ME...

ME...
MUSCAT-OMAN 2005

Jumat, 12 Juni 2009

ISLAM MENGENTASKAN KEMISKINAN (opini republika 12 juni 2009)


Oleh: Andi Rahman, MA.

Islam menghendaki terwujudnya kehidupan yang berkecukupan, di mana setiap orang mampu menghidupi dirinya sendiri. Hal ini dilihat dari banyaknya ayat Alquran yang mensyariatkan zakat, sedekah, infaq dan sejenisnya. Orang yang menunaikan zakat atau infaq pastilah berkecukupan bahkan berkelebihan. secara tidak langsung, Alquran memerintahkan umat Islam untuk menjadi umat yang mapan secara ekonomi.
Walaupun Islam menyatakan ”keinginannya” agar seluruh umat Islam mapan, namun ia menyadari bahwa kemiskinan adalah sebuah keniscayaan. Kekayaan dan kemiskinan adalah ”keberpasangan” yang menjadi sunnatulah, seperti laki-laki dan perempuan, atau siang dan malam. Dan sikap Islam terhadap kemiskinan adalah jelas: Keberpihakan terhadap orang miskin.
Keberpihakan Islam terhadap kaum miskin bisa dilihat dari banyaknya instrumen ekonomi yang secara eksplisit terkait dengan pengentasan kemiskinan yang jumlahnya belasan, seperti zakat, infaq, shadaqah, wakaf, kaffarat, dam, khumus, ’usyur, ghanimah, fay’, fidyah, dan hibah.
Instrumen ekonomi ”pro orang miskin” ini tidak bersifat filantropis, sebagaimana yang dipahami oleh sebagian orang. Instrumen-instrumen ini harus dikelola oleh pemerintah bukan diserahkan kepada swasta, dan memiliki kekuatan hukum di mana orang yang enggan menunaikannya bisa diancam pidana dan perdata.
Instrumen ekonomi Islam tidak sama dengan pajak, mengingat penerima ”kebaikan” pajak adalah seluruh warga negara baik miskin maupun kaya, misalnya pembangunan infrastruktur dan subsidi BBM (bahan bakar minyak) yang ditetapkan oleh pemerintah. Sehingga kewajiban warga negara untuk menunaikan pajak tidak menggugurkan kewajiban menunaikan ”instrumen ekonomi Islam”, demikian juga sebaliknya.
Pihak-pihak yang menerima ”kabaikan” instrumen ekonomi Islam sudah ditetapkan oleh Islam. Faqir miskin adalah pihak yang dipastikan mendapat bagian dari seluruh instrumen tersebut. Hal ini merupakan gambaran tingginya keberpihakan Islam terhadap orang miskin.

KEWAJIBAN BERZAKAT
Zakat merupakan kewajiban yang masuk dalam kategori ma’lum min al-din bi al-dharurah di mana orang yang mengingkari kewajiban zakat menjadi murtad. Hal ini karena kewajiban zakat telah dijelaskan dalam banyak ayat Alquran (misalnya al-Baqarah 43) dan hadis shahih (misalnya hadis tentang rukun Islam). Khalifah Abu Bakar pernah menyatakan bahwa orang yang membeda-bedakan antara kewajiban shalat dan zakat wajib diperangi. Kebijakan Abu Bakar ini ditaati oleh seluruh shahabat sehingga dengan sendirinya menjadi ijma’ (konsensus) shahabat.
Vonis murtad ini berlaku bagi orang yang mengingkari kewajiban zakat padahal dia sadar dan mengetahui kewajiban itu. Karena mengingkari kewajiban zakat sama saja dengan mendustakan ayat dan hadis. Orang yang mendustakan ayat dan hadis tidak bisa dianggap muslim. Sementara orang yang tidak menunaikan zakat karena rasa enggan, dengan tetap meyakini bahwa zakat adalah sebuah kewajiban bagi orang yang telah terpenuhi syaratnya, maka ia berdosa besar.
Zakat secara etimologis bermakna tumbuh kembang (al-nama`), pertambahan (al-ziyadah), dan penyucian (al-tathir). Muzakki (orang yang berzakat) akan disucikan jiwanya, dan harta yang dizakatinya akan berkembang dan bertambah secara kuantitatif dan kualitatif, walaupun secara secara zahirnya ia berkurang akibat adanya proses pengalihan kepemilikan harta kepada mustahiq (penerima zakat). Pemaknaan zakat sebagai sebuah aktivitas yang bisa mengembangkan dan menambah harta, dinyatakan secara lugas oleh Rasulullah dalam sabdanya, "Tidak akan berkurang harta dengan shadaqah” (HR. Al-Tirmidzi dengan kualitas hasan shahih)
Secara kualitatif, zakat akan mengembangkan harta orang yang menunaikannya. Hal ini secara implisit dinyatakan dalam surah Ibrahim ayat 7, "Dan ingatlah ketika Tuhanmu memaklumkan sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami (Allah Ta'ala) akan menambahkan (ni'mat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (ni'mat Allah) maka sesungguhnya siksa-Ku sangatlah pedih".
Dalam ayat di atas, Allah Ta'ala mengaitkan proses penambahan ni'mat dengan syukur, yang dalam bahasa statistik lazim disebut positive correlation antara penambahan aset dan proses syukur yang salah satu manivestasinya adalah pengeluaran zakat. Allah Ta'ala mungkin sudah merencanakan rezeki tahap dua, namun pencairannya ditangguhkan sampai syukur dan zakat terjadi dahulu. Jika infaq dan zakat terjadi, maka turunlah rezeki tahap dua itu. Sebaliknya jika zakat dan infaq tidak terjadi, maka rezeki berikutnya pun tidak turun juga.
Dalam Alquran Surat al-Baqarah ayat 268 diterangkan bahwa, ”Syaithan menjanjikan (menakut-nakuti) kalian dengan kemiskinan dan menyuruh kalian berbuat kejahatan (kikir); Sedang Allah menjanjikan untuk kalian ampunan dari-Nya dan karunia, dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui.”
Juga dalam Surat al-Naba' ayat 39 Ia berfirman, “Katakanlah: Sesungguhnya Tuhanku melapangkan rezeki bagi siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya dan menyempitkan baginya (siapa yang dikehendaki-Nya). Dan barang apa saja yang kamu nafkahkan, maka Allah akan menggantinya dan Dialah Pemberi rezeki yang sebaik-baiknya.”
Seseorang yang enggan berzakat padahal persyaratan wajib zakat telah terpenuhi padanya, dengan alasan bahwa dengan menafkahkan rezeki hartanya menjadi berkurang, maka sesungguhnya ia telah membenarkan syaitan, dan mendustakan Allah Ta'ala. Karena syaitan merayunya untuk menjadi nritil dan pelit serta menakut-nakutinya dengan kemiskinan jika ia berzakat, padahal Allah Ta'ala justru menjanjikan keberkahan dan kekayaan kepada siapa saja yang ikhlas berinfaq dan berderma.
Di Indonesia, nampaknya baru zakat yang mendapat tempat di hati umat Islam. Pemerintah telah menetapkan UU Zakat, membentuk BAZ (Badan Amil Zakat), dan mengizinkan LAZ (Lembaga Amil Zakat). Padahal potensi zakat relatif sedikit (2,5%) dibandingkan dengan instrumen lainnya, sebut saja ghanimah (20%), dan infaq yang tidak dibatasi limit minimal dan maksimalnya. Potensi zakat yang sedikit itupun belum dioptimalkan. Padahal jika zakat diterapkan secara optimal dan konsisten, program pemerintah berupa pengentasan kemiskinan bisa lebih akseleratif.
Terpilihnya anggota dewan untuk masa bakti 2009-2014 mudah-mudahan memunculkan ide-ide segar yang berpihak kepada orang miskin. Mengadopsi nilai dan ajaran Ilahi bisa menjadi jawaban dari stagnasi upaya mengentaskan kemiskinan dari bumi Indonesia secara khusus dan dunia secara umum. Allah A’lam.

Tidak ada komentar: