ME...

ME...
MUSCAT-OMAN 2005

Kamis, 28 Mei 2009

MEMAKNAI MUSIBAH

Oleh: Andi Rahman

Kata “Musibah” berasal dari bahasa Arab. Kata ini berakar kata yang terdiri dari huruf Shad, Wawu dan Ba`, dan memiliki makna berkisar antara “mencapai”, “mengenai tepat sasaran”, “menimpa”, “memperoleh sesuatu”, dan “bancana atau kecelakaan”. Dalam bahasa Indonesia kata musibah berkonotasi negatif, ia sering diartikan sebagai bencana atau kecelakaan. Padahal dalam al-Qur`an kata “musibah” digunakan untuk mengungkapkan kejadian baik dan buruk yang menimpa seseorang sebagaimana dijelaskan dalam Surat al-Nisa ayat 79, al-Taubah ayat 50, al-Hajj ayat 11, dan al-Syura ayat 30.
Allah Ta’ala berfirman dalam Surat al-Nisa` ayat 79, “Kebajikan apapun yang kamu peroleh adalah dari sisi Allah, dan keburukan apapun yang menimpamu, itu dari (kesalahan) dirimu sendiri…”.
Tiap manusia akan memiliki jatah “musibah” sesuai dengan proporsi yang telah ditetapkan Allah Ta’ala, “…Dan bersabarlah atas apa yang menimpamu, sesungguhnya yang demikian itu termasuk perkara yang penting (yakni sebuah keniscayaan)” (QS. Luqman: 17). Dalam Surat al-Baqarah ayat 155-156, Allah berfirman, “Dan Kami pasti akan menguji kalian dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar. (Yaitu) Orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka berkata inna lillah wa inna ilaihi raji’un (sesungguhnya kami milik Allah, dan sesungguhnya kepada-Nya kami kembali)”.

Hikmah Musibah
Ada sebagian orang, dengan tidak merasa berdosa, membuat istilah yang kurang proporsional atau tidak ada kaitannya dengan musibah jebolnya tanggul di Situ Gintung, Tsunami di Aceh, luapan lumpur di Sidoarjo, dan gempa di Yogyakarta. Mereka menyatakan bahwa musibah itu terjadi karena alam sudah bosan atau karena Allah telah murka. Bahkan mereka tidak risih memvonis bencana tersebut sebagai azab. Seyogyanya kita bersikap empati dan arif dalam merespon dan menyikapi apapun peristiwa yang terjadi di bumi.
Musibah apapun yang menimpa umat Rasulullah tidak lepas dari dari 6 perkara:
Pertama, sebagai ujian keimanan. Allah berfirman dalam al-Qur`an Surat al-Ankabut ayat 1-2,
“Alif Lam Mim. Apakah manusia mengira bahwa mereka akan dibiarkan mengatakan, “Kami beriman”, dan mereka tidak diuji?! Dan sungguh, Kami telah menguji orang-orang sebelum mereka, maka Allah pasti akan mengetahui orang-orang yang benar (dengan keimanannya) dan orang-orang yang berdusta”.
Firman-Nya dalam Surat Muhammad ayat 31,
“Dan sungguh, Kami benar-benar akan menguji kamu sehingga Kami mengetahui orang-orang yang benar-benar berjihad dan bersabar di antara kamu, dan akan Kami uji perihal kamu”.
Kedua, sebagai upaya meningkatkan derajat keimanan. Semakin tinggi iman seseorang, semakin tinggi pula ujian yang ditimpakan kepadanya. Dalam al-Qur`an, Hadis dan Sirah Nabawiyah (sejarah nabi) banyak kita temukan kisah musibah yang menimpa para nabi. Nabi Nuh misalnya, selama 950 tahun berdakwah hanya mendapatkan sedikit orang yang beriman, sementara kebanyakan umatnya kufur bahkan memperoloknya (QS. Al-Ankabut ayat 14), Nabi Ibrahim dibakar Raja Namrudz (QS. Al-Anbaiya` ayat 57-70), Nabi Ayub yang diuji dengan ludesnya harta dan kematian hampir seluruh anggota keluarganya serta tubuhnya yang dijangkiti banyak penyakit (QS. Shad ayat 41), dan Rasulullah yang diejek dan disakiti orang-orang kafir Makkah, bahkan hendak dibunuh.
Rasulullah saat ditanya oleh Shahabat Sa’ad bin Abu Waqqash tentang orang yang paling berat cobaannya, beliau menjawab, “Para nabi. Kemudian orang-orang yang derajatnya dekat dengan para nabi”. (HR. al-Imam al-Hakim dan al-Imam al-Thabrani). Dalam sebuah Hadis yang diriwayatkan oleh al-Imam al-Bukhari dan al-Imam Muslim, Rasulullah bersabda, “Tidaklah seorang muslim terkena duri, atau lebih dari itu, kecuali Allah mengangkat baginya satu derajat, dan menghapuskan darinya satu dosa”.
Ketiga, sebagai bukti cinta Allah terhadap hamba-Nya. Dalam sebuah Hadis yang diriwayatkan oleh al-Imam Ahmad dan al-Imam al-Thabrani dari Mahmud bin Labid, bahwasanya Rasulullah bersabda, “Ketika Allah mencintai suatu kaum, Dia mengujinya (dengan memberinya musibah)”.
Keempat, sebagai tanda bahwa Allah menghendaki kebaikan bagi seseorang (segolongan kaum), kebaikan ini berbentuk pemberian pahala dan penghapusan dosa yang diberikan Allah bagi orang yang bersabar dalam menjalani musibah. Dalam sebuah Hadis yang diriwayatkan al-Imam al-Thabrani, Rasulullah bersabda, “Ketika Allah menghendaki kebaikan bagi hambanya, Dia mengujinya dengan bala’ (musibah). Dan ketika Allah menguji hambanya, Dia memberatkannya”. Saat para shahabat bertanya maksud dari “memberatkannya”, Rasulullah bersabda, “Allah tidak meninggalkan baginya keluarga dan harta”.
Al-Imam Abu Dawud meriwayatkan Hadis dari Shahabat Abu Musa al-Asy’ari, Rasulullah bersabda, “Umatku umat yang dirahmati, di mana tidak ada atas mereka siksaan di akhirat. Siksaan mereka di dunia berupa bencana, gempa dan pembunuhan”
Al-Imam Ahmad dan al-Imam al-Bazzar meriwayatkan sebuah Hadis yang kualitasnya hasan (semi shahih) dari Ummul Mukminin Aisyah, bahwasanya Rasulullah bersabda, “Ketika dosa seorang hamba sudah sedemikian banyak, dan tidak ada sesuatupun yang dapat menghapusnya, maka Allah mengujinya dengan kesusahan agar dosanya terhapuskan”.
Kelima, sebagai teguran atau peringatan. Dalam sebuah Hadis yang diriwayatkan oleh al-Imam Ibnu Hibban dari Shahabat Ubadah bin al-Shamit, Rasulullah bersabda,
“Tidak ada seorangpun dari kalian melanggar ketentuan (Agama) kemudian disegerakan siksaannya (sebagai hukuman), kecuali siksa itu menjadi kafarah (penebus dosanya). Dan siapa yang siksanya diakhirkan, maka urusannya dikembalikan kepada Allah; Kalau Allah menghendaki, Dia merahmatinya (mengampuni kesalahannya). Dan kalau Dia menghendaki, Dia akan menyiksanya” .
Dalam sebuah Hadis yang diriwayatkan oleh al-Imam al-Hakim, Rasulullah bersabda, “Ketika Allah menghendaki kebaikan bagi hamba-Nya, maka disegerakan baginya hukuman (di dunia ini) atas dosanya. Dan apabila Allah menghendaki keburukan pada hamba-Nya, Dia tahan hukuman dosanya di dunia, sehingga disiksa-Nya pada hari Kiamat.”
Keenam, sebagai siksa Allah di dunia. Dalam al-Qur`an Surat al-Anfal ayat 25, Allah menjelaskan bahwa ketika kemaksiatan dan kejahatan merajalela, dan tidak ada orang yang mencoba melakukan amar makruf nahi munkar, maka siksa Allah (musibah) akan menimpa mereka secara keseluruhan, “Dan peliharalah dirimu dari siksaan yang tidak hanya menimpa orang-orang zalim saja di antara kalian. Ketahuilah bahwa Allah sangat keras siksa-Nya.”. Dalam sebuah Hadis yang diriwayatkan oleh al-Imam Abu Dawud, Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya orang-orang yang melihat orang yang zhalim kemudian mereka tidak mengubahnya, maka hampir-hampir Allah meratakan mereka dengan siksaan dari-Nya”.
Dalam Hadis yang diriwayatkan oleh al-Imam al-Tirmidzi, Rasululullah bersabda, “Demi Dzat yang menguasai diriku, sungguh kamu akan menyuruh (berbuat) yang makruf dan mencegah dari yang munkar, atau kamu akan dikirimkan siksa dari Allah, kamudian kamu berdoa kepada-Nya dan tidak dikabulkan”

PAHALA SYAHID?!
Dalam sebuah Hadis muttafaq ‘alaih dinyatakan orang yang mati syahid ada lima; pejuang muslim yang mati di peperangan fi sabilillah, orang yang mati akibat tertimpa reruntuhan, wabah penyakit epidemis, tenggelam, dan sakit perut.
Berdasarkan Hadis di atas, para ulama membagi syahadah (mati syahid) menjadi tiga; Syahid di dunia dan di akhirat, syahid di akhirat saja, dan syahid di dunia saja. Orang yang mendapatkan predikat syahid di dunia dan akhirat adalah pejuang yang dengan niat yang ikhlas berperang fi sabilillah, dan mati di medan peperangan. Orang yang mendapat predikat syahid di akhirat saja adalah orang yang meninggal akibat tertimpa reruntuhan, wabah epidemis, tenggelam, dan sakit perut. Sementara orang yang syahid di dunia saja adalah orang yang mati dalam peperangan bersama pasukan kaum muslimin, tetapi ia tidak ikhlas dan ikut berperang karena pamrih duniawi.
Orang yang syahid di dunia-akhirat, dan syahid di akhirat saja, tidak usah dimandikan dan dishalati. Sedangkan orang yang syahid di dunia saja, wajib dimandikan dan dishalati sebagaimana orang yang mati biasa.
Pada tanggal awal bulan Januari 2005, MUI telah mengeluarkan fatwa yang isinya menyatakan bahwa korban bencana gempa dan tsunami di Aceh adalah syahid, yaitu mereka yang meninggal akibat tertimpa reruntuhan gempa dan tenggelam badai tsunami. Fatwa ini dapat juga diqiyaskan (disamakan) terhadap korban jebolnya tanggul Situ Gintung dan musibah lainnya.
Status korban musibah dan bencana alam apakah syahid atau ”sangit” tentunya hanya Allah yang tahu. Status ini akan berbeda bagi masing-masing korban. Orang baik yang meninggal dalam bencana alam, sangat mungkin akan mendapat pahala syahid. Sementara orang jahat dan banyak dosa yang menjai korban bencana alam, maka bisa ia bukan syahid. Menggeneralisasi seluruh korban bencana alam dalam satu penilaian, merupakan sebuah ”ketidaktepatan”.
Musibah jebolnya tanggul Situ Gintung tidak terjadi tanpa sebab. Ada kelalaian manusia dalam menjaga dan merawat tanggul tersebut, ditambah tentunya debit air yang melimpah akibat hujan yang turun dengan lebat. Penyelidikan terkait penyebab musibah ini perlu dilakukan agar pihak yang bersalah mendapat ganjarannya, kemudian kejadian seperti ini tidak terjadi lagi. Sambil melakukan tindak tanggap darurat bencana, kita bisa membantu mereka secara materil dan moril. Sikap empati dan doa juga perlu kita sampaikan agar mereka yang menjadi korban mendapatkan kebaikan dari Allah Ta’ala.
Al-Imam al-Thabrani meriwayatkan sebuah Hadis dhaif dari shahabat Ibnu Abbas, Rasulullah pernah bercerita bahwa seorang nabi pernah bermunajat kepada Allah tentang seseorang yang beriman dan beramal shaleh, tetapi ia mendapatkan cobaan dan musibah. Di sisi lain, ada orang yang kufur dan selalu melakukan maksiat, tetapi ia justru hidup kaya raya dan sejahtera di dunia. Allah menjawab munajat ini dengan menyatakan bahwa bumi dan seisinya adalah milik-Nya, dan seluruh makhluk harus memuji dan mensucikan-Nya. “Adapun hamba-Ku yang beriman dan (tentu ia) memiliki dosa, maka Aku timpakan musibah dan jauhkan darinya dunia (sebagai balasan dosanya di dunia), sehingga saat ia kembali kepada-Ku, Aku berikan pahala atas amal kebajikannya”, Demikian jawaban Allah Ta’ala. “Dan hamba-Ku yang kafir dan ia memiliki kebajikan, maka Aku jauhkan darinya musibah dan berikan padanya harta duniawi (sebagai balasan kebajikan yang dimilikinya), sehingga saat ia kembali kepada-Ku, Aku akan membalas kekufuran dan kejahatannya (dengan siksaan).”
Allah A’lam

Selasa, 26 Mei 2009

PROFIL TAFSIR DEPAG RI (telah dimuat dalam jurnal AL_BURHAN)

Oleh: Andi Rahman, MA
(http://www.ptiq.ac.id/index.php?option=com_content&task=view&id=89&Itemid=1)

A.Penyusunan Tafsir

Departemen Agama RI telah menyosialisasikan Tafsir ini dalam Jurnal Lektur Keagamaan yang diterbitkan oleh Puslitbang Lektur Keagamaan Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan Departemen Agama RI. Dalam sebuah artikel yang ditulis oleh M. Shohib Tahar, profil Tafsir ini diterangkan dengan lengkap.

Setelah menerbitkan Terjemah Al-Qur’an pada tahun 1965, Departemen Agama menyusun Tafsir Al-Qur`an yang ide penulisannya dilandasi oleh komitmen pemerintah untuk memenuhi kebutuhan masyarakat di bidang Kitab Suci, dan untuk membantu umat Islam dalam memahami kandungan Kitab Suci Alquran secara lebih mendalam.

Kehadiran tafsir Al-Qur’an tersebut sangat membantu masyarakat untuk memahami pengertian dan makna ayat-ayat Al-Qur’an, walaupun disadari bahwa tafsir Al-Qur’an sebagaimana terjemah Al-Qur’an dalam bahasa Indonesia tidak akan dapat sepenuhnya menggambarkan maksud ayat-ayat Al-Qur’an. Demikian sambutan Menteri Agama RI, Muhammad M. Basyuni.

Tafsir yang diberi nama Al-Qur’an dan Tafsirnya ini, disusun oleh sebuah tim yang dibentuk oleh Menteri Agama. Tim ini disebut Dewan Penyelenggara Pentafsir al-Qur`an. Tim ini bertugas menulis tafsir yang di kemudian hari disempurnakan oleh Tim Penyempurnaan Al-Qur`an dan Tafsirnya.
Sebagai kelanjutan dari terbitnya Al-Qur’an dan Terjemahnya, pada tahun 1972 dibentuklah Dewan Penyelenggara Pentafsir al-Qur’an yang diketuai oleh Prof. R.H.A. Soenarjo, S.H. guna menyusun tafsir Alquran. Pembentukan Tim ini didasarkan pada Keputusan Menteri Agama (KMA) No. 90 Tahun 1972. Setahun kemudian, KMA itu direvisi dengan KMA No. 8 Tahun 1973 yang salah satu isinya menetapkan Prof. H. Bustami A. Gani sebagai ketua Tim. Penyempurnaan tim dilakukan lagi melalui KMA RI No. 30 Tahun 1980 dengan ketua Tim yang baru yaitu Prof. KH. Ibrahim Hosen, LML.

Sebagai respon atas banyaknya tanggapan dan saran dari masyarakat terkait penyempurnaan al-Qur’an dan Tafsirnya, baik isi, format, maupun bahasa, Departemen Agama menerbitkan KMA RI No. 280 Tahun 2003 yang isinya memberikan mandat Pembentukan Tim Penyempurnaan al-Qur’an dan Tafsirnya Depag RI.
Pada awal kehadirannya, Tafsir Departemen Agama tidak dicetak utuh dalam 30 juz, melainkan bertahap. Percetakan pertama kali pada tahun 1975 berupa jilid I yang memuat juz I sampai juz III. Dan percetakan secara lengkap 30 juz baru dilakukan pada tahun anggaran 1980/1981 dengan format dan kualitas yang sederhana. Selanjutnya, Lajnah Pentashih Mushaf Al-Qur`an melakukan perbaikan dan penyempurnaan materi dan teknis penulisannya secara gradual. Perbaikan Tafsir yang relatif agak luas dilakukan pada tahun 1990. Perbaikan ini lebih banyak dilakukan pada sisi aspek kebahasaan dengan pertimbangan perkembangan bahasa, dinamika masyarakat serta ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek).iii Berikut adalah aspek-aspek perbaikan dan penyempurnaan yang ada dalam Tafsir edisi 2004:
1.Bahasa, sesuai perkembangan bahasa Indonesia kontemporer
2.Substansi, yang terkait makna dan kandungan ayat
3.Munâsabah dan asbâb nuzûl
4.Transliterasi yang mengacu pada Pedoman Transliterasi Arab-Latin berdasarkan SKB Dua Menteri tahun 1978
5.Teks ayat Alquran dengan menggunakan rasm Utsmânî yang diambil dari Mushaf Al-Qur’an Standar yang ditulis ulang
6.Terjemah ayat dengan mengacu kepada Al-Qur’an dan Terjemahnya Departemen Agama yang disempurnakan (edisi 2002)
7.Dengan melengkapi kosa kata yang fungsinya menjelaskan makna lafal tertentu yang terdapat dalam kelompok ayat yang ditafsirkan
8.Dengan mencantumkan indeks pada bagian akhir setiap jilid
9.Dengan membedakan karakteristik penulisan teks Arab antara kelompok ayat yang ditafsirkan, dengan ayat-ayat pendukung dan penulisan teks hadis.


B. Sumber Rujukan

Baik saat penyusunan awal hingga tahapan penyempurnaan, Tafsir ini ditulis secara kolektif oleh tim yang terdiri dari pakar-pakar tafsir, hadis, dan ilmu-ilmu keislaman lainnya yang terkait. Referensi yang digunakan saat penyempurnaan juga mengalami penambahan. Awalnya, kitab-kitab tafsir yang masyhur seperti tafsir al-Marâgî, Tafsir Mahâsin al-Ta`wîl, tafsir Anwar al-Tanzîl wa Asrâr al-Ta`wîl, dan Tafsir Ibn Katsîr. Sementara dalam edisi revisi, setidaknya ada 60 literatur yang dikutip, termasuk di dalamnya Bibel yang seringkali dinamakan riwayat isrâiliyat.
Terkait dengan penggunaan Bibel sebagai sumber, penulis menganggap hal ini menarik walaupun sebenarnya bukan hal yang baru. Kitab-kitab tafsir klasik seperti al-Tabarî dan al-Qurtubî juga telah menjadikan isrâiliyat sebagai rujukannya. Sependek pembacaan penulis, tidak ada larangan atau anjuran mengambil informasi dari Bibel atau dari para pemuka agama Nashrani dan Yahudi, dalam artian bahwa keterangan dan informasi itu seratus persen benar atau salah sama sekali. Dalam sebuah hadis, Rasulullah menyatakan bahwa informasi yang berasal dari al-Kitab (Bibel) dan ahli kitab statusnya mengambang dan tingkat kebenaran dan kesalahannya sama-sama lima puluh persen,
لا تُصَدِّقُوا أهْلَ الكتابِ ولا تكذِّبُوهم وقُوْلُوا آمنَّا بِالله وما أُنْزِل إلينا وما أنزل إليْكُم... الآية
”Janganlah kalian membenarkan ahli kitab dan jangan pula mendustakan mereka. Tetapi katakanlah bahwa kalian beriman kepada apa-apa yang telah diturunkan Allah kepada kita dan apa-apa yang telah diturunkan kepada kalian” (HR. Al-Bukhârî dari Abu Hurayrah).v
Saat menafsirkan ayat 30 surah Yûsuf, Tafsir ini enggan berpolemik seputar identitas al-’Azîz dan istrinya. Hal ini dikarenakan nama-nama tersebut tidak terdapat dalam riwayat yang sahîh,vi walaupun ada banyak riwayat dalam tafsir-tafsir dan literatur lainnya yang menyebutkan namanya. Namun saat menafsirkan ayat 246-252 surah al-Baqarah, Tafsir ini memberikan penjelasan panjang (hampir empat halaman) terkait kisah Samuel dan Dâwud, dengan menggunakan Bibel sebagai rujukannya.vii
Penggunaan Bibel, dengan melihat kasus ”istri al-’Azîz” dan ”Samuel”, sedikit menggambarkan adanya inkonsistensi terkait penggunaan sumber yang valid dan riwayat yang sahîh sebagai rujukan Tafsir ini.


C. Metodologi Penulisan

Tafsir ini menggunakan metode tahlîlî atau penafsiran ayat per ayat sesuai urutan yang ada dalam mushâf mulai al-Fâtihah hingga al-Nâs. Penafsiran dilakukan sesuai topik yang bisa terdiri dari beberapa ayat dan terkadang hanya satu ayat saja. Sementara untuk menentukan topiknya, dilakukan penelitian terkait keselarasan kandungan (munâsabah) yang ada dalam ayat.
Beberapa ayat yang memiliki tema yang sama disatukan dalam satu topik dan ditafsirkan secara pararel. Jika satu ayat memiliki kandungan tema yang utuh, sementara ayat sebelumnya dan sesudahnya tidak memiliki keterkaitan tema dengannya, maka satu ayat tersebut ditafsirkan sendirian, misalnya ayat 92 surah Âlu ’Imrân.

Setiap ayat ditulis terpisah dari ayat yang lain. Pemisah antar ayat tersebut adalah nomor ayat tersebut yang ditulis dalam kurung. Terjemahan ayat diambil dari Al-Quran dan Terjemahnya yang telah diterbitkan oleh Depag RI terlebih dahulu.

Penafsiran dimulai dengan menerangkan secara singkat kandungan surahnya. Informasi singkat seputar surah dipaparkan, misalnya nama surah (terkadang disebutkan dari mana penamaan surah itu berasal), jumlah ayatnya, apakah ia masuk kategori makiyah atau madaniyah, dan pokok-pokok isinya. Munasabah atau keselarasan isi antar ayat, antar topik, dan satu surah dengan surah selanjutnya juga diterangkan.

Terkait dengan penafsiran ayat per ayat, pada umumnya kesimpulan ayat-ayat sebelumnya diterangkan secara sekilas. Asbâb nuzûl atau kondisi yang melatar belakangi turunnya ayat juga dijelaskan. Jika ayat yang ditafsirkan mengandung masalah fiqh, maka kadang-kadang pendapat para sahabat, tabi’in dan ulama disebutkan.

Tafsir ini juga banyak mengeksplorasi kajian kebahasaan terkait etimologi kosa kata (satu kata berbahasa Arab seringkali memiliki banyak makna), derivasi dan kanjugasi kata, serta repetisi atau pengulangan kata tersebut (beserta turunannya berupa konjugasi dan derivasinya) dalam Alquran. Kajian kebahasaan ini banyak kita dapati di awal penafsiran ayat, misalnya dalam penafsiran ayat 1 dan 2 surah al-Fâtihah.viii

Dalam melakukan penafsiran banyak dicantumkan ayat Alquran dan hadis. Hal ini mempertegas corak bi al-ma’tsûr tafsir ini, di mana penjelasan suatu ayat dilakukan dengan mengaitkannya dengan ayat lain yang relevan dan dengan hadis.

Di akhir pembahasan dibuatkan kesimpulan berupa intisari dan nilai yang terkandung dalam ayat. Karena Tafsir ini bercorak hidaî, maka dalam kesimpulan akhir diketengahkan sisi-sisi hidayah dari ayat yang ditafsirkan.ix Poin-poin kesimpulan disebutkan dalam pointers dengan menggunakan angka, dengan redaksi yang singkat dan mudah dimengerti.


D. Bentuk dan Corak Tafsir

Tafsir Depag RI adalah tafsir bi al-ma’tsûr atau bi al-riwâyah, di mana penafsirannya berdasarkan nash-nash berupa ayat Alquran, hadis, serta pendapat sahabat dan tabi’in. Bentuk penafsiran seperti ini mengandalkan riwayat-riwayat yang telah ada, dengan tetap melakukan relevansi serta aktualisasi dengan kondisi sekarang.

Sementara ditinjau dari sisi coraknya tafsir ini adalah tafsir sunnî, yaitu tafsir yang menggunakan dasar-dasar atau prinsip-prinsip ahlus sunnah wal jamaah. Term ahlus sunnah di sini adalah Asy’ariyyah/Maturidiyyah sebagai pembanding dari syî’ah.

Tafsir ini mengangkat sisi kebahasaan (lugawî) sekaligus sisi filosofis (falsafi), hukum (ahkâm), dan logika ilmu pengetahuan (’ilmî). Terkait dengan penafsiran ayat hukum, tafsir ini mengunggulkan madzhab Syâfi’î dengan banyak menyebutkan dalil yang menguatkan madzhab ini. Misalnya saat menafsirkan kata ”qurû” dalam surah al-Baqarah ayat 228, tafsir ini cenderung mendukung pendapat yang mengartikannya sebagai suci, pendapat yang populer dalam madzhab Syâfi’î. Padahal dari sisi kebahasaan, arti quru` adalah suci dan hayd (menstruasi) sekaligus.x Hal yang serupa juga terjadi saat memaparkan perbedaan pendapat seputar pelafalan basmalah dalam surah al-Fâtihah, di mana Tafsir ini banyak menyebutkan dalil yang memperkuat pendapat madzhab Syâfi’î yang menyatakan bahwa basmalah adalah bagian dari al-Fâtihah.xi


E. Periwayatan Hadis Dalam Tafsir

Tafsir Depag RI banyak memuat riwayat (hadis) dengan berbagai variasi penukilannya. Idealnya, dalam menukil hadis kita menyebutkan redaksinya dalam bahasa Arab (matannya) beserta terjemahnya dan dengan menyebutkan sumber hadis itu (mukharrij) beserta penilaian atas kualitas hadis itu, baik penilaian tersebut merupakan penilaian sendiri maupun kutipan dari orang lain.

Jika diperlukan, nama perawi sahabatnya juga dicantumkan untuk membantu proses verifikasi dan penilaian atas kualitas hadisnya. Karena satu hadis terkadang diriwayatkan oleh lebih dari satu sahabat. Jika ada hadis yang diriwayatkan oleh lebih dari satu sahabat, maka penakhrîjan dilakukan atas hadis yang diriwayatkan oleh sahabat yang telah ditentukan.

Dalam banyak tempat, Tafsir ini melakukan penyebutan hadis (matan dan sanadnya) beserta mukharrij, perawi sahabatnya dan kualitas dari hadis itu sendiri. Namun demikian, tidak jarang penyebutan hadis dilakukan tidak seperti itu. Berikut adalah variasi penyebutan dan pengutipan hadis yang ada dalam Tafsir ini:
1.Mengisyaratkan hadis tanpa menyebutkan sama sekali redaksi atau matan hadisnya dan mukharrijnya. Misalnya saat menyatakan bahwa peletakan surah dalam Alquran adalah berdasarkan tawqîfi atau petunjuk dari Allah yang disampaikan kepada Nabi Muhammad.xii Pernyataan ini tentu berdasarkan fakta, dan fakta yang terkait hal-hal yang bersifat gaib pasti memiliki riwayat. Karena tidak mungkin informasi adanya ”petunjuk” Allah ini merupaka hasil perenungan seseorang, ijtihad, atau sekedar asumsi saja. Peristiwa ”penunjukan” letak surah-surah dalam Alquran pastilah berdasarkan kabar dan berita dari Rasulullah. Kabar dan berita ini terekam dalam riwayat-riwayat yang kita kenal sebagai hadis.
2.Menyebutkan terjemah hadis tanpa menyebutkan redaksi hadisnya (matannya) dalam berbahasa Arab. Misalnya saat menafsirkan ayat 71 surah al-Baqarah, Tafsir ini menyatakan: Dalam suatu hadis disebutkan, ”Kalau sekiranya mereka langsung menyembelih saja seekor sapi betina di kala mereka menerima perintah, cukuplah sudah. Tetapi mereka mengajukan pertanyaan yang memberatkan mereka sendiri, maka Allah pun memberatkannya” (Riwayat Ibnu Jarir dari Ibnu ’Abbas).xiii
3.Menyebutkan adanya riwayat tanpa penjelasan apakah riwayat itu marfû’ (dinisbatkan kepada Rasulullah) atau mawqûf (nisbatnya kepada sahabat), misalnya pada saat menafsirkan surah al-Fâtihah disebutkan: ”...Menurut riwayat, di sekitar Ka’bah terdapat 360 buah patung.”xiv
Dengan membaca redaksinya, kita akan dapati kemungkinan riwayat tersebut bersifat marfû’ atau mawqûf, karena bisa saja Rasululah memberitakan kondisi ini kepada sahabat, di waktu yang sama bisa juga sahabat itu yang mengisahkan apa yang dilihatnya pada masa sebelum Rasulullah di angkat menjadi rasul. Para sahabat senior seperti Abû Bakar dan ’Umar bin al-Khatab mengetahui kondisi Ka’bah sebelum kerasulan Muhammad didakwahkan.
Status hadis sebagai marfû’ dan mauqûf memiliki korelasi dengan kehujjahannya, di mana hadis yang berasal dari Rasulullah dipastikan menjadi hujjah, sementara jika hadis itu dinisbatkan kepada sahabat kehujjahannya masih diperdebatkan.
4.Menyebutkan hadis mawqûf tanpa penjelasan atas mukharrij hadisnya. misalnya saat memaparkan perbedaan terkait basmalah apakah ia termasuk ayat dalam al-Fâtihah atau bukan, dinyatakan: Abu Hurayrah juga salat dan mengeraskan bacaan basmalah. Setelah selesai salat, dia berkata: saya ini adalah orang yang salatnya paling mirip dengan Rasulullah.xv
5.Mengutip hadis dari mukharrij yang tidak populer, seperti ’Abd al-Qadir al-Rahâwî dalam masalah memulai perbuatan dengan membaca basmalah,xvi (sementara riwayat yang terekam dalam kitab populer adalah memulai perbuatan dengan hamdalah).
6.Menyebutkan matan hadis dan mukharrijnya tanpa penjelasan siapa perawi sahabatnya. Misalnya kutipan hadis ”Allah hanya sayang kepada hamba-hamba-Nya yang pengasih” (Riwayat at-Tabrânî).xvii Penyebutan perawi sahabat akan memudahkan proses takhrîj dengan menggunakan metode ”musnad”.
7.Menyebutkan hadis secara tidak lengkap seperti saat menafsirkan ayat 62 surah al-Baqarah disebutkan potongan hadis: ”Agar kamu beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan pada hari Kiamat, dan kamu percaya qadar baik atau buruk. (Riwayat Muslim dari ’Umar r.a.).xviii Kebolehan memotong hadis masih menjadi perdebatan di kalangan ulama.xix
8.Menyebutkan matan hadis, perawi sahabat yang meriwayatkannya beserta penilaian atas hadis tersebut. Misalnya saat memaparkan perdebatan seputar status basmalah dalam surah al-Fâtihah, Tafsir ini mengutip hadis yang diriwayatkan oleh Ahmad, Abû Dâwud, Ibnu Khuzaymah, dan al-Hâkim yang dijadikan dalil bahwa basmalah merupakan bagian dari al-Fâtihah. Di akhir kutipan hadis itu disebutkan penilaian dari al-Dâruqutnî bahwa hadis itu sanadnya sahîh.xx
9.Menyebut matan hadis beserta mukharrij dan perawi sahabatnya tanpa menyebutkan sanad dan kualitas hadis. Misalnya saat menyebutkan dalil yang mendukung pendapat bahwa basmalah tidak termasuk bagian dari surah al-Fâtihah, Tafsir ini mengutip hadis yang diriwayatkan oleh al-Bukhârî dan Muslim dari sahabat Anas bin Malik.xxi
Variasi cara penyebutan hadis ini, dalam satu sisi memang diperlukan agar tidak menimbulkan kejemuan pembaca. Namun di sisi lain, hal-hal prinsip dalam penukilan hadis tetap perlu dijaga.
Saat seseorang menyebutkan sebuah hadis, maka hadis itu haruslah sahîh, atau setidaknya hasan. Karena hanya hadis sahîh dan hasan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah sebagai dalil. Sementara jika hadis yang disebutkan kualitasnya da’îf, maka perlu dijelaskan keda’îfannya.xxii Atau jika kualitas hadisnya tidak disebutkan, maka sanadnya perlu dicantumkan agar pembaca dapat melakukan kajian lanjutan terkait penilaian atas kualitas hadis itu.
’Ali Mustafa Yaqub, salah seorang anggota tim, menyatakan bahwa penyebutan hadis da’îf dalam Tafsir ini dimungkinkan selama masih sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan oleh para ulama. Jika di kemudian hari terdapat kajian yang menyatakan bahwa ada hadis yang da’îf yang tidak sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan ulama, atau bahkan hadisnya mawdû’, maka kemungkinan dilakukan revisi dan perbaikan atas Tafsir ini selalu terbuka. Secara pribadi, Ali Mustafa Yaqub menyarankan pihak-pihak yang berkompeten agar melakukan kajian atas Tafsir ini, dan menyampaikan hasil kajiannya kepada pihak-pihak terkait.xxiii

F. Kualitas Riwayat
Penulis meneliti kualitas riwayat yang ada dalam Tafsir Depag RI. Ada 115 riwayat yang dikaji, yang terdapat dalam dua surah al-Fatihah dan al-Baqarah. Penelitian dilakukan pada aspek nisbat riwayat (marfû’, mawqûf, atau maqthû’), jenis periwayatannya (hadis atau sabab nuzul), dan kesahihannya. Berikut adalah perinciannya,
Pertama, berdasarkan nisbah:
1.Sebanyak 90 riwayat, atau 78% dari total riwayat yang dikaji, diasosiasikan kepada Rasulullah atau yang lebih dikenal sebagai hadis marfû’.
2.Riwayat yang diasosiasikan kepada sahabat, yang lebih dikenal sebagai hadis mawqûf, ada 23 riwayat atau 20% dari total riwayat yang dikaji.
3.Riwayat yang diasosiasikan kepada tabi’in, yang lebih dikenal dengan istilah hadis maqtû’, ada 1 riwayat atau 1%.
4.Dan 1 riwayat atau 1% total riwayat yang dikaji, penulis tidak mengetahui penisbatannya, karena sumber-sumber yang memuat periwayatannya tidak menyebutkan sanad.
Kedua, berdasarkan dengan jenis periwayatannya:
1.Sebanyak 84 riwayat, atau 73% dari total riwayat yang dikaji, merupakan hadis.
2.Sisanya sebanyak 31 riwayat, atau 27% dari total riwayat yang dikaji, masuk kategori Asbâb al-Nuzûl atau riwayat yang menjadi latar belakang turunnya ayat. Ketiga, berdasarkan kualitas:
1. Sebanyak 77 riwayat, atau 67% dari total riwayat yang dikaji, kualitasnya sahîh
2. Sebanyak 12 riwayat, atau 10% dari total riwayat yang dikaji kualitasnya hasan
3. Sebanyak 23 riwayat, atau 20% dari total riwayat yang dikaji, kualitasnya da’îf dengan 2 riwayat masuk kategori palsu
4. Dan 3 riwayat, atau 3% dari total riwayat yang dikaji, penulis tidak memberi penilaian karena ketiadaan sanad yang memungkinkan dilakukan kajian takhrîj.
Terkait dengan penyampaian riwayat, penulis mendapati beberapa kekurangan yang perlu diperbaiki oleh Tafsir ini, misalnya: Kesalahan pengutipan berupa penisbahan atau asosiasi riwayat kepada mukharrij yang ternyata tidak meriwayatkannya, pengutipan matan secara tidak tepat, kekeliruan dalam penyebutan perawi sahabat (seperti Abu Mas’ûd dikira Ibn Mas’ûd), kekurangcermatan berupa penyebutan hadis yang diriwayatkan oleh al-Bukhârî dan Muslim dengan pernyataan bahwa hadis itu diriwayatkan oleh hanya salah satu dari keduanya, kekurangcermatan berupa penyebutan bahwa al-Bukhârî dan Muslim meriwayatkan sebuah hadis, padahal sebenarnya hanya salah satu dari keduanya yang meriwayatkannya, penggunaan riwayat yang kurang kuat padahal ada riwayat lain yang dimiliki al-Bukhâri dan atau Muslim, atau riwayat lain yang lebih kuat.
Penelitian ini jelas tidak menggambarkan secara utuh tentang periwayatan yang ada dala tafsir Depag RI. Namun temuan-temuan yang penulis paparkan perlu mendapatkan perhatian dari pihak terkait agar tafsir ini menjadi lebih baik. Penulis menyarankan beberapa hal:
1.Pihak-pihak terkait melakukan kajian ulang yang komprehensif terkait keabsahan (kesahîhan) seluruh riwayat yang ada dalam kajian Tafsir ini. Selain dilakukan oleh Tim penulis Tafsir Depag itu sendiri, kajian ini juga melibatkan pihak-pihak lain yang berkompeten seperti kalangan akademisi di universitas dan pesantren.
2.Riwayat-riwayat yang da’îf dihilangkan dari Tafsir ini. Jika memang dianggap perlu untuk mencantumkan riwayat yang da’îf dalam Tafsir ini, maka hendaknya diberikan penjelasan yang lugas terkait keda’îfannya.
3.Pengutipan riwayat dilakukan secara cermat dan bertanggungjawab, dalam artian dijelaskan kualitas-kualitasnya (kesahîhannya), sumber rujukan (mukharrijnya), dan dengan memilihkan periwayatan yang lebih sahîh ketika ada lebih dari satu riwayat dalam satu permasalahan.

Rabu, 13 Mei 2009

SAMPAI KAPAN KITA MELAKUKAN SHALAT GAHIB?!

Seorang 'alim dari madzhab Hanbali, al-Imam Abdullah bin Ahmad al-Maqdisi, yang lebih kita kenal sebagai Ibn Qudamah, dalam kitabnya yang bernama al-Mughni, menyatakan bahwa shalat mayit dan shalat Ghaib tetap berlaku sampai satu bulan semenjak waktu kematian (al-Mughni III/447).

Rentan waktu satu bulan ini, berbeda dengan pendapat kyai Ahid yang menyatakan bahwa shalat masih diperbolehkan sampai waktu terlewat delapan tahun, bahkan lebih dari delapan tahun, di mana sekiranya ketika seseorang meninggal kita sudah mukallaf (aqil baligh), maka kita bisa menyalatinya kapan saja kita mau. Beliau berdalil dengan Hadis riwayat Shahabat Uqbah bin Amir yang menyatakan bahwa Rasulullah pernah melaksanakan shalat ghaib atas para pahlawan perang Uhud (HR. Bukhari I/451; Muslim IV/1795; Ahmad IV/149; Abu Dawud III/216; Ibn Hibban VII/472; dan al-Baihaqi IV/14), "Sesungguhnya Rasulullah menyalati para pahlawan perang Uhud setelah delapan tahun, seperti sebuah prosesi perpisahan antara orang yang masih hidup dengan orang yang telah wafat" (HR. Abu Dawud III/216 juga dari Uqbah bin Amir).


SHALAT MAYIT

Menyalati mayit hakikatnya adalah doa baginya, sekiranya ia termasuk orang yang baik, maka semoga Allah Ta'ala menerima kebajikannya dan melipatgandakannya, dan semisal ia termasuk orang yang tidak baik, maka semoga Allah Ta'ala mengampuni dan memaafkannya. Hal ini merupakan ajaran Allah Ta'ala kepada kita, seperti dalam Surat al-Hasyr ayat 10,"Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshar), mereka berdoa: "Ya Tuhan kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Tuhan kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang".

"Kyai, apakah orang yang sudah meninggal masih bisa berbuat kebajikan?" Tanya kang Jamil.
"Orang yang telah meninggal memang tidak bisa beramal kebajikan, kematiannya menghilangkan status ke-mukallaf-annya, ia tidak mendapatkan pahala bila membaca al-Quran, atau mendapatkan ampunan saat beristighfar, atau berdoa untuk kebaikan dirinya dan orang lain yang dicintainya". Jawab kyai Ahid.

"Namun ia bisa mendapatkan kebaikan dari orang lain yang masih hidup" Lanjut baliau, "Misalnya doa dan istighfar baginya, atau pembayaran yang dilakukan ahli warisnya atas namanya, atau qadha puasa dan shalat yang ditinggalkannya".

"Tapi Kyai, bukankah manusia hanya mendapatkan kebajikan yang dilakukannya?" Tanya 'lik Sulaiman.
"Betul, tiap manusia akan menerima balasan amal perbuatannya dengan adil dari sisi Allah Ta'ala, tapi hal tersebut tidak meniadakan kebajikan yang dilakukan orang lain atas namanya, karena terdapat banyak keterangan dari al-Quran dan Hadis yang menjelaskan demikian". Kemudian kyai Ahid membuka mushaf dan beberapa kitab Hadis untuk menyebutkan ayat dan Hadis-hadis yang beliau maksudkan.


Daftar Bacaan
Al-Quran al-Karim
Al-Bukhari (Muhammad bin Ismail), Shahih al-Bukhari (Beirut: Dar Ibn Katsir, 1987), cet. III.
Al-Naisabury (Muslim bin al-Hajjaj), Shahih Muslim (Beirut: Dar Ihya al-Turats al-'Araby), dt.
Al-Syaibani (Ahmad bin Hanbal), Musnad Ahmad (Mesir: Muassasah Qurthubah), dt.
Al-Sijistani (Sulaiman bin al-Asy'ast, Sunan Abu Dawud (Beirut: Dar al-Fikr), dt.
Al-Baihaqy (Ahmad bin al-Husain), Sunan al-Baihaqi al-Kubra (Makkah: Maktabah Dar al-Baz, 1994)
Al-Tabhrani (Sulaiman bin Ahmad, al-Mu'jam al-Kabir (Musol: Maktabah al-Ulum wa al-Hikam, 1983), cet. II.
Al-Tamimi (Muhammad bin Hibban), Shahih Ibn Hibban (Beirut: Muassasah al-Risalah, 1993), cet. II.
Al-Maqdisi (Abdullah bin Ahmad), al-Mughni, (Riyadh: Dar Alam al-Kutub, 1997), cet. III

WAWANCARA IMAJINER DENGAN IMAM IBN MAJAH

berikut adalah tulisan kecil yang saya buat saat mengajukan proposal penyediaan mushala di kampus.
***


Kemarin sore saya mengunjungi Kyai Achied, dan sempat berbincang-bincang dengan beliau sebentar tentang Mushala MAFAZA. Berikut adalah petikannya:

Saya (S) :Alhamdulillah, akhirnya mahasiwa Fakultas Dirasat Islamiyah memiliki mushala sendiri.

Kyai Achied (K.A) :Oh ya, Syukurlah kalau demikian. Apa nama mushalanya

(S) :Kami menamainya mushala MAFAZA, singkatan dari Madrasah Fikriyah Al-Azhar. Karena fakultas kami pada awalnya bernama Fakultas Al-Azhar.
(K.A) :Alhamdulillah, sebuah nama yang baik, dalam Alquran Surat al-Naba ayat 31 disebutkan,
إن للمتقين مفازا
Artinya: Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa mendapat mafaza (kemenangan).
Semoga nama yang bagus ini menimbulkan rasa optimis sekaligus sebuah doa semoga kiranya para mahasiswa Fakultas Dirasat Islamiyah menjadi pemimpin-pemimpin yang bertaqwa dan selalu memperoleh kemenangan dan keberhasilan dalam hidup.

(S) :Amin, semoga demikian. Sebenarnya saya ingin meperbincangkan dengan Kyai tentang mushala MAFAZA, saya mengharapkan taujih dan saran dari kyai untuk mushala MAFAZA.

(K.A) :Pertama saya ingin mengucapkan selamat dan rasa kagum saya kepada mahasiswa yang mau menghidupkan dan memakmurkan mushala MAFAZA. Dalam sebuah Hadis riwayat Shahabat Umar bin al-Khathab, sesungguhnya Rasulullah bersabda,"Siapa yang membangun masjid untuk diperguna-kan berdzikir kepada Allah Ta'ala, maka Allah Ta'ala akan membangunkan baginya rumah di surga." Shahabat Jabir bin Abdullah juga meriwayatkan Hadis, bahwasanya Rasulullah bersabda, "Siapa yang membangun masjid walaupun sesederhana sarang burung, maka Allah Ta'ala akan membangunkan baginya sebuah rumah di surga.

(S) :Sebenarnya mushala MAFAZA itu hanya merupakan pelataran di samping kelas, dan walaupun kami menginginkan agar mushala MAFAZA berada di ruangan tertutup, tapi nampaknya ruangan-ruangan yang ada di fakultas sudah dipergunakan untuk kantor, jadi ya itu tadi, mushalanya hanya di pelataran, yang dialasi karpet dan hijab antara akhawat dan ikhwannya hanya berupa korden.

(K.A) :Shahabat Said bin al-Khudri pernah meriwayatkan Hadis, Bahwasanya Rasulullah pernah bersabda, Sesungguhnya seluruh bumi itu masjid, kecuali kuburan dan kamar mandi.Dan dalam Hadis riwayat Shahabat Ibn Umar, disebutkan bahwa Rasulullah melarang kita shalat di tujuh tempat, yaitu tempat sampah, tempat penjagalan hewan, kuburan, tengah-tengah jalan, kamar mandi, kandang hewan ternak, dan di atas ka'bah. Artinya mushala MAFAZA yang berada di pelataran kelas, tetap dibenarkan dipuji oleh Agama. Dalam sebuah Hadis yang diriwayatkan oleh Ummul Mukminin Aisyah bahwa Nabi Muhammad memerintahkan kita untuk membangun masjid-masjid di desa-desa, dan beliau juga memerintahkan agar masjid-masjid tersebut dibersihkan dan diharum-harumi. Menurut saya, jika dilihat dari sisi praktis fungsionalnya, mushala itu sama dengan masjid. Sehingga perintah membangun masjid sama dengan perintah membangun mushala. Apalagi untuk Fakultas Dirasat Islamiyah yang nota benenya merupakan lembaga pendidikan Islam, sudah selayaknya memiliki masjid atau mushala sendiri, sebagai tempat pelaksanaan ibadah, dan aktivitas keilmuan, sosial dan peribadatan lainnya.

(S) :Kyai punya saran atau usulan tentang aktivitas yang kami dilakukan di mushala?

(K.A) :Mushala MAFAZA selayaknya dipergunakan untuk semua aktivitas yang berhubungan dengan peribadatan, dakwah islamiyah, sosial, dan aktivitas keilmuan yang berhubungan dengan fakultas.
Sahabat Buraidah pernah meriwayatkan Hadis, bahwasanya Rasulullah pernah bersabda, Sesungguhnya masjid dibangun untuk tujuannya sendiri. Maksudnya masjid atau mushala harus dipergunakan untuk hal-hal yang tadi telah saya sebutkan, yaitu untuk peribadatan, kajian keilmuan, aktivitas sosial dan dakwah islamiyah.
Ketika waktu shalat Dzuhur telah masuk misalnya, seharusnya salah seorang mahasiswa ada yang adzan di mushala, untuk kemudian seluruh mahasiswa melakukan shalat Dzuhur berjamaah. Karena shalat berjamaah jauh lebih utama dibandingkan dengan shalat sendirian, yang menurut Shahabat Ibn Umar, shalat berjamaah dua puluh tujuh kali lipat keutamaannya jika dibandingkan dengan shalat sendirian.
Bahkan Imam Ahmad bin Hanbal menyatakan bahwa shalat fardhu berjamaah adalah wajib hukumnya, dan Imam Abdullah bin Mubarok menyatakan bahwa orang yang tidak istiqamah dalam melaksanakan shalat berjamaah, maka semua Hadis yang diriwayatkannya bernilai lemah (dha'if).
Dan sudah selayaknya, ketika waktu shalat telah datang dan adzan telah dikumandangkan, maka kita harus segera ke mushala untuk menunaikan shalat berjamaah. Dan khusus bagi mereka yang telah berada di masjid atau mushala, ketika adzan telah dikumandangkan, eh kok malah keluar dari masjid atau mushala, maka ia dianggap munafik. Hal ini sesuai dengan penegasan dari Shahabat Usman bin Affan yang meriwayatkan Hadis, bahwasanya Rasulullah bersabda, Siapa yang mendapati adzan dan ia berada di masjid, kemudian ia malah keluar dari masjid tanpa keperluan apa-apa, dan ia tidak berkehendak kembali ke masjid, maka sesungguhnya ia adalah munafik.
Semisal ketika dosen berhalangan datang atau memang tidak ada mata kuliah sama sekali, maka mahasiswa bisa berada di mushala untuk membaca Alquran.
Mushala juga dapat digunakan untuk diskusi rutin, atau rapat dan musyawarah, selama tidak mengganggu aktivitas peribadatan.

(S) :Bagaimana menurut kyai, hukum orang yang tidur atau istirahat di masjid dan di mushala?

(K.A) :Tidur dan istirahat di dalam masjid atau mushala, hukumnya boleh, selama tidak mengganggu orang yang beribadah. Misalnya jika seorang mahasiswa merasa letih atau mengantuk, maka ia boleh tidur di mushala MAFAZA asalkan tidak di shaf pertama, sehingga ketika ada mahasiswa lain yang ingin melaksanakan shalat Dhuha, atau ingin membaca Alquran, maka ia bisa melakukannya di mushala tanpa terganggu dan mengganggu orang yang tidur tadi.
Dalam sebuah Hadis disebutkan bahwa Shahabat Ibn Umar berkata, Kami (para shahabat) tidur di masjid pada zaman Rasulullah.
Namun lagi-lagi perlu saya pertegas, bahwa kebolehan istirahat dan tidur di masjid atau mushala, adalah selama tidak mengganggu aktivitas peribadatan, karena masjid dan mushala dibangun sebagai tempat peribadatan.

(S) :Lalu untuk pengelolaan mushala itu sendiri, kami mengharapkan saran-saran dari Kyai.

(K.A) :Selayaknya mushala MAFAZA memiliki takmir, yang mengelola dan bertanggungjawab atas semua aktivitas yang dilakukan di mushala, juga masalah kebersihan dan kerapian mushala. Shahabat Abu Said al-Khudri meriwayatkan Hadis, Bahwasanya Rasulullah bersabda, Siapa yang menghilangkan gangguan dari masjid, maka Allah Ta'ala akan membangunkan baginya sebuah rumah di surga. Dan Ummul Mukminin Aisyah pernah meriwayatkan Hadis, Sesungguhnya Rasulullah memerintahkan pembangunan masjid di desa-desa, dan beliau juga memerintahkan agar masjid-masjid tersebut dibersihkan dan diharum-harumi.
Artinya Mushala takmir MAFAZA harus memiliki jadwal piket kebersihan. Selain itu takmir juga harus melarang mahasiswa merokok di dalam mushala, dan mempersilahkan mereka yang ingin merokok, untuk melakukannya di luar mushala. Hal ini penting karena Rasulullah pernah bersabda, Siapa yang memakan bawang, maka janganlah ia menyakiti kami di masjid kami ini.
Alasan Rasulullah melarang orang yang memakan bawang berada di dalam masjid, adalah aroma menyengat yang ditimbulkan dapat mengganggu orang yang beribadah. Hal ini dapat kita kiaskan dengan rokok, di mana orang yang merokok dapat mengganggu orang lain yang berada di sekitarnya sebab asap yang dihembuskannya.
Masih berkaitan dengan kebersihan, dinding dan hijab mushala hendaknya tidak ditempeli pengumuman dan pamflet-pamflet. Shahabat Buraidah pernah meriwayatkan Hadis, Bahwasanya Rasulullah sedang shalat, ketika beliau mendengar seseorang yang mencari-cari (dengan cara mengumumkan bahwa) untanya hilang. Kemudian Rasulullah bersabda, "Kamu tidak akan menemukannya, sesungguhnya masjid dibangun untuk tujuannya sendiri".
Kejadian yang disebutkan Hadis tersebut bisa kita samakan dengan orang yang yang menginformasikan sesuatu lewat pamflet. Selain demi kerapian dan kebersihan, pamflet-pamflet seharusnya ditempelkan di tempat pengumuman yang khusus.
Dan Saya kira takmir mushala MAFAZA dapat merumuskan sendiri aturan dan kebijakannya, sesuai dengan kebutuhan dan kondisi yang ada.

(S) :Ada saran dan pesan khusus untuk takmir mushala MAFAZA, Kyai?

(K.A) :Saya doakan semoga takmir mushala diberikan ketabahan dan kamampuan untuk menjalankan amanat pengelolaan mushala, juga keikhlasan. Dan Saya ingin membacakan ayat Alquran Surat al-Taubah ayat 18,
إنما يعمر مساجد الله من ءامن بالله واليوم الآخر
وأقام الصلاة وءاتى الزكاة ولم يخش إلا الله
فعسى أولئك أن يكونوا من المهتدين


Artinya,
Hanyalah yang memakmurkan mesjid-mesjid Allah ialah orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, serta tetap mendirikan shalat, menunaikan zakat dan tidak takut (kepada siapapun) selain kepada Allah, maka merekalah orang-orang yang diharapkan termasuk golongan orang-orang yang mendapat petunjuk.

Shahabat Jarir meriwayatkan Hadis, bahwasanya Rasulullah pernah bersabda,Siapa yang merintis sebuah sebuah amal kebajikan, di mana amal kebajikan tersebut diikuti oleh orang lain, maka baginya pahala amal kebajikan tersebut, dan baginya pula pahala orang-orang yang mengikutinya melakukan amal tersebut, dengan tanpa mengurangi pahala dari orang-orang yang mengikutinya.

(S) :Terima kasih, Kyai! Jazakumullah khairan.

(K.A) :Terima kasih kembali.

Perlu saya sampaikan, bahwa saat melakukan wawancara dengan Kyai Achied, beliau sedang membawa kitab Sunan Ibn Majah karya Imam Muhammad bin Yazid al-Qazwini, dan beliau juga menyatakan bahwa Hadis-hadis yang beliau sebutkan, semua terdapat dalam kitab tersebut. Sehingga—dengan sedikit berkelakar—beliau menyatakan bahwa wawancara ini pada hakikatnya adalah wawancara saya dengan Imam Ibn Majah.***

mengqadha shalat

BEBERAPA HADIS DAN ATSAR TENTANG QADHA SHALAT

حدثني حرملة بن يحيى التجيـبي أخبرنا بن وهب أخبرني يونس عن بن شهاب عن سعيد بن المسيب عن أبي هريرة:
أن رسول الله صلى الله عليه وسلم حين قفل من غزوة خيبر سار ليله حتى إذا أدركه الكرى عرس وقال لبلال أكلأ لنا الليل فصلى بلال ما قدر له ونام رسول الله صلى الله عليه وسلم وأصحابه فلما تقارب الفجر استند بلال إلى راحلته مواجه الفجر فغلبت بلالا عيناه وهو مستند إلى راحلته فلم يستيقظ رسول الله صلى الله عليه وسلم ولا بلال ولا أحد من أصحابه حتى ضربتهم الشمس فكان رسول الله صلى الله عليه وسلم أولهم استيقاظا ففزع رسول الله صلى الله عليه وسلم فقال أي بلال فقال بلال أخذ بنفسي الذي أخذ بابي أنت وأمي يا رسول الله بنفسك قال اقتادوا فاقتادوا رواحلهم شيئا ثم توضأ رسول الله صلى الله عليه وسلم وأمر بلالا فأقام الصلاة فصلى بهم الصبح فلما قضى الصلاة قال من نسي الصلاة فليصلها إذا ذكرها فإن الله قال أقم الصلاة لذكري قال يونس وكان بن شهاب يقرؤها للذكرى
Sesungguhnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam saat kembali dari perang Khaibar, beliau melakukan perjalanan (pulang) pada malam hari, hingga ketika mengantuk, beliau berhenti dan beristirahat. Beliau berkata kepada Bilal, "Wahai Bilal, berjaga dan awasilah kami malam ini!" Lalu Bilal melakukan shalat sebanyak yang ia mampu, dan Rasulullah beserta shahabat (yang lain) tidur.
Ketika fajar hampir menyingsing, Bilal bersandar ke untanya seraya menunggu datangnya fajar (waktu shalat Shubuh), dan iapun mengantuk. Maka Rasulullah tidak terbangun, begitu pula Bilal dan para Shahabat, hingga cahaya matahari menerpa mereka, dan Rasulullah adalah orang yang pertama kali terbangun seraya terkaget. Beliau bertanya kepada Bilal, "Ada apa Bilal (kenapa kita bisa terlambat bangun)?". Bilal menjawab, "Allah Yang menggenggam diri engkau (membuat engkau mengantuk) diriku, telah menggenggam diriku (membuat aku mengantuk), Ya Rasulullah". Rasulullah berkata, "Tuntunlah tunggangan kalian!", maka para shahabatpun menuntun tunggangan mereka. Kemudian Rasulullah berwudhu, dan memerintahkan Bilal beriqamat, kemudian Rasulullah mengimami para shahabat melaksanakan shalat Shubuh (berjamaah). Dan setelah melaksanakan shalat, beliau bersabda, "Siapa yang lupa (melaksanakan) shalat, maka hendaknya ia melaksanakan shalat saat ia mengingatnya, karena Allah telah berfirman 'Aqim al-Shalat li dzikry' (dirikanlah shalat untuk mengingatku)"
(HR. al-Imam Muslim I/471; Al-Imam al-Baihaqi II/217; Dan al-Imam Ibn Hibban V/423, dari Shahabat Abu Hurairah).

حدثنا أبو نعيم وموسى بن إسماعيل قالا حدثنا همام عن قتادة عن أنس عن النبي صلى الله عليه وسلم قال:
من نسي صلاة ليصل إذا ذكرها لا كفارة لها إلا ذلك
Rasulullah bersabda, "Siapa yang terlupa akan (melaksanakan) shalat, maka hendaknya ia melaksanakannya ketika ia mengingatnya. Tidak ada kaffarah (tebusan atas kesalahan) baginya (bagi shalat yang dilupakan) kecuali yang demikian itu (yaitu melaksanakannya ketika ia mengingatnya)
(HR. al-Imam al-Bukhari I/215; Al-Imam Ibn Khuzaimah II/97, dari Shahabat Anas bin Malik)

حدثنا مسدد قال حدثنا يحيى عن هشام قال حدثنا يحيى هو بن أبي كثير عن أبي سلمة عن جابر قال:
جعل عمر يوم الخندق يسب كفارهم وقال ما كدت أصلي العصر حتى غربت قال فنزلنا بطحان فصلى بعد ما غربت الشمس ثم صلى المغرب
Shahabat Umar bin al-Khathab melaknati orang-orang kafir Khandak pada saat perang Khandak, dan berkata, "Hampir aku tidak melaksanakan shalat Ashar, hingga terbenamnya matahari".
Shahabat Jabir berkata, "Kemudian kami berhenti di kawasan Bathhan dan beliau (Shahabat Umar) melaksanakan shalat Ashar setelah matahari terbenam (dan waktu shalat Ashar telah habis), kemudian beliau shalat Maghrib".
(HR. al-Imam al-Bukhari I/215, dari Shahabat Jabir)
ثنا أبو موسى ثنا عبد الأعلى ثنا سعيد عن قتادة عن أنس بن مالك قال قال نبي الله صلى الله عليه وسلم:
من نسي صلاة ونام عنها فكفارتها أن يصليها إذا ذكرها
Siapa yang lupa (melaksanakan) shalat, atau tertidur darinya (hingga tidak melaksanakan shalat pada waktunya), maka kaffarahnya adalah ia melaksanakan shalat tersebut ketika ia teringat akannya.
(HR. al-Imam Ibn Khuzaimah II/97, dari Shahabat Anas bin Malik)

Sumber Bacaan
Al-Baihaqy (Ahmad bin al-Husain), al-Sunan al-Kubra, (Makkah al-Mukarramah: Maktabah Dar al-Baz, 1994).
Al-Naisabury (Muhammad bin Ishaq), Shahih Ibn Khuzaimah, (Beirut: al-Maktab al-Islamy, 1970)
Al-Naisabury (Muslim bin al-Hajjaj), Shahih Muslim, (Beirut: Dar Ihya al-Turats al-'Araby, tt)
Al-Tamimy (Muhammad bin Hibban), Shahih Ibn Hibban, (Beirut: Muassasah al-Risalah, 1993), cet. II

hadis tentang doa bersama

قال رسول الله صلى الله عليه وسلم:
لاَ يَجْتَمِعُ مَلأٌ فَيَدْعُوْ بَعْضُهُمْ وَيُؤَمِّنُ البَعْضُ إِلاَّ أَجَابَهُمُ اللهُ
Tidaklah sekelompok orang berkumpul, kemudian sebagian mereka berdoa dan sebagian yang lain mengamininya, kecuali Allah akan mengabulkan doa mereka
Hadis ini diriwayatkan oleh:
1.al-Imam al-Hakim (Muhammad bin Abdullah) dalam kitab al-Mustadrak ‘ala al-Shahihain, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1411 H.), cet. I, juz III, hal.390
2.al-Imam al-Thabrany (Sulaiman bin Ahmad), al-Mu'jam al-Kabir, (Musol: Maktabah al-'Ulum wa al-Hikam, 1404 H.), cet. II, juz IV, hal. 21
3.al-Imam al-Mundziri (Abdul Adzim bin Abdul Qawi), al-Targhib wa al-Tarhib, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1417 H.), cet. I, juz I, hal. 196
Kesemuanya dari Shahabat Habib bin Maslamah al-Fihry ra.

Kamis, 07 Mei 2009

PERAWI SYIAH DALAM KUTUB SITTAH

بسم الله الرحمن الرحيم
وقد سألني بعض الإخوان على تكفير الشيعة أو كونهم من المسلمين. فأقول بأن الشيعة ليست واحدة بل هي تتفرق بفرق كثيرة مثل الإمامية والحنفية والزيدية، ومن ثم تتفرق الأحكام.
فمن رأى أن عليا إله أو نبي بعثه الله بعد رسولنا محمد أو أرسله ولم يرسل نبينا محمد على قول من زعم أن جبريل أخطأ في إنزال الوحي فهو كافر بلا خلاف سواء كان ينتمي إلى الشيعة أو لا. وكذلك لا نكفر أحدا ببدعة مثل القدرية أو جبرية أو المرجئة، بل نكفر من رد القدر لأنه من أركان الإيمان.
فمن الجملة لا نكفر فرقة بل نكفر أفرادا (فردا فردا) اعتقدوا بخلاف ما هو معلوم من الدين بالضرورة.
وأمثل أشخاصا كانوا من الشيعة وقد يكونوا منهم غلاة ولكن قبل العلماء رواياتهم حيث ان الروايات المقبولة منقولة من الثقات والثقة عدل ضابط والعدل لا يكون إلا مسلما.
فههنا الرواة الذين أخرج لهم أصحاب الستة وعددهم من الشيعة أكثر من خمسين (ومن الفرق الأخرى أكثر من سبعين):
1. أبان بن تغلب الكوفي شيعي جلد لكنه صدوق فلنا صدقه وعليه بدعته
وقد وثقه أحمد بن حنبل ويحيى بن معين وابو حاتم واورده ابن عدي وقال كان غاليا في التشيع (ميزان الاعتدال ج: 1 ص: 118)
أخرج له مسلم وأبو داود والترمذي والنسائي وابن ماجه وأحمد

2. إسحاق بن منصور السلولي روى عن إبراهيم بن سعد وأسباط بن نصر وإسرائيل روى عنه أبو بكر بن أبى شيبة وعمرو الناقد يعد في الكوفيين سمعت أبى وأبا زرعة يقولان ذلك حدثنا عبد الرحمن انا يعقوب بن إسحاق الهروي فيما كتب الى ثنا عثمان بن سعيد الدارمي قال سألت يحيى بن معين قلت إسحاق بن منصور السلولي فقال ليس به بأس (الجرح والتعديل ج: 2 ص: 234)
ومراد قول ابن معين "ليس به بأس" هو التوثيق منه، وقد أخرج له الستة (تهديب التهذيب ج: 1 ص: 219)

3. إسماعيل بن أبان الوراق الأزدي أبو إسحاق أو أبو إبراهيم كوفي ثقة تكلم فيه للتشيع (تقريب التهذيب ج: 1 ص: 150)

4. ثعلبة بن يزيد الحماني صاحب شرطة علي شيعي غال، قال البخاري في حديثه نظر وقال النسائي ثقة

5. جعفر بن سليمان الضبعي بضم المعجمة وفتح الموحدة أبو سليمان البصري صدوق زاهد لكنه كان يتشيع (تقريب التهذيب ج: 1 ص: 140)
قيل لجعفر بلغنا أنك تشتم أبا بكر وعمر فقال أما الشتم فلا ولكن بغضا. وقال أبو حاتم كان من الثقات المتقنين في الروايات غير أنه كان ينتحل الميل إلى أهل البيت ولم يكن بداعية إلى مذهبه)

6. خالد بن مخلد القطواني بفتح القاف والطاء أبو الهيثم البجلي مولاهم الكوفي صدوق يتشيع وله أفراد من كبار (تقريب التهذيب ج: 1 ص: 190) وقد روى له البخاري ومسلم في الصحيحين

7. سعيد بن فيروز وهو بن أبي عمران أبو البختري الطائي مولاهم الكوفي روى له الستة ثقة ثبت فيه تشيع قليل كثير الإرسال (تقريب التهذيب ج: 1 ص: 240)

8. سليمان بن قرم الضبي الكوفي ويقال سليمان بن معاذ فينسب إلى جده فإنه سليمان بن قرم بن معاذ الكوفي، وقال أبو حاتم ليس بالمتين وأما أحمد فقال ثقة رواه عبد الله بن أحمد عن أبيه. وقال ابن حبان كان رافضيا غاليا ومع ذلك يقلب الأخبار وقال النسائي ليس بالقوي قيل لعبد الله بن الحسن أفي أهل قبلتنا كفار قال نعم الرافضة

6. عبد الملك بن أعين أخو حمران بن اعين من أهل الكوفة يروى عن العراقيين روى عنه بن عيينة وإسماعيل بن سميع وكان يتشيع. وقد ذكره ابن حبان في الثقات (الثقات ج: 7 ص: 94)