ME...

ME...
MUSCAT-OMAN 2005

Rabu, 13 Mei 2009

SAMPAI KAPAN KITA MELAKUKAN SHALAT GAHIB?!

Seorang 'alim dari madzhab Hanbali, al-Imam Abdullah bin Ahmad al-Maqdisi, yang lebih kita kenal sebagai Ibn Qudamah, dalam kitabnya yang bernama al-Mughni, menyatakan bahwa shalat mayit dan shalat Ghaib tetap berlaku sampai satu bulan semenjak waktu kematian (al-Mughni III/447).

Rentan waktu satu bulan ini, berbeda dengan pendapat kyai Ahid yang menyatakan bahwa shalat masih diperbolehkan sampai waktu terlewat delapan tahun, bahkan lebih dari delapan tahun, di mana sekiranya ketika seseorang meninggal kita sudah mukallaf (aqil baligh), maka kita bisa menyalatinya kapan saja kita mau. Beliau berdalil dengan Hadis riwayat Shahabat Uqbah bin Amir yang menyatakan bahwa Rasulullah pernah melaksanakan shalat ghaib atas para pahlawan perang Uhud (HR. Bukhari I/451; Muslim IV/1795; Ahmad IV/149; Abu Dawud III/216; Ibn Hibban VII/472; dan al-Baihaqi IV/14), "Sesungguhnya Rasulullah menyalati para pahlawan perang Uhud setelah delapan tahun, seperti sebuah prosesi perpisahan antara orang yang masih hidup dengan orang yang telah wafat" (HR. Abu Dawud III/216 juga dari Uqbah bin Amir).


SHALAT MAYIT

Menyalati mayit hakikatnya adalah doa baginya, sekiranya ia termasuk orang yang baik, maka semoga Allah Ta'ala menerima kebajikannya dan melipatgandakannya, dan semisal ia termasuk orang yang tidak baik, maka semoga Allah Ta'ala mengampuni dan memaafkannya. Hal ini merupakan ajaran Allah Ta'ala kepada kita, seperti dalam Surat al-Hasyr ayat 10,"Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshar), mereka berdoa: "Ya Tuhan kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Tuhan kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang".

"Kyai, apakah orang yang sudah meninggal masih bisa berbuat kebajikan?" Tanya kang Jamil.
"Orang yang telah meninggal memang tidak bisa beramal kebajikan, kematiannya menghilangkan status ke-mukallaf-annya, ia tidak mendapatkan pahala bila membaca al-Quran, atau mendapatkan ampunan saat beristighfar, atau berdoa untuk kebaikan dirinya dan orang lain yang dicintainya". Jawab kyai Ahid.

"Namun ia bisa mendapatkan kebaikan dari orang lain yang masih hidup" Lanjut baliau, "Misalnya doa dan istighfar baginya, atau pembayaran yang dilakukan ahli warisnya atas namanya, atau qadha puasa dan shalat yang ditinggalkannya".

"Tapi Kyai, bukankah manusia hanya mendapatkan kebajikan yang dilakukannya?" Tanya 'lik Sulaiman.
"Betul, tiap manusia akan menerima balasan amal perbuatannya dengan adil dari sisi Allah Ta'ala, tapi hal tersebut tidak meniadakan kebajikan yang dilakukan orang lain atas namanya, karena terdapat banyak keterangan dari al-Quran dan Hadis yang menjelaskan demikian". Kemudian kyai Ahid membuka mushaf dan beberapa kitab Hadis untuk menyebutkan ayat dan Hadis-hadis yang beliau maksudkan.


Daftar Bacaan
Al-Quran al-Karim
Al-Bukhari (Muhammad bin Ismail), Shahih al-Bukhari (Beirut: Dar Ibn Katsir, 1987), cet. III.
Al-Naisabury (Muslim bin al-Hajjaj), Shahih Muslim (Beirut: Dar Ihya al-Turats al-'Araby), dt.
Al-Syaibani (Ahmad bin Hanbal), Musnad Ahmad (Mesir: Muassasah Qurthubah), dt.
Al-Sijistani (Sulaiman bin al-Asy'ast, Sunan Abu Dawud (Beirut: Dar al-Fikr), dt.
Al-Baihaqy (Ahmad bin al-Husain), Sunan al-Baihaqi al-Kubra (Makkah: Maktabah Dar al-Baz, 1994)
Al-Tabhrani (Sulaiman bin Ahmad, al-Mu'jam al-Kabir (Musol: Maktabah al-Ulum wa al-Hikam, 1983), cet. II.
Al-Tamimi (Muhammad bin Hibban), Shahih Ibn Hibban (Beirut: Muassasah al-Risalah, 1993), cet. II.
Al-Maqdisi (Abdullah bin Ahmad), al-Mughni, (Riyadh: Dar Alam al-Kutub, 1997), cet. III

Tidak ada komentar: