ME...

ME...
MUSCAT-OMAN 2005

Jumat, 26 Desember 2008

INTERNASIONALISASI PENDIDIKAN ISLAM: REFLEKSI SEORANG ALUMNI

“Idealisme dan pragmatisme adalah dua hal yang melekat pada diri setiap manusia”.

Internasionalisasi pendidikan bisa dipahami sebagai sebuah proses yang dilakukan secara sistematis dengan dukungan pemerintah untuk menjadikan sebuah program pendidikan bertaraf internasional.

Dalam konteks Indonesia, pada tahun 2007 Times Higher Education memasukkan tiga perguruan tinggi (PT) Indonesia ke dalam peringkat 400 terbaik dunia, yaitu Universitas Indonesia (ke-250), Institut Teknik Bandung (ke-258), dan Universitas Gadjah Mada (ke-270). Masuknya tiga universitas dalam daftar peringkat universitas terbaik di dunia ini menandakan adanya pengakuan internasional.

Pencapaian ini, tentu harus diapresiasi. Namun mengingat jumlah PT di Indonesia yang relatif banyak (lebih dari 2.500 dengan 100 di antaranya berstatus negeri atau PTN, dan lebih dari 13.000 program studi atau prodi), rasanya tiga PT ini memang belum representatif.

Untuk menjadi lembaga pendidikan yang bertaraf internasional, setidaknya ada enam komponen dasar yang harus dipenuhi oleh sebuah PT:

Pertama, paradigma pengelolaan yang berbasis peningkatan keunggulan kompetitif. Dalam hal ini, PT melakukan transformasi yang memungkinkannya mengelola potensi, imajinasi dan kreativitas secara otonom dan fleksibel. Peraturan pemerintah yang cenderung “one size fits all” perlu dikaji ulang, dan mata kuliah yang seringkali dianggap sebagai “pelengkap” nasionalisme perlu direformasi.

Kedua, evaluasi dan refleksi internal guna menyadari kelebihan dan kekurangan lembaga. Masing-masing PT memiliki kelebihan dan kekurangannya, bahkan fakultas dan prodi dalam satu universitas bisa jadi memiliki daya unggul yang berbeda. Pada tahap awal, PT mengembangkan prodi yang paling hebat dan “marketable”. Kemudian prodi-prodi lain melakukan komparasi mutu pada prodi tersebut. Pengembangan prodi ini dilakukan secara sistematis dan berkelanjutan. Komparasi juga dilakukan dengan PT asing yang telah terakreditasi dunia (mendapat pengakuan internasional).

Ketiga, membangun kemitraan dan kerja sama internasional dengan PT-PT asing dan lembaga lain yang relevan. Isi dari kerja sama bisa berupa pertukaran mahasiswa dan dosen, komparasi kurikulum, seminar bersama, penelitian bersama, publikasi bersama, dan pemberian beasiswa.

Keempat, pencitraan bagus di luar negeri yang pada akhirnya menarik mahasiswa dari luar negeri untuk mendaftar.

Kelima, kehadiran dosen dan mahasiswa asing. Jika mempekerjakan dosen asing masih belum terjangkau, maka cara yang mungkin dilakukan adalah pertukaran dosen yang dilakukan melaui MoU yang melibatkan pemerintah. Dalam konteks Indonesia, birokrasi yang bertele-tele bisa menjadi hambatan terwujudnya program pertukaran dosen. Melibatkan pemerintah dalam perumusan MoU bisa memberikan solusi dan keuntungan tersendiri.

Keenam, penggunaan media informasi dan teknologi (IT) yang optimal. IT yang disediakan bisa diakses dengan mudah oleh sivitas akademika PT. Ada empat hal yang perlu diimplementasikan dalam rangka optimalisasi IT:
a. Efisiensi birokrasi dalam proses pendidikan dan transaksi. Hambatan-hambatan birokrasi yang tidak perlu harus dihilangkan, seperti panjangnya “meja” yang harus dikunjungi untuk sekedar mendapatkan tanda tangan dekan atau rektor.
Termasuk dalam kategori efisiensi adalah adanya anjungan informasi mahasiswa (semacam sistem informasi satu atap) yang mudah diakses, dan penyediaan informasi berbasis website, termasuk pengisian adminsitrasi tanpa harus mencetak kertas (paper less).
b. Simplikasi atau menyederhanakan proses, misalnya dengan membuka layanan SMS gateaway di mana mahasiswa dapat memperoleh informasi akademis dengan cepat, murah, dan murah.
c. Integrasi dalam artian sistem informasi terpadu antara rektorat, dekanat, tata usaha dan bagian lain yang terkait. Integrasi ini bisa meniadakan data ganda yang berbeda antara rektorat dengan dekanat.
d. Automatikasi seperti perpustakan digital (e-catalog dan e-library), serta pengisian KRS online.


Mengapa Harus Internasionalisasi?!

Internasionalisasi Pendidikan seringkali dipahami sebagai sebuah keniscayaan dari globalisasi di mana setiap lembaga pendidikan akan berupaya memberikan keunggulan kompetitifnya. Internasionalisasi pendidikan diharapkan membuka akses ilmu secara global, memperbesar peluang berpartisipasi dalam penelitian berskala internasional, memunculkan pengakuan global terhadap out put (lulusan, karya tulis dan hasil penelitian).

Namun, internasionalisasi pendidikan bukan tanpa bahaya. Ia memunculkan dualisme pendidikan yang jika tidak dikelola dengan benar bisa membelokkan tujuan dari pendidikan itu sendiri. Dualisme ini berupa orientasi terhadap nilai-nilai lokal (nasional) dan internasional sekaligus. Dominasi nilai-nilai internasional bisa menipiskan rasa kebangsaan dan jati diri bangsa. Alih-alih melestarikan budaya dan kearifan lokal dalam bingkai pendidikan nasional, kita justru menghilangkan identitas bangsa atas nama internasionalisasi pendidikan. Seyogyanya, internasionalisasi pendidikan bertujuan untuk melestarikan jati diri dan nilai-nilai bangsa, dengan disertai pengembangan kemampuan kompetitif global yang progresif.

Dalam konteks pedidikan Islam, dinamika yang timbul lebih kompleks karena adanya nilai transedental yang ditransformasikan. Nilai-nilai ketuhanan (eskatologi) yang dogmatis dan statis dihadapkan pada dinamika sains dan IT. Maka opsi yang relevan adalah pengajaran agama dengan berbasiskan IT, bukan “liberalisasi agama”
yang menghilangkan nilai transedentalnya.

Internasionalisasi pendidikan harus dipahami sebagai semangat dalam meningkatkan mutu pendidikan bangsa. Ia sama sekali bukan untuk mempercepat privatisasi pendidikan yang pada akhirnya membuat pendidikan itu sendiri menjadi mahal dan tidak bisa diikuti oleh kebanyakan anak bangsa. Banyaknya sarana dan prasarana yang perlu dilengkapi dalam internasionalisasi pendidikan, jangan sampai memberatkan mahasiswa. Dinamika yang muncul di PTN yang mentransformasikan diri menjadi BHMN (Badan Hukum), memunculkan kekhawatiran bahwa PT memang mulai cenderung market driven (mengejar pangsa pasar). Konversi IAIN/STAIN menjadi UIN juga bisa dijadikan pembenaran atas asumsi bahwa peningkatan kualitas pendidikan selalu linier dengan peningkatan beban dan biaya yang harus dikeluarkan peserta didik.

Bagi saya, setiap PT pasti akan dihadapkan pada tuntutan atau orientasi pendidikan yang seringkali tidak sejalan, yaitu tuntutan idealistik berupa terbentuknya manusia “yang baik” dan tuntutan pragmatik dari dunia kerja. Idealisme dan pragmatisme adalah dua hal yang melekat pada setiap manusia. Kedua “isme” ini bisa diraih bersamaan, ketika PT menyediakan pendidikan mencerdaskan yang membuka banyak peluang kerja.

Tulisan ini adalah refleksi saya sebagai alumni Fakultas Dirasat Islamiyah (FDI) Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, sehingga sangat mungkin tidak sesuai dengan pandangan anda.
Allah A’lam
______________________
catatan:

1. Makalah disampaikan pada Seminar “Menuju Internasionalisasi Program Studi Islam” di Fakultas Dirasat Islamiyah, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Sabtu 20 Desember 2008
2. Penulis adalah alumni Fakultas Dirasat Islamiyah tahun 2004, sekarang mengajar di IPTIQ, IIQ, dan SMART Ekselensia Indonesia Dompet Dhuafa (andiwowo.blogspot.com)
3. peringkat universitas dunia bisa dilihat di: www.topuniversities.com/worlduniversityrankings/results/2007/overall_rankings/top_400_universities/. Tertanggal 19 Desember 2008
4. Kriteria yang dipakai Times Higher Education untuk mengukur peringkat PT di antaranya adalah penilaian PT sejawat (peer reviewing), penilaian pegawai (employer review), pegawai asing (international staff), mahasiswa asing (international student), rasio mahasiswa dan dosen, citation atau karya tulis dosen yang dikutip di forum dunia.

Kamis, 11 Desember 2008

MEMBICARAKAN BID'AH

Rasulullah bersabda, "...Takutlah kamu akan al-muhdatsat (inovasi-inovasi baru), Karena semua muhdatsat adalah bid'ah, dan semua bid'ah adalah kesesatan". Hadis ini diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Dawud, al-Tirmidzi, Ibn Majah dan al-Darimi dengan
redaksional berbeda namun tidak merubah substansi matan (isi hadis).

Berikut adalah kualitas para perawi hadis yang ada dalam mata rantai sanad Hadis yang diriwayatkan oleh Ahmad Bin Hanbal:

1. al-Dhahhak bin Makhlad bin al-Dhahhak al-Syaybani, generasi junior atba' tabi'in, meninggal tahun 212 H. Dia memiliki banyak guru di antaranya Tsaur Bin Yazid
dan Ibrahim bin Umar bin Kysan. Dan memiliki banyak murid di antaranya Ahmad Bin Hanbal dan Ibrahim bin Dinar.

Al-Dhahhak adalah sosok perawi yang "tsiqah tsabat" (sangat terpercaya dan sangat cermat), sehingga semua Hadis yang diriwayatkan darinya memiliki kualitas shahih. Berikut adalah penilaian beberapa ulama hadis atasnya:

a. menurut Yahya bin Ma'in: dia (al-Dhahhak) adalah rawi yang tsiqat (terpercaya)
b. menurut al-'Ijly: dia adalah rawi yang tsiqat
c. menurut Muhammad bin Sa'd: dia adalah rawi yang tsiqat
d. menurut Abu Hatim al-Razi: dia adalah rawi yang tsiqat
e. menurut Ibn Hibban al-Busti: dia adalah rawi yang tsiqat.

2. Tsaur Bin Yazid bin Ziyad al-Kalla'iy, generasi senior atba' tabi'in, meninggal tahun 150 H.

Dia memiliki beberapa guru di antaranya Khalid Bin Ma'dan dan Abu Humaid, dan memiliki beberapa murid di antaranya Al-Dhahhak Bin Makhlad dan Ahmad bin Ali.
Tsaur sempat dituduh memiliki faham "qadariyyah", namun demikian, beliau dinilai sebagai sosok rawi yang tsiqat tsabat. Berikut beberapa komentar ulama atas
dirinya:

a. menurut Yahya bin Said al-Qhathan: dia adalah rawi yang tsiqat
b. menurut Ibn Ishak: dia adalah rawi yang tsiqat.
c. menurut Yahya bin Ma'in: dia adalah rawi yang tsiqat
d. menurut Ahmad bin Hanbal: dia adalah rawi yang "baik" (laysa bihi ba`s)

3.Khalid bin Ma'dan bin Abu Karb al-Kalla'iy, generasi pertengahan tabi'in, meninggal pada tahun 104 H. dia memiliki beberapa guru yang adalah Abdurrahman Bin 'Amr dan Ahzab bin Asid, dan ia memiliki beberapa murid yang di antaranya adalah Tsaur Bin Yazid dan Ahwash bin Hakim. Khalid adalah sosok perawi tsiqah yang sering melakukan "irsal" (menyembunyikan nama perawi shahabat). Berikut adalah komentar ulama tentang dirinya:

a. menurut al-'Ijly: dia adalah rawi yang tsiqat
b. manurut al-Nasa'i: dia adalah rawi yang tsiqah
c. menurut Muhamad bin Sa'd: dia adalah rawi yang Tsiqah
d. menurut Ibn Hibban: dia adalah rawi yang tsiqah

4. Abdurrahman bin 'Amr al-Sullamy, generasi pertengahan tabi'in, meninggal tahun 110 H. dia memiliki beberapa guru yang di antaranya adalah Abu Najih 'Irbath Bin Sariyah, sementara di antara muridnya ada yang bernama Khalid Bin Ma'dan. Abdurrahman adalah sosok rawi yang kurang baik atau "maqbul". Berikut komentar beberapa ulama atas
dirinya:

a. menurut Ibn Hibban: dia adalah rawi yang tsiqah
b. menurut al-Hakim: dia adalah rawi yang shahih
c. menurut al-Dzahabi: dia adalah rawi yang shaduq
d. Yahya bin al-Qathan menganggapnya sosok perawi yang tidak dikenal

5. Irbath Bin Sariyah seorang shahabat yang memiliki beberapa murid, di antaranya adalah Abdurrahman Bin 'Amr

Dengan melakukan "kritik sanad" (kajian atas kualitas sanad/perawi hadis), kita ketahui bahwa nilai hadis ini adalah hasan (semi shahih). Dalam hal ini, al-Tirmidzi menyatakan bahwa kualitas hadis ini adalah "hasan-shahih". Ringkasnya, hadis ini dapat dijadikan hujjah.

Mungkin anda merasa asing dengan beberapa istilah yang saya tulis (misalnya tabi'in, atba' tabi'in, qadariyyah, dsb). Dan saya pikir hal itu merupakan sebuah kelumrahan, karena kajian hadis masih minim di negeri kita.
'Ala kulli hal, saya akan lebih memfokuskan pembahasan kita pada isi (matan) hadisnya.

Tidak semua kata "kullu" sebagaimana yang terdapat dalam matan hadis dimaknai "semua". Demikian juga "kullu" yang ada dalam "hadis bid'ah" ini tidak dapat di artikan sebagai "semua". (Silahkan cermati ayat 260 Surat al-Baqarah yang menggunakan kata "kullu" dengan arti "sebagian", yaitu nabi ibrahim hanya meletakan potongan burung di empat gunung, bukan di seluruh gunung)

Dari sini beberapa ulama menyatakan bahwa "kullu" yang ada dalam "hadis bid'ah" memiliki faedah "al-Tab'idh" yang artinya "sebagian". Sehingga arti "kullu bid'ah dhalalah" adalah bahwa "sebagian bid'ah adalah kesesatan".

Al-Kahthabi menyatakan bahwa maksud hadis di atas adalah bahwa semua bid'ah yang tidak memiliki dalil (al-Qur`an dan hadis) adalah kesesatan. sementara bid'ah yang memiliki dalil tidak dapat dikategorikan sebagai kesesatan, walaupun secara etimologis (sisi kebahasaan) ia dapat disebut sebagai bid'ah.

Dari sini kita pahami ucapan Khalifah Umar bin al-Khathab sesaat setelah engeluarkan Inpres (mungkin lebih tepatnya: "inkhal" [instruksi khalifah]) tentang pelaksanaan shalat tarawih berjamaah: "Alangkah baiknya bid'ah ini". Dalam kesempatan lain, beliau berkata: "Kalaulah ini merupakan sebuah bid'ah, maka alangkah baiknya bid'ah ini".

Demikian juga saat khalifah Utsman bin Affan mengeluarkan Inpres (atau inkhal) yang isinya menambah satu adzan dalam pelaksanaan shalat Jumat. Shahabat Abdullah bin Umar menyatakan bahwa apa yang dilakukan menantu Rasulullah ini (Utsman menikah dengan Ruqayyah lalu dengan Ummu Kultsum yang keduanya adalah puteri Rasulullah) adalah sebuah bid'ah.

Menariknya, semua shahabat menyambut "bid'ah" Umar dan Utsman ini, dan bahkan seluruh umat Islam mengamalkannya hingga kini. Dan saya yakin, bahwa tidak seorang pun menganggap Umar dan Utsman sesat, apalagi berani memvonis keduanya sebagai penghuni neraka, mengingat bahwa Rasulullah telah menjamin keduanya masuk surga.

Baik shalat tarawih berjamaah maupun adzan Jumat dua kali, kedua "bid'ah" ini telah dilakukan oleh kaum muslimin sampai sekarang dan hampir di seluruh dunia.

Sekarang saya inngin bertanya kepada antum: Adakah orang yang menganggap sesat dua "bid'ah" ini?! Yang kemudian menganggap semua orang selain dirinya (dan beberapa gelintir orang sepertinya) sebagai orang sesat!

Saya setuju dengan al-Syafi'i yang membagi bid'ah dalam dua kategori: Dhalalah (sesat) dan Hasanah (baik). Secara sederhana, bid'ah dhalalah didefinisikan sebagai bid'ah yang bertentangan dengan empat komponen sumber hukum, yaitu: al-Qur`an, hadis, ijma' atau konsensus umat Islam (karena kaum muslimin tidak mungkin melakukan konspirasi global menciptakan kedustaan dan kesalahan), dan qiyas (analogi hukum yang mirip dengan yurisprudensi hukum). Sementara ketika bid'ah itu tidak bertentangan dengan empat komponen tersebut, maka dia dikategorikan sebagai
bid'ah lughawi (etimologis) yang hasanah.

Rasulullah wafat, sementara al-Qur`an belum terkodifikasikan (terbukukan) dalam sebuah mushaf. Kalifah Abu Bakar kemudian melakukan kodofikasi mushaf atas inisiatif Umar bin al-Khathab. Sebenarnya khalifah Abu Bakar menolak usulan Umar, dengan alasan bahwa Rasulullah tidak melakukannya semasa beliau hidup. Namun Umar dapat meyakinkannya dengan banyak argumentasi yang logis.

Kita bisa bayangkan semisal Khalifah Abu Bakar menolak "bid'ah" pembukuan al-Qur`an, bagaimana caranya orang non Arab, bahkan orang Arab sendiri yang tidak hafal
la-Qur`an, membaca dan mengkaji al-Qur`an.

Kemudian al-Qur`an hasil kodifikasi ini mengalami penyempurnaan (tanpa distorsi dan perubahan sedikitpun) di masa Khalifah Utsman bin Affan. Namun demikian masalah masih timbul, karena ada beberapa orang yang salah membaca al-Qur`an akibat tidak ada titik yang membedakan antara satu huruf dengan huruf lainnya, dan tanda baca (harakat). Sehingga Khalifah Ali bin Abu Thalib berinisiatif memberikan kaedah berupa titik dan tanda baca. Dan termasuk bid'ah adalah belajar bahasa Arab yang zaman Rasulullah tidak ada. Padahal mustahil seseorang mampu mempelajari al-Qur`an tanpa menguasai bahasa dan sastra Arab.

Beberapa orang mendifinisikan bid'ah sebagai perbuatan yang tidak pernah dilakukan Rasulullah, walaupun ada dalil yang membolehkannya. Definisi ini lemah secara argumentatif dan empiris, di mana kita semua mengetahui bahwa Rasulullah adalah sosok manusia sederhana dan seringkali meninggalkan hal-hal yang sebenarnya halal. Misalnya memakan "Dhabb" yang sering diterjemahkan sebagai biawak. Rasulullah tidak
memakannya sementara para shahabat mengkonsumsinya. Saat ditanya, Rasulullah menjelaskan bahwa beliau tidak memakannya karena tidak berselera.

Dan sependek pengamatan saya, Rasulullah tidak pernah melakukan shalat tahiyyatul masjid, padahal beliau mengajarkan umatnya untuk melaksanakan shalat tahiyyat
masjid setiap kali seseorang memasuki masjid sebelum ia melakukan aktivitas atau duduk. Beliau juga tidak pernah mengumandangkan adzan dan iqamat (Bilal bin
Rabah dan Abdullah bin Ummu Maktum adalah shahabat petugas adzan dan iqamat).
Apakah shalat tahiyyat masjid, adzan, dan Iqamat merupakan bid'ah? Saya pikir orang yang menganggap bid'ah sebagai perbuatan yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah, ia akan menolak menyebut shalat tahiyyat, adzan dan iqamat sebagai bid'ah yang sesat.

Ada juga orang yang menganggap bid'ah sebagai perbuatan yang tidak dia ketahui dalilnya. Padahal bacaannya sangat terbatas, bahkan seringkali ia adalah orang yang hanya membaca buku-buku terjemahan. Misalnya doa bersama (berjamaah) sering dianggap sebagai bid'ah oleh sebagian orang, padahal dalam hadis yang diriwayatkan oleh al-Thabrani dalam kitab al-Mu'jam al-Kabir, al-Mundziri dalam kitab al-Targhib
wa al-Tarhib, dan al-Hakim dalam kitab al-Mustadrak, Rasulullah bersabda, "Tidak berkumpul sekelompok orang, kemudian sebagian mereka berdoa dan sebagian
yang lain mengamininya, kecuali Allah akan mengabulkan doanya".
Beberapa orang yang membid'ahkan doa bersama (bukan doa bersama orang kafir) kemungkinan besar tidak membaca ketiga kitab ini, apalagi mengenal sosok pengarangnya.

'Izzuddin membagi bid'ah dalam lima bagian: Wajib, Sunnah, Mubah, Makruh, dan Haram. Hal ini sesuai dengan beberapa kriteria yang dia jelaskan secara gamblang.

Ada sebagian kelompok yang puritan menghendaki pemurnian Islam dari bidah. Hal ini tentu merupakan hal yang sangat baik dan dianjurkan oleh Agama. Namun sayangnya, kehendak ini tidak dibarengi dengan keilmuan yang cukup, dan etika yang seharusnya menjadi ciri orang yang beriman. Beberapa pihak, tanpa melakukan tabayyun (konfirmasi) memvonis sesuatu sebagai sebuah kesesatan. Bahkan ada kelompok yang
gemar mengulas masalah khilafiiah (perbedaan pendapat) yang ada di antara ulama, dan menyampaikannya pada kalangan awam sehingga tidak jarang menimbulkan pertikaian. Saya berdoa semoga kita tidak termasuk kelompok orang semacam ini. Karena pertikaian di antara umat Islam tidak menghasilkan kebaikan. Juatru hal inilah yang diinginkan kaum kafir yang memusuhi Islam beserta kaum muslimin. Tenaga kita seringkalihabis terpakai untuk bertikai, bukan untuk menemukan varietas unggulan agar petani dapat panen jagung tiap bulan. Kita juga lebih suka mengutik-utik jumlah rakaat shalat tarawih dari pada membahas penanggulangan banjir. Padahal, Rasulullah tidak pernah membatasi jumlah rakaat shalat tarawih.

Saran saya, perselisihan pendapat yang ada di antara para ulama, biarkan saja dibahas oleh ulama. Kita yang bukan ulama lebih baik diam dan tidak mengeluarkan
statement apa-apa. Kita lakukan aktivitas lain yang lebih berguna dari pada sekedar "menilai pendapat ulama". Dalam al-Hawi, Al-Suyuthi berkata, "Kalaulah orang-orang yang bodoh itu mau diam, niscaya akan berkurang perselisihan di tengah kaum muslimin".

Allah A'lam

Rabu, 10 Desember 2008

IJTIHAD, TAQLID, TALFIQ DAN IFTA`

الاجتهاد

تعريف الاجتهاد
الاحتهاد لغة تحمل الجهد (بفتح الجيم المعجمة) يعني المشقة، وقيل استغراق الجهد (بالضم) وهو الطاقة. ولا يستعمل كلمة الاجتهاد إلا فيما فيه كلفة وجهد، لذا نقول اجتهد في حمل الأحجار ولا نقول اجتهد في حمل خردلة.
وهو في اصطلاح الأصوليين استغراق الجهد لتحصيل حكم شرعي فرعي عن دليله. قيد الحكم في هذا التعريف بالشرعي لإخراج الحكم العقلي والحسي، وقيد بالفرعي لإخراج الأحكام الأصلية إذ إنها قطعيات وليس للمجتهد فيها مجال.
فالاجتهاد مشروع ومطلوب في كل عصر ومكان، وذلك لأن الوحي المتلو لن ينزل بعد وفاة الرسول صلى الله عليه وسلم، فالاجتهاد هو الذي جعل الشريعة صالحة في كل زمان ومكان. فلا يخلو عصر من العصور من المجتهدين.

حكم الاجتهاد
تلحق الاجتهاد أحكام أربعة:
الأول الوجوب العيني على مسؤول عن حادثة وقعت وخاف فوتها وكذلك من يعرف الحادثة وليس هناك من يعرف حكمها غيره. ثم إن كانت الحادثة قد حصلت له شخضيا وأراد معرفة حكمها فالاجتهاد في حقه أيضا واجب فالمجتهد لا يقلد غيره في حق نفسه.
الثاني الوجوب الكفائي على مسؤول لم يخف فوت الحادثة وهناك غيره من المجتهدين. فإذا تركوه أثموا كلهم، وإن أفتى بعضهم سقط الطلب عن جميعهم
الثالث الندب وذلك في الاجتهاد في حكم حادثة لم تحصل سواء سئل عنها أم لم يسأل
الرابع الحرمة لمن ليس له علم ولم يتوفر فيه شروط الاجتهاد مع وجود من توفرت فيه شروط الاجتهاد. فالجاهل حين سئل أفتى من غير علم فضل وأضل.
فالاجتهاد ليس حقا مشاعا لجميع الناس كما يزعمه بعض الناس، فيتجرأ عليه كل إنسان. وإنما هو اختصاص دقيق جدا لا يتهيأ إلا لفئة قليلة من العلماء البارعين الذين استكملوا أوصافا معينا تؤهلهم لاستنباط الحكم الشرعي من دليله. قال الله تعالى "وما كان المؤمنون لينفروا كافة فلولا نفر من كل فرقة منهم طائفة ليتفقهوا في الدين ولينذروا قومهم إذا رجعوا إليهم لعلهم يحذرون" (سورة التوبة الأية 122).

شروط المجتهد
والاجتهاد واجب لمن توفرت فيه شروط الاجتهاد وذلك لأن الاجتهاد من الدين حيث قال الرسول صلى الله عليه وسلم لمعاذ بن جبل حين بعثه إلى اليمن "كيف تقضي إذا عرض لك قضاء قال أقضي بكتاب الله قال فإن لم تجد في كتاب الله قال فبسنة رسول الله صلى الله عليه وسلم قال فإن لم تجد في سنة رسول الله صلى الله عليه وسلم ولا في كتاب الله قال أجتهد رأيي ولا آلو فضرب رسول الله صلى الله عليه وسلم صدره وقال الحمد لله الذي وفق رسول رسول الله لما يرضي رسول الله" (رواه أبو داود والترمذي من حديث منقطع صحيح محتف بالقرائن)
واشترط للمجتهد المطلق وهو المستقل بالمذهب كأبي حنيفة ومالك والشافعي وأحمد بن حنبل شروطا كالآتية:
أولا أن يكون عالما باللغة العربية والمعاني اللغوية إفرادا وتركيبا، ويعلم قواعد الصرف والنحو والبلاغة على وجه يتيسر به فهم خطاب العرب وعادتهم في الاستعمال. فيعلم المجتهد صريح الكلام وحقيقته ومجازه .
وإنما كان تعلم اللغة العربية على هذا الوجه ضروريا للمجتهد لأن النصوص الشريعة وردت بلسان العرب فلا يمكن فهمها واستفادة الأحكام منها إلا بمعرفة اللسان العربي والإحاطة بأساليبها وأسرارها البلاغية والبيانية.
ثانيا أن يكون عالما بالكتاب وهو أصل الأصول ومرجع كل دليل. والمجتهد يميز بين ناسخ الأية ومنسوخها وعامها وخاصها ومحكمها ومتشابهها ومطلقها ومقيدها ومنطوقها ومفهومها وما إلى ذلك.
ولا يشترط حفظ القرآن عن ظهر قلب بل أن يكون عالما بمواضع الآيات بحيث يمكنه أن يرجع إلى الأية المطلوبة بسهولة عند الحاجة
ثالثا أن يحيط بالسنة سندا ومتنا وأسباب ورود الحديث ومعرفة أحوال الرواة والجرح والتعديل وعلل الحديث وأقوال العلماء في حكم الحديث وشرحهم. وقيل يكفي ذلك الاعتماد على ما قرره أئمة الحديث كالبخاري ومسلم وأحمد بن حنبل لتعذر الاطلاع على على حقيقة أحوال الرواة على من لم يمارس السند ونقده.
وقال الغزالي وجماعة من الأصوليين إنه يكفي أن يكون عند المجتهد علم بمواقع كل باب فيراجعه عند الحاجة.
رابعا أن يعلم موارد الإجماع المنعقد قبله لئلا يجتهد بما يخالف. ولا يلزم إحاطته بعلم الفقه لأنه نتيجة الاجتهاد فلا يتقدمه إلا إذا أراد المقارنة بين اجتهاده واجتهاد غيره من الفقهاء.
خامسا أن يعلم وجوه القياس بشرائطها وأقسامها وأحكامها والمقبول منها أو المردود.
سادسا أن يكون عدلا لجواز الاعتماد على اجتهاده. ومن هذا القبيل حسن النية وسلامة الاعتقاد، فإن النية المخلصة تجعل القلب يستنير بنور الله تعالى فينفذ إلى لب هذا الدين الحكيم ويتجه إلى الحقيقة الدينية التي لا يبغي سواها ولا يقصد غيرها، وأن الله يلقي في قلب المؤمن المخلص بالحكمة.
وأما فاسد الاعتقاد بأن يكون ذا بدعة أو ذا هوى أو لا يتجه إلى النصوص بقلب سليم فإنه قد يسيطر على تفكيره ما يمنعه من الاستنباط الصحيح مهما تكن قوة تفكيره. لأن النية المعوجة تجعل الفكر معوجا. ونحن نجد الأئمة الأعلام كانوا ممن اشتهروا بالورع قبل أن يشتهروا بالفقه.
فإذا فقد شخص واحدا من هذه الشروط الخمسة فلا يتحقق الاجتهاد ولا يطلق عليه اسم المجتهد بل حرم عليه الاجتهاد. وإطلاق كلمة المجتهد في زماننا على من مارس فروع الفقه إنما هو إطلاق مجازي لا حقيقي.

مراتب الاجتهاد
قسم العلماء إلى مراتب ستة، أربعة منها يعدون مجتهدين والباقيتان مقلدين. وإدخال المرتبتين الأخيرتين في باب الاجتهاد لأجل التقسيمات فقط. وإليك بيان هذه التقسيمات:
المرتبة الأولى يسمى أصحابها المجتهدين المستقلين في الاجتهاد، ويشترط فيهم الشروط التي ذكرناها كلها. فليس أحد فيهم تابعا لأحد بل يرسمون المناهج لأنفسهم ويفرعون عليها الفروع التي يرونها. ومن هؤلاء فقهاء الصحابة كلهم وفقهاء التابعين أمثال سعيد بن المسيب وإبراهيم النخعي، والفقهاء المجتهدون مثل جعفر الصادق وأبوه محمد الباقر وأبو حنيفة ومالك والشافعي وأحمد والأوزاعي والليث بن سعد وسفيان الثوري وغيرهم كثيرين، وإن لم تصل إلينا مذاهبهم مجمعة مدونة مبوبة ولكن في ثنايا الكتب نجد آراءهم منقولة برواية لا دليل على كذبها.
وهناك تساؤل يتثور وهو هل يجوز هذا النوع من الاجتهاد في عصرنا الحاضر؟ فجوز بعضهم ومنع الآخرون.
والمرتبة الثانية المجتهدون المنتسبون الذين اختاروا أقوال الإمام في الأصل وخالفوه في الفرع وإن انتهوا إلى نتائج مشابهة في الجملة لما وصل إليه الإمام. ومن هؤلاء أبو يوسف في مذهب أبي حنيفة على خلاف من اعتبره مجتهدا مستقلا وتلميذه محمد بن الحسن وزفر، وفي المذهب الشافعي المزني، وفي المذهب المالكي عبد الرحمن بن القاسم وابن وهب.
قال النووي "ادعى الأستاذ أبو إسحاق (الاسفرايني) هذه الصفة لأصحابنا فحكى عن أصحاب مالك رحمه الله وأحمد وداود وأكثر الحنفية أنهم صاروا إلى مذاهب أئمتهم تقليدا لهم. والصحيح الذي ذهب إليه المحققون ما ذهب إليه أصحابنا وهو أنهم صاروا إلى مذهب الشافعي لا تقليدا لهم، بل إنهم لما وجدوا طريقته في الاجتهاد والقياس أسد الطرق ولم يكن لهم بد من الاجتهاد سلكوا طريقه فطلبوا معرفة الأحكام بطريق الشافعي. وذكر أبو علي السنجي (بكسر السين المهملة) نحو هذا فقال اتبعنا الشافعي دون غيره لأنا وجدنا قوله أرجح الأقوال وأعدلها لا أنا قلدناه. قلت: الذي ذكره موافق لما أمرهم به الشافعي ثم المزني في أول مختصره".
المرتبة الثالثة المجتهدون في المذهب الذين يتبعون الإمام في الأصول والفروع التي انتهى إليها. وإنما عملهم في استنباط أحكام المسائل التي لا رواية فيها عن الإمام. فلا يخلو عصر من العصور من هذا النوع من المجتهدين. وهم الذين قالوا إن عملهم في الاجتهاد هو تحقيق المناط أي تطبيق العلل الفقهية التي استخرجها سابقوهم فيما لم يعرض له السابقون من مسائل، وليس لهم أن يجتهدوا في مسائل قد نص عليها في المذهب إلا في دائرة معينة وهي التي يكون استنباط السابقين فيها مبنيا على اعتبارات لا وجود لها في عرف المتأخرين بحيث لو رأى السابقون ما يرى الحاضرون لأعرضوا عما قالوا.
المرتبة الرابعة المجتهدون المرجحون وهؤلاء لا يستنبطون أحكام فروع لا يجتهد فيها السابقون ولم يعرفوا حكمها كما أنهم لا يستنبطون أحكام مسائل لا يعرف حكمها، ولكن يرجحون بين الآراء المروية بوسائل الترحيج التي ضبطتها لهم المرتبة أعلاهم. فلهم أن يقرروا ترجيح بعض الأقوال على بعض بقوة الدليل أو الصلاحية للتطبيق بموافقة أحوال العصر ونحو ذلك مما لا يعد استنباطا جديدا مستقلا أو تابعا. وقد عد بعض العلماء المجتهدون في المذهب والمجتهدون المرجحون في نفس المرتبة، إذ أن الفرق بين هذه المرتبة والتي قبلها دقيق جدا.
فأهل هذه المرتبة يوازنون بين الأقوال والروايات فيقررون مثلا أن هذا القول أقيس من هذا وأن ذلك القول أصح رواية أو أقوى دليلا.
ولأهل هذه المراتب الأربعة ضرب من الاجتهاد، فالمرتبة الأولى لها الاجتهاد الكامل الموفور، والثانية لها اجتهاد في الفروع مطلقا وليس لها اجتهاد في الأصول في الجملة، والثالثة والرابعة لها اجتهاد في استخراج العلل ومناط الأحكام وتحقيق ذلك المناط في المسائل التي يتحقق فيها. والمرتبة الأخيرة اجتهادها محدود في تخيير الأقوال والروايات وهي في الحقيقة مقلدة بيد أن لها تفسيرا في المذهب ونشاطا عقليا فيه من غير أن تتجاوز إطاره أو تترك دائرته. ويمكننا أن نقول لها نوع اجتهاد بالترجيح الذي تتولاه.
وأما المرتبتين الخامسة والسادسة فهما مقلدتان ليس فيهما اجتهاد فقهي إلا الجمع والتدوين.
فالمرتبة الخامسة يسمونها محافظين التي تكون حجة في العلم بترجيحات السابقين ويقول فيهم ابن عابدين في المذهب الحنفي "إنهم القادرون على التمييز بين الأقوى والقوي والضعيف وظاهر الرواية وظاهر المذهب والرواية النادرة كأصحاب المتون المعتبرة كصاحب الكنز وصاحب الدر المختار وصاحب الوقاية وثاحب المجمع وشأنهم ألا ينقلوا في كتبهم الأقوال المردودة والروايات الضعيفة.
فعلمهم إذا ليس الترجيح ولكن معرفة ما رجح وترتيب درجة الترجيح على حسب ما قام به المرجحون. وقد يؤدي تعرف ترجيح المرجحين إل الحكم بينهم. وقد يرجح بعضهم رأيا لا يرجحه الآخر فيختار هو من أقوال المرجحين أقواها ترجيحا وأكثرها اعتمادا على أصول المذهب.
والمرتبة السادسة المقلدون وهي دون المراتب السابقة جميعا، وأهل هذه المرتبة الذين يستطيعون فهم الكتب ولا يستطيعون الترجيح بين الأقوال والروايات ولم يؤتوا علما بترجيح المرجحين وتمييز طبقات الترجيح، وقد وصفهم ابن عابدين بقوله لا يفرقون بين الغث والسمين ولا يميزون الشمال من اليمين بل يجمعون ما يجدون كحاطب ليل، فلا يجوز تقليدهم مطلقا.
وقد وجد في عصرنا قوم من هذا الصنف لا يتجهون إلا إلى الالتقاط من أقوال الفقهاء من غير تعرف لدليل ما يلتقطون بل يكتفون بأن يقولوا هناك قول بهذا. وقد كان عمل هذا الفريق له أثر في البيئات، فيسارع هؤلاء إلى قول يجدونه أيا كان قائله وأيا كانت قيمته ولو لم يعتمد على دليل واضح أو تفكير راجح، ثم ينثرون ذلك نثرا فضلوا وأضلوا.

ثمرة الاجتهاد
وأثر الاجتهاد الظن بالحكم على احتمال الخطأ في ذلك الحكم فلا يجري الاجتهاد في القطعيات أصولا وفروعا لأن الخطأ فيها غير محتمل لكونها موارد نصوص ولا مساغ للاجتهاد في مورد النص.
فالمجتهد قد يخطئ ولا يؤاخذ على خطئه بل يكون مأجورا لأنه استفرغ جهده في استنباط الحكم فلم يهتد إلى الحق لخطأ الدليل فأخطأ في اجتهاده. قال صلى الله عليه وسلم "إذا حكم الحاكم فاجتهد ثم أصاب فله أجران وإذا حكم فاجتهد ثم أخطأ فله أجر(متفق عليه عن عمرو بن العاص، وفي الباب عن عقبة بن عامر وأبي هريرة)

الاجتهاد لا يتجزأ
اختلف الأصوليون في اجتهاد من حصلت له ملكة في مسألة هل يجوز أن يطلق عليه مجتهد أم لا بد له من أن يكون قادرا على الاجتهاد في جميع المسائل؟
قال بعضهم يجوز ومنع الآخر وهذا هو القول المعول عليه إذ لا يتصور أن يكون العالم مجتهدا في أحكام العبادات وغير مجتهد في أحكام المعاملات.

تغيير الاجتهاد
يجوز للمجتهد أن يرجع عن اجتهاده. فإذا نقل عن مجتهد قولان يحمل على أنه رجع عن قوله الأول فيؤخذ بالثاني.

الاجتهاد لا ينقض بالاجتهاد
إذا حكم المجتهد في مسألة ثم غير اجتهاده فاجتهد اجتهادا مخالفا للأول فلا يجوز له نقض اجتهاده السابق. أما إذا عرضت عليه بعد ذلك مسألة تشبه الأولى فله أن يحكم بموجب اجتهاد الثاني. ولذلك لا يجوز نقض الاجتهاد في المسائل الاجتهادية باجتهاد مجتهدين آخرين إلا إذا كان اجتهاده مخالفا للأحكام القطعية فينقض. ونقل السيوطي إجماع الصحابة في هذا. قال عمر بن الخطاب رضي الله عنه "ذلك على ما قضينا وهذا على ما نقضي". فحكم أبو بكر في مسائل خالفه عمر فيها ولم ينقض حكمه، وحكم عمر في المشتركة بعدم المشاركة ثم بالمشاركة.
فمن اجتهد في القبلة بأن يوجه إلى ناحية ثم تغير ظنه فأعاد الاجتهاد بأن يوجه إلى ناحية أخرى فلا ينقض ما فعله بالأول ولو في صلاة واحدة، بل ولو صلى أربع ركعات لأربع جهات فلا قضاء عليه.
ولو صح نقض الاجتهاد بالاجتهاد لنقض النقض أيضا ولتسلسل فاضطربت الأحكام ولا تستتقر ولم يوثق بها إلا إذا بدا له أنه يخالف نصا أو دليلا قطعيا فوجب نقض الاجتهاد حينئذ. ونقل السيوطي أن ما يخالف المذاهب الأربعة كالمخالف للإجماع والإجماع دليل قطعي.
وإنما نقض حكم الحاكمين لتبين خطأه قد يكون ذلك الخطأ في نفس الحكم لكونه خالف نصا، وقد يكون في السبب كالحكم ببينة مزورة ثم تبين خلافه، وقد يكون في الطريق كما إذا حكم بينة ثم بان فسقها. وفي هذه الثلاثة ينقض الحكم. فلو لم ينتف الخطأ بل حصل مجرد التعارض كقيام بينة بعد الحكم بخلاف البينة التي بني الحكم عليها فلا ينقض لعدم تبين الخطأ.
معنى "الاجتهاد لا ينقض بالاجتهاد" في الماضي ولكن يغير الحكم في المستقبل. واستثنى السيوطي صورا ذكره في الأشباه والنظائر كنقض الإمام لحمى من قبله لأن المصلحة قد تتغير. ومن أراد الزيادة فليرجع إلى كتابه.

هل المصيب من المجتهدين واحد أم أكثر
المصيب من المجتهدين في الفروع واحد. فإذا حدثت حادثة في الفروع ولم يوجد دليل قاطع في حكمها من نص أو إجماع فإنا نعلم أن لله تعالى فيها حكما شرعيا معينا، فيطلب المجتهدون ذلك الحكم بشتى أنواع الاجتهاد. فمن أدركه كان مصيبا ومن لم يدرك كان مخطئا لا اثم عليه بل أجر أجرا واحدا.
ففي عصر الصحابة رضي الله عنهم انتشرت وقائع ومسائل وخطّأ بعضهم بعضا فيها وصرحوا بلفظ الخطأ والإنكار كقول ابن عباس إلى زيد ابن ثابت في مسألة الجد والإخوة "الا يتقي الله زيد يجعل ابن الابن ابنا ولا يجعل أب الأب أبا". فلو كان كل مجتهد مصيبا لما خطأ بعضهم بعضا بل يقول بعضهم أنا مصيب وأنت مصيب. فالله تعالى بين أن سليمان مصيب في مسألة غنم القوم "ففهمناها سليمان وكلا ءاتينا حكما وعلما".
فعلى ذلك قالوا إن من صلى خلف من توضأ وهو تارك للنية أو الترتيب أو شيء مما اختلف فيه فإنه تجب الإعادة على من يرى وجوب النية أو الترتيب في الوضوء.

تقليد المجتهد
إذا اجتهد مجتهد في مسألة بصورة من الصور فلا يجوز له أن يحكم على خلاف اجتهاده تقليدا لمجتهد آخر يخالفه في الاجتهاد في تلك المسألة لأنه معتقد بصحة اجتهاده فحكمه بما يخالف اجتهاده باطل.
أما إذا لم يجتهد بعد ولم ينظر والوقت متسع فلا يخاف فوت الحادثة وهو قادر على الاستنباط فهل يجوز له أن يقلد غيره؟ فالصحيح أنه لا يجوز لأن ذلك تقليد لمن لم تثبت عصمته عن الخطأ وليس هو عاميا فيقلد الآخر. فتقليد المجتهد على اجتهاد مجتهد آخر تضييع لنعمة العقل الذي كرم الله به الإنسان ونعمة توفر شروط الاجتهاد الذي فضله الله على الآخرين. قال الله تعالى "فاعتبروا يا أولي الأبصار" (سورة الحشر الاية 2) وقال "أفلا يتدبرون القرآن أم على قلوب أقفالها" (سورة محمد الأية 24) وقال "لعلمه الذين يستنبطونه منهم" (سورة النساء الأية 83)

لا اجتهاد في مورد النص
إذا دل النص على حكم في حادثة من الحوادث فلا يجوز للمجتهد أن يجتهد فيها، لأن النص متى كان قطعي الورود لا يسوغ أن يكون ثبوته وصدوره عن الله أو رسوله موضع بحث واجتهاد. وما دام قطعي الدلالة فلا يجوز أن تكون دلالته على معناه واستفادة الحكم منه موضع بحث وبذل جهد. فكل نص لا يحتمل التأويل يجب أن ينفذ كما ورد ولا مجال للاجتهاد فيه. قال الله تعالى "فإن تنازعتم في شيء فردوه إلى الله والرسول" (سورة النساء الأية 59) ، وقال "وما اختلفتم فيه من شيء فحكمه إلى الله" (سورة الشورة الأية 10).
أما إذا كان النص ظني الورود والدلالة أو ظني أحدهما فللاجتهاد فيه مجال لأن المجتهد عليه أن يبحث في الدليل الظني الورود من حيث سنده وأحوال رواته. وفي هذا يختلف تقدير المجتهدين للدليل، لأن الدليل قد يدل ظاهره على معنى ولكنه ليس هو المراد قد يكون عاما أو مطلقا وقد يكون مقيدا. فالمجتهد يصل باجتهاده إلى معرفة أن الظاهر على ظاهره أو أنه مؤول، وأن العام باق على عمومه أو مخصص، وأن المطلق على إطلاقه أو مقيد مسترشدا في ذلك كله بالقواعد الأصولية اللغوية ومقصد الشارع وما وضع له من مبادئ عامة.
أما إذا كانت الواقعة لا نص على حكمها فالمجال واسع للمجتهد بأن يجتهد فيها برأيه بعد البحث ليصل إلى معرفة حكمها بواسطة القياس أو الاستحسان أو الاستصحاب أو العرف أو المصالح المرسلة.
فمثال ما لا مجال للاجتهاد فيه النطق بالشهادتين ووجوب الصلوات المكتوبة الخمس وتحريم الزنا وكفارة الظهار.

فخلاصة البحث أن الاجتهاد لا يكون إلا في حالتين أحدهما عند عدم وجود النص أصلا والآخر عند وجود نص ظني وغير قطعي.


التقليد
مر بنا الكلام في الاجتهاد وشروط صحته وحكمه على من تأهل الاجتهاد ومن ليس له نصيب فيه. فالاجتهاد بابه مفتوح ولا يجوز لأحد أن يغلق بابا فتحه الله ورسوله صلى الله عليه وسلم. فللمجتهد أن يجتهد ويعمل بمقتضى اجتهاده، وعلى العوام تقليد المجتهد ولا يجتهد فضل وأضل. وفي مثل هذا أخرج أبو داود من حديث جابر رضي الله عنه "قال خرجنا في سفر فأصاب رجلا منا حجر فشجه في رأسه ثم احتلم فسأل أصحابه فقال هل تجدون لي رخصة في التيمم فقالوا ما نجد لك رخصة وأنت تقدر على الماء فاغتسل فمات فلما قدمنا على النبي صلى الله عليه وسلم أخبر بذلك فقال قتلوه قتلهم الله ألا سألوا إذ لم يعلموا فإنما شفاء العي السؤال إنما كان يكفيه أن يتيمم ويعصر أو يعصب شك الراوي على جرحه خرقة ثم يمسح عليها ويغسل سائر جسده". فعتب الرسول بعض أصحابه الذين اجتهدوا من غير علم.
والتقليد قبول اجتهاد الغير أوفتواه من غير أن يعرف دليله. فمن حرم عليه الاجتهاد فالتقليد في حقه واجب ولا عيب عليه في ذلك، قال الله تعالى "فاسألوا أهل الذكر إن كنتم لا تعلمون" (سورة الأنبياء الأية 7).

هل على العوام التزام مذهب معين؟
والأصل عدم وجوب التزام بمذهب معين بل يجوز لكل مسلم أن يستفتي في كل واقعة عند أي مفت اختاره ويعمل بفتواه كما كان في القرون الفاضلة من الصحابة والتابعين. قال النووي إنه لا يلزم التمذهب بمذهب معين بل يستفتي من شاء وذلك من غير تلقط الرخص، انتهى باختصار.
ومذاهب السلف الماضين من الصحابة والتابعين وتابعي التابعين رضوان الله عليهم كثيرة لا تكاد تنحصرعددا، وكلها اجتهادات استوفت الشروط. قال المناوي في شرح الجامع ويجب علينا أن نعتقد أن الأئمة الأربعة والسفيانين يعني سفيان الثوري والسفيان بن عيينة والأوزاعي وداود الظاهري وإسحاق بن راهويه وسائر الأئمة على هدى ولا التفات لمن تكلم فيهم بما هم بريئون منه. وبه قال جلال الدين المحلي.
وتقليد مذهب من مذاهبهم الآن غير المذاهب الأربعة فليس بجواز لا لنقصان مذاهبهم ورجحان المذاهب الأربعة عليهم بل لعدم تدوين مذاهبهم وعدم معرفتنا الآن بشروطها وقيودها وعدم وصولها إلينا بطريق التواتر حتى لو وصل إلينا شيء من ذلك فيجوز لنا تقليده لكنه لم يصل.
فالمذاهب الآن التي يجوز تقليدها هي المذاهب الأربعة الحنفية والمالكية والشافعية والحنابلة دون غيرها كمذهب أبي ثور والمزني، فقد انحصر الآن العمل بشريعة محمد صلى الله عليه وسلم في العمل بما ذهب إليه أحد الأربعة. وذلك في المسائل الاجتهادية لا غير كما مر. فأما ما علم من الدين بالضرورة كفرضية الصيام وحرمة الزنا وشريعة الجهاد فلا يحتاج إلى التقليد فيه لأحد الأربعة ولا حق اجتهاد في ذلك عندهم.
وأكد المناوي إلى عدم جواز تقليد الصحابة وكذا تقليد التابعين كما قاله إمام الحرمين من كل من لم يدون مذهبه فيمتنع تقليد غير المذاهب الأربعة في القضاء والإفتاء لأن المذاهب الأربعة انتشرت وتحررت بخلاف غيرهم لانقراض اتباعهم. وقد نقل الرازي إجماع المحققين على منع العوام من تقليد أعيان الصحابة. وصرح ابن نجيم الحنفي في التحرير لابن الهمام على أن الاجماع انعقد عل عدم العمل بمذهب يخالف الأربعة.
نعم يجوز لغير عامي من الفقهاء تقليد غير الأربعة في العمل لنفسه إن علم نسبته لمن يجوز تقليده وجميع شروط الاجتهاد عنده لكن بشرط أن لا يتبع الرخص بان يأخذ من كل مذهب الأهون فتنحل ربقة التكليف من عنقه.
ومن تمذهب بمذهب معين فلا يعدل عنه في مسألة من المسائل من مذهب آخر لأنه بالتزامه يصير ملزوما به ولأنه اعتقد أن المذهب الذي انتسب إليه هو الصواب فعليه الوفاء بموجب اعتقاده. وقيل لا يلزمه وهو الأصح كما ذهب إليه الرافعي وغيره بأن التزامه غير ملزم إذ لا واجب إلا ما أوجبه الله ورسوله ولم يوجب الله ولا رسوله على أحد من الناس أن يمتذهب بمذهب رجل من الأمة فيقلده دينه في كل ما يأتي ويذر غيره، ولا قال أحد من المجتهدين إن من تبعني فلا يتبع أحدا غيري. ففي الحديث الذي أخرجه البيهقي في المدخل أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال "مهما أو تيتم من كتاب الله فالعمل به لا عذر لأحد في تركه، فإن لم يكن في كتاب الله فسنة مني ماضية، فإن لم تكن سنة مني فما قال أصحابي، إن أصحابي بمنزلة النجوم في السماء، فأيما أخذتم به اهتديتم، واختلاف أصحابي لكم رحمة". وفي سنده سليمان بن أبي كريمة وجويبر وهما ضعيفان.
قال هارون الرشيد لمالك بن أنس يا أبا عبد الله تكتب هذه الكتب وتفرقها في آفاق الإسلام لتحمل عليها الأمة، فقال يا امير المؤمنين إن اختلاف العلماء رحمة من الله على هذه الأمة كل يتبع ما صح عنده وكل على هدى وكل يريد الله. وقال السيوطي واعلم أن اختلاف المذاهب في هذه الملة نعمة كبيرة وفضيلة جزيلة عظيمة وله سر لطيف أدركه العالمون وعمى عنه الجاهلون حتى سمعت بعض الجهال يقول النبي صلى الله عليه وسلم جاء بشرع واحد فمن أين مذاهب أربعة؟! ومن العجب أيضا من يأخذ في تفضيل بعض المذاهب تفضيلا يؤدي إلى تنقيص المفضل عليه وسقوطه وربما أدى إلى الخصام بين السفهاء وصارت عصبية وحمية والعلماء منزهون عن ذلك. وقد وقع الاختلاف بين الصحابة رضي الله تعالى عنهم وهم خير الأمة فما خاصم أحد منهم أحدا ولا عادى أحد أحدا.
فالاختلاف في حقنا يعني الأمة المحمدية رحمة وخصيصة فاضلة وتوسيع في هذه الشريعة السمحة السهلة وهو في حق الأمم السابقة هلاك وعذاب. فكانت الأنبياء يبعث أحدهم بشرع واحد وحكم واحد حتى إنه من ضيق شريعتهم لم يكن فيها تخييرفي كثير من الفروع التي شرع فيها التخيير في شريعتنا. فمن ذلك جريمة القتل التي شرع لنا القصاص والدية فكأنه جمع بين الشرعين معا وزادت حسنا بشرع ثالث وهو التخيير.
والاختلاف في الفروع عند المذاهب كشرائع متعددة كل مأمور به في هذه الشريعة فصارت هذه الشريعة كأنها عدة شرائع بعث النبي صلى الله عليه وسلم بجميعها.

هل يجوز التقليد بعد الفعل؟
قال بعضهم بأن التقليد بعد الفعل جائز كما إذا صلى ظنا صحتها على مذهبه ثم تبين بطلانها في مذهبه وصحتها على مذهب غيره فله تقليده ويجتزي بتلك الصلاة. فروي عن أبي يوسف انه صلى يوم الجمعة مغتسلا من الحمام بالناس وتفرقوا ثم أخبر بوجود فأرة ميتة في بئر الحمام فقال إذن نأخذ بقول إخواننا من أهل المدينة إذا بلغ الماء قلتين لم يحمل خبثا. ووجد الإشكال في أن المجتهد بعد اجتهاده في حكم ممنوع من تقليد غيره من المجتهدين. وهذا لا يرد على القول بجواز التقليد بعد الفعل لأن الإيراد على المجتهد لا المقلد. وعن مسألة أبي يوسف يمكن أن نقول أنه اجتهد في دليل مذهب غير مذهبه ثم أخذ به. والمجتهد المقيد في المذهب له أن يجتهد في أصول غير إمامه لأنه في معنى المقلد.

هل يجوز الانتقال من تقليد مجتهد إلى آخر للأرجحية؟
قال محمد البغدادي واختلفوا في أنه هل يجوز للمقلد تقليد المفضول مع وجود الأفضل؟ فجوزه الأئمة الحنفية والمالكية وأكثر الشافعية ومنعه أحمد وطائفة من الفقهاء. ونقل عن الغزالي أنه قال إذا اعتقد المقلد أحد المجتهدين بالفضل لا يجوز له أن يقلد غيره وإن كان لا يلزم البحث عن الأعلم إذا لم يعلم اختصاص أحدهم بزيادة الفضل والعلم. أما إذا علم واعتقد زيادة الفضل في أحدهم يلزم تقليد أورع العالمين وأعلم الورعين، وإن تعارضا في العلم والورع قدم الأعلم على الأصح.
قال المحلي في شرح جمع الجوامع تقليد المفضول من المجتهدين فيه أقوال أحدها ورجحه ابن الحاجب يجوز لوقوعه في زمن الصحابة وغيرهم من غير إنكار. ثانيها لا يجوز لأن أقوال المجتهدين في حق المقلد كالأدلة في حق المجتهد، فكما يجب الأخذ بالراجح من الأدلة يجب الأخذ بالراجح من الأقوال والراجح منها قول الفاضل ويعرفه العامي بالتسامع وغيره. وثالثها المختار يجوز لمعتقده فاضلا عنده أو مساويا له بخلاف من اعتقده مفضولا ومن ثم لم يجب البحث عن الأرجح من المجتهدين لعدم تعينه فإن اعتقد العامي رجحان واحد منهم تعين لأن يقلده وإن كان مرجوحا في الواقع عملا ياعتقاده المبني عنه والراجح علما فوق الراجح ورعا في الأصح لأن لزيادة العلم تأثيرا في الاجتهاد بخلاف زيادة الورع، وقيل العكس لأن لزيادة الورع تأثيرا في التثبت في الاجتهاد وغيره بخلاف زيادة العلم ويحتمل التساوي لأن لكل مرجحا. قال بعضهم إذا ظن المقلد رجحان وذهب الغير فيحسن له اتباع الراجح.
ونقل عن السبكي أن المنتقل من مذهب لآخر له أحوال منها أن يعتقد رجحان مذهب الغير فيجوز عمله بالراجح في ظنه، ومنها أن لا يعتقد رجحان شيء فيجوز.
قال بعضهم إذا سئلنا عن مذهبنا في الفروع (الفقه) ومذهب مخالفينا فنجيب بأن مذهبنا صواب يحتمل الخطأ ومذهب مخالفينا خطأ يحتمل الصواب لأنك لو قطعت القول لما صح قولنا إن المجتهد يصيب ويخطئ. أما إذا سئلنا عن معتقدنا ومعتقد خصومنا في العقائد فيجب علينا أن نقول الحق ما نحن عليه والباطل ما عليه خصومنا.

التلفيق
التلفيق هو أن يأخذ أحد أقوالا من كل مذهب في مسألة واحدة يجتمع على إبطاله كل من تلك المذاهب.
ومن المعلوم أن الناس ينقسم إلى إلى مجتهدين وغير مجتهدين. والاجتهاد إما أن يكون مطلقا وإما أن يكون مقيدا. فأهل الاجتهاد المطلق لا يجوز لهم تقليد غيرهم لأن الواجب لهم العمل باجتهادهم. وأهل الاجتهاد المقيد كأبي يوسف في المذهب الحنفي والنووي في الشافعي يجب عليهم تقليد أهل الاجتهاد المطلق في أصول مذاهبهم فقط دون الفروع.
وأما غير المجتهدين وهم عامة الناس فلا يجب عليهم التزام العمل بمذهب معين على القول المختار، بل يجوز لكل واحد منهم أن يأخذ أي مذهب شاء وذلك بعد استيفاء جميع الشروط التي يشترطها ذلك المذهب وإلا كان عمله باطلا بالاجماع. ومن أخذ من كل مذهب قولا لا يقول به صاحب المذهب الآخر فقد خرج عن المذاهب الأربعة واخترع له مذهبا خامسا فعبادته باطلة ومعاملته غير صحيحة وهو يعتبر متلاعبا في الدين وغير عامل بمذهب من مذاهب المجتهدين لأنه لو سئل كل مفت من أهل المذاهب الأربعة فلا يسوغ له أن يفتي بصحة تلك العبادة أو المعاملة لفقد شروط صحتها عنده.
وأي مفت حنفي يفتي بصحة الوضوء من ماء مقدار القلتين وقعت فيه نجاسة ولم يتغير بها أحد أوصافه وأي مفت شافعي يفتي بصحة الوضوء من غير نية ولا ترتيب وأي مفت مالكي بصحة الوضوء من غير دلك ولا موالاة وأي حنبلي يفتي بصحة والوضوء من غير تسمية. فلو توضأ رجل من ماء القلتين المذكور من غير نية ولا ترتيب ولا دلك ولا موالاة ولا تسمية فهذا الوضوء باطل إجماعا من غير خلاف، فلو حكم ذلك الرجل بصحته وهو مقلد لكان مخترعا مذهبا خامسا وذلك باطل.
وعن الإسنوي من الشافعية أنه قال إذا نكح رجل بلا ولي تقليدا لأبي حنيفة أو بلا شهود تقليدا لمالك ووطئ لا يحد. ولو نكح بلا ولي ولا شهود أيضا تقليدا لهما حد كما قاله الرافعي لأن الإمامين أبا حنيفة ومالكا قد اتفقا على البطلان.
قال أحمد الرملي وإذا دونت المذاهب وانتقل المقلد من مذهب إلى مذهب جاز، ولو قلد مجتهدا في مسائل أخرى جاز، لكن لا يتبع الرخص وإذا استفتى فافتاه مفت لزمه الأخذ بقوله إن لم يكن هناك مفت آخر وإلا فلا إذ له سؤال غيره. وشرط تقليد مذهب الغير أن لا يكون موقعا في أمر يجتمع على إبطاله الإمام الذي كان على مذهبه والإمام الذي انتقل إلى مذهبه. فمن قلد مالكا مثلا في عدم النقض باللمس الخالي عن الشهوة فلا بد أن يدلك بدنه ويمسح جميع رأسه.
قال عبدالرحمن العمادي يجوز للحنفي تقليد غير إمامه من الأئمة الثلاثة فيما تدعو إليه الضرورة بشرط أن يلتزم جميع ما يوجبه ذلك الإمام في ذلك.
فجدير بالذكر على ما قلنا من قبل إنه ليس على الإنسان التزام مذهب معين وإنه يجوز له العمل بما يخالف ما علمه على مذهبه مقلدا فيه غير إمامه مستعجما شروطه ويعمل بأمرين متضادين في حادثين لا تعلق لواحدة منهما بالأخرى وليس له إبطال عين ما فعله بتقليد إمام آخر لأن إمضاء الفعل كإمضاء قضاء القاضي لا ينقض.
قال بعضهم لا يصح التقليد في شيء مركب من اجتهادين مختلفين بالإجماع والحكم الملفق باطل بإجماع المسلمين. ونقل عن السبكي أنه قال إن التقليد إن اجتمعت فيه حقيقة مركبة ممتنعة بالإجماع يمتنع.
فمن انتقل من مذهبه إلى مذهب آخر ليتبع الرخص ويلتقطها خيف عليه بالوعد الذي جاء في قوله تعالى "أفرأيت من اتخذ إلهه هواه وأضله الله على علم وختم على سمعه وقلبه وجعل على بصره غشاوة فمن يهديه من بعد الله أفلا تذكرون" (سورة الجاثية الأية 23).
فالتلفيق ممنوع وعلى هذا رد قول محمد بن فرخ المكي من صحة التلفيق رأيا منه وقد استدل عليه بعبارة وقعت في التحرير لابن الهمام ليس معناها ذلك فقال قد أشار إلى عدم منعه المحقق في التحرير وأنه لا يدر ما يمنع منه مع أن عبارة ابن الهمام ليس فيها ذلك. نعم قد ثبت في الحديث المتفق عليه عن عائشة أم المؤمنين رضي الله عنها أنها قالت "ما خير رسول الله صلى الله عليه وسلم بين أمرين إلا أخذ أيسرهما ما لم يكن إثما فإن كان إثما كان أبعد الناس منه". فليس معنى هذا أخذ العامي في كل مسألة بقول مجتهد أخف عليه فإن الإشارة من الحديث تمام الحكم لا بعضه وذلك في مقابلة التزام مذهب معين.

الإفتاء

الإفتاء أخص من الاجتهاد لأن الاجتهاد استنباط الأحكام سواء أكان سؤال في موضعها أم لم يكن وذلك بخلاف الإفتاء فإنه لا يكون إلا إذا كانت واقعة وقعت.
والفتوى السليمة التي تكون من مجتهد تقتضي مع شروط الاجتهاد التي ذكرناها شروطا أخرى، وهي معرفة واقعة الاستفتاء والمستفتي والجماعة التي يعيش فيها ليعرف مدى أثر الفتوى سلبا وإيجابا حتى لا يُتخذ دين الله لعبا ولهوا. وقد شدد العلماء شروط المفتي لأنه هاد ومرشد وأن فتواه مدار لإصلاح الناس.
فللمفتي الخيار من المذاهب في فتواه ويراعي في ذلك الحق وصلاح الناس لا لإرضاء حاكم أو لهوى الناس.
وقد حكى الشاطبي في الموافقات قصة فقيه كان يفتي بالأندلس ثم حجر عليه بالفتوى لأشياء نقمت عليه واستمر محجورا عليه إلى أن حدثت حادثة أفتى فيها فتوى لحاكم خلاصتها أنه كان بجوار قصر الناصر أمير الأندلس وقف يتأذى بمنظره إذ كان مقابلا للمنتزه الذي يتنزه به، وكان فوق ذلك يؤذيه منطره إذا نظر من أعلى قصره. فرأى أن يعوض الوقف ويضمه إلى المنتزه. فأرسل إلى بقي بن مخلد كبير العلماء وكبير المفتين، فجمع العلماء ليجمعوا على رأي فأجمعوا على منع بيع الوقف كما هو مذهب مالك، ويظهر لهم طووا في نفوسهم أمرا آخر وهو أن يفطموا نفس الأمير عن شهوته فلا يساوره فيها. فلما أعلنوا فتواهم تبرم الأمير بها وإن كان قد أطاعها. وعلم الفقيه المحجور عليه، فأرسل إلى الأمير يبيح ما أراد أخذا من مذهب أبي حنيفة الذي يقرر أن الأوقاف غير لازمة وأنها تورث وتصبح غير موقوفة بعد وفاة الواقف. فجمع الأمير ذلك الفقيه بالعلماء وعقدت الشورى بينهم فأصر الفقهاء على رأيهم فقال الفقيه الذي كان محجورا عليه للعلماء ناشدتكم الله العظيم ألم تنزل بأحد منكم ملمة بلغت بكم أن أخذتم فيها بغير قول مالك في خاصة أنفسكم وأرخصتم لأنفسكم؟ قالوا بلى. قال فأمير المؤمنين أولى بذلك فخذوا مآخذكم وتعلقوا بقول من يوافقه من العلماء فكلهم قدوة. فسكتوا فأرسل القاضي إلى الأمير بصورة ما جرى في المجلس فأخذ بفتيا ذلك الفقيه وعوض الوقف بأضعاف كثيرة عن قيمة الوقف.
ويجب على من يتخير من المذاهب أن يلاحظ الأمور الثلاثة، وهي:
أولها، أن يتبع القول لديه، بأن لا يختار من المذاهب أضعفها دليلا بل يختار أقواها دليلا، ولا يتبع شواذ الفتيا. وأن يكون عالما بمناهج المذهب الذي يختار منه. فإن لم يكن عنده المقدرة هذه، فأولى ثم أولى أن يقتصر على مذهبه الذي يعلمه أو كان قد بلغ درجة الإفتاء فيه.
ثانيها أن يجتهد ما أمكن الاجتهاد في ألا يترك المجمع عليه إلى المختلف فيه. فمثلا إذا سئل المفتي الذي أحيط خبرا بالمذاهب الإسلامية عن تولى المرأة عقد زوجها بنفسها لا يفتي بقول أبي حنيفة الذي انفرد به من بين الجمهور، بل يفتي بقول الجمهور، ولا مانع من أن يبين له قول أبي حنيفة ويترك له مع بيان وجه اختياره رأي الجمهور. فيذكر مثلا أنها مسألة دقيقة في الحلال والحرام وأن الأخذ بالاحتياط فيها واجب.
وإذا كانت المسألة خلافية احتاط للشرع، واحتاط للمستفتي من غير خروج ولا شذوذ. فمثلا إذا سأله رجل يريد زواج امرأة قد رضعت من أمه رضعة واحدة، أفتاه بمذهب أبي حنيفة ومالك اللذين يعتبران قليل الرضاع محرما ولو كان مصة أو مصتية. وإن كان السائل قد وقع في البلوى وتزوج امرأة كانت بينهما رضاعة ولم يصل إلى خمس رضعات ولم يعلم تلك الواقعة إلا بعد أن أعقب منها أولادا، فإن الاحتياط للأولاد يسوغ له الإفتاء بالحل، ولكن شرط ذلك كله أن تكون الأدلة قد تراجحت لديه، ولا يرى واحدا منها قاطعا في الموضوع.
ثالثها أن يتبع الدليل والمصلحة دون أهواء الناس. والمصلحة المعتبرة هي مصلحة الكافة وما يؤدي به إلى الفتيا من تحليل وتحريم. فهذا الفقيه الذي اختار رأي الحنفية الذي يجوز بيع الوقف مسايرة للأمير في شهوته واعتبر رؤية وقف غير حسن المنظر ملمة نزلت بالأمير يجب العمل على تفريج كربته فيها، كان الأولى به أن يشير عليه بإصلاح الوقف ليكون منظره جميلا بدل أن يساير رغبته إلى أقصى مداها.
وعلى المفتي أن بأخذ بما يفتي به. فإنه إذا كان يترخص لنفسه بأمور لا يبيحها للناس فإن ذلك يفقده العدالة، إلا إذا كان الترخيص لسبب شخصي حاجي لو توافر في غيره لأفتاه بمثل ما يرخص لنفسه.
فالمفتي يجلس مجلس الأنبياء حيث يبين للناس ما يحل لهم وما يحرم عليهم. وهو وارثه في بيان شرع الله تعالى، فلا يجعل لهواه موضعا بل لزمه أن ينطق بالحق ولا يخاف في الله لومة لائم.
فسبحان الله لا علم لنا إلا ما علمنا إنه هو العليم الحكيم فله الحمد رب السموات ورب الأرض ورب العرش العظيم، وصلى الله على نبينا محمد بأمته رؤوف رحيم.

المصادر
أسعد عبد الغني وأحمد مختار محمود، محاضرات في أصول الفقه (الفرقة الرابعة)، (القاهرة: كلية الدراسات الإسلامية والعربية للبنين، 1422هـ)
شاكر بك الحنبلي، أصول الفقه الإسلامي، (مكة المكرمة: المكتبة المكية، 1423 هـ)، الطبعة الأولى
عبد الغني النابلسي، خلاصة التحقيق في بيان التقليد والتلفيق، (استنبول: مكتبة الحقيقة، 1991م)
عبد الكريم بن علي بن محمد النملة، الجامع لمسائل أصول الفقه وتطبيقها على المذهب الراجح، (الرياض: مكتبة الرشد ناشرون، 2003م)، الطبعة السادسة
عبد الكريم زيدان، الوجيز في أصول الفقه، (بيروت: مؤسسة الرسالة، 1407 هـ)، الطبعة الثانية
محمد أبو زهرة، أصول الفقه، (القاهرة: دار الفكر العربي)
وهبة الزحيلي، الوجيز في أصول الفقه، (دمشق: دار الفكر، 1418هـ)، الطبعة الثانية

Keyboard shortcuts for International Characters

Press (tekan)
CTRL+` (ACCENT GRAVE), the letter
à, è, ì, ò, ù,
À, È, Ì, Ò, Ù
CTRL+' (APOSTROPHE), the letter
á, é, í, ó, ú, ý
Á, É, Í, Ó, Ú, Ý
CTRL+SHIFT+^ (CARET), the letter
â, ê, î, ô, û
Â, Ê, Î, Ô, Û
CTRL+SHIFT+~ (TILDE), the letter
ã, ñ, õ
Ã, Ñ, Õ
CTRL+SHIFT+: (), the letter
ä, ë, ï, ö, ü, ÿ,
Ä, Ë, Ï, Ö, Ü, Ÿ
CTRL+SHIFT+@, a or A
å, Å
CTRL+SHIFT+&, a or A
æ, Æ
CTRL+SHIFT+&, o or O
œ, Œ
CTRL+, (COMMA), c or C
ç, Ç
CTRL+' (APOSTROPHE), d or D
ð, Ð
CTRL+/, o or O
ø, Ø
ALT+CTRL+SHIFT+?
¿
ALT+CTRL+SHIFT+!
¡
CTRL+SHIFT+&, s
ß