ME...

ME...
MUSCAT-OMAN 2005

Selasa, 04 November 2008

Qira'ah Mu'ashirah Atas Qira'ah Mu'ashirah Karya M. Shahrur

Muhammad Shahrur adalah seorang insinyur (muhandis) tehnik sipil berkebangsaan Suriah yang lahir pada tanggal 11 Maret 1938 di perempatan Salihiyah Damaskus.

Ia merupakan anak kelima dari seorang tukang celup yang mengirimnya bukan ke sekolah Agama, melainkan justru ke sekolah dasar dan menengah di al-Midan, di pinggiran kota sebelah selatan Damaskus.

Setelah menyelesaikan pendidikan dasar dan menengahnya di Damaskus, untuk kemudian pada 1957 berangkat ke Saratow, dekat Moscow untuk mempelajari ilmu tehnik. Di sinilah ia berkenalan dengan marksisme yang kemudian mempengaruhi beberapa tulisannya tentang Islam. Pada tahun 1964 ia kembali ke Suriah untuk melanjutkan magister dan doktoralnya dalam bidang mekanika tanah dan tehnik pondasi di universitas College, Dublin, Irlandia.

Dalam waktu 4 tahun ia berhasil menyelesaikan magister dan doktoralnya kemudian pada akhirnya ia kembali ke Suriah pada tahun 1972. Sekembalinya ke Suriah, ia bergabung dengan universitas Damaskus dan menjadi mitra sebuah perusahaan tehnik sipil. Shahrur tidak bergabung dengan institusi Islam manapun, dan dia tidak pernah menempuh pelatihan resmi atau memperoleh sertifikat dalam ilmu-ilmu keislaman.

Latar belakang akademisnya sering menjadi sasaran kritik orang-orang yang tidak seide dengannya, terutama dalam kajian metodologi al-Qur`an. Abdul Qadir Muhammad Shalih dengan secara implisit menggugat kelayakan Shahrur dalam mengkaji al-Qur`an dengan menyatakan bahwa Shahrur bukan ahli dalam al-Qur`an, ia merupakan orang yang ahli dalam tehnik. Munir Muhammad Thahir mengatakan bahwa Shahrur bahkan belum mempelajari Islam, dan ini merupakan salah satu penyebab penyimpangan- penyimpangan terhadap ajaran Agama yang ia lakukan dalam buku al-Kitab wa al-Qur`an; Qira`ah Mu’ashirah.

Dan sebagai seorang yang tidak diperkirakan masuk dalam lingkaran wacana keagamaan, Shahrur harus menghadapi penentangan massif dari hampir seluruh para ahli yang professional di bidang Agama. pada saat yang sama, dia tidak memiliki lembaga pendukung, baik jaringan yang berbasis akademik maupun “pesantren” (lembaga pendidikan Islam). Lingkaran ini menyebabkannya dianggap telah dibayar oleh organisasi asing/zionis. Sementara ada juga yang menuduhnya menciptakan agama yang benar-benar baru, melakukan plagiatisme (penjiplakan) , atau berkomitmen melakukan perbuatan “dilettantisme” yang tidak termaafkan dalam wilayah penafsiran. Dan di antara hampir dua lusinan karya yang menanggapinya, hampir tidak tidak ada reaksi yang positif terhadapnya. Demikian pengantar yang ditulis Andreas Christmann. Di antara para penulis buku yang mengkritiknya itu, ada yang berprofesi sebagai pengacara dan yang ahli tehnik.

Pada September 1990, setelah menekuni filsafat dan lingusitik, Shahrur menerbitkan al-Kitâb wa al-Qur`ân: Qirâ`ah Mu’âshirah yang kemudian mengangkat namanya di kalangan pemikir Timur Tengah sebagai seorang tokoh kontroversial. Sebuah buku yang ditulisnya setelah melakukan kajian serius tentang al-Qur`an selama dua puluh tahun.

Jakfar Dakk al-Bâb, seorang kawan yang sekaligus menjadi guru linguistik bagi Shahrur, menyatakan bahwa Shahrur telah berhasil mengintrodusir banyak hal yang baru dalam bukunya itu, yang bertolak belakang dengan mainstream pemahaman yang diyakini umat Islam selama ini. Kontroversi yang terdapat dalam bukunya ini, menjadikannya merasa perlu memberikan penegasan bahwa ia adalah orang Arab muslim yang beriman. Berbeda dengan Nashr Abu Zaid yang menyatakan bahwa kajian yang dilakukan Shahrur dalam bukunya itu, tidak memuat sesuatu yang orisinal dan baru, demikian juga kritik yang dilakukannya terhadap kemapanan fiqh.

Shahrur menegaskan bahwa al-Qur`an senantiasa sesuai dengan segala ruang dan waktu sampai hari Kiamat. Kemukjizatan dapat dibuktikan melalui pendekatan ilmiah, dan menuntut usaha keras para ilmuan dari berbagai disiplin ilmu untuk menguak rahasianya. Ia lalu mengkritik kebanyakan ulama yang menurutnya terikat pada pemahaman al-Qur`an yang sudah ketinggalan zaman. Menurutnya, para ulama tradisional (salafi) merupakan muqallid (pengikut buta) yang mengabaikan konteks ruang dan waktu, serta menyia-nyiakan potensi akal yang diberikan Allah Ta’ala. Syahrur juga menganggap sunnah Rasulullah hanya sebagai salah satu variasi dari pengamalan
al-Qur`an, dan ini tidak menutup kemungkinan adanya variasi implementasi ajaran dan nilai al-Qur`an yang lain. Menurutnya, hukum-hukum yang ditetapkan Rasulullah terikat konteks ruang dan waktu masa beliau, yakni abad VII M. Sehingga bagaimanapun upaya
kita memahami al-Qur`an seperti pemahaman orang yang hidup pada abad VII M, kita hanya mampu kembali melalui teks-teks sejarah, padahal kita hidup di abad XXI M.

Shahrur menganalogikan kondisi ini dengan seekor gagak yang ingin berkicau merdu seperti burung perkutut, namun suaranya tetap saja parau. Ketika ia putus asa dan hendak kembali berkicau selayaknya gagak, ia terlanjur lupa untuk bersuara seperi gagak, yang pada akhirnya ia tidak memiliki identitas yang jelas; Gagak bukan, perkututpun bukan.

Shahrur juga mengkritik pendekatan yang selama ini digunakan ulama dalam memahami dan mengamalkan al-Qur`an, sebagai pendekatan yang tidak mampu menjawab tantangan dan problematika sosial kontemporer. Shahrur menyatakan bahwa untuk memahami al-Qur`an, kita harus menyesuaikannya dengan konteks kekinian, seakan-akan Rasulullah baru saja wafat. Dan dalam melakukan kajian terhadap al-Qur`an, Shahrur menggunakan metode historis-ilmiah (târikhy ‘ilmy) yang diadopsi dari aliran linguistik Abu Ali
al-Farisi. Metode ini merupakan perpaduan teori Ibn Jinny dalam buku al-Khashâ`is dan Abdul Qahir al-Jurjany dalam kitab Dalâ`il al-I’jâz. Ibn Jinny menitikberatkan kajiannya pada analisa kata perkata dan hubungan antara kata dengan suara (ashwât). Sedangkan al-Jurjani mengkaji hubungan antara struktur kata dengan peranannya sebagai media komunikasi (iblâgh). Jakfar Dakk al-Bâb memahami kedua teori ini saling melengkapi, yang ketika ditarik akar mulanya, akan bertemu pada aliran lingusitik Abu ‘Ali al-Fârisi. Salah satu pendapat aliran ini adalah penolakan adanya sinominitas kata (tarâduf). Dalam hal ini, ada ucapan Tsa’lab yang terkenal bahwa “Apa yang dalam kajian bahasa Arab dikira sebagai tarâduf (sinonim), sebenarnya adalah hal yang berbeda (mutabâyinât).

Metode historis-ilmiah menyatakan bahwa bahasa manusia pada mulanya merupakan suara-suara (ashwât) yang diucapkan manusia secara sadar sebagai media (wasilah) menyampaikan tujuan-tujuan (ide dan gagasan) kepada orang lain dan untuk memahami tujuan-tujuan itu, dalam kehidupan bersama. Point-point penting yang terdapat dalam kitab ini dijelaskan Shahrur secara ringkas dalam Muqadimah bukunya.

KRITIK SHAHRUR TERHADAP UMAT ISLAM

Shahrur memulai Muqaddimahnya dengan membuat perumpamaan orang yang melukis wajah manusia bermata satu. Siapapun orang yang memandang lukisan itu akan menyadari ketidakberesan lukisan itu dan akan mengatakan bahwa “Lukisan wajahnya kurang satu mata!”.

Berbeda dengan orang yang melukis wajah manusia dari cermin. Orang-orang yang memperhatikan lukisan itu tidak akan menyadari sesungguhnya lukisan itu terbalik; Bahwa mata sebelah kanan pada wajah yang ada dalam lukisan sebenarnya adalah mata sebelah kiri pada wajah orang yang dilukis. Kesalahan yang tidak disadari ini pernah terjadi pada manusia selama bertahun-tahun ketika mereka meyakini bahwa matahari mengelilingi bumi, bukan sebaliknya, bumi yang sebenarnya mengitari matahari. Kesalahan ini juga menimpa umat Islam selama berabad-abad, ketika meyakini bahwa kata al-Kitab, al-Qur`an, al-Dzikr dan al-Furqan merupakan murâdifât (sinonim).

Analogi lukisan yang merupakan kritik Shahrur terhadap ulama klasik dan produk fiqh mereka, dianggap sebagian kalangan ulama sebagai sebuah arogansi, yang seharusnya dihindari tiap orang yang menyampaikan sebuah kritik. Secara halus, Shahrur menyatakan bahwa para ulama selama empat belas abad telah tenggelam ke dalam kekeliruan dan kebodohan.

Orang yang membaca bukunya, akan menemukan dekonstruksi yang dilakukan Shahrur terhadap pemahaman yang selama ini berkembang dan diyakini umat Islam. Dekonstruksi ini yang mengundang sanggahan dan kecaman banyak umat Islam. Misalnya dalam masalah akidah, dengan pendekatan linguistik-filosofi s-humanistik, Shahrur sampai pada kesimpulan bahwa yang disebut mukmin adalah muslim pengikut Nabi Muhammad. Sedangkan orang yahudi adalah muslim-yahudi, dan orang nashrani adalah muslim-nashrani.

Sementara dalam wilayah syariah (fiqh), Shahrur juga sampai pada tesis baru yang dekonstruktif, misalnya dalam masalah hukum waris
(farâ`idh), ia tidak lagi terpaku pada pembagian-pembagian konvensional yang telah dikenal dan diamalkan oleh umat Islam selama 14 abad. Ia justru membuat penghitungan sendiri dengan menggunakan istilah-istilah yang juga ia ciptakan sendiri.

Lepas dari kontroversial wacana yang ia gulirkan, Shahrur tetap mendapat apresiasi dari pihak-pihak yang mengkritiknya sebagai orang yang berhasil “menggerakkan akal”.

“Hanya saja”, kata Ahmad Ratib Armush, “Saya setuju dengan Ahmad Imran bahwa fiqh yang ditawarkan Shahrur tidak masuk akal. Apalagi dalam pembahasan Fiqh Wanita, Shahrur “memprovokasi” wanita untuk telanjang, bukan lagi mengajak untuk mengamalkan ajaran Agama yang diturunkan Allah berupa penutupan aurat”.

Pendekatan historis-ilmiah yang digunakan Shahrur menafikan sinominitas kata. Menurutnya, bahasa Arab memiliki karaktersistik struktur di mana tiap kata memiliki arti dan pemahaman yang berbeda dengan kata lain. Pendapat yang diadopsinya dari Abu Ali al-Farisi dan Ibn Faris dalam kitab al-Maqâyis, sebenarnya bukan pendapat yang baru, di mana para ulama abad IV Hijriah telah memperdebatkannya.

Dan sebagaimana ijtihad dan diskursus ilmiah lainnya, apa yang diwacanakan Shahrur terbuka untuk dilakukan pembacaan yang kritis. Tulisan singkat ini akan mencoba mewacanakan wacana-wacana tersebut.

Dalam bukunya, Shahrur memulai tesisnya dengan mengutarakan distingsi terminologi antara al-Kitâb, al-Qur`ân, al-Dzikr, dan al-Furqân. Distingsi terminologis ini yang menjadi pondasi "fiqh baru" yang ditawarkan Shahrur (silahkan membaca langsung buku itu).


‘QIRA'AH MUA'SHIRAH TERHAAP PANDANGAN SHAHRUR

Orang yang membaca buku al-Kitab wa al-Qur`an; Qira`ah Mu’ashirah, pasti akan mengagumi kepiawaian Shahrur dalam menyampaikan argumentasinya. Teori-teori yang digunakan dalam rangka mendukung tesisnya disampaikan secara sistematis dan mengacu kepada para pendapat-pendapat ulama lingusitik besar, terutama AbuAli al-Farisi.

"Kami telah melakukan pembacaan kontemporer terhadap term al-Dikr yang dijamin Allah penjagaannya (QS. al-Hijr ayat 9 dan al-Nahl ayat 44) dengan berdasarkan pada analisa menyeluruh (mash ‘am) terhadap karakteristik (khasha`ish) bahasa Arab, dengan berpegang pada metode linguistik (manhaj lughawi) Abu Ali al-Farisi yang diidentikkan (mutamatsil) dengan Imam Ibn Jiny dan Imam Abdul Qahir al-Jurjani, dengan bersandar pada syair jahily.

Juga hasil akhir kajian yang telah kami lakukan terhadap ilmu-ilmu linguistik kontemporer yang pada intinya bahwa semua bahasa manusia tidak mengandung sinominitas (taraduf). Bahkan yang sebaliknya, yakni ketiadaan taraduf, merupakan hal yang benar, yaitu bahwa sebuah kata sejalan dengan perkembangan sejarah adakalanya ia musnah (tidak lagi dipergunakan) dan ada kalanya juga ia mengandung makna baru sebagai tambahan dari makna awalnya. Dan sungguh telah kami dapati karakteristik ini secara jelas dalam bahasa Arab." Demikian ungkap Shahrur.

Namun demikian, bukan berarti buku ini tanpa cacat, bahkan teori dasar yang melandasi semua tesisnya rapuh dan tidak tepat penggunaannya, yaitu pendapatnya tentang ketiadaan sinonim dalam bahasa Arab (juga dalam al-Kitab), yang pada akhirnya menimbulkan distingsi antara term al-Kitab, al-Qur`an, al-Furqan, dan al-Dzikr. Demikian juga dalam pembedaan Allah dalam posisi-Nya sebagai Ilah yang menurunkan nubuwah, dan posisi-Nya sebagai Rabb yang menurunkan risalah.

Ulama lingusitik Arab pada abad IV ramai berselisih pendapat tentang eksistensi taraduf (sinonim) dalam bahasa Arab; Sebagian menolak sama sekali adanya taraduf, ada juga yang menyatakan adanya taraduf, dan ada orang yang berlebihan dalam memahami adanya taraduf sehingga ada di antara mereka berpendapat bahwa satu makna (substansi) bisa jadi memiliki ratusan kata sinonim untuk mengungkapkannya. Nampaknya penolakan taraduf baru muncul pada akhir abad III, tepatnya ketika Tsa’lab yang menyatakan pengingkarannya terhadap taraduf. Pendapat ini diikuti oleh muridnya yang bernama Ibn Faris. Karena sebelum paruh terakhir abad III H, tidak ditemui catatan ulama linguistik yang menolak taraduf.

Berikut adalah ungkapan Ibn Faris sebagaimana yang dikutip oleh al-Suyuthi dalam al-muzhir:
Sesuatu diberi banyak nama yang berbeda-beda, seperti “saif”, “muhannad”, dan “husam” (ketiganya diartikan sebagai pedang), sebenarnya yang nama adalah “saif” dan selainnya merupakan sifat. Mazhab kami menyatakan bahwa sesungguhnya tiap sifat-sifat itu memiliki makna yang berbeda dari sifat yang lain. Hal ini berbeda dengan pendapat segolongan orang yang mengira bahwa nama-nama itu walaupun berbeda, namun tetap merujuk satu makna, seperti “saif”, ‘Adhb”, dan “husam” (yang ketiganya bermakna pedang).

Ada juga orang-orang yang berpendapat bahwa nama-nama tersebut bukan (menunjukkan pada) satu nama, dan juga bukan sifat yang bukan makna yang lain. Mereka berkata bahwasanya fi’il (kata kerja) juga demikian, misalnya kata “madha”, “dzahaba”, dan “inthalaqa” (semuanya diartikan pergi); Juga kata “qa’ada” dan “jalasa” (keduanya diartikan duduk); Serta kata “raqada”, “nama”, dan “haja’a (semuanya diartikan tidur). Mereka berpendapat bahwa dalam kata “qa’ada” ada makna yang tidak terdapat pada kata “jalasa”. Dan seterusnya.

Pendapat inilah yang kami pegang, yang juga merupakan pendapat guru kami, Abu al-Abbas Ahmad bin Yahya Tsa’lab.

Pendapat pertama berargumentasi bahwa jika tiap kata memiliki makna yang berbeda dengan kata-kata yang lain (yang dianggap sinonim) pastilah kita tidak dapat mengungkapkan makna sebuah kata dengan menggunakan kata lain. Padahal kita memaknakan ungkapan “la raiba fih” (QS. al-Baqarah 2:2) dengan “la syakk fih”. Seandainya kata “raib” tidak sama dengan kata “syakk”, maka pemaknaan “la raib fih” dengan “la syakk fih” merupakan sebuah kekeliruan. Dari sini kita pahami, bahwa pengungkapan sebuah makna dari sebuah kata dengan menggunakan kata lain, merupakan bukti kesatuan makna (sinonimitas) .

Sementara kami berpendapat bahwa dalam kata “qa’ada” ada makna yang tidak terdapat pada kata “jalasa”. Kita mengatakan “qama tsumma qa’ada” (dia berdiri lalu ia duduk)…dan “kana mudhthaji’an fa jalasa” (dia berbaring kemudian duduk). Dari sini kita memahami bahwa kata “qu’ud” (bentuk dasar dari kata “qa’ada”) dipasangkan pada “qiyam” (bentuk dasar dari kata “qama”), dan kata “julus” (kata dasar dari kata “jalasa”) menyatakan (perubahan) kondisi yang lebih rendah…adapun pandapat mereka yang menyatakan bahwa jika dua makna (yang dianggap sinonim) berbeda, maka sebuah kata tidak dapat digunakan untuk mengungkapkan makna kata yang lain. Pernyataan ini dapat kami jawab bahwa ungkapan itu (bahwa sebuah makna kata diungkapkan dengan kata lain) merupakan bentuk “musyakalah” (kemiripan). Dan kita tidak berpendapat seperti mereka, bahwa dua kata tersebut berbeda. Kami berpendapat bahwa setiap kata memiliki makna yang tidak terdapat dalam kata yang lain.
Demikian ungkap al-Suyuthi.

Penolakan terhadap taraduf ini, terbakukan dalam ungkapan “ma yuzhann Annahu min al-mutaradifat fa huwa min al-mutabayinat” (apa yang dianggap sebagai sinonim sebenarnya bukan sinonim).

Mengomentari pendapat ulama tentang ketiadaan eksistensi taraduf, al-Taj al-Subuki menyatakan bahwa memang ada orang yang mengingkari eksistensinya dalam bahasa Arab dan menganggap semua yang disangkakan sebagai taraduf sebenarnya merupakan hal yang memiliki perbedaan sesuai perbedaan yang ada pada sifat-sifatnya. Al-Subuki menganggap penolakan terhadap eksistensi taraduf dengan cara meneliti sifat-sifat yang ada pada tiap kata, merupakan sebuah upaya mengada-ada yang mencengangkan. Sementara al-Fakhr al-Razi menyatakan bahwa kemungkinan terjadinya taraduf merupakan hal yang tidak disangsikan lagi. Dan tidak sedikit ulama yang menulis buku khusus yang mengumpulkan kata-kata yang mutaradif (sinonim), seperti Ibnu Khaluwaih yang menulis buku khusus tentang kumpulan nama bagi macan dan ular.

Munir Muhammad Thahir menganggap orang yang menolak eksistensi taraduf dalam semua bahasa, termasuk bahasa Arab, sebagai orang bodoh dan tendensius (mughridh). Abu al-‘Ala` al-Ma’arry pernah menghadiri majelis al-Syarif al-Murtadha, dan ditanya seseorang, “Siapa anjing ini?” Abu al-‘Ala menjawab, “Anjing adalah orang yang tidak mengetahui 70 nama bagi anjing”. Dan Abu al-‘Ala` merupakan salah satu pakar linguistik yang menolak eksistensi taraduf. Bahkan Tsa’lab, yang dijadikan rujukan utama oleh Shahrur, pernah menyatakan “Suwaida` qalbuhu, habbah qalbuhu, sawad qalbuhu, sawadah qalbuhu, jaljalan qalbuhu, aswad qalbuhu, dan sauda` qalbuhu, kesemuanya bermakna sama”.

Untuk menengahi perbedaan pendapat ini, ‘Izzuddin menyatakan bahwa ulama yang mengakui adanya taraduf melihat sisi kesamaan dalalah (maksud/substansi) dzat (yang disimbolkan dengan kata), dan orang yang menolak eksistensinya melihat perbedaan sifat yang ada tiap kata.

Dengan asumsi pembedaan antara term al-Kitab, al-Qur`an, al-Dzikr, dan al-Furqan, Shahrur membangun diskursus tafsir dan fiqh kontemporernya. Fakta adanya perdebatan ulama linguistik tentang eksistensi taraduf, nampaknya tidak membuatnya bergeming. Ia
tetap bersikukuh dengan penolakannya terhadap taraduf dan terus mengembangkan teorinya dalam melakukan pembacaan kontemporer terhadap al-Qur`an. Hal ini dapat dilihat dalam buku-buku yang dikarangnya belakangan, “Jika kita memandang sebuah buku tentang kedokteran atau tehnik yang ditulis dalam bahasa apapun, maka kita tidak akan menemukan fenomena sinominitas di dalamnya. Jika sebuah sel berbeda dari sel lain, maka penulis buku akan memberikan nama lain terhadap sel tersebut, meskipun perbedaannya sangat kecil. Demikian juga ketika sebuah batasan yang belum diketahui dalam matematika berbeda dengan batasan lain, maka penyusun buku itu akan memberikan symbol-simbol yang berbeda (S1, S2, S3,…). Demikian juga dalam rangka ketelitian ilmiah. Mengapa hal ini (tidak adanya sinominitas dalam bidang ilmu pengetahuan demi ketelitian ilmiah) yang notabene berasal dari manusia kita terima dan
kita akui dengan ketelitian ilmiah, sementar di sisi lain kita bersikeras mengatakan bahwa simbol-simbol (terminologi- terminologi) dalam Kitabullah adalah sama (sinonim)…?! Bagaimana mungkin makhluk Tuhan dalam hal pengungkapan bisa lebih teliti dari pada Tuhannya dalam hal pewahyuan?!
demikian ungkap Shahrur.

Penolakan terhadap taraduf, bisa menimbulkan konskuensi teologis yang sangat besar. Dalam al-Qur`an Surat al-Hasyr ayat 22-24, misalnya, disebutkan enam belas Asma` Allah al-Husna (Nama-nama Allah yang maha baik), yaitu: Allah, ‘Alim al-Ghaib wa al-Syahadah, al-Rahman, al-Rahim, al-Malik, al-Quddus, al-Salam, al-Mu`min, al-Muhaiman, al-‘Aziz, al-Jabbar, al-Mutakabbir, al-Khaliq, al-Bari`, al-Mushawwir, al-Hakim. Dengan penafian terhadap taraduf akan timbul pemahaman berbilangnya tuhan, bahwa Tuhan tidak lagi Maha Esa, melainkan berjumlah sebanyak nama yang ada. Hal ini tentu merupakan kekeliruan teologis yang sangat fatal.

Teori dasar yang digunakan Shahrur dalam membedakan term al-Kitab, al-Qur`an, al-Dzikr, dan al-Furqan, dibangun di atas landasan teori ketidakadaan teraduf dalam bahasa Arab. Dan ketika eksistensi taraduf masih diperdebatkan, maka teori-teori yang dibangun di atasnya menjadi debateable dan lemah argumentatif.


Tartil al-Qur`an

Setelah memaparkan teori fundamental tesisnya yang berupa penafian taraduf, Shahrur mulai mencari justifikasi distingsi term al-Kitab, al-Qur`an, al-Dzikr, dan al-Furqan. Dalam hal ini, Jakfar Dakk al-Bab mencoba memberikan justifikasi itu.

Dengan mengutip ayat 4 Surat al-Muzammil, “wa rattil al-Qur`an tartila” (dan bacalah al-Qur`an dengan perlahan-lahan) , Jakfar Dakk al-Bab yang memberikan sambutan pada buku al-Kitab wa al-Qur`an; Qira`ah Mu’ashirah, mengakui bahwa makna yang selama ini
digunakan oleh umat Islam adalah “al-ta`annuq fi tilawatihi” (membacanya dengan perlahan). Tetapi, masih menurut Jakfar, Shahrur menawarkan pemaknaan yang baru dengan berdasarkan makna dasar dari kata “ra-ta-la” (yang terdiri dari tiga huruf; Ra`, Ta`, dan Lam). Makna tersebut adalah “nassaqahu wa nazhzhamahu” (mengklasifikasikan dan menertibkan susunannya).

Pemaknaan ini bukan tanpa landasan. Dengan melihat keselarasan antara ayat (munasabah), Jakfar menyatakan bahwa pemaknaan tartil pada ayat di atas dengan arti “membaca perlahan” merupakan pemaknaan yang sama sekali salah. Karena pada ayat selanjutnya (ayat 5 Surat al-Muzammil), Allah berfirman “Inna sa nulqi ‘alaika qaulan tsaqilan” (Sesungguhnya Kami akan menurunkan kepadamu perkataan yang berat). Dan “perkataan yang berat” tidak memiliki hubungan dengan “pembacaan perlahan”, karena maksud ayat ini bukanlah berat dalam hal pengucapan, melainkan berat dalam pemahaman makna ilmiah yang dikandung al-Qur`an.

Dengan demikian, pemaknaan yang tepat terhadap kata “tartil” dalam ayat 4 Surat al-Muzammil, adalah mengurutkan dan menyusun tema-tema tunggal yang tersebar dalam ayat-ayat al-Qur`an, dan mengklasifikasikann ya hingga mudah dipahami. Demikian ungkap Shahrur.

Dengan berdasarkan pemaknaan baru terhadap perintah tartil yang ada pada ayat 4 Surat al-Muzammil, Shahrur mulai melakukan klasifikasi dan penyusunan tema-tema yang ada dalam al-Qur`an, dengan cara mengumpulkan ayat-ayat yang di dalamnya terdapat kata “al-Qur`an” dan “al-Kitab”.

Namun kemudian timbul pertanyaan: Apakah dengan ini Jakfar menganggap Rasulullah tidak memahami perintah menartilkan al-Qur`an, sehingga beliau tidak melakukan tartil sebagaimana yang dilakukan Shahrur? Dan apakah para shahabat lalai meminta Rasulullah untuk melaksanakan tugasnya secara sempurna, yaitu melakukan penyusunan dan klasifikasi (tema-tema) al-Qur`an? Jika
memang demikian, maka kita tentu dalam kesesatan, karena kita mengikuti seorang nabi yang tidak memahami perintah Tuhannya. Hal ini menjadi mencengangkan, ketika timbul persepsi bahwa Allah memberikan beban (taklif) kepada nabi-Nya dengan wahyu yang tidak dimengertinya, atau dapat dipahami tetapi ia tidak melaksanakannya? Pada akhirnya akan timbul keraguan kita terhadap al-Qur`an. Demikian ungkap Ahmad Ratib ‘Armusy.

Ketika kata tartil tidak lagi dapat dimaknakan sebagai mengklasifikasi dan menyusun tema-tema yang ada dalam al-Qur`an, maka wacana klasifikasi dan penyusunan tema-tema itu menjadi absurd dan tidak lagi memiliki dasar teoritis yang kuat.

Shahrur menamakan tema-tema yang ada dalam al-Kitab sebagai “kitab” yang dijamakkan sebagai “kutub”. Menurutnya, “al-Kitâb” berasal dari kata “ka-ta-ba”, yang dalam bahasa Arab memiliki arti mengumpulkan bagian-bagian sesuatu sehingga menghasilkan sebuah makna yang mufid (maksudnya dapat dipahami), ataumengeluarkan tema yang sempurna.

Namun sayang sekali, setelah dilakukan penelusuran kamus dan mu’jam, terhadap kata “ka-ta-ba” yang memiliki pola dasar yang terdiri dari huruf Kaf, Ta`, dan Ba`, tidak ditemukan satupun yang memberikan pemaknaan seperti yang diungkapkan Shahrur. Demikian
tulis Ahmad Imran. Sehingga diskursus pembedaan terma al-Kitab yang memuat kumpulan “kitab-kitab”, serta pembedaan antara al-Qur`an, al-Dzikr, al-Furqan sebagai bagian (sebagian tema) dari al-Kitab, sebagaimana yang ditawarkan Shahrur dalam bukunya,
menjadi lemah argumentatif, dan tidak dapat dipertanggungjawabk an secara ilmiah.

Pada akhirnya timbul sebuah kegamangan; Bahwa pendekatan linguistik yang dilakukan Shahrur ternyata tercabut dari akar kebahasaannya.


Penutup

Setelah terbukti keruntuhan teori yang dijadikan Shahrur sebagai landasan diskursus-diskursus yang ia tawarkan, maka secara otomatis seluruh diskursus itu menjadi ikut roboh. Karena tidak mungkin sebuah istana yang megah dibangun di atas tumpukan Lumpur dan sampah.

Namun demikian, perlu juga untuk mengapresiasi upaya Shahrur yang telah berhasi; “menggerakkan akal”. Dan wacana yang digulirkan Shahrur merupakan satu bukti bahwa ulum al-Qur`an dan penafsiran al-Qur`an merupakan korpus terbuka yang selalu siap untuk dikaji dan dianalisa.


Daftar Bacaan

Anis (Ibrahim), fi al-Lahjah al-‘Arabiyah, (Cairo,
1873), cet. III
Imran (Ahmad), al-Qira`ah al-Mu’ashirah li al-Qur`an
fi al-Mizan, (Beirut: Dar al-Nafa`is, 1995), cet. I.
Rumadi, Menafsirkan al-Qur`an: Eksperimen Muhammad
Shahrur, Jurnal al-Burhan, No. 6 tahun, Jakarta: 2005
Shahrur (Muhammad), Dirasat Islamiyah Mu’ashirah fi
al-Daulah wa al-Mujtama’, (Damaskus: al-Ahali, 1994)
---, Dirasat Islamiyah Mu’ashirah (4) Nahw Ushul
Jadidah li al-Fiqh al-Islami, (alih bahasa: Sahiron
Syamsuddin dan Burhanuddin dengan judul Metodologi
Fiqh Islam Kontemporer) , (Yogyakarta: Penerbit alSAQ
Press, 2004), cet. II
---, al-Islam wa al-Iman: Manzhumah al-Qiyam (alih
bahasa oleh M. Said Su’di dengan judul IMAN DAN ISLAM;
Aturan-aturan Pokok), (Yogyakarta: Penerbit Jendela,
2002) cet. I
---, al-Kitab wa al-Qur`an: Qira`ah Mu’ashirah,
(Beirut: Syirkah al-Mathbu’at li al-Tauzi’ wa
al-Nasyr, 2000), cet. VI
Shalih (Abdul Qadir Muhammad), ¬al-Tafsir wa
al-Mufassirun fi al-‘Ashr al-Hadits, (Beirut: Dar
al-Makrifah, 2003), cet. I,
al-Syawwaf (Munir Muhammad Thahir), Tahafut al-Qira`ah
al-Mu’ashirah, (Cyprus: al-Syawwaf li al-Nasyr wa
al-Dirasat, 1993), cet. I

Suksesi Kepemimpinan Dalam Islam

“Ketika etika makan dan masalah pipis diatur oleh Agama, adalah sebuah kejanggalan ketika sistem kepemimpinan negara dilupakannya”. Demikian ungkap seorang teman diskusi saya.


Memang menggelitik pikiran, ketika masalah sehari-hari yang tidak menyangkut kepentingan dan hajat hidup orang banyak, Agama menggariskan banyak peraturan dan tata etika. “Makanlah dengan tangan kanan!” (HR. Muslim), demikian etika makan yang diajarkan Agama, “Dan makanlah makanan yang halal” (QS. Al-Baqarah 168, al-Maidah 88, dan al-Nahl 114. Demikian Agama mengatur masalah makanan.

“Setelah makananmu dicerna oleh lambung, dan kamu hendak membuang hajat, maka hendaknya kamu mendahulukan kaki kiri saat masuk ke toilet, dan jangan melakukan buang air menghadap ke kiblat!” demikian aturan Agama ‘memasuki’ toilet.

Baik ketika makan, atau saat melakukan ‘ritual’ toilet, juga mendidik anak, melakukan transaksi ekonomi, berwudhu, berpuasa dan hal-hal yang berhubungan dengan ritual peribadatan dan kebiasaan sehari-hari tiap orang, semuanya memiliki aturan yang ditetapkan oleh Agama. Lalu bagaimana dengan aturan memilih dan mengangkat pemimpin negara, yang menyangkut kepentingan orang banyak; Apakah Agama memberikan aturan baku?


Modus Suksesi Dalam Islam

Menjawab pertanyaan di atas, saya akan coba mengulas proses pemilihan dan pengangkatan pemimpin yang pernah terjadi pada masa al-Khulafa` al-Rasyidun, yaitu era shahabat yang dinyatakan oleh Rasulullah sebagai era yang terbaik yang pernah ada dalam perjalanan sejarah (HR. Muslim)

Menarik untuk mempelajari sistem pemilihan pemimpin atau khalifah dalam Islam pada masa al-khulafa’ al-rasyidun, pasalnya sistem yang digunakan tidak baku dan berubah-ubah. Dan setidaknya ada tiga mekanisme pemilihan khalifah yang pernah dijalankan pada masa shahabat, demikian ungkap Sayyid Ahmad hamur. Hal ini karena Islam mengakui sistem-sistem pemilihan pemimpin yang bersifat kondisional sesuai dengan kebutuhan dan kemashlahatan umum, selama masih berpedoman kepada al-Qur`an dan sunnah Rasulullah.

Pertama, mekanisme pemilihan langsung yang dijalankan pada pemilihan Khalifah Abu Bakar,

Dalam sebuah Hadis dikisahkan beberapa Shahabat bertanya kepada Rasulullah tentang orang yang akan menggantikan beliau, “Ya Rasulullah, tidakkah Anda menunjuk orang yang akan menjadi pengganti Anda?” tanya mereka. Rasulullah menjawab tidak, “Kalau aku menunjuk seorang pengganti (sebagai khalifah) kemudian kalian mendurhakainya, maka kalian akan tertimpa azab”(HR. alBazzar) Mekanisme yang serupa juga dipilih khalifah Ali bin Abu Thalib.

Saat ditanya, “Apakah anda tidak akan mengangkat orang sebagai pengganti anda (sebagai khalifah)?”. Sayyidina Ali menjawab, “Rasulullah tidak menunjuk orang sebagai penggantinya, lalu (bagaimana mungkin) aku mengangkat orang sebagai penggantiku?! Tetapi kalaulah Allah Menghendaki kebaikan bagi manusia, maka Ia akan mengumpulkan manusia sesudahku dalam kepemimpinan manusia yang terbaik, seperti Allah telah mengumpulkan manusia atas orang yang terbaik”. Maksudnya Abu Bakar.(HR. Al-hakim)

Pola ini dijewantahkan berupa pemilihan (pembaiatan) langsung oleh rakyat kepada khalifah yang mereka kehendaki, tanpa adanya penunjukkan dari khalifah sebelumnya.

Kedua, mekanisme formatur yang digunakan oleh khalifah Umar bin al-Khathab dalam memilih orang yang akan mengantikannya. Umar menunjuk enam orang pemuka shahabat—yang masih tersisa dari sepuluh orang yang diridhai Rasulullah dan dijamin masuk surga olehnya—untuk bermusyawarah guna memilih salah seorang dari mereka untuk menjadi khalifah. Orang-orang yang duduk di kursi formatur ini merupakan shahabat-shahabat pilihan yang memiliki kredibilitas tinggi, keluasan ilmu dan pengalaman, serta merupakan panutan dan sosok yang berpengaruh dalam masyarakat. Rasulullah sendiri menjamin kualitas diri para anggota formatur lewat pernyataan beliau bahwa mereka adalah orang-orang yang pasti masuk surga.

Ketiga, pola monarki yang dipilih oleh Khalifah Abu Bakar saat menunjuk Sayidina Umar bin al-Khathab sebagai khalifah penggantinya. Kebijakan ini diambil Abu Bakar dengan pertimbangan menjaga persatuan umat Islam. Beliau khawatir “Tragedi Saqifah bani Saidah” terjadi lagi, saat itu kaum Muhajirin dan Anshar berdebat sengit masalah orang yang berhak menjadi khalifah Rasulullah. Perdebatan ini hampir membawa disintegrasi umat Islam, karena masing-masing kelompok bersikukuh menggolkan “jagonya” menjadi khalifah. Bahkan bisa jadi, fitnah yang timbul akibat perselisihan masalah kekhalifahan, lebih besar dari pada fitnah riddah (murtadnya banyak kaum muslimin).

Perlu diingat bahwa mekanisme ini dipilih Abu Bakar setelah beliau bermusyawarah dengan banyak shahabat, sehingga ketetapan yang diambil sesungguhnya merupakan kehendak mayoritas umat Islam, kalau tidak mau dikatakan kehendak semua shahabat.

Saat terbaring sakit menjelang kewafatannya, Khalifah Abu Bakar menunjuk Umar bin al-Khathab sebagai khalifah yang akan menggantikannya.

Pola pemilihan kedua dan ketiga ini, merupakan sistem yang baik, karena orang yang dijadikan pengganti (dan tim formatur yang akan memilih pengganti) khalifah tidak dipilih berdasarkan kekerabatan, atau golongan (nepotisme), melainkan berdasarkan profesionalisme dan kelayakan.

Sayidina Abu Bakar menghendaki khalifah yang akan menggantikannya merupakan sosok shahabat yang keras tapi tidak sewenang-wenang, dan lembut tapi tidak lemah. Kriteria ini ada pada banyak shahabat, namun nampaknya Umar bin al-Khathab paling cocok untuk mengemban amanah kekhalifahan. Penilaian ini berasal dari subyektivitas Abu Bakar dan para shahabat yang diajaknya bermusyawarah.

Saat Sayidina Abdurrahman bin ‘Auf menyatakan bahwa Sayidina Umar bin al-Khathab merupakan sosok shahabat yang keras, Sayidina Abu Bakar menjawab, “ia berlaku keras karena melihat diriku yang lembut. Kalaulah urusan ini (kekhalifahan) diserahkan padanya, niscaya ia akan meninggalkan banyak sifat kerasnya itu”.

Setelah merasa mantap dengan pilihannya, Sayidina Abu Bakar memanggil Sayidina Utsman bin ‘Affan untuk menuliskan keputusannya itu, “Bismillahirrahmanirrahim (Dengan menyebut Nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang). Ini adalah keputusan Abu Bakar bin Abu Quhafah untuk kaum Muslimin, Amma Ba’du”. Sejenak kemudian beliau pingsan, “Aku telah menetapkan Umar bin al-Khathab sebagai khalifah penggantiku, dan aku tidak menetapkannya untuk kalian kecuali kebaikan”. Sayidina Utsman menulis apa yang didiktekan Khalifah Abu Bakar.

Tidak lama kemudian Sayidina Abu Bakar siuman dan berkata, “Bacakan kepadaku apa yang engkau tulis!”. Dan Sayidina membaca apa yang didiktekan Abu Bakar kepadanya dengan tambahan yang berasal darinya saat khalifah pingsan.

“Aku melihat dirimu khawatir akan munculnya perselisihan kaum muslimin, jika aku meninggal tiba-tiba (sehingga dirimu berinisiatif menambahkan atas apa yang aku diktekan kepadamu)”. Ujar Abu Bakar. Sayidina Usman mengiyakan. “Semoga Allah membalasmu dengan pahala atas apa yang telah engkau lakukan untuk Islam dan kaum Muslimin” tanggap khalifah Abu Bakar seraya menetapkan keputusan tersebut beserta tambahannya.

Kemudian khalifah tampil di depan khalayak umum untuk mengumumkan keputusannya, dengan dipapah oleh istrinya, Asma` binti ‘Umais. “Apakah kalian ridha dengan orang yang aku tunjuk menjadi penggantiku?” tanya Khalifah. “Demi Allah, aku telah matang memikirkannya dan aku tidak mengangkatnya sebagai penggantiku karena kekerabatannya. Orang itu adalah Umar bin al-Khathab, maka dengarkanlah segala perintahnya dan patuhilah dia”. Dan kaum muslimin menyatakan kesetiaan dan kepatuhannya.

Dengan membaca sejarah di atas, nampaknya bahwa Islam tidak memberikan modus baku untuk suksesi pemerintahan. Islam mempersilahkan kaum muslimin memilih dan menetapkan sendiri model suksesi yang sesuai dengan kebutuhan mereka. Mungkin hal ini selaras dengan sabda Rasulullah, ”Kalian lebih mengetahui urusan duniawi kalian”.
Allah A’lam

Fiqh Sebagai Produk Akal

Secara kodrati manusia memiliki kecenderungan untuk berbeda satu dengan lainnya. Fisik dan psikis (kejiwaan) tiap orang berbeda.

Orang tua yang membesarkan dan lingkungan masyarakat tempat tinggal juga berbeda. Daya tangkap panca indera dan nalar berpikir berbeda. Kualitas dan kesempatan mendapatkan pendidikan tiap orang berbeda. Status ekonomi dan sosial berbeda. Problematika dan konflik hidup berbeda. Zaman dan topografis tempat mereka tinggal berbeda. Dan masih banyak faktor lain yang menjadi pemicu timbulnya perbedaan-perbedaan seorang manusia dengan yang lain.

Perbedaan-perbedaan yang ada di antara manusia diakui oleh Allah dalam al-Qur`an Surat Hud ayat 118-119, "Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat. Kecuali otang-orang yang diberi rahmat oleh Tuhanmu. dan untuk itulah Dia menciptakan mereka".

Perbedaan-perbedaan ini menjadi penyebab utama timbulnya perbedaan memaknai dan memahami teks dan dalil-dalil Agama, atau yang sering kita sebut sebagai
ihkhtilaf fiqhy.

Fiqh adalah produk dari akal, sementara akal seseorang tidaklah sama dengan akal orang lain. Dalam fiqh memang banyak terdapat perbedaan, dan perbedaan-perbedaan itu dibenarkan dalam masalah-masalah furu'iyyah (cabang) setelah umat Islam bersepakat dalam masalah ushuliyyah (pokok). Demikian ungkap Abdullah bin Abdul Muhsin al-Turky dalam kitab Asbab Ikhtilaf al-Fuqaha`. Selama masing-masing pendapat memiliki argumentasi yang dibenarkan oleh Agama, yaitu al-Qur`an, Hadis Shahih, Ijma' (consensus) ulama, dan qiyas (analogi/menyamakan hukum sebuah perbuatan yang tidak memiliki status hukum definitif dan pasti dengan perbuatan yang memiliki kesamaan bentuk dan telah memiliki status hukum yang pasti).

Kewajiban shalat adalah contoh masalah ushuliyah yang tidak dibenarkan adanya pertentangan pendapat. Tiap orang harus meyakini bahwa shalat hukumnya wajib atas orang Islam. Sementara tata cara pelaksanaannya berupa rukun, syarat, kesunahan, dan perkara-perkara yang membatalkannya, maka akan kita temui banyak perbedaan pendapat, karena semuanya ini merupakan masalah furu'iyyah. Selama semua pendapat mengacu pada dalil al-Qur`an dan Hadis shahih, maka kita harus
menerimanya sebagai bentuk variasi (tanawwu') dalam beribadah yang diajarkan oleh Rasulullah. Dan selama amal ibadah yang kita laksanakan memiliki dalil, maka ia sah hukumnya, walaupun secara zhahir ia berbeda dengan tata cara yang dipraktikkan orang lain.

Sebagai contoh salah satu perbuatan yang sering menjadi bahan diskusi, bahkan cenderung mengakibatkan perpecahan di antara mereka adalah doa qunut dalam
shalat Shubuh. Ada sebagian orang yang melaksanakan qunut mencibir orang yang tidak berqunut dan menilai shalat Shubuh yang dilakukan tanpa qunut nilainya
"kurang afdhal", karena ada kesunahan shalat yang ditinggalkan. Sebaliknya sebagian orang yang tidak menggunakan doa qunut menyalahkan orang yang berqunut, dan menganggap qunut dalam shalat Shubuh adalah sebuah kebid'ahan yang tidak dibenarkan dalam Islam.

Seandainya kita mau membuka kitab Sunan al-Nasa'i, sebuah kitab Hadis standar bacaan umat Islam, maka akan kita dapati dalil orang yang tidak berqunut pada
bab Tark al-Qunut (meninggalkan qunut), "Aku shalat di belakang (menjadi makmum) Rasulullah dan beliau tidak berqunut (pada shalat Shubuh). Aku juga shalat di belakang Abu Bakar, Umar, Ustman, dan Ali (ternyata) mereka semua juga tidak berqunut. wahai anakku, sesungguhnya ia (qunut dalam shalat Shubuh) hukumnya
bid'ah". Hadis semakna juga diriwayatkan oleh Ibn Hibban dalam kitab Shahih-nya.

Sementara dalam kitab yang sama (Sunan al-Nasa'i) pada bab al-Qunut fi shalat al-Shubh (berqunut pada shalat Shubuh), al-Nasa`i meriwayatkan Hadis, "Shahabat Anas bin Malik ditanya: Apakah Rasulullah berqunut pada shalat Shubuh? beliau menjawab: Iya! Beliau ditanya lagi: Sebelum ruku' atau sesudahnya? Beliau menjawab: Sesudah ruku'!"

Ulama yang memahami bahwa qunut yang dilakukan Rasulullah pada shalat Shubuh bukan semata qunut nazilah (qunut yang dilakukan saat kaum muslimin tertimpa musibah atau qunut untuk melaknati kaum kafir yang berlaku zhalim), mereka berargumen dengan Hadis yang diriwayatkan oleh Ahmad dalam kitab Musnad,
"Rasulullah senantiasa berqunut pada shalat Fajar (Shubuh) sehingga beliau meninggal dunia". Hadis semakna juga diriwayatkan oleh al-Daruquthni dalam kitab Sunan-Nya.

Berdasarkan tiga Hadis di atas, dan hadis-hadis lainnya, para ulama berselisih pendapat tentang hukum berqunut pada shalah Shubuh. Ibn Qudamah dalam kitab
al-Mughni berpendapat bahwa qunut yang dilakukan pada shalat Shubuh bukanlah sebuah kesunahan. pendapat ini juga difatwakan oleh Sufyan al-Tsauri, Abu Hanifah,
dan diriwayatkan pendapat ini dari Ibn Abbas, Ibn Umar, dan Ibn Mas'ud. Sementara Malik bin Anas, al-Syafi'i, Abu Ya'la, dan ulama lainnya berpendapat bahwa berqunut dalam shalat Shubuh hukumnya sunnah.

Ada ulama yang mencoba memahami kedua pendapat dengan menyatakan bahwa Hadis yang menyatakan bahwa Rasulullah berqunut pada shalat Shubuh dan Hadis yang menyatakan bahwa beliau tidak berqunut (bahkan qunut dalam shalat Shubuh adalah bid'ah) memberikan pengertian bahwa Rasulullah terkadang berqunut dan
terkadang tidak berqunut. Sehingga dapat diambil kesimpulan bahwa qunut dalam shalat Shubuh hukumnya sunnah, bukan wajib.


Fiqh = Produk Ijtihad

Sebagaimana telah disinggung di atas, perbedaan pendapat dalam pengertian tertentu bukanlah sesuatu yang tabu dalam Islam. Sebagian mujtahid (ulama) ada
cenderung kaku dan berhati-hati dalam menetapkan hukum, sementara mujtahid yang lain bersikap lunak dan mempermudah dalam berfatwa (Rasulullah sendiri senantiasa memilih di antara dua hal, mana yang lebih mudah selama hal itu tidak merupakan dosa).

Kondisi sosio-geografis serta keadaan politik juga mempunyai andil dalam timbulnya perbedaan ijtihad. Ulama yang hidup di tengah-tengah kondisi perang, tentu memiliki kecenderungan fatwa yang berbeda dengan ulama yang hidup ditengah keadaan damai. Begitu pula perbedaan kondisi sosio-ekonomi. Misalnya dalam sebuah Hadis dinyatakan bahwa seorang pencuri dipotong tangannya ketika barang curiannya mencapai nilai sebuah perisai perang (mijann). Abu Hanifah yang merupakan ulama konglomerat menetapkan 12 Dinar sebagai nilai sebuah perisai perang, sementara
al-Syafi'i yang merupakan sosok ulama sederhana menetapkan 4 Dinar. Hal ini tidak aneh, di mana seorang konglomerat tentu akan membeli perisai dengan kualitas terbaik, sementara nilai perisai tentu tidak sama, tergantung kualitas dan bahan bakunya.

Dan nampaknya, kualitas intelektual masing-masing mujtahid merupakan faktor dominan timbulnya perbedaan hasil ijtihad, di mana orang yang tersinari "cahaya
ilham" (al-Suyuthi menyebutnya "ilmu mauhibah") tentu memiliki kemampuan ijtihad yang berbeda dari orang biasa. Dan mujtahid yang telah membaca 20 jilid kitab Hadis, tentu memiliki wawasan yang lebih luas dibanding orang yang baru membaca kitab Arba'in
Nawawi.

Al-Syafi'i merevisi fiqhnya (dalam qaul jadid) saat tinggal di Mesir, setelah mendapatkan Hadis-hadis dan diskursus (wacana) fiqh yang sebelumnya tidak beliau
temukan saat masih tinggal di Irak. Al-Syafi'i menyatakan bahwa walaupun seluruh penduduk Madinah tidak berqunut saat shalat Shubuh, beliau tetap menyatakan qunut itu hukumnya sunnah karena ada sebuah Hadis yang menyatakan demikian (dugaan saya, Hadis itu tidak sempat diterima oleh penduduk Madinah, dari seorang shahabat yang berdomisili di Irak).

Sebuah Hadis yang dinilai shahih oleh seorang ulama, bisa jadi dinilai dhaif oleh ulama yang lain, karena penilaian keshahihan Hadis merupakan ijtihad. Hal ini pada akhirnya berimbas kepada penggunaan Hadis itu sebagai landasan berijtihad. Dan sederhana atau rumitnya sebuah permasalahan, juga menjadi faktor timbulnya perbedaan hasil ijtihad. Termasuk karakteristik bahasa Arab (bahasa al-Qur`an dan Sunnah) yang dapat dipahami secara denotatif (hakiki) dan konotatif (majazi) dalam waktu yang sama, serta musytarak (satu kata memiliki lebih dari satu makna) seperti kata "quru`" (QS. Al-Baqarah ayat 228) yang dapat diartikan suci dan haidh sekaligus. Pemaknaan
"quru" sebagai masa suci dianut oleh Aisyah, Ibn Umar, Zaid bin Tsabit, al-Syafi'i, Malik, Daud al-Zhahiri, dan beberapa ulama lain. Sementara Abu Bakar, Umar bin al-Khathab, Utsman bin 'Affan, Ali bin Abu Thalib, mayoritas shahabat, Abu Hanifah, al-Auza'i, Said bin al-Musayyib, Hasan al-Bashri, dan beberapa ahli fiqh golongan tabi'in memahami "quru`" sebagai masa haidl

Hakikat Fiqh

Secara etimologis, fiqh diartikan sebagai pemahaman yang mendalam. Ungkapan bahwa langit ada di atas, atau bahwa dua adalah seperenam dari dua belas bukanlah merupakan fiqh, karena ia tidak memerlukan analisa yang mendalam. Lain halnya masalah bunga bank konvensional, apakah ia identik dengan riba yang secara tegas diharamkan al-Qur`an (QS. Al-Baqarah ayat 275) dan Sunnah, atau tidak identik dengan riba. Hal yang perlu diingat, al-Qur`an tidak pernah menyebut bunga bank, dan Rasulullah tidak pernah memberikan ketetapan hukum atasnya mengingat lembaga bank itu sendiri tidak ada di zaman beliau. Karenanya diperlukan analisa yang mendalam ketika mendefinisikan riba, apa kriterianya, serta illah hukum (ratio legis)
yang ada di balik pengharaman riba, untuk kemudian menganalisa bunga bank konvensional.

Sesaat sebelum diutus ke Yaman untuk menjadi hakim dan juru dakwah, Muadz bin Jabal menjalani fit and proper test di hadapan Rasulullah. Isi pertanyaan uji kelayakan itu adalah cara atau mekanisme yang akan digunakan Muadz dalam membuat keputusan. Dengan tegas dan lugas Muadz menjawab, "Aku akan membuat keputusan
berdasarkan al-Qur`an. Jika aku tidak mendapatkan landasan normatifnya dalam al-Qur`an, aku akan memutuskannya berdasarkan Sunnah Rasulullah. Kemudian
jika dalam al-Qur`an dan Sunnah tidak aku temukan landasan hukumnya, aku akan berijtihad menggunakan segenap potensi nalarku" (HR. Ahmad, Abu Dawud, dan
al-Tirmidzi). Rasulullah tersenyum dan membenarkannya.

Berdasar Hadis di atas, hukum Islam ditetapkan berdasarkan al-Qur`an, Sunnah dan ijtihad. Dan dengan memperhatikan urutannya, seorang mujtahid harus melakukan kajian atas al-Qur`an sebelum ia menoleh ke Sunnah. Mekanisme ijtihad dapat dilakukan setelah dipastikan bahwa al-Qur`an dan Sunnah tidak memberikan keputusan. Ijtihad memiliki fungsi yang sangat penting mengingat "keterbatasan" al-Qur`an yang terdiri dari 6000 ayat lebih sedikit, dan Sunnah yang terputus seiring wafatnya Rasulullah. Ijtihad merupakan media yang menjaga relevansi nash (al-Qur`an dan Sunnah) di sepanjang waktu dan di semua tempat

Pada masa Rasulullah setiap kali muncul permasalahan, para shahabat langsung bertanya dan meminta keputusan kepada beliau. Terkadang Allah menurunkan wahyu untuk menanggapi permasalahan itu, dan seringkali Rasulullah berijtihad yang kemudian mendapat pembenaran (berupa pembiaran, penguatan atau justru koreksi) dari Allah melalui wahyu-Nya.

Para ulama juga menyatakan bahwa ijtihad Rasulullah (baca: Sunnah) merupakan wahyu Ilahi. Karena ijtihad yang dilakukan Rasulullah, mendapat konfirmasi dari
wahyu. Sehingga dapat dinyatakan bahwa sumber hukum pada masa ini adalah wahyu semata.

Ada juga ijtihad individual yang dilakukan shahabat. Namun hal itu masih perlu penetapan dari Rasulullah, sehingga yang menjadi sumber hukum bukanlah ijtihad
shahabat itu melainkan wahyu yang mengkonfirmasikannya. Misalnya peristiwa dua orang shahabat yang dalam perjalanan tidak mendapati air untuk berwudhu. Keduanya bertayammum lalu melakukan shalat secara berjamaah lalu melanjutkan perjalanan.
Di tengah jalan mereka menemukan air. Salah seorang shahabat berwudhu dan mengqadha shalatnya, sementara yang lain tidak mengqadha dengan alasan bahwa ia telah melaksanakan shalat. Saat dilapori, Rasulullah menyatakan bahwa orang yang mengqadha shalat mendapat pahala dobel, sementara orang yang tidak mengqadha
telah sesuai dengan sunnah.

Dalam perang Dzat al-Salasil, shahabat 'Amr bin al-'Ash pernah menjadi imam shalat Shubuh padahal ia dalam keadaan jinabat. Rasulullah yang dilapori hal ini meminta penjelasannya. 'Amr menjelaskan bahwa saat itu udara sangat dingin. Ia mengkhawatirkan keselamatannya jika harus "mandi besar" sementara Allah telah berfirman, "dan janganlah kalian membunuh dirimu. Sesungguhnya Allah Maha Penyayang kepadamu" (QS. Al-Nisa ayat 29). Mendengar jawaban ini, Rasulullah tertawa dan mendiamkannya (HR. Ahmad)

Sesaat setelah perang Ahzab, Rasulullah memerintahkan para shahabat untuk berangkat ke perkampungan Yahudi Bani Quraizhah. Para shahabat juga diperintahkan untuk tidak melaksanakan shalat Ashar kecuali di perkampungan Bani Quraizhah. Di tengah perjalanan waktu Ashar hampir habis. Sebagian shahabat ada yang berhenti di tengah jalan untuk mendirikan shalat Ashar, dengan alasan bahwa Allah telah menetapkan waktu bagi masing-masing shalat (QS. Al-Nisa` ayat 103). Mereka memahami sabda rasulullah untuk melaksanakan shalat Ashar hanya di perkampungan Bani Quraizhah sebagai perintah untuk menyegerakan perjalanan. Sementara ada shahabat lain yang memahami perintah Rasulullah ini secara harfiyah, dan melaksanakan shalat Ashar setibanya di perkampungan Bani Quraizhah secara qadha. Ijtihad dua kelompok ini dibenarkan oleh Rasulullah (HR. al-Bukhari dan Muslim).

Peristiwa Saqifah bani Saidah saat kaum Muhajirin dan Anshar berselisih pendapat mengenai sosok shahabat yang akan menjadi khalifah, merupakan contoh perbedaan
ijtihad di kalangan kaum muslimin. Sebenarnya masih banyak lagi contoh yang menggambarkan bahwa ijtihad sudah dilakukan oleh para shahabat. Yang perlu digarisbawahi adalah kedewasaan shahabat dalam menyikapi perbedaan pendapat dan mekanisme syura yang digunakan untuk menyelesaikan perbedaan itu.


Pintu Ijtihad

Yusuf al-Qardhawi pernah menyatakan bahwa pintu ijtihad selalu terbuka, dan tidak seorangpun berhak menutup pintu yang telah dibuka oleh Rasulullah. Namun demikian ada dua hal yang perlu diperhatikan, yaitu objek ijtihad dan pelaku ijtihad.

Ijtihad, dengan fiqh sebagai produknya, hanya berlaku pada permasalahan yang tidak memiliki ketetapan hukum dalam al-Qur`an dan Sunnah. Pernah suatu ketika saat mengajar, al-Syafi'i diminta fatwa tentang sebuah permasalahan. Beliau menjawabnya dengan merujuk sebuah Hadis. Si penanya merasa perlu menanyakan pendapat
pribadi al-Syafi'i yang bukan berdasarkan Hadis, namun ia justru mendapat hardikan keras dari al-Syafi'i, "Apakah engkau melihat aku keluar dari gereja, atau engkau dapati di pinggangku ikat pinggang orang yahudi?! Ketika Rasulullah telah menetapkan sesuatu kemudian aku mengeluarkan pendapat pribadi!".

Dan yang tidak kalah penting adalah otoritas ijtihad yang hanya dimiliki ulama yang berkompeten. Al-Suyuthi menyebutkan lebih dari 150 disiplin ilmu yang harus dimiliki seseorang sebelum ia boleh berijtihad. Dalam generasi shahabat kita temui beberapa orang yang memiliki predikat fuqaha shahabat (ahli fiqh golongan shahabat), misalnya Umar bin al-Khathab, Ali bin Abu Thalib, Ibn Abbas dan Aisyah radhiyallah 'anhum.
Sementara kebanyakan shahabat lain menyandarkan solusi atas permasalahan mereka kepada para fuqaha itu.

Dalam al-Hawi, al-Suyuthi berkata, "Kalaulah orang-orang bodoh mau diam, maka perselisihan akan sedikit". Dan memang dalam kehidupan sehari-hari kita temui orang-orang awam justru yang ramai bermain di "wilayah khilafiyah". Karena mereka inilah ikhtilaf menjadi potensi perpecahan umat, bukan justru menjadi rahmat.

Bagi orang yang mampu berijtihad, maka hendaknya ia menggunakan anugerah itu. Sementara masyarakat awam diharap mengikuti para ulama (ittiba'), dan jangan
coba-coba berijtihad.

Adapun timbulnya pertikaian akibat mazhab dan ittiba', maka ini lebih diakibatkan ketidakdewasaan sikap. Karena ijtihad dan ittiba' bersifat netral, seperti sebilah pisau yang dapat digunakan mengiris bawang dan menodong di jalanan, mirip ilustrasi yang dikatakan Ali bin Abu Thalib berkata, 'Perkataan yang hak, namun digunakan untuk kebathilan” (kalimah al-haqq urida biha al-bathil).


Perbedaan Hasil Ijtihad

Al-Qur`an mengabadikan perbedaan ijtihad antara nabi Dawud dengan nabi Sulaiman dalam masalah "kambing yang memakan ladang" (QS. Al-Anbiya` ayat 78-79). Kedua
ijtihad yang berbeda ini mendapat apresiasi dari Allah. Dan dalam sebuah kesempatan, Rasulullah menyatakan bahwa jika seorang hakim (dan mujtahid) tepat dalam berijtihad, maka ia mendapat dua pahala. Sementara jika ia keliru, maka ia mendapat satu pahala.

Berikut adalah contoh perbedaan ijtihad.

Dalam sebuah Hadis disebutkan Rasulullah pernah melakukan shalat jama' di perjalanan. Beberapa ulama, setelah melakukan penghitungan, menyatakan bahwa jarak minimal perjalanan yang membolehkan menjama' shalat adalah 80,65 km (lih. Fiqh 'ala Madzahib al-Arba'ah). Ada juga yang menyatakan bahwa jarak ini adalah jarak
pulang-pergi. Artinya siapa yang melakukan perjalanan sejauh 41 kilo diperbolehkan melakukan jama' shalat. Baik ada kesulitan dalam perjalanan maupun tidak, jama' shalat tetap boleh. Misalnya orang yang pergi dari Jakarta ke Kuta Bali menaiki pesawat yang nyaman dan hanya membutuhkan waktu kurang dari 2 jam.

Ada juga ulama yang menyatakan bahwa alasan kebolehan jama' shalat adalah adanya kesulitan dalam perjalanan. Rasulullah sendiri menyatakan bahwa bepergian adalah
sepotong kesulitan (masyaqqah). Sehingga siapa saja yang merasa kerepotan saat perjalanan, sedekat apapun jaraknya, ia tetap boleh menjama’. Seorang karyawan
atau manager perusahan yang rumahnya di Ciputat sementara kantornya di jalan Gatot Subroto bila ia terjebak macet, maka baginya menjama' shalat atau melakukan shalat di dalam kendaraan (dengan bertayammum).

Dan dalam sebuah Hadis yang diriwayatkan al-Nasa`, disebutkan bahwa Rasulullah pernah menjama' shalat di rumah. Ibn Abbas yang diminta konfirmasi tentang hal
ini, mengiakannya seraya mengira-ngira bahwa saat itu sedang turun hujan. Berdasar Hadis ini, sementara ulama ada yang membolehkan jama' shalat tanpa alasan perjalanan, misalnya dua orang mempelai yang biasanya dirias pada jam 9 pagi, dan baru lepas riasan jam 4 sore, maka baginya jama' shalat Zhuhur dan Ashar.
Namun ulama yang membolehkan jama' shalat di rumah, memberikan beberapa persyaratan (conditions).

Ibn Qudamah, seorang faqih mazhab Hanbali menyatakan bahwa perbedaan yang ada di antara para ulama adalah rahmat, dan kesepakatan mereka adalah hujjah yang
tidak bisa dibantah dan didebat.

Dari sini kita pahami bahwa ijtihad dan perbedaan fiqh sudah ada semenjak zaman shahabat, maka menjadi aneh jika sekarang ada orang yang ingin meniadakannya, atau justru menjadikannya sumber perpecahan umat Islam. Dan, sekali lagi, perlu kedewasaan dalam menyikapi perbedaan fiqh. Para ulama menyarankan untuk
menggunakan dua standar dalam menentukan pilihan di antara ijtihad-ijtihad yang ada:

(1) Pendapat mana yang memiliki argumentasi dalil dan penalaran yang lebih kuat, serta

(2) Yang paling sesuai dengan suara hati nurani.

Wallah a'lam.