ME...

ME...
MUSCAT-OMAN 2005

Kamis, 11 Desember 2008

MEMBICARAKAN BID'AH

Rasulullah bersabda, "...Takutlah kamu akan al-muhdatsat (inovasi-inovasi baru), Karena semua muhdatsat adalah bid'ah, dan semua bid'ah adalah kesesatan". Hadis ini diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Dawud, al-Tirmidzi, Ibn Majah dan al-Darimi dengan
redaksional berbeda namun tidak merubah substansi matan (isi hadis).

Berikut adalah kualitas para perawi hadis yang ada dalam mata rantai sanad Hadis yang diriwayatkan oleh Ahmad Bin Hanbal:

1. al-Dhahhak bin Makhlad bin al-Dhahhak al-Syaybani, generasi junior atba' tabi'in, meninggal tahun 212 H. Dia memiliki banyak guru di antaranya Tsaur Bin Yazid
dan Ibrahim bin Umar bin Kysan. Dan memiliki banyak murid di antaranya Ahmad Bin Hanbal dan Ibrahim bin Dinar.

Al-Dhahhak adalah sosok perawi yang "tsiqah tsabat" (sangat terpercaya dan sangat cermat), sehingga semua Hadis yang diriwayatkan darinya memiliki kualitas shahih. Berikut adalah penilaian beberapa ulama hadis atasnya:

a. menurut Yahya bin Ma'in: dia (al-Dhahhak) adalah rawi yang tsiqat (terpercaya)
b. menurut al-'Ijly: dia adalah rawi yang tsiqat
c. menurut Muhammad bin Sa'd: dia adalah rawi yang tsiqat
d. menurut Abu Hatim al-Razi: dia adalah rawi yang tsiqat
e. menurut Ibn Hibban al-Busti: dia adalah rawi yang tsiqat.

2. Tsaur Bin Yazid bin Ziyad al-Kalla'iy, generasi senior atba' tabi'in, meninggal tahun 150 H.

Dia memiliki beberapa guru di antaranya Khalid Bin Ma'dan dan Abu Humaid, dan memiliki beberapa murid di antaranya Al-Dhahhak Bin Makhlad dan Ahmad bin Ali.
Tsaur sempat dituduh memiliki faham "qadariyyah", namun demikian, beliau dinilai sebagai sosok rawi yang tsiqat tsabat. Berikut beberapa komentar ulama atas
dirinya:

a. menurut Yahya bin Said al-Qhathan: dia adalah rawi yang tsiqat
b. menurut Ibn Ishak: dia adalah rawi yang tsiqat.
c. menurut Yahya bin Ma'in: dia adalah rawi yang tsiqat
d. menurut Ahmad bin Hanbal: dia adalah rawi yang "baik" (laysa bihi ba`s)

3.Khalid bin Ma'dan bin Abu Karb al-Kalla'iy, generasi pertengahan tabi'in, meninggal pada tahun 104 H. dia memiliki beberapa guru yang adalah Abdurrahman Bin 'Amr dan Ahzab bin Asid, dan ia memiliki beberapa murid yang di antaranya adalah Tsaur Bin Yazid dan Ahwash bin Hakim. Khalid adalah sosok perawi tsiqah yang sering melakukan "irsal" (menyembunyikan nama perawi shahabat). Berikut adalah komentar ulama tentang dirinya:

a. menurut al-'Ijly: dia adalah rawi yang tsiqat
b. manurut al-Nasa'i: dia adalah rawi yang tsiqah
c. menurut Muhamad bin Sa'd: dia adalah rawi yang Tsiqah
d. menurut Ibn Hibban: dia adalah rawi yang tsiqah

4. Abdurrahman bin 'Amr al-Sullamy, generasi pertengahan tabi'in, meninggal tahun 110 H. dia memiliki beberapa guru yang di antaranya adalah Abu Najih 'Irbath Bin Sariyah, sementara di antara muridnya ada yang bernama Khalid Bin Ma'dan. Abdurrahman adalah sosok rawi yang kurang baik atau "maqbul". Berikut komentar beberapa ulama atas
dirinya:

a. menurut Ibn Hibban: dia adalah rawi yang tsiqah
b. menurut al-Hakim: dia adalah rawi yang shahih
c. menurut al-Dzahabi: dia adalah rawi yang shaduq
d. Yahya bin al-Qathan menganggapnya sosok perawi yang tidak dikenal

5. Irbath Bin Sariyah seorang shahabat yang memiliki beberapa murid, di antaranya adalah Abdurrahman Bin 'Amr

Dengan melakukan "kritik sanad" (kajian atas kualitas sanad/perawi hadis), kita ketahui bahwa nilai hadis ini adalah hasan (semi shahih). Dalam hal ini, al-Tirmidzi menyatakan bahwa kualitas hadis ini adalah "hasan-shahih". Ringkasnya, hadis ini dapat dijadikan hujjah.

Mungkin anda merasa asing dengan beberapa istilah yang saya tulis (misalnya tabi'in, atba' tabi'in, qadariyyah, dsb). Dan saya pikir hal itu merupakan sebuah kelumrahan, karena kajian hadis masih minim di negeri kita.
'Ala kulli hal, saya akan lebih memfokuskan pembahasan kita pada isi (matan) hadisnya.

Tidak semua kata "kullu" sebagaimana yang terdapat dalam matan hadis dimaknai "semua". Demikian juga "kullu" yang ada dalam "hadis bid'ah" ini tidak dapat di artikan sebagai "semua". (Silahkan cermati ayat 260 Surat al-Baqarah yang menggunakan kata "kullu" dengan arti "sebagian", yaitu nabi ibrahim hanya meletakan potongan burung di empat gunung, bukan di seluruh gunung)

Dari sini beberapa ulama menyatakan bahwa "kullu" yang ada dalam "hadis bid'ah" memiliki faedah "al-Tab'idh" yang artinya "sebagian". Sehingga arti "kullu bid'ah dhalalah" adalah bahwa "sebagian bid'ah adalah kesesatan".

Al-Kahthabi menyatakan bahwa maksud hadis di atas adalah bahwa semua bid'ah yang tidak memiliki dalil (al-Qur`an dan hadis) adalah kesesatan. sementara bid'ah yang memiliki dalil tidak dapat dikategorikan sebagai kesesatan, walaupun secara etimologis (sisi kebahasaan) ia dapat disebut sebagai bid'ah.

Dari sini kita pahami ucapan Khalifah Umar bin al-Khathab sesaat setelah engeluarkan Inpres (mungkin lebih tepatnya: "inkhal" [instruksi khalifah]) tentang pelaksanaan shalat tarawih berjamaah: "Alangkah baiknya bid'ah ini". Dalam kesempatan lain, beliau berkata: "Kalaulah ini merupakan sebuah bid'ah, maka alangkah baiknya bid'ah ini".

Demikian juga saat khalifah Utsman bin Affan mengeluarkan Inpres (atau inkhal) yang isinya menambah satu adzan dalam pelaksanaan shalat Jumat. Shahabat Abdullah bin Umar menyatakan bahwa apa yang dilakukan menantu Rasulullah ini (Utsman menikah dengan Ruqayyah lalu dengan Ummu Kultsum yang keduanya adalah puteri Rasulullah) adalah sebuah bid'ah.

Menariknya, semua shahabat menyambut "bid'ah" Umar dan Utsman ini, dan bahkan seluruh umat Islam mengamalkannya hingga kini. Dan saya yakin, bahwa tidak seorang pun menganggap Umar dan Utsman sesat, apalagi berani memvonis keduanya sebagai penghuni neraka, mengingat bahwa Rasulullah telah menjamin keduanya masuk surga.

Baik shalat tarawih berjamaah maupun adzan Jumat dua kali, kedua "bid'ah" ini telah dilakukan oleh kaum muslimin sampai sekarang dan hampir di seluruh dunia.

Sekarang saya inngin bertanya kepada antum: Adakah orang yang menganggap sesat dua "bid'ah" ini?! Yang kemudian menganggap semua orang selain dirinya (dan beberapa gelintir orang sepertinya) sebagai orang sesat!

Saya setuju dengan al-Syafi'i yang membagi bid'ah dalam dua kategori: Dhalalah (sesat) dan Hasanah (baik). Secara sederhana, bid'ah dhalalah didefinisikan sebagai bid'ah yang bertentangan dengan empat komponen sumber hukum, yaitu: al-Qur`an, hadis, ijma' atau konsensus umat Islam (karena kaum muslimin tidak mungkin melakukan konspirasi global menciptakan kedustaan dan kesalahan), dan qiyas (analogi hukum yang mirip dengan yurisprudensi hukum). Sementara ketika bid'ah itu tidak bertentangan dengan empat komponen tersebut, maka dia dikategorikan sebagai
bid'ah lughawi (etimologis) yang hasanah.

Rasulullah wafat, sementara al-Qur`an belum terkodifikasikan (terbukukan) dalam sebuah mushaf. Kalifah Abu Bakar kemudian melakukan kodofikasi mushaf atas inisiatif Umar bin al-Khathab. Sebenarnya khalifah Abu Bakar menolak usulan Umar, dengan alasan bahwa Rasulullah tidak melakukannya semasa beliau hidup. Namun Umar dapat meyakinkannya dengan banyak argumentasi yang logis.

Kita bisa bayangkan semisal Khalifah Abu Bakar menolak "bid'ah" pembukuan al-Qur`an, bagaimana caranya orang non Arab, bahkan orang Arab sendiri yang tidak hafal
la-Qur`an, membaca dan mengkaji al-Qur`an.

Kemudian al-Qur`an hasil kodifikasi ini mengalami penyempurnaan (tanpa distorsi dan perubahan sedikitpun) di masa Khalifah Utsman bin Affan. Namun demikian masalah masih timbul, karena ada beberapa orang yang salah membaca al-Qur`an akibat tidak ada titik yang membedakan antara satu huruf dengan huruf lainnya, dan tanda baca (harakat). Sehingga Khalifah Ali bin Abu Thalib berinisiatif memberikan kaedah berupa titik dan tanda baca. Dan termasuk bid'ah adalah belajar bahasa Arab yang zaman Rasulullah tidak ada. Padahal mustahil seseorang mampu mempelajari al-Qur`an tanpa menguasai bahasa dan sastra Arab.

Beberapa orang mendifinisikan bid'ah sebagai perbuatan yang tidak pernah dilakukan Rasulullah, walaupun ada dalil yang membolehkannya. Definisi ini lemah secara argumentatif dan empiris, di mana kita semua mengetahui bahwa Rasulullah adalah sosok manusia sederhana dan seringkali meninggalkan hal-hal yang sebenarnya halal. Misalnya memakan "Dhabb" yang sering diterjemahkan sebagai biawak. Rasulullah tidak
memakannya sementara para shahabat mengkonsumsinya. Saat ditanya, Rasulullah menjelaskan bahwa beliau tidak memakannya karena tidak berselera.

Dan sependek pengamatan saya, Rasulullah tidak pernah melakukan shalat tahiyyatul masjid, padahal beliau mengajarkan umatnya untuk melaksanakan shalat tahiyyat
masjid setiap kali seseorang memasuki masjid sebelum ia melakukan aktivitas atau duduk. Beliau juga tidak pernah mengumandangkan adzan dan iqamat (Bilal bin
Rabah dan Abdullah bin Ummu Maktum adalah shahabat petugas adzan dan iqamat).
Apakah shalat tahiyyat masjid, adzan, dan Iqamat merupakan bid'ah? Saya pikir orang yang menganggap bid'ah sebagai perbuatan yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah, ia akan menolak menyebut shalat tahiyyat, adzan dan iqamat sebagai bid'ah yang sesat.

Ada juga orang yang menganggap bid'ah sebagai perbuatan yang tidak dia ketahui dalilnya. Padahal bacaannya sangat terbatas, bahkan seringkali ia adalah orang yang hanya membaca buku-buku terjemahan. Misalnya doa bersama (berjamaah) sering dianggap sebagai bid'ah oleh sebagian orang, padahal dalam hadis yang diriwayatkan oleh al-Thabrani dalam kitab al-Mu'jam al-Kabir, al-Mundziri dalam kitab al-Targhib
wa al-Tarhib, dan al-Hakim dalam kitab al-Mustadrak, Rasulullah bersabda, "Tidak berkumpul sekelompok orang, kemudian sebagian mereka berdoa dan sebagian
yang lain mengamininya, kecuali Allah akan mengabulkan doanya".
Beberapa orang yang membid'ahkan doa bersama (bukan doa bersama orang kafir) kemungkinan besar tidak membaca ketiga kitab ini, apalagi mengenal sosok pengarangnya.

'Izzuddin membagi bid'ah dalam lima bagian: Wajib, Sunnah, Mubah, Makruh, dan Haram. Hal ini sesuai dengan beberapa kriteria yang dia jelaskan secara gamblang.

Ada sebagian kelompok yang puritan menghendaki pemurnian Islam dari bidah. Hal ini tentu merupakan hal yang sangat baik dan dianjurkan oleh Agama. Namun sayangnya, kehendak ini tidak dibarengi dengan keilmuan yang cukup, dan etika yang seharusnya menjadi ciri orang yang beriman. Beberapa pihak, tanpa melakukan tabayyun (konfirmasi) memvonis sesuatu sebagai sebuah kesesatan. Bahkan ada kelompok yang
gemar mengulas masalah khilafiiah (perbedaan pendapat) yang ada di antara ulama, dan menyampaikannya pada kalangan awam sehingga tidak jarang menimbulkan pertikaian. Saya berdoa semoga kita tidak termasuk kelompok orang semacam ini. Karena pertikaian di antara umat Islam tidak menghasilkan kebaikan. Juatru hal inilah yang diinginkan kaum kafir yang memusuhi Islam beserta kaum muslimin. Tenaga kita seringkalihabis terpakai untuk bertikai, bukan untuk menemukan varietas unggulan agar petani dapat panen jagung tiap bulan. Kita juga lebih suka mengutik-utik jumlah rakaat shalat tarawih dari pada membahas penanggulangan banjir. Padahal, Rasulullah tidak pernah membatasi jumlah rakaat shalat tarawih.

Saran saya, perselisihan pendapat yang ada di antara para ulama, biarkan saja dibahas oleh ulama. Kita yang bukan ulama lebih baik diam dan tidak mengeluarkan
statement apa-apa. Kita lakukan aktivitas lain yang lebih berguna dari pada sekedar "menilai pendapat ulama". Dalam al-Hawi, Al-Suyuthi berkata, "Kalaulah orang-orang yang bodoh itu mau diam, niscaya akan berkurang perselisihan di tengah kaum muslimin".

Allah A'lam

Tidak ada komentar: