun demikian mereka juga menyadari bahwa dalam Alquran ada beberapa ayat yang kandungannya memiliki kontradiksi, yang tentu sebatas zahirnya saja. Untuk memahami ayat-ayat ini, mayoritas ulama menggunakan pendekatan al-naskh. Dalam pendekatan ini, ada ayat yang bersifat nasikh (yang menaskh) dan ada yang bersifat mansukh (yang di-naskh). Al-Suyuthi menyatakan bahwa ayat-ayat mansukh berjumlah dua puluh ayat.7 Al-Baghdadi menyatakan jumlahnya ada 66 ayat. Menurut al-Nuhas 134 ayat, Ibn Salamah menyatakan 213 ayat, Muhammad bin Hazm menyatakan 214 ayat, Ibn al-Jauzy menyatakan 247 ayat,8 dan ada juga ulama yang menyatakan lebih dari itu.
Selain pendekatan al-naskh, masih ada dua pendekatan lain yang dapat digunakan untuk memahami ayat-ayat yang zahirnya bertentangan, yaitu al-Jam’ (mengkompromikan ayat-ayat tersebut), dan tawaquf (tidak melakukan pembandingan antar ayat yang bertentangan). Tiga pendekatan ini, yaitu naskh, jam’, dan tawaquf, dituturkan al-‘Imrithi dalam manzhumah-nya,
Mengkompromikan antar dalil (ayat) yang (zahirnya) bertentangan wajib hukumnya. Sekiranya tidak mungkin dikompromikan, maka tawaquf, selama tidak ditemui keterangan waktunya (pensyariatannya). Kalau kita mengetahui waktunya, maka (ayat) yang kedua me-naskh ayat yang (turun) sebelumnya.9

Konsep al-Naskh Dalam Alquran
a.Definisi Naskh
Dalam tinjauan bahasa, naskh memiliki tiga arti, al-Raf’u wa al-Izalah (pengangkatan dan penghilangan),10 al-Naql wa al-Tahwil (pemindahan dan pengubahan),11 dan al-Tabdil (perubahan)12.
Dalam tinjauan terminologis, naskh diartikan sebagai keterangan atas berakhirnya penerapan sebuah hukum syariat sebab adanya hukum syariat (yang lain) yang diturunkan belakangan. 13
Maksudnya, sebuah hukum syariat dibatasi di sisi Allah dengan batasan waktu tertentu. Ketika batas ini tiba, maka hukum itu dengan sendirinya berakhir. Ada juga yang mendefinisikan sebagai penghilangan sebuah hukum syariat dengan adanya dalil syariat yang lain yang turun belakangan.14

b. Eksistensi Naskh Dalam Alquran
Ada perbedaan pendapat tentang eksistensi naskh dalam Alquran. Mayoritas ulama mengiyakan, bahkan ada yang menyatakan bahwa umat Islam telah membuat ijma’ (konsensus) akan eksistensi naskh dalam Alquran.15 Namun kiranya anggapan konsensus ini tidak mendasar, mengingat ada beberapa ulama yang memberikan penolakan, seperti Abu Muslim al-Ashfahani.16Menurut al-Syaukani, mayoritas ulama berpendapat bahwa ijma’ menjadi tidak sah ketika ada mujtahid yang memiliki pendapat yang berbeda.17 Beberapa ulama kontemporer juga menyatakan penolakannya terhadap naskh, seperti ‘Abd al-Muta’al al-Jabary, Ahmad Hasan al-Baqury, ‘Abd al-Razzaq Naufal, dan Muhammad al-Ghazaly Saqa.18 Kelompok yang menolak eksistensi naskh ini cenderung fanatik.19

c.Argumentasi Atas Eksistensi Naskh Dalam Alquran
Ulama yang berpendapat bahwa naskh ada dalam Alquran, memiliki dalil ‘aqly dan naqly. Argumentasi aqli dibangun berdasarkan asumsi bila kita memahami hukum-hukum Allah sesuai dengan kemashlahatan manusia, seperti yang diyakini oleh Mu’tazilah, maka revisi-revisi dan perubahan hukum merupakan sesuatu yang wajar. Karena kemashlahatan manusia dari waktu ke waktu berbeda. Bahkan dalam satu masa, tiap orang berbeda kemashlahatan dan kepentingannya.
Mengingat bahwa kemashlahatan manusia berubah-ubah, maka sudah seharusnya perintah dan larangan Allah Ta’ala mengalami penyesuaian. Analoginya seperti dokter yang memerintahkan pasiennya meminum obat tertentu dengan dosis tertentu. Ketika kondisi pasien berubah, maka obat dan terapi pengobatan yang dilakukan juga berubah. Demikian juga pantangan pasien yang harus ditinggalkan pasien, dapat kita analogikan dengan larangan yang diberikan Allah.
Adapun ketika kita meyakini bahwa ketetapan Allah tidak terikat dengan kemashlahatan manusia, seperti yang diyakini oleh golongan Ahl al-Sunnah, maka sudah selayaknya Allah berbuat sesuai kehendak-Nya. Termasuk kebebasan bagi-Nya dalam memberikan perintah dan larangan, atau memerintahkan sesuatu untuk di kemudian waktu melarangnya.
Naskh sebagai bentuk penyesuaian Allah atas syariat-Nya terhadap kemashlahatan manusia atau merupakan kebebasan-Nya dalam memberikan perintah dan larangan, keduanya merupakan dalil eksistensi naskh dalam Alquran.
Para ulama juga memiliki dalil naqli guna mengukuhkan pendapat eksistensi naskh dalam Alquran:
Pertama, firman Allah Ta’ala dalam Surah al-Baqarah ayat 106,20 Ayat mana saja yang Kami nasakh, atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya. Tiadakah kamu mengetahui bahwa sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu?
Kedua, firman Allah Ta’ala dalam Surah al-Ra’d ayat 39,21 Allah menghapuskan apa yang Dia kehendaki dan menetapkan, dan di sisi-Nya-lah terdapat Ummul-Kitab.
Ketiga, Firman Allah dalam al-Nisa ayat 160,22 Maka disebabkan kezaliman orang-orang Yahudi, Kami haramkan atas mereka (memakan makanan) yang baik-baik (yang dahulunya) dihalalkan bagi mereka, dan karena mereka banyak menghalangi (manusia) dari jalan Allah
Keempat, firman Allah dalam Surah al-Nahl ayat 101,23 Dan apabila Kami letakkan suatu ayat di tempat ayat yang lain sebagai penggantinya padahal Allah lebih mengetahui apa yang diturunkan-Nya, mereka berkata: "Sesungguhnya kamu adalah orang yang mengada-adakan saja". Bahkan kebanyakan mereka tiada mengetahui.
Kelima, kumpulan ayat-ayat yang diklaim memiliki kadungan ayat yang saling kontradiktif merupakan bukti adanya naskh. Al-Zarqani bekata, “Sesungguhnya di dalam Alquran terdapat banyak ayat yang hukumnya di-naskh”24

d. Dialektika Dalil
Sanggahan terhadap argumentasi aqliyah bahwa ketetapan Allah sesuai dengan kemashlahatan manusia, tidak sesuai dengan pendapat teologis mereka yang menyatakan bahwa Allah tidak wajib berbuat yang terbaik untuk hamba-Nya. Sikap inkonsistensi ini secara tidak langsung melemahkan argumentasi mereka.
Sekiranya memang ketetapan Allah berbanding lurus dengan kemashlahatan manusia, sementara kemashlahatan tiap orang berbeda pada tiap kurun waktunya demikian juga orang-orang yang hidup pada satu masa sehingga butuh penyesuaian dan ‘revisi-revisi’ syariat, maka kondisi kita saat ini lebih memerlukan ‘penyesuaian’ dari pada masa Rasulullah pada 15 abad yang lalu. Namun, naskh—yang merupakan penyesuaian syariat—tidak mungkin terjadi pasca wafatnya Rasulullah,25 Karena Agama telah sempurna (QS. Al-Maidah ayat 3)
Argumentasi ini semakin lemah saat mereka menganalogikan Allah dengan dokter, dan syariat Allah dengan obat-obatan. Karena ilmu Allah bersifat obsolut dan menyeluruh,26 sementara ilmu dokter terbatas. Selain itu, hukum-hukum dan syariat Allah berlaku universal, tidak terikat waktu dan tempat, serta berlaku untuk semua manusia, sementara terapi dokter hanya berlaku pada pasien tertentu.
Asumsi mereka yang kedua, bahwa Allah Ta’ala berhak berbuat apa yang ia kehendaki, juga debatable. Bukan pada tataran landasan teologisnya, tetapi pada aplikasinya terhadap eksistensi naskh dalam Alquran, yaitu ketika mereka menyatakan bahwa Allah berhak mengganti ketetapan-Nya kapan saja. Masalah yang timbul adalah kelayakan naskh dalam Alquran. Karena Allah Ta’ala telah menyatakan bahwa tidak ada ‘kebengkokan’ dalam Alquran (QS. Al-Zumar ayat 28) sehingga perlu untuk ‘diluruskan’.
Kemudian sanggahan atas argumentasi naqli pertama mereka (QS. Al-Baqarah ayat 106), yang menyatakan bahwa Allah secara eksplisit menyebutkan kata naskh, terbantahkan dengan argumentasi sebagaimana berikut:
Bahwa kata ‘ayat’ yang terdapat dalam Alquran dapat diartikan sebagai ayat matluwah (ayat yang dibaca, yaitu Alquran)27, dan ayat ghair matluwah (ayat yang tidak dapat dibaca). Ayat ghairu matluwah sendiri memiliki beberapa makna, yaitu mukjizat para Rasul,28 penciptaan dan penomena alam semesta,29 serta syariat.30
Kata ‘ayat’ dalam Surah al-Baqarah ayat 106 lebih cocok dipahami sebagai penomena alam semesta, seperti yang dinyatakan oleh Muhammad Mushthafa Abu al-‘Ala`, dengan alasan bahwa akhir ayat berupa kata ‘Qadir’ yang sesuai jika disandingkan dengan penomena alam. Seandainya ayat di sini diartikan sebagai ayat Alquran, maka akhir ayat yang lebih pantas adalah ‘Hakîm’ atau ‘Alîm’.31 Kata ‘ayat’ pada Surah al-Baqarah ayat 106 juga dapat diartikan sebagai Taurat dan Injil, seperti yang dinyatakan oleh Abu Muslim al-Ashfahni.32 Ayat tersebut juga bisa diartikan sebagai semua syariat yang ada sebelum Rasulullah, sebagaimana yang dinyatakan oleh Abd al-Muta’al al-Jabari, karena bentuknya (‘ayat’) yang nakirah (indefinitif).33
Menjadikan Surah al-Baqarah ayat 106 sebagai dalil naskh memang tepat, tetapi bukan naskh ayat-ayat Alquran. Ayat ini cocok dijadikan dalil naskh syariat yang ada sebelum Rasulullah dengan syariat beliau. Atau naskh mukjizat seorang nabi dengan nabi yang lain.
Dalil kedua (Surah al-Ra’d ayat 39), yang mengisyaratkan adanya penetapan dan pencabutan ayat, juga masih dapat dibaca ulang. Pasalnya untuk mengetahui maksud dari sebuah ayat, kita perlu menafsirkannya dengan menggunakan ayat Alquran yang lain, bisa juga dengan melihat keserasian (munasabah) antara sebuah ayat dengan ayat sesudah dan sebelumnya.
Pada ayat sebelumnya (38) dinyatakan bahwa Allah telah mengutus para rasul, dan memberikan mereka istri dan anak keturunan. Kemudian dinyatakan bahwa para rasul tidak mendatangkan ‘ayat’ kecuali atas izin Allah. Dari sini kita pahami bahwa ‘ayat’ yang dimaksud adalah ayat ghair matluwwah, yaitu mukjizat para rasul yang tidak dapat didatangkan kecuali atas izin Allah. Penggunaan ayat ini dalam arti mukjizat juga dikuatkan oleh redaksi ayat selanjutnya.
Argumentasi ketiga (QS. Al-Nisa ayat 160), terbantahkan dengan kenyataan bahwa ayat ini menerangkan keadaan orang-orang yahudi. Tidak menerangkan tentang orang-orang Islam, apalagi tentang naskh ayat Alquran.
Argumentasi keempat (QS. Al-Nahl ayat 101) yang menerangkan penggantian ayat, sesungguhnya tidak membicarakan tentang naskh, tetapi tentang urutan mushaf. Susunan mushaf bukan berdasarkan kronologis turunnya ayat, melainkan berdasarkan petunjuk Allah melalui Rasul-Nya. Mujahid menafsirkan ayat ini sebagai “Kami angkat sebuah ayat, dan kami jadikan ayat lain menempati tempatnya”.34 Bila kita renungi lebih dalam, maka akan nampak bahwa maksud ayat ini adalah mukjizat para nabi.35
Argumentasi kelima, yang menjadikan ayat-ayat yang diklaim sebagai ayat mansukhah sebagai dasar eksistensi naskh dalam Alquran, belum dapat dijadikan argumentasi. Pasalnya, para ulama yang menyatakan eksistensi naskh masih berselisih tentang jumlah ayat mansukhah. Seperti al-Suyuthi yang menyatakan bahwa jumlah ada dua puluh, hingga Ibn al-Jauzy yang menyatakan ada 247.36 Bahkan beberapa ayat yang bersifat muhkam (yang artinya jelas dan lugas, serta tidak memiliki kontradiksi dengan ayat lain) juga diklaim mansukh.37
Sebagai ilustrasi dari betapa klaim naskh terkadang kurang didasari oleh analisa data yang signifikan, apa yang dinukil al-Suyuthi dari penyataan Ibn al-Arabi, bahwa semua ayat dalam Alquran yang menerangkan tentang pemaafan kepada orang kafir, serta perintah berpaling dari mereka, di-naskh oleh 'Ayat Pedang' pada surat al-Taubah ayat 5. Ayat-ayat mansukhah tersebut berjumlah 124 (seratus dua puluh empat) menurut perhitungan al-Suyuthi,38 atau 114 (seratus empat belas) menurut perhitungan Muhammad al-Andalusi.39 Dalam kitab al-Tashil (I/10-11), al-Andalusi menyebutkan bahwa mereka yang berlebihan dalam menggunakan metode naskh ini, menyatakan bahwa total ayat mansukhah dalam Alquranada 212 (dua ratus dua belas) ayat.40
Jika memang klaim naskh ini benar, maka setidaknya 3,42 % (tiga koma empat puluh dua persen) dari jumlah keseluruhan ayat yang terdapat dalam al-Quran41 menjadi mulghah (tidak memiliki ajaran untuk diamalkan).42 Jika dibandingkan dengan total jumlah ayat ahkam (ayat yang memiliki kandungan hukum),43 maka jumlah ayat yang mulghah menjadi 42,4 % (empat puluh dua koma empat persen),44 atau hampir setengah dari ayat-ayat Alquran yang berkaitan dengan hukum dan perundang-undangan, tidak memiliki kewajiban untuk diamalkan. Perselisihan pendapat juga terjadi pada eksistensi naskh Alquran dengan hadis, dan sebaliknya.

Mengkompromikan Ayat-ayat “Kontradiktif”
Terhadap ayat-ayat yang diklaim memiliki kontradiksi, kita wajib melakukan reintepretasi yang memungkinkan kita menghilangkan kontradiksi ini. Selama masih dapat dikompromikan (al-jam’), ayat-ayat ini harus dikompromikan sehingga ayat-ayat tersebut dapat diamalkan. Hal ini sesuai dengan kaidah al-Ashl fi al-dalil i’maluhu la Ihmaluhu (pada prinsipnya dalil harus diamalkan, tidak didiamkan).45
Ayat-ayat yang diklaim memiliki kontradiksi, yang jumlahnya sampai ratusan, menjadi faktor pendorong ulama untuk mencoba mengkompromikannya. Enam abad yang lalu al-Suyuthi telah mencoba mengkompromikan ayat-ayat tersebut, hingga tinggal dua puluh saja. Maka ulama dan cendekiawan abad XXI dengan fasilitas dan literatur ilmiyah yang berlimpah, diharapkan bisa menyelesaikan kedua puluh ayat ini.
Sebagai penutup dari tulisan ini, penulis mencoba mengetengahkan tawaran kompromi pada satu ayat yang dinyatakan al-Suyuthi sebagai ayat yang mansukh akibat upaya kompromi yang dilakukannya tidak membuahkan hasil.
Dalam Surat al-Baqarah ayat 234 disebutkan, Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber-`iddah) empat bulan sepuluh hari. Kemudian apabila telah habis `iddahnya, maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat.
Abdul Wahab Khalaf46 menyatakan bahwa ayat tersebut menaskh firman Allah Ta’ala pada Surat yang sama ayat 240, Dan orang-orang yang akan meninggal dunia di antaramu dan meninggalkan isteri, hendaklah berwasiat untuk isteri-isterinya, (yaitu) diberi nafkah hingga setahun lamanya dengan tidak disuruh pindah (dari rumahnya)...
Secara sepintas nampak kontradiksi pada kedua ayat tersebut, karena pada ayat 234 Surat al-Baqarah diterangkan bahwa masa iddah wafat bagi wanita yang tidak hamil adalah empat bulan sepuluh hari, sementara pada ayat 240 dinyatakan selama satu tahun.
Ali al-Shabuni menyatakan bahwa walaupun ayat “iddah empat bulan sepuluh hari” letaknya sebelum ayat “iddah satu tahun”, tetapi waktu turunnya ayat “iddah empat bulan sepuluh hari” setelah ayat “iddah satu tahun”. Sesungguhnya urutan mushaf tidak berdasarkan urutan turunnya ayat, tetapi merupakan petunjuk dari Allah (tawqifi). Dari sini dapat dinyatakan bahwa ayat pertama (iddah empat bulan sepuluh hari) menaskh ayat kedua (iddah satu tahu), dan yang demikian ini adalah pendapat mayoritas ulama.47 Perlu digarisbawahi adalah ijma’ ulama tentang urutan mushaf yang berdasarkan petunjuk Allah Ta’ala, bukan hasil ijtihad Rasulullah atau shahabat dan ulama sesudahnya. Hal ini dinyatakan oleh al-Suyuthi dalam al-Itqan.48
Namun hampir tidak bisa ditemukan berbagai riwayat yang mengatakan bahwa ayat sekian ditempatkan setelah ayat ini dan sebagainya. Sekiranya ada, maka Alquran membutuhkan sekian ribu riwayat Nabi atau shahabat tentang urutan ayat Alquran, mengingat ayat-ayat tersebut diturunkan secara terpisah dalam 23 tahun. Demikian tulis M. Quraish Shihab dalam pengantar buku Rekonstruksi Sejarah al-Qur’an.49 Kasarnya, ada sejarah yang hilang untuk menjelaskan beberapa ayat atau susunan ayat Alquran dari surat al-Fatihah sampai Surat al-Nas. Lanjut M. Quraish Shihab.50 Al-Jabari menyatakan bahwa keterangan bahwa keterangan shahabat tentang tanggal (turunnya ayat Alquran) sedikit sekali, dan yang sedikit ini tidak datang melalui jalur yang mutawatir atau masyhur.51
Sebatas penelitian penulis, tidak ada keterangan tanggal dan waktu turunnya kedua ayat tersebut, hingga kita dapat berkata bahwa ayat 234 Surat al-Baqarah diturunkan setelah ayat 240 pada Surat yang sama. Sehingga klaim naskh pada ayat iddah ini, menjadi lemah historis.
Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, penggunaan metode naskh harus dilakukan setelah metode jam’ (kompromis). Berikut dua kompromi yang penulis coba tawarkan:
Pertama, ayat yang menerangkan masa iddah selama empat bulan sepuluh hari bukanlah ayat yang menaskh, tetapi ia muhkamah (dijadikan sandaran hukum perundang-undangan). Ayat ini merupakan pengurangan dari masa iddah setahun, seperti shalat orang yang bepergian yang mengqashar empat rakaat menjadi dua rakaat. Baik iddah selama empat bulan maupun shalat qashar dua rakaat tidak merupakan naskh, melainkan dispensasi (rukhshah).52 Ketika kedua ayat iddah ini bersifat muhkamah, maka bagi wanita yang ditinggal mati suaminya dan ia tidak dalam keadaan hamil, maka ia berhak memilih masa iddah yang ia kehendaki.
Kedua, wanita yang beriddah tersebut memilih. Jika ia merupakan wanita yang sudah renta atau wanita yang muda sekalipun selama tidak berkehendak untuk menikah lagi dalam waktu dekat karena satu dan lain hal, maka hendaknya ia beriddah selama satu tahun dengan niat beribadah. Karena iddah adalah perintah Allah Ta’ala, dan melaksanakan perintah-Nya adalah ibadah. Semakin berat suatu ibadah dilaksanakan (bukan membuat-buat berat) akan semakin besar pahala yang diterima. Rasulullah pernah bersabda kepada Ummul Mukminin Aisyah, “Dan bagimu pahala sesuai kesulitanmu (dalam menunaikan ibadah tersebut) dan nafkahmu”.53 Wanita yang beriddah selama satu tahun—insya Allah—mendapatkan pahala lebih besar dari pada yang beriddah selama 4 bulan 10 hari.

Daftar Bacaan
Mushaf Al-Qur'an al-Karim
Abdul Ghani, As’ad, dan Mahmud, Ahmad Mukhtar, Muhadharat fi Ushul al-Fiqh (tingkat IV), (Cairo: Universitas al-Azhar, 2002)
Ahmadi, Muhammad Sya’rani, Tarjamah Tashil al-Thuruqat li Nadzm al-Waraqat, (Kudus: Penerbit Qudsiyah),
Al-Andalusi, Muhammad, Kitab al-Tashil li Ulum al-Tanzil, (Beirut: dar al-Fikr), tth
Al-Jabari, Abdul Muta’al Muhammad, al-Nasikh wa al-Mansukh Bayn al-Nafy wa al-Itsbat, (Cairo: Maktabah Wahbah, 1987)
Ibrahim bin Umar al-Ja’bary, Rusukh al-Akhbar fi Mansukh al-Akhbar, ttp. Tth
Kamal, Taufik Adnan, Rekonstruksi Sejarah al Quran, (Yogyakarta: Forum kajian Budaya dan Agama, 2001)
Khalaf, Abdul Wahab, ‘Ilm Ushul Fiqh, (Kuwait: Dar al-Kuwaitiyah, 1967), cet. VIII
Khirribah, Muhammad Abd al-Mun’im, Dirasat fi ‘Ulum al-Quran, (Cairo: Percetakan Hisan, 1983)
Al-Naisabury, Al-Hakim, al-Mustadrak ‘Ala al-Shahihain, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘ilmiyah, 1990)
Al-Qurthuby, Muhammad bin Ahmad, Tafsir al-Qurthuby, (Cairo: Dar al-Sya’b, 1372 H.), cet. II
Al-Rumzi, Abdul Aziz, Mandzumah al-Tafsir, (Surabaya: Maktabah al-Hidayah, 1960)
Al-Shabuni, Muhammad Ali, Rawa’i al-Bayan fi Tafsr Ayat al-Ahkam min Alquran, 1391 H. I/363
Al-Suyuthi, Jalaluddin, al-Itqan fi ‘Ulum Alquran, (Beirut: Dar al-Fikr, 1951)
Al-Thufi, Sulaiman bin Abdul Qawi, Syarh Mukhtashar al-Raudhah, (Kerajaan Saudi Arabiya: Kementrian Agama, Wakaf dan Dakwah, 1998)
Al-Zarqany, Muhammad Abd al-‘Azhim, Manahil al-‘Irfan fi ‘Ulum al-Qur`an, (Cairo: Percetakan al-Taufiqiyah), tth.
Al-Zuhaili, Wahbah, al-Wajiz, (Beirut: Dar al-Fikr al-Mu’ashir, 1997)

Kamis, 28 Mei 2009

MEMAKNAI MUSIBAH

Oleh: Andi Rahman

Kata “Musibah” berasal dari bahasa Arab. Kata ini berakar kata yang terdiri dari huruf Shad, Wawu dan Ba`, dan memiliki makna berkisar antara “mencapai”, “mengenai tepat sasaran”, “menimpa”, “memperoleh sesuatu”, dan “bancana atau kecelakaan”. Dalam bahasa Indonesia kata musibah berkonotasi negatif, ia sering diartikan sebagai bencana atau kecelakaan. Padahal dalam al-Qur`an kata “musibah” digunakan untuk mengungkapkan kejadian baik dan buruk yang menimpa seseorang sebagaimana dijelaskan dalam Surat al-Nisa ayat 79, al-Taubah ayat 50, al-Hajj ayat 11, dan al-Syura ayat 30.
Allah Ta’ala berfirman dalam Surat al-Nisa` ayat 79, “Kebajikan apapun yang kamu peroleh adalah dari sisi Allah, dan keburukan apapun yang menimpamu, itu dari (kesalahan) dirimu sendiri…”.
Tiap manusia akan memiliki jatah “musibah” sesuai dengan proporsi yang telah ditetapkan Allah Ta’ala, “…Dan bersabarlah atas apa yang menimpamu, sesungguhnya yang demikian itu termasuk perkara yang penting (yakni sebuah keniscayaan)” (QS. Luqman: 17). Dalam Surat al-Baqarah ayat 155-156, Allah berfirman, “Dan Kami pasti akan menguji kalian dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar. (Yaitu) Orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka berkata inna lillah wa inna ilaihi raji’un (sesungguhnya kami milik Allah, dan sesungguhnya kepada-Nya kami kembali)”.

Hikmah Musibah
Ada sebagian orang, dengan tidak merasa berdosa, membuat istilah yang kurang proporsional atau tidak ada kaitannya dengan musibah jebolnya tanggul di Situ Gintung, Tsunami di Aceh, luapan lumpur di Sidoarjo, dan gempa di Yogyakarta. Mereka menyatakan bahwa musibah itu terjadi karena alam sudah bosan atau karena Allah telah murka. Bahkan mereka tidak risih memvonis bencana tersebut sebagai azab. Seyogyanya kita bersikap empati dan arif dalam merespon dan menyikapi apapun peristiwa yang terjadi di bumi.
Musibah apapun yang menimpa umat Rasulullah tidak lepas dari dari 6 perkara:
Pertama, sebagai ujian keimanan. Allah berfirman dalam al-Qur`an Surat al-Ankabut ayat 1-2,
“Alif Lam Mim. Apakah manusia mengira bahwa mereka akan dibiarkan mengatakan, “Kami beriman”, dan mereka tidak diuji?! Dan sungguh, Kami telah menguji orang-orang sebelum mereka, maka Allah pasti akan mengetahui orang-orang yang benar (dengan keimanannya) dan orang-orang yang berdusta”.
Firman-Nya dalam Surat Muhammad ayat 31,
“Dan sungguh, Kami benar-benar akan menguji kamu sehingga Kami mengetahui orang-orang yang benar-benar berjihad dan bersabar di antara kamu, dan akan Kami uji perihal kamu”.
Kedua, sebagai upaya meningkatkan derajat keimanan. Semakin tinggi iman seseorang, semakin tinggi pula ujian yang ditimpakan kepadanya. Dalam al-Qur`an, Hadis dan Sirah Nabawiyah (sejarah nabi) banyak kita temukan kisah musibah yang menimpa para nabi. Nabi Nuh misalnya, selama 950 tahun berdakwah hanya mendapatkan sedikit orang yang beriman, sementara kebanyakan umatnya kufur bahkan memperoloknya (QS. Al-Ankabut ayat 14), Nabi Ibrahim dibakar Raja Namrudz (QS. Al-Anbaiya` ayat 57-70), Nabi Ayub yang diuji dengan ludesnya harta dan kematian hampir seluruh anggota keluarganya serta tubuhnya yang dijangkiti banyak penyakit (QS. Shad ayat 41), dan Rasulullah yang diejek dan disakiti orang-orang kafir Makkah, bahkan hendak dibunuh.
Rasulullah saat ditanya oleh Shahabat Sa’ad bin Abu Waqqash tentang orang yang paling berat cobaannya, beliau menjawab, “Para nabi. Kemudian orang-orang yang derajatnya dekat dengan para nabi”. (HR. al-Imam al-Hakim dan al-Imam al-Thabrani). Dalam sebuah Hadis yang diriwayatkan oleh al-Imam al-Bukhari dan al-Imam Muslim, Rasulullah bersabda, “Tidaklah seorang muslim terkena duri, atau lebih dari itu, kecuali Allah mengangkat baginya satu derajat, dan menghapuskan darinya satu dosa”.
Ketiga, sebagai bukti cinta Allah terhadap hamba-Nya. Dalam sebuah Hadis yang diriwayatkan oleh al-Imam Ahmad dan al-Imam al-Thabrani dari Mahmud bin Labid, bahwasanya Rasulullah bersabda, “Ketika Allah mencintai suatu kaum, Dia mengujinya (dengan memberinya musibah)”.
Keempat, sebagai tanda bahwa Allah menghendaki kebaikan bagi seseorang (segolongan kaum), kebaikan ini berbentuk pemberian pahala dan penghapusan dosa yang diberikan Allah bagi orang yang bersabar dalam menjalani musibah. Dalam sebuah Hadis yang diriwayatkan al-Imam al-Thabrani, Rasulullah bersabda, “Ketika Allah menghendaki kebaikan bagi hambanya, Dia mengujinya dengan bala’ (musibah). Dan ketika Allah menguji hambanya, Dia memberatkannya”. Saat para shahabat bertanya maksud dari “memberatkannya”, Rasulullah bersabda, “Allah tidak meninggalkan baginya keluarga dan harta”.
Al-Imam Abu Dawud meriwayatkan Hadis dari Shahabat Abu Musa al-Asy’ari, Rasulullah bersabda, “Umatku umat yang dirahmati, di mana tidak ada atas mereka siksaan di akhirat. Siksaan mereka di dunia berupa bencana, gempa dan pembunuhan”
Al-Imam Ahmad dan al-Imam al-Bazzar meriwayatkan sebuah Hadis yang kualitasnya hasan (semi shahih) dari Ummul Mukminin Aisyah, bahwasanya Rasulullah bersabda, “Ketika dosa seorang hamba sudah sedemikian banyak, dan tidak ada sesuatupun yang dapat menghapusnya, maka Allah mengujinya dengan kesusahan agar dosanya terhapuskan”.
Kelima, sebagai teguran atau peringatan. Dalam sebuah Hadis yang diriwayatkan oleh al-Imam Ibnu Hibban dari Shahabat Ubadah bin al-Shamit, Rasulullah bersabda,
“Tidak ada seorangpun dari kalian melanggar ketentuan (Agama) kemudian disegerakan siksaannya (sebagai hukuman), kecuali siksa itu menjadi kafarah (penebus dosanya). Dan siapa yang siksanya diakhirkan, maka urusannya dikembalikan kepada Allah; Kalau Allah menghendaki, Dia merahmatinya (mengampuni kesalahannya). Dan kalau Dia menghendaki, Dia akan menyiksanya” .
Dalam sebuah Hadis yang diriwayatkan oleh al-Imam al-Hakim, Rasulullah bersabda, “Ketika Allah menghendaki kebaikan bagi hamba-Nya, maka disegerakan baginya hukuman (di dunia ini) atas dosanya. Dan apabila Allah menghendaki keburukan pada hamba-Nya, Dia tahan hukuman dosanya di dunia, sehingga disiksa-Nya pada hari Kiamat.”
Keenam, sebagai siksa Allah di dunia. Dalam al-Qur`an Surat al-Anfal ayat 25, Allah menjelaskan bahwa ketika kemaksiatan dan kejahatan merajalela, dan tidak ada orang yang mencoba melakukan amar makruf nahi munkar, maka siksa Allah (musibah) akan menimpa mereka secara keseluruhan, “Dan peliharalah dirimu dari siksaan yang tidak hanya menimpa orang-orang zalim saja di antara kalian. Ketahuilah bahwa Allah sangat keras siksa-Nya.”. Dalam sebuah Hadis yang diriwayatkan oleh al-Imam Abu Dawud, Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya orang-orang yang melihat orang yang zhalim kemudian mereka tidak mengubahnya, maka hampir-hampir Allah meratakan mereka dengan siksaan dari-Nya”.
Dalam Hadis yang diriwayatkan oleh al-Imam al-Tirmidzi, Rasululullah bersabda, “Demi Dzat yang menguasai diriku, sungguh kamu akan menyuruh (berbuat) yang makruf dan mencegah dari yang munkar, atau kamu akan dikirimkan siksa dari Allah, kamudian kamu berdoa kepada-Nya dan tidak dikabulkan”

PAHALA SYAHID?!
Dalam sebuah Hadis muttafaq ‘alaih dinyatakan orang yang mati syahid ada lima; pejuang muslim yang mati di peperangan fi sabilillah, orang yang mati akibat tertimpa reruntuhan, wabah penyakit epidemis, tenggelam, dan sakit perut.
Berdasarkan Hadis di atas, para ulama membagi syahadah (mati syahid) menjadi tiga; Syahid di dunia dan di akhirat, syahid di akhirat saja, dan syahid di dunia saja. Orang yang mendapatkan predikat syahid di dunia dan akhirat adalah pejuang yang dengan niat yang ikhlas berperang fi sabilillah, dan mati di medan peperangan. Orang yang mendapat predikat syahid di akhirat saja adalah orang yang meninggal akibat tertimpa reruntuhan, wabah epidemis, tenggelam, dan sakit perut. Sementara orang yang syahid di dunia saja adalah orang yang mati dalam peperangan bersama pasukan kaum muslimin, tetapi ia tidak ikhlas dan ikut berperang karena pamrih duniawi.
Orang yang syahid di dunia-akhirat, dan syahid di akhirat saja, tidak usah dimandikan dan dishalati. Sedangkan orang yang syahid di dunia saja, wajib dimandikan dan dishalati sebagaimana orang yang mati biasa.
Pada tanggal awal bulan Januari 2005, MUI telah mengeluarkan fatwa yang isinya menyatakan bahwa korban bencana gempa dan tsunami di Aceh adalah syahid, yaitu mereka yang meninggal akibat tertimpa reruntuhan gempa dan tenggelam badai tsunami. Fatwa ini dapat juga diqiyaskan (disamakan) terhadap korban jebolnya tanggul Situ Gintung dan musibah lainnya.
Status korban musibah dan bencana alam apakah syahid atau ”sangit” tentunya hanya Allah yang tahu. Status ini akan berbeda bagi masing-masing korban. Orang baik yang meninggal dalam bencana alam, sangat mungkin akan mendapat pahala syahid. Sementara orang jahat dan banyak dosa yang menjai korban bencana alam, maka bisa ia bukan syahid. Menggeneralisasi seluruh korban bencana alam dalam satu penilaian, merupakan sebuah ”ketidaktepatan”.
Musibah jebolnya tanggul Situ Gintung tidak terjadi tanpa sebab. Ada kelalaian manusia dalam menjaga dan merawat tanggul tersebut, ditambah tentunya debit air yang melimpah akibat hujan yang turun dengan lebat. Penyelidikan terkait penyebab musibah ini perlu dilakukan agar pihak yang bersalah mendapat ganjarannya, kemudian kejadian seperti ini tidak terjadi lagi. Sambil melakukan tindak tanggap darurat bencana, kita bisa membantu mereka secara materil dan moril. Sikap empati dan doa juga perlu kita sampaikan agar mereka yang menjadi korban mendapatkan kebaikan dari Allah Ta’ala.
Al-Imam al-Thabrani meriwayatkan sebuah Hadis dhaif dari shahabat Ibnu Abbas, Rasulullah pernah bercerita bahwa seorang nabi pernah bermunajat kepada Allah tentang seseorang yang beriman dan beramal shaleh, tetapi ia mendapatkan cobaan dan musibah. Di sisi lain, ada orang yang kufur dan selalu melakukan maksiat, tetapi ia justru hidup kaya raya dan sejahtera di dunia. Allah menjawab munajat ini dengan menyatakan bahwa bumi dan seisinya adalah milik-Nya, dan seluruh makhluk harus memuji dan mensucikan-Nya. “Adapun hamba-Ku yang beriman dan (tentu ia) memiliki dosa, maka Aku timpakan musibah dan jauhkan darinya dunia (sebagai balasan dosanya di dunia), sehingga saat ia kembali kepada-Ku, Aku berikan pahala atas amal kebajikannya”, Demikian jawaban Allah Ta’ala. “Dan hamba-Ku yang kafir dan ia memiliki kebajikan, maka Aku jauhkan darinya musibah dan berikan padanya harta duniawi (sebagai balasan kebajikan yang dimilikinya), sehingga saat ia kembali kepada-Ku, Aku akan membalas kekufuran dan kejahatannya (dengan siksaan).”
Allah A’lam

Selasa, 26 Mei 2009

PROFIL TAFSIR DEPAG RI (telah dimuat dalam jurnal AL_BURHAN)

Oleh: Andi Rahman, MA
(http://www.ptiq.ac.id/index.php?option=com_content&task=view&id=89&Itemid=1)

A.Penyusunan Tafsir

Departemen Agama RI telah menyosialisasikan Tafsir ini dalam Jurnal Lektur Keagamaan yang diterbitkan oleh Puslitbang Lektur Keagamaan Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan Departemen Agama RI. Dalam sebuah artikel yang ditulis oleh M. Shohib Tahar, profil Tafsir ini diterangkan dengan lengkap.

Setelah menerbitkan Terjemah Al-Qur’an pada tahun 1965, Departemen Agama menyusun Tafsir Al-Qur`an yang ide penulisannya dilandasi oleh komitmen pemerintah untuk memenuhi kebutuhan masyarakat di bidang Kitab Suci, dan untuk membantu umat Islam dalam memahami kandungan Kitab Suci Alquran secara lebih mendalam.

Kehadiran tafsir Al-Qur’an tersebut sangat membantu masyarakat untuk memahami pengertian dan makna ayat-ayat Al-Qur’an, walaupun disadari bahwa tafsir Al-Qur’an sebagaimana terjemah Al-Qur’an dalam bahasa Indonesia tidak akan dapat sepenuhnya menggambarkan maksud ayat-ayat Al-Qur’an. Demikian sambutan Menteri Agama RI, Muhammad M. Basyuni.

Tafsir yang diberi nama Al-Qur’an dan Tafsirnya ini, disusun oleh sebuah tim yang dibentuk oleh Menteri Agama. Tim ini disebut Dewan Penyelenggara Pentafsir al-Qur`an. Tim ini bertugas menulis tafsir yang di kemudian hari disempurnakan oleh Tim Penyempurnaan Al-Qur`an dan Tafsirnya.
Sebagai kelanjutan dari terbitnya Al-Qur’an dan Terjemahnya, pada tahun 1972 dibentuklah Dewan Penyelenggara Pentafsir al-Qur’an yang diketuai oleh Prof. R.H.A. Soenarjo, S.H. guna menyusun tafsir Alquran. Pembentukan Tim ini didasarkan pada Keputusan Menteri Agama (KMA) No. 90 Tahun 1972. Setahun kemudian, KMA itu direvisi dengan KMA No. 8 Tahun 1973 yang salah satu isinya menetapkan Prof. H. Bustami A. Gani sebagai ketua Tim. Penyempurnaan tim dilakukan lagi melalui KMA RI No. 30 Tahun 1980 dengan ketua Tim yang baru yaitu Prof. KH. Ibrahim Hosen, LML.

Sebagai respon atas banyaknya tanggapan dan saran dari masyarakat terkait penyempurnaan al-Qur’an dan Tafsirnya, baik isi, format, maupun bahasa, Departemen Agama menerbitkan KMA RI No. 280 Tahun 2003 yang isinya memberikan mandat Pembentukan Tim Penyempurnaan al-Qur’an dan Tafsirnya Depag RI.
Pada awal kehadirannya, Tafsir Departemen Agama tidak dicetak utuh dalam 30 juz, melainkan bertahap. Percetakan pertama kali pada tahun 1975 berupa jilid I yang memuat juz I sampai juz III. Dan percetakan secara lengkap 30 juz baru dilakukan pada tahun anggaran 1980/1981 dengan format dan kualitas yang sederhana. Selanjutnya, Lajnah Pentashih Mushaf Al-Qur`an melakukan perbaikan dan penyempurnaan materi dan teknis penulisannya secara gradual. Perbaikan Tafsir yang relatif agak luas dilakukan pada tahun 1990. Perbaikan ini lebih banyak dilakukan pada sisi aspek kebahasaan dengan pertimbangan perkembangan bahasa, dinamika masyarakat serta ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek).iii Berikut adalah aspek-aspek perbaikan dan penyempurnaan yang ada dalam Tafsir edisi 2004:
1.Bahasa, sesuai perkembangan bahasa Indonesia kontemporer
2.Substansi, yang terkait makna dan kandungan ayat
3.Munâsabah dan asbâb nuzûl
4.Transliterasi yang mengacu pada Pedoman Transliterasi Arab-Latin berdasarkan SKB Dua Menteri tahun 1978
5.Teks ayat Alquran dengan menggunakan rasm Utsmânî yang diambil dari Mushaf Al-Qur’an Standar yang ditulis ulang
6.Terjemah ayat dengan mengacu kepada Al-Qur’an dan Terjemahnya Departemen Agama yang disempurnakan (edisi 2002)
7.Dengan melengkapi kosa kata yang fungsinya menjelaskan makna lafal tertentu yang terdapat dalam kelompok ayat yang ditafsirkan
8.Dengan mencantumkan indeks pada bagian akhir setiap jilid
9.Dengan membedakan karakteristik penulisan teks Arab antara kelompok ayat yang ditafsirkan, dengan ayat-ayat pendukung dan penulisan teks hadis.


B. Sumber Rujukan

Baik saat penyusunan awal hingga tahapan penyempurnaan, Tafsir ini ditulis secara kolektif oleh tim yang terdiri dari pakar-pakar tafsir, hadis, dan ilmu-ilmu keislaman lainnya yang terkait. Referensi yang digunakan saat penyempurnaan juga mengalami penambahan. Awalnya, kitab-kitab tafsir yang masyhur seperti tafsir al-Marâgî, Tafsir Mahâsin al-Ta`wîl, tafsir Anwar al-Tanzîl wa Asrâr al-Ta`wîl, dan Tafsir Ibn Katsîr. Sementara dalam edisi revisi, setidaknya ada 60 literatur yang dikutip, termasuk di dalamnya Bibel yang seringkali dinamakan riwayat isrâiliyat.
Terkait dengan penggunaan Bibel sebagai sumber, penulis menganggap hal ini menarik walaupun sebenarnya bukan hal yang baru. Kitab-kitab tafsir klasik seperti al-Tabarî dan al-Qurtubî juga telah menjadikan isrâiliyat sebagai rujukannya. Sependek pembacaan penulis, tidak ada larangan atau anjuran mengambil informasi dari Bibel atau dari para pemuka agama Nashrani dan Yahudi, dalam artian bahwa keterangan dan informasi itu seratus persen benar atau salah sama sekali. Dalam sebuah hadis, Rasulullah menyatakan bahwa informasi yang berasal dari al-Kitab (Bibel) dan ahli kitab statusnya mengambang dan tingkat kebenaran dan kesalahannya sama-sama lima puluh persen,
لا تُصَدِّقُوا أهْلَ الكتابِ ولا تكذِّبُوهم وقُوْلُوا آمنَّا بِالله وما أُنْزِل إلينا وما أنزل إليْكُم... الآية
”Janganlah kalian membenarkan ahli kitab dan jangan pula mendustakan mereka. Tetapi katakanlah bahwa kalian beriman kepada apa-apa yang telah diturunkan Allah kepada kita dan apa-apa yang telah diturunkan kepada kalian” (HR. Al-Bukhârî dari Abu Hurayrah).v
Saat menafsirkan ayat 30 surah Yûsuf, Tafsir ini enggan berpolemik seputar identitas al-’Azîz dan istrinya. Hal ini dikarenakan nama-nama tersebut tidak terdapat dalam riwayat yang sahîh,vi walaupun ada banyak riwayat dalam tafsir-tafsir dan literatur lainnya yang menyebutkan namanya. Namun saat menafsirkan ayat 246-252 surah al-Baqarah, Tafsir ini memberikan penjelasan panjang (hampir empat halaman) terkait kisah Samuel dan Dâwud, dengan menggunakan Bibel sebagai rujukannya.vii
Penggunaan Bibel, dengan melihat kasus ”istri al-’Azîz” dan ”Samuel”, sedikit menggambarkan adanya inkonsistensi terkait penggunaan sumber yang valid dan riwayat yang sahîh sebagai rujukan Tafsir ini.


C. Metodologi Penulisan

Tafsir ini menggunakan metode tahlîlî atau penafsiran ayat per ayat sesuai urutan yang ada dalam mushâf mulai al-Fâtihah hingga al-Nâs. Penafsiran dilakukan sesuai topik yang bisa terdiri dari beberapa ayat dan terkadang hanya satu ayat saja. Sementara untuk menentukan topiknya, dilakukan penelitian terkait keselarasan kandungan (munâsabah) yang ada dalam ayat.
Beberapa ayat yang memiliki tema yang sama disatukan dalam satu topik dan ditafsirkan secara pararel. Jika satu ayat memiliki kandungan tema yang utuh, sementara ayat sebelumnya dan sesudahnya tidak memiliki keterkaitan tema dengannya, maka satu ayat tersebut ditafsirkan sendirian, misalnya ayat 92 surah Âlu ’Imrân.

Setiap ayat ditulis terpisah dari ayat yang lain. Pemisah antar ayat tersebut adalah nomor ayat tersebut yang ditulis dalam kurung. Terjemahan ayat diambil dari Al-Quran dan Terjemahnya yang telah diterbitkan oleh Depag RI terlebih dahulu.

Penafsiran dimulai dengan menerangkan secara singkat kandungan surahnya. Informasi singkat seputar surah dipaparkan, misalnya nama surah (terkadang disebutkan dari mana penamaan surah itu berasal), jumlah ayatnya, apakah ia masuk kategori makiyah atau madaniyah, dan pokok-pokok isinya. Munasabah atau keselarasan isi antar ayat, antar topik, dan satu surah dengan surah selanjutnya juga diterangkan.

Terkait dengan penafsiran ayat per ayat, pada umumnya kesimpulan ayat-ayat sebelumnya diterangkan secara sekilas. Asbâb nuzûl atau kondisi yang melatar belakangi turunnya ayat juga dijelaskan. Jika ayat yang ditafsirkan mengandung masalah fiqh, maka kadang-kadang pendapat para sahabat, tabi’in dan ulama disebutkan.

Tafsir ini juga banyak mengeksplorasi kajian kebahasaan terkait etimologi kosa kata (satu kata berbahasa Arab seringkali memiliki banyak makna), derivasi dan kanjugasi kata, serta repetisi atau pengulangan kata tersebut (beserta turunannya berupa konjugasi dan derivasinya) dalam Alquran. Kajian kebahasaan ini banyak kita dapati di awal penafsiran ayat, misalnya dalam penafsiran ayat 1 dan 2 surah al-Fâtihah.viii

Dalam melakukan penafsiran banyak dicantumkan ayat Alquran dan hadis. Hal ini mempertegas corak bi al-ma’tsûr tafsir ini, di mana penjelasan suatu ayat dilakukan dengan mengaitkannya dengan ayat lain yang relevan dan dengan hadis.

Di akhir pembahasan dibuatkan kesimpulan berupa intisari dan nilai yang terkandung dalam ayat. Karena Tafsir ini bercorak hidaî, maka dalam kesimpulan akhir diketengahkan sisi-sisi hidayah dari ayat yang ditafsirkan.ix Poin-poin kesimpulan disebutkan dalam pointers dengan menggunakan angka, dengan redaksi yang singkat dan mudah dimengerti.


D. Bentuk dan Corak Tafsir

Tafsir Depag RI adalah tafsir bi al-ma’tsûr atau bi al-riwâyah, di mana penafsirannya berdasarkan nash-nash berupa ayat Alquran, hadis, serta pendapat sahabat dan tabi’in. Bentuk penafsiran seperti ini mengandalkan riwayat-riwayat yang telah ada, dengan tetap melakukan relevansi serta aktualisasi dengan kondisi sekarang.

Sementara ditinjau dari sisi coraknya tafsir ini adalah tafsir sunnî, yaitu tafsir yang menggunakan dasar-dasar atau prinsip-prinsip ahlus sunnah wal jamaah. Term ahlus sunnah di sini adalah Asy’ariyyah/Maturidiyyah sebagai pembanding dari syî’ah.

Tafsir ini mengangkat sisi kebahasaan (lugawî) sekaligus sisi filosofis (falsafi), hukum (ahkâm), dan logika ilmu pengetahuan (’ilmî). Terkait dengan penafsiran ayat hukum, tafsir ini mengunggulkan madzhab Syâfi’î dengan banyak menyebutkan dalil yang menguatkan madzhab ini. Misalnya saat menafsirkan kata ”qurû” dalam surah al-Baqarah ayat 228, tafsir ini cenderung mendukung pendapat yang mengartikannya sebagai suci, pendapat yang populer dalam madzhab Syâfi’î. Padahal dari sisi kebahasaan, arti quru` adalah suci dan hayd (menstruasi) sekaligus.x Hal yang serupa juga terjadi saat memaparkan perbedaan pendapat seputar pelafalan basmalah dalam surah al-Fâtihah, di mana Tafsir ini banyak menyebutkan dalil yang memperkuat pendapat madzhab Syâfi’î yang menyatakan bahwa basmalah adalah bagian dari al-Fâtihah.xi


E. Periwayatan Hadis Dalam Tafsir

Tafsir Depag RI banyak memuat riwayat (hadis) dengan berbagai variasi penukilannya. Idealnya, dalam menukil hadis kita menyebutkan redaksinya dalam bahasa Arab (matannya) beserta terjemahnya dan dengan menyebutkan sumber hadis itu (mukharrij) beserta penilaian atas kualitas hadis itu, baik penilaian tersebut merupakan penilaian sendiri maupun kutipan dari orang lain.

Jika diperlukan, nama perawi sahabatnya juga dicantumkan untuk membantu proses verifikasi dan penilaian atas kualitas hadisnya. Karena satu hadis terkadang diriwayatkan oleh lebih dari satu sahabat. Jika ada hadis yang diriwayatkan oleh lebih dari satu sahabat, maka penakhrîjan dilakukan atas hadis yang diriwayatkan oleh sahabat yang telah ditentukan.

Dalam banyak tempat, Tafsir ini melakukan penyebutan hadis (matan dan sanadnya) beserta mukharrij, perawi sahabatnya dan kualitas dari hadis itu sendiri. Namun demikian, tidak jarang penyebutan hadis dilakukan tidak seperti itu. Berikut adalah variasi penyebutan dan pengutipan hadis yang ada dalam Tafsir ini:
1.Mengisyaratkan hadis tanpa menyebutkan sama sekali redaksi atau matan hadisnya dan mukharrijnya. Misalnya saat menyatakan bahwa peletakan surah dalam Alquran adalah berdasarkan tawqîfi atau petunjuk dari Allah yang disampaikan kepada Nabi Muhammad.xii Pernyataan ini tentu berdasarkan fakta, dan fakta yang terkait hal-hal yang bersifat gaib pasti memiliki riwayat. Karena tidak mungkin informasi adanya ”petunjuk” Allah ini merupaka hasil perenungan seseorang, ijtihad, atau sekedar asumsi saja. Peristiwa ”penunjukan” letak surah-surah dalam Alquran pastilah berdasarkan kabar dan berita dari Rasulullah. Kabar dan berita ini terekam dalam riwayat-riwayat yang kita kenal sebagai hadis.
2.Menyebutkan terjemah hadis tanpa menyebutkan redaksi hadisnya (matannya) dalam berbahasa Arab. Misalnya saat menafsirkan ayat 71 surah al-Baqarah, Tafsir ini menyatakan: Dalam suatu hadis disebutkan, ”Kalau sekiranya mereka langsung menyembelih saja seekor sapi betina di kala mereka menerima perintah, cukuplah sudah. Tetapi mereka mengajukan pertanyaan yang memberatkan mereka sendiri, maka Allah pun memberatkannya” (Riwayat Ibnu Jarir dari Ibnu ’Abbas).xiii
3.Menyebutkan adanya riwayat tanpa penjelasan apakah riwayat itu marfû’ (dinisbatkan kepada Rasulullah) atau mawqûf (nisbatnya kepada sahabat), misalnya pada saat menafsirkan surah al-Fâtihah disebutkan: ”...Menurut riwayat, di sekitar Ka’bah terdapat 360 buah patung.”xiv
Dengan membaca redaksinya, kita akan dapati kemungkinan riwayat tersebut bersifat marfû’ atau mawqûf, karena bisa saja Rasululah memberitakan kondisi ini kepada sahabat, di waktu yang sama bisa juga sahabat itu yang mengisahkan apa yang dilihatnya pada masa sebelum Rasulullah di angkat menjadi rasul. Para sahabat senior seperti Abû Bakar dan ’Umar bin al-Khatab mengetahui kondisi Ka’bah sebelum kerasulan Muhammad didakwahkan.
Status hadis sebagai marfû’ dan mauqûf memiliki korelasi dengan kehujjahannya, di mana hadis yang berasal dari Rasulullah dipastikan menjadi hujjah, sementara jika hadis itu dinisbatkan kepada sahabat kehujjahannya masih diperdebatkan.
4.Menyebutkan hadis mawqûf tanpa penjelasan atas mukharrij hadisnya. misalnya saat memaparkan perbedaan terkait basmalah apakah ia termasuk ayat dalam al-Fâtihah atau bukan, dinyatakan: Abu Hurayrah juga salat dan mengeraskan bacaan basmalah. Setelah selesai salat, dia berkata: saya ini adalah orang yang salatnya paling mirip dengan Rasulullah.xv
5.Mengutip hadis dari mukharrij yang tidak populer, seperti ’Abd al-Qadir al-Rahâwî dalam masalah memulai perbuatan dengan membaca basmalah,xvi (sementara riwayat yang terekam dalam kitab populer adalah memulai perbuatan dengan hamdalah).
6.Menyebutkan matan hadis dan mukharrijnya tanpa penjelasan siapa perawi sahabatnya. Misalnya kutipan hadis ”Allah hanya sayang kepada hamba-hamba-Nya yang pengasih” (Riwayat at-Tabrânî).xvii Penyebutan perawi sahabat akan memudahkan proses takhrîj dengan menggunakan metode ”musnad”.
7.Menyebutkan hadis secara tidak lengkap seperti saat menafsirkan ayat 62 surah al-Baqarah disebutkan potongan hadis: ”Agar kamu beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan pada hari Kiamat, dan kamu percaya qadar baik atau buruk. (Riwayat Muslim dari ’Umar r.a.).xviii Kebolehan memotong hadis masih menjadi perdebatan di kalangan ulama.xix
8.Menyebutkan matan hadis, perawi sahabat yang meriwayatkannya beserta penilaian atas hadis tersebut. Misalnya saat memaparkan perdebatan seputar status basmalah dalam surah al-Fâtihah, Tafsir ini mengutip hadis yang diriwayatkan oleh Ahmad, Abû Dâwud, Ibnu Khuzaymah, dan al-Hâkim yang dijadikan dalil bahwa basmalah merupakan bagian dari al-Fâtihah. Di akhir kutipan hadis itu disebutkan penilaian dari al-Dâruqutnî bahwa hadis itu sanadnya sahîh.xx
9.Menyebut matan hadis beserta mukharrij dan perawi sahabatnya tanpa menyebutkan sanad dan kualitas hadis. Misalnya saat menyebutkan dalil yang mendukung pendapat bahwa basmalah tidak termasuk bagian dari surah al-Fâtihah, Tafsir ini mengutip hadis yang diriwayatkan oleh al-Bukhârî dan Muslim dari sahabat Anas bin Malik.xxi
Variasi cara penyebutan hadis ini, dalam satu sisi memang diperlukan agar tidak menimbulkan kejemuan pembaca. Namun di sisi lain, hal-hal prinsip dalam penukilan hadis tetap perlu dijaga.
Saat seseorang menyebutkan sebuah hadis, maka hadis itu haruslah sahîh, atau setidaknya hasan. Karena hanya hadis sahîh dan hasan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah sebagai dalil. Sementara jika hadis yang disebutkan kualitasnya da’îf, maka perlu dijelaskan keda’îfannya.xxii Atau jika kualitas hadisnya tidak disebutkan, maka sanadnya perlu dicantumkan agar pembaca dapat melakukan kajian lanjutan terkait penilaian atas kualitas hadis itu.
’Ali Mustafa Yaqub, salah seorang anggota tim, menyatakan bahwa penyebutan hadis da’îf dalam Tafsir ini dimungkinkan selama masih sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan oleh para ulama. Jika di kemudian hari terdapat kajian yang menyatakan bahwa ada hadis yang da’îf yang tidak sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan ulama, atau bahkan hadisnya mawdû’, maka kemungkinan dilakukan revisi dan perbaikan atas Tafsir ini selalu terbuka. Secara pribadi, Ali Mustafa Yaqub menyarankan pihak-pihak yang berkompeten agar melakukan kajian atas Tafsir ini, dan menyampaikan hasil kajiannya kepada pihak-pihak terkait.xxiii

F. Kualitas Riwayat
Penulis meneliti kualitas riwayat yang ada dalam Tafsir Depag RI. Ada 115 riwayat yang dikaji, yang terdapat dalam dua surah al-Fatihah dan al-Baqarah. Penelitian dilakukan pada aspek nisbat riwayat (marfû’, mawqûf, atau maqthû’), jenis periwayatannya (hadis atau sabab nuzul), dan kesahihannya. Berikut adalah perinciannya,
Pertama, berdasarkan nisbah:
1.Sebanyak 90 riwayat, atau 78% dari total riwayat yang dikaji, diasosiasikan kepada Rasulullah atau yang lebih dikenal sebagai hadis marfû’.
2.Riwayat yang diasosiasikan kepada sahabat, yang lebih dikenal sebagai hadis mawqûf, ada 23 riwayat atau 20% dari total riwayat yang dikaji.
3.Riwayat yang diasosiasikan kepada tabi’in, yang lebih dikenal dengan istilah hadis maqtû’, ada 1 riwayat atau 1%.
4.Dan 1 riwayat atau 1% total riwayat yang dikaji, penulis tidak mengetahui penisbatannya, karena sumber-sumber yang memuat periwayatannya tidak menyebutkan sanad.
Kedua, berdasarkan dengan jenis periwayatannya:
1.Sebanyak 84 riwayat, atau 73% dari total riwayat yang dikaji, merupakan hadis.
2.Sisanya sebanyak 31 riwayat, atau 27% dari total riwayat yang dikaji, masuk kategori Asbâb al-Nuzûl atau riwayat yang menjadi latar belakang turunnya ayat. Ketiga, berdasarkan kualitas:
1. Sebanyak 77 riwayat, atau 67% dari total riwayat yang dikaji, kualitasnya sahîh
2. Sebanyak 12 riwayat, atau 10% dari total riwayat yang dikaji kualitasnya hasan
3. Sebanyak 23 riwayat, atau 20% dari total riwayat yang dikaji, kualitasnya da’îf dengan 2 riwayat masuk kategori palsu
4. Dan 3 riwayat, atau 3% dari total riwayat yang dikaji, penulis tidak memberi penilaian karena ketiadaan sanad yang memungkinkan dilakukan kajian takhrîj.
Terkait dengan penyampaian riwayat, penulis mendapati beberapa kekurangan yang perlu diperbaiki oleh Tafsir ini, misalnya: Kesalahan pengutipan berupa penisbahan atau asosiasi riwayat kepada mukharrij yang ternyata tidak meriwayatkannya, pengutipan matan secara tidak tepat, kekeliruan dalam penyebutan perawi sahabat (seperti Abu Mas’ûd dikira Ibn Mas’ûd), kekurangcermatan berupa penyebutan hadis yang diriwayatkan oleh al-Bukhârî dan Muslim dengan pernyataan bahwa hadis itu diriwayatkan oleh hanya salah satu dari keduanya, kekurangcermatan berupa penyebutan bahwa al-Bukhârî dan Muslim meriwayatkan sebuah hadis, padahal sebenarnya hanya salah satu dari keduanya yang meriwayatkannya, penggunaan riwayat yang kurang kuat padahal ada riwayat lain yang dimiliki al-Bukhâri dan atau Muslim, atau riwayat lain yang lebih kuat.
Penelitian ini jelas tidak menggambarkan secara utuh tentang periwayatan yang ada dala tafsir Depag RI. Namun temuan-temuan yang penulis paparkan perlu mendapatkan perhatian dari pihak terkait agar tafsir ini menjadi lebih baik. Penulis menyarankan beberapa hal:
1.Pihak-pihak terkait melakukan kajian ulang yang komprehensif terkait keabsahan (kesahîhan) seluruh riwayat yang ada dalam kajian Tafsir ini. Selain dilakukan oleh Tim penulis Tafsir Depag itu sendiri, kajian ini juga melibatkan pihak-pihak lain yang berkompeten seperti kalangan akademisi di universitas dan pesantren.
2.Riwayat-riwayat yang da’îf dihilangkan dari Tafsir ini. Jika memang dianggap perlu untuk mencantumkan riwayat yang da’îf dalam Tafsir ini, maka hendaknya diberikan penjelasan yang lugas terkait keda’îfannya.
3.Pengutipan riwayat dilakukan secara cermat dan bertanggungjawab, dalam artian dijelaskan kualitas-kualitasnya (kesahîhannya), sumber rujukan (mukharrijnya), dan dengan memilihkan periwayatan yang lebih sahîh ketika ada lebih dari satu riwayat dalam satu permasalahan.

Rabu, 13 Mei 2009

SAMPAI KAPAN KITA MELAKUKAN SHALAT GAHIB?!

Seorang 'alim dari madzhab Hanbali, al-Imam Abdullah bin Ahmad al-Maqdisi, yang lebih kita kenal sebagai Ibn Qudamah, dalam kitabnya yang bernama al-Mughni, menyatakan bahwa shalat mayit dan shalat Ghaib tetap berlaku sampai satu bulan semenjak waktu kematian (al-Mughni III/447).

Rentan waktu satu bulan ini, berbeda dengan pendapat kyai Ahid yang menyatakan bahwa shalat masih diperbolehkan sampai waktu terlewat delapan tahun, bahkan lebih dari delapan tahun, di mana sekiranya ketika seseorang meninggal kita sudah mukallaf (aqil baligh), maka kita bisa menyalatinya kapan saja kita mau. Beliau berdalil dengan Hadis riwayat Shahabat Uqbah bin Amir yang menyatakan bahwa Rasulullah pernah melaksanakan shalat ghaib atas para pahlawan perang Uhud (HR. Bukhari I/451; Muslim IV/1795; Ahmad IV/149; Abu Dawud III/216; Ibn Hibban VII/472; dan al-Baihaqi IV/14), "Sesungguhnya Rasulullah menyalati para pahlawan perang Uhud setelah delapan tahun, seperti sebuah prosesi perpisahan antara orang yang masih hidup dengan orang yang telah wafat" (HR. Abu Dawud III/216 juga dari Uqbah bin Amir).


SHALAT MAYIT

Menyalati mayit hakikatnya adalah doa baginya, sekiranya ia termasuk orang yang baik, maka semoga Allah Ta'ala menerima kebajikannya dan melipatgandakannya, dan semisal ia termasuk orang yang tidak baik, maka semoga Allah Ta'ala mengampuni dan memaafkannya. Hal ini merupakan ajaran Allah Ta'ala kepada kita, seperti dalam Surat al-Hasyr ayat 10,"Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshar), mereka berdoa: "Ya Tuhan kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Tuhan kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang".

"Kyai, apakah orang yang sudah meninggal masih bisa berbuat kebajikan?" Tanya kang Jamil.
"Orang yang telah meninggal memang tidak bisa beramal kebajikan, kematiannya menghilangkan status ke-mukallaf-annya, ia tidak mendapatkan pahala bila membaca al-Quran, atau mendapatkan ampunan saat beristighfar, atau berdoa untuk kebaikan dirinya dan orang lain yang dicintainya". Jawab kyai Ahid.

"Namun ia bisa mendapatkan kebaikan dari orang lain yang masih hidup" Lanjut baliau, "Misalnya doa dan istighfar baginya, atau pembayaran yang dilakukan ahli warisnya atas namanya, atau qadha puasa dan shalat yang ditinggalkannya".

"Tapi Kyai, bukankah manusia hanya mendapatkan kebajikan yang dilakukannya?" Tanya 'lik Sulaiman.
"Betul, tiap manusia akan menerima balasan amal perbuatannya dengan adil dari sisi Allah Ta'ala, tapi hal tersebut tidak meniadakan kebajikan yang dilakukan orang lain atas namanya, karena terdapat banyak keterangan dari al-Quran dan Hadis yang menjelaskan demikian". Kemudian kyai Ahid membuka mushaf dan beberapa kitab Hadis untuk menyebutkan ayat dan Hadis-hadis yang beliau maksudkan.


Daftar Bacaan
Al-Quran al-Karim
Al-Bukhari (Muhammad bin Ismail), Shahih al-Bukhari (Beirut: Dar Ibn Katsir, 1987), cet. III.
Al-Naisabury (Muslim bin al-Hajjaj), Shahih Muslim (Beirut: Dar Ihya al-Turats al-'Araby), dt.
Al-Syaibani (Ahmad bin Hanbal), Musnad Ahmad (Mesir: Muassasah Qurthubah), dt.
Al-Sijistani (Sulaiman bin al-Asy'ast, Sunan Abu Dawud (Beirut: Dar al-Fikr), dt.
Al-Baihaqy (Ahmad bin al-Husain), Sunan al-Baihaqi al-Kubra (Makkah: Maktabah Dar al-Baz, 1994)
Al-Tabhrani (Sulaiman bin Ahmad, al-Mu'jam al-Kabir (Musol: Maktabah al-Ulum wa al-Hikam, 1983), cet. II.
Al-Tamimi (Muhammad bin Hibban), Shahih Ibn Hibban (Beirut: Muassasah al-Risalah, 1993), cet. II.
Al-Maqdisi (Abdullah bin Ahmad), al-Mughni, (Riyadh: Dar Alam al-Kutub, 1997), cet. III

WAWANCARA IMAJINER DENGAN IMAM IBN MAJAH

berikut adalah tulisan kecil yang saya buat saat mengajukan proposal penyediaan mushala di kampus.
***


Kemarin sore saya mengunjungi Kyai Achied, dan sempat berbincang-bincang dengan beliau sebentar tentang Mushala MAFAZA. Berikut adalah petikannya:

Saya (S) :Alhamdulillah, akhirnya mahasiwa Fakultas Dirasat Islamiyah memiliki mushala sendiri.

Kyai Achied (K.A) :Oh ya, Syukurlah kalau demikian. Apa nama mushalanya

(S) :Kami menamainya mushala MAFAZA, singkatan dari Madrasah Fikriyah Al-Azhar. Karena fakultas kami pada awalnya bernama Fakultas Al-Azhar.
(K.A) :Alhamdulillah, sebuah nama yang baik, dalam Alquran Surat al-Naba ayat 31 disebutkan,
إن للمتقين مفازا
Artinya: Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa mendapat mafaza (kemenangan).
Semoga nama yang bagus ini menimbulkan rasa optimis sekaligus sebuah doa semoga kiranya para mahasiswa Fakultas Dirasat Islamiyah menjadi pemimpin-pemimpin yang bertaqwa dan selalu memperoleh kemenangan dan keberhasilan dalam hidup.

(S) :Amin, semoga demikian. Sebenarnya saya ingin meperbincangkan dengan Kyai tentang mushala MAFAZA, saya mengharapkan taujih dan saran dari kyai untuk mushala MAFAZA.

(K.A) :Pertama saya ingin mengucapkan selamat dan rasa kagum saya kepada mahasiswa yang mau menghidupkan dan memakmurkan mushala MAFAZA. Dalam sebuah Hadis riwayat Shahabat Umar bin al-Khathab, sesungguhnya Rasulullah bersabda,"Siapa yang membangun masjid untuk diperguna-kan berdzikir kepada Allah Ta'ala, maka Allah Ta'ala akan membangunkan baginya rumah di surga." Shahabat Jabir bin Abdullah juga meriwayatkan Hadis, bahwasanya Rasulullah bersabda, "Siapa yang membangun masjid walaupun sesederhana sarang burung, maka Allah Ta'ala akan membangunkan baginya sebuah rumah di surga.

(S) :Sebenarnya mushala MAFAZA itu hanya merupakan pelataran di samping kelas, dan walaupun kami menginginkan agar mushala MAFAZA berada di ruangan tertutup, tapi nampaknya ruangan-ruangan yang ada di fakultas sudah dipergunakan untuk kantor, jadi ya itu tadi, mushalanya hanya di pelataran, yang dialasi karpet dan hijab antara akhawat dan ikhwannya hanya berupa korden.

(K.A) :Shahabat Said bin al-Khudri pernah meriwayatkan Hadis, Bahwasanya Rasulullah pernah bersabda, Sesungguhnya seluruh bumi itu masjid, kecuali kuburan dan kamar mandi.Dan dalam Hadis riwayat Shahabat Ibn Umar, disebutkan bahwa Rasulullah melarang kita shalat di tujuh tempat, yaitu tempat sampah, tempat penjagalan hewan, kuburan, tengah-tengah jalan, kamar mandi, kandang hewan ternak, dan di atas ka'bah. Artinya mushala MAFAZA yang berada di pelataran kelas, tetap dibenarkan dipuji oleh Agama. Dalam sebuah Hadis yang diriwayatkan oleh Ummul Mukminin Aisyah bahwa Nabi Muhammad memerintahkan kita untuk membangun masjid-masjid di desa-desa, dan beliau juga memerintahkan agar masjid-masjid tersebut dibersihkan dan diharum-harumi. Menurut saya, jika dilihat dari sisi praktis fungsionalnya, mushala itu sama dengan masjid. Sehingga perintah membangun masjid sama dengan perintah membangun mushala. Apalagi untuk Fakultas Dirasat Islamiyah yang nota benenya merupakan lembaga pendidikan Islam, sudah selayaknya memiliki masjid atau mushala sendiri, sebagai tempat pelaksanaan ibadah, dan aktivitas keilmuan, sosial dan peribadatan lainnya.

(S) :Kyai punya saran atau usulan tentang aktivitas yang kami dilakukan di mushala?

(K.A) :Mushala MAFAZA selayaknya dipergunakan untuk semua aktivitas yang berhubungan dengan peribadatan, dakwah islamiyah, sosial, dan aktivitas keilmuan yang berhubungan dengan fakultas.
Sahabat Buraidah pernah meriwayatkan Hadis, bahwasanya Rasulullah pernah bersabda, Sesungguhnya masjid dibangun untuk tujuannya sendiri. Maksudnya masjid atau mushala harus dipergunakan untuk hal-hal yang tadi telah saya sebutkan, yaitu untuk peribadatan, kajian keilmuan, aktivitas sosial dan dakwah islamiyah.
Ketika waktu shalat Dzuhur telah masuk misalnya, seharusnya salah seorang mahasiswa ada yang adzan di mushala, untuk kemudian seluruh mahasiswa melakukan shalat Dzuhur berjamaah. Karena shalat berjamaah jauh lebih utama dibandingkan dengan shalat sendirian, yang menurut Shahabat Ibn Umar, shalat berjamaah dua puluh tujuh kali lipat keutamaannya jika dibandingkan dengan shalat sendirian.
Bahkan Imam Ahmad bin Hanbal menyatakan bahwa shalat fardhu berjamaah adalah wajib hukumnya, dan Imam Abdullah bin Mubarok menyatakan bahwa orang yang tidak istiqamah dalam melaksanakan shalat berjamaah, maka semua Hadis yang diriwayatkannya bernilai lemah (dha'if).
Dan sudah selayaknya, ketika waktu shalat telah datang dan adzan telah dikumandangkan, maka kita harus segera ke mushala untuk menunaikan shalat berjamaah. Dan khusus bagi mereka yang telah berada di masjid atau mushala, ketika adzan telah dikumandangkan, eh kok malah keluar dari masjid atau mushala, maka ia dianggap munafik. Hal ini sesuai dengan penegasan dari Shahabat Usman bin Affan yang meriwayatkan Hadis, bahwasanya Rasulullah bersabda, Siapa yang mendapati adzan dan ia berada di masjid, kemudian ia malah keluar dari masjid tanpa keperluan apa-apa, dan ia tidak berkehendak kembali ke masjid, maka sesungguhnya ia adalah munafik.
Semisal ketika dosen berhalangan datang atau memang tidak ada mata kuliah sama sekali, maka mahasiswa bisa berada di mushala untuk membaca Alquran.
Mushala juga dapat digunakan untuk diskusi rutin, atau rapat dan musyawarah, selama tidak mengganggu aktivitas peribadatan.

(S) :Bagaimana menurut kyai, hukum orang yang tidur atau istirahat di masjid dan di mushala?

(K.A) :Tidur dan istirahat di dalam masjid atau mushala, hukumnya boleh, selama tidak mengganggu orang yang beribadah. Misalnya jika seorang mahasiswa merasa letih atau mengantuk, maka ia boleh tidur di mushala MAFAZA asalkan tidak di shaf pertama, sehingga ketika ada mahasiswa lain yang ingin melaksanakan shalat Dhuha, atau ingin membaca Alquran, maka ia bisa melakukannya di mushala tanpa terganggu dan mengganggu orang yang tidur tadi.
Dalam sebuah Hadis disebutkan bahwa Shahabat Ibn Umar berkata, Kami (para shahabat) tidur di masjid pada zaman Rasulullah.
Namun lagi-lagi perlu saya pertegas, bahwa kebolehan istirahat dan tidur di masjid atau mushala, adalah selama tidak mengganggu aktivitas peribadatan, karena masjid dan mushala dibangun sebagai tempat peribadatan.

(S) :Lalu untuk pengelolaan mushala itu sendiri, kami mengharapkan saran-saran dari Kyai.

(K.A) :Selayaknya mushala MAFAZA memiliki takmir, yang mengelola dan bertanggungjawab atas semua aktivitas yang dilakukan di mushala, juga masalah kebersihan dan kerapian mushala. Shahabat Abu Said al-Khudri meriwayatkan Hadis, Bahwasanya Rasulullah bersabda, Siapa yang menghilangkan gangguan dari masjid, maka Allah Ta'ala akan membangunkan baginya sebuah rumah di surga. Dan Ummul Mukminin Aisyah pernah meriwayatkan Hadis, Sesungguhnya Rasulullah memerintahkan pembangunan masjid di desa-desa, dan beliau juga memerintahkan agar masjid-masjid tersebut dibersihkan dan diharum-harumi.
Artinya Mushala takmir MAFAZA harus memiliki jadwal piket kebersihan. Selain itu takmir juga harus melarang mahasiswa merokok di dalam mushala, dan mempersilahkan mereka yang ingin merokok, untuk melakukannya di luar mushala. Hal ini penting karena Rasulullah pernah bersabda, Siapa yang memakan bawang, maka janganlah ia menyakiti kami di masjid kami ini.
Alasan Rasulullah melarang orang yang memakan bawang berada di dalam masjid, adalah aroma menyengat yang ditimbulkan dapat mengganggu orang yang beribadah. Hal ini dapat kita kiaskan dengan rokok, di mana orang yang merokok dapat mengganggu orang lain yang berada di sekitarnya sebab asap yang dihembuskannya.
Masih berkaitan dengan kebersihan, dinding dan hijab mushala hendaknya tidak ditempeli pengumuman dan pamflet-pamflet. Shahabat Buraidah pernah meriwayatkan Hadis, Bahwasanya Rasulullah sedang shalat, ketika beliau mendengar seseorang yang mencari-cari (dengan cara mengumumkan bahwa) untanya hilang. Kemudian Rasulullah bersabda, "Kamu tidak akan menemukannya, sesungguhnya masjid dibangun untuk tujuannya sendiri".
Kejadian yang disebutkan Hadis tersebut bisa kita samakan dengan orang yang yang menginformasikan sesuatu lewat pamflet. Selain demi kerapian dan kebersihan, pamflet-pamflet seharusnya ditempelkan di tempat pengumuman yang khusus.
Dan Saya kira takmir mushala MAFAZA dapat merumuskan sendiri aturan dan kebijakannya, sesuai dengan kebutuhan dan kondisi yang ada.

(S) :Ada saran dan pesan khusus untuk takmir mushala MAFAZA, Kyai?

(K.A) :Saya doakan semoga takmir mushala diberikan ketabahan dan kamampuan untuk menjalankan amanat pengelolaan mushala, juga keikhlasan. Dan Saya ingin membacakan ayat Alquran Surat al-Taubah ayat 18,
إنما يعمر مساجد الله من ءامن بالله واليوم الآخر
وأقام الصلاة وءاتى الزكاة ولم يخش إلا الله
فعسى أولئك أن يكونوا من المهتدين


Artinya,
Hanyalah yang memakmurkan mesjid-mesjid Allah ialah orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, serta tetap mendirikan shalat, menunaikan zakat dan tidak takut (kepada siapapun) selain kepada Allah, maka merekalah orang-orang yang diharapkan termasuk golongan orang-orang yang mendapat petunjuk.

Shahabat Jarir meriwayatkan Hadis, bahwasanya Rasulullah pernah bersabda,Siapa yang merintis sebuah sebuah amal kebajikan, di mana amal kebajikan tersebut diikuti oleh orang lain, maka baginya pahala amal kebajikan tersebut, dan baginya pula pahala orang-orang yang mengikutinya melakukan amal tersebut, dengan tanpa mengurangi pahala dari orang-orang yang mengikutinya.

(S) :Terima kasih, Kyai! Jazakumullah khairan.

(K.A) :Terima kasih kembali.

Perlu saya sampaikan, bahwa saat melakukan wawancara dengan Kyai Achied, beliau sedang membawa kitab Sunan Ibn Majah karya Imam Muhammad bin Yazid al-Qazwini, dan beliau juga menyatakan bahwa Hadis-hadis yang beliau sebutkan, semua terdapat dalam kitab tersebut. Sehingga—dengan sedikit berkelakar—beliau menyatakan bahwa wawancara ini pada hakikatnya adalah wawancara saya dengan Imam Ibn Majah.***