ME...

ME...
MUSCAT-OMAN 2005

Jumat, 26 Desember 2008

INTERNASIONALISASI PENDIDIKAN ISLAM: REFLEKSI SEORANG ALUMNI

“Idealisme dan pragmatisme adalah dua hal yang melekat pada diri setiap manusia”.

Internasionalisasi pendidikan bisa dipahami sebagai sebuah proses yang dilakukan secara sistematis dengan dukungan pemerintah untuk menjadikan sebuah program pendidikan bertaraf internasional.

Dalam konteks Indonesia, pada tahun 2007 Times Higher Education memasukkan tiga perguruan tinggi (PT) Indonesia ke dalam peringkat 400 terbaik dunia, yaitu Universitas Indonesia (ke-250), Institut Teknik Bandung (ke-258), dan Universitas Gadjah Mada (ke-270). Masuknya tiga universitas dalam daftar peringkat universitas terbaik di dunia ini menandakan adanya pengakuan internasional.

Pencapaian ini, tentu harus diapresiasi. Namun mengingat jumlah PT di Indonesia yang relatif banyak (lebih dari 2.500 dengan 100 di antaranya berstatus negeri atau PTN, dan lebih dari 13.000 program studi atau prodi), rasanya tiga PT ini memang belum representatif.

Untuk menjadi lembaga pendidikan yang bertaraf internasional, setidaknya ada enam komponen dasar yang harus dipenuhi oleh sebuah PT:

Pertama, paradigma pengelolaan yang berbasis peningkatan keunggulan kompetitif. Dalam hal ini, PT melakukan transformasi yang memungkinkannya mengelola potensi, imajinasi dan kreativitas secara otonom dan fleksibel. Peraturan pemerintah yang cenderung “one size fits all” perlu dikaji ulang, dan mata kuliah yang seringkali dianggap sebagai “pelengkap” nasionalisme perlu direformasi.

Kedua, evaluasi dan refleksi internal guna menyadari kelebihan dan kekurangan lembaga. Masing-masing PT memiliki kelebihan dan kekurangannya, bahkan fakultas dan prodi dalam satu universitas bisa jadi memiliki daya unggul yang berbeda. Pada tahap awal, PT mengembangkan prodi yang paling hebat dan “marketable”. Kemudian prodi-prodi lain melakukan komparasi mutu pada prodi tersebut. Pengembangan prodi ini dilakukan secara sistematis dan berkelanjutan. Komparasi juga dilakukan dengan PT asing yang telah terakreditasi dunia (mendapat pengakuan internasional).

Ketiga, membangun kemitraan dan kerja sama internasional dengan PT-PT asing dan lembaga lain yang relevan. Isi dari kerja sama bisa berupa pertukaran mahasiswa dan dosen, komparasi kurikulum, seminar bersama, penelitian bersama, publikasi bersama, dan pemberian beasiswa.

Keempat, pencitraan bagus di luar negeri yang pada akhirnya menarik mahasiswa dari luar negeri untuk mendaftar.

Kelima, kehadiran dosen dan mahasiswa asing. Jika mempekerjakan dosen asing masih belum terjangkau, maka cara yang mungkin dilakukan adalah pertukaran dosen yang dilakukan melaui MoU yang melibatkan pemerintah. Dalam konteks Indonesia, birokrasi yang bertele-tele bisa menjadi hambatan terwujudnya program pertukaran dosen. Melibatkan pemerintah dalam perumusan MoU bisa memberikan solusi dan keuntungan tersendiri.

Keenam, penggunaan media informasi dan teknologi (IT) yang optimal. IT yang disediakan bisa diakses dengan mudah oleh sivitas akademika PT. Ada empat hal yang perlu diimplementasikan dalam rangka optimalisasi IT:
a. Efisiensi birokrasi dalam proses pendidikan dan transaksi. Hambatan-hambatan birokrasi yang tidak perlu harus dihilangkan, seperti panjangnya “meja” yang harus dikunjungi untuk sekedar mendapatkan tanda tangan dekan atau rektor.
Termasuk dalam kategori efisiensi adalah adanya anjungan informasi mahasiswa (semacam sistem informasi satu atap) yang mudah diakses, dan penyediaan informasi berbasis website, termasuk pengisian adminsitrasi tanpa harus mencetak kertas (paper less).
b. Simplikasi atau menyederhanakan proses, misalnya dengan membuka layanan SMS gateaway di mana mahasiswa dapat memperoleh informasi akademis dengan cepat, murah, dan murah.
c. Integrasi dalam artian sistem informasi terpadu antara rektorat, dekanat, tata usaha dan bagian lain yang terkait. Integrasi ini bisa meniadakan data ganda yang berbeda antara rektorat dengan dekanat.
d. Automatikasi seperti perpustakan digital (e-catalog dan e-library), serta pengisian KRS online.


Mengapa Harus Internasionalisasi?!

Internasionalisasi Pendidikan seringkali dipahami sebagai sebuah keniscayaan dari globalisasi di mana setiap lembaga pendidikan akan berupaya memberikan keunggulan kompetitifnya. Internasionalisasi pendidikan diharapkan membuka akses ilmu secara global, memperbesar peluang berpartisipasi dalam penelitian berskala internasional, memunculkan pengakuan global terhadap out put (lulusan, karya tulis dan hasil penelitian).

Namun, internasionalisasi pendidikan bukan tanpa bahaya. Ia memunculkan dualisme pendidikan yang jika tidak dikelola dengan benar bisa membelokkan tujuan dari pendidikan itu sendiri. Dualisme ini berupa orientasi terhadap nilai-nilai lokal (nasional) dan internasional sekaligus. Dominasi nilai-nilai internasional bisa menipiskan rasa kebangsaan dan jati diri bangsa. Alih-alih melestarikan budaya dan kearifan lokal dalam bingkai pendidikan nasional, kita justru menghilangkan identitas bangsa atas nama internasionalisasi pendidikan. Seyogyanya, internasionalisasi pendidikan bertujuan untuk melestarikan jati diri dan nilai-nilai bangsa, dengan disertai pengembangan kemampuan kompetitif global yang progresif.

Dalam konteks pedidikan Islam, dinamika yang timbul lebih kompleks karena adanya nilai transedental yang ditransformasikan. Nilai-nilai ketuhanan (eskatologi) yang dogmatis dan statis dihadapkan pada dinamika sains dan IT. Maka opsi yang relevan adalah pengajaran agama dengan berbasiskan IT, bukan “liberalisasi agama”
yang menghilangkan nilai transedentalnya.

Internasionalisasi pendidikan harus dipahami sebagai semangat dalam meningkatkan mutu pendidikan bangsa. Ia sama sekali bukan untuk mempercepat privatisasi pendidikan yang pada akhirnya membuat pendidikan itu sendiri menjadi mahal dan tidak bisa diikuti oleh kebanyakan anak bangsa. Banyaknya sarana dan prasarana yang perlu dilengkapi dalam internasionalisasi pendidikan, jangan sampai memberatkan mahasiswa. Dinamika yang muncul di PTN yang mentransformasikan diri menjadi BHMN (Badan Hukum), memunculkan kekhawatiran bahwa PT memang mulai cenderung market driven (mengejar pangsa pasar). Konversi IAIN/STAIN menjadi UIN juga bisa dijadikan pembenaran atas asumsi bahwa peningkatan kualitas pendidikan selalu linier dengan peningkatan beban dan biaya yang harus dikeluarkan peserta didik.

Bagi saya, setiap PT pasti akan dihadapkan pada tuntutan atau orientasi pendidikan yang seringkali tidak sejalan, yaitu tuntutan idealistik berupa terbentuknya manusia “yang baik” dan tuntutan pragmatik dari dunia kerja. Idealisme dan pragmatisme adalah dua hal yang melekat pada setiap manusia. Kedua “isme” ini bisa diraih bersamaan, ketika PT menyediakan pendidikan mencerdaskan yang membuka banyak peluang kerja.

Tulisan ini adalah refleksi saya sebagai alumni Fakultas Dirasat Islamiyah (FDI) Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, sehingga sangat mungkin tidak sesuai dengan pandangan anda.
Allah A’lam
______________________
catatan:

1. Makalah disampaikan pada Seminar “Menuju Internasionalisasi Program Studi Islam” di Fakultas Dirasat Islamiyah, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Sabtu 20 Desember 2008
2. Penulis adalah alumni Fakultas Dirasat Islamiyah tahun 2004, sekarang mengajar di IPTIQ, IIQ, dan SMART Ekselensia Indonesia Dompet Dhuafa (andiwowo.blogspot.com)
3. peringkat universitas dunia bisa dilihat di: www.topuniversities.com/worlduniversityrankings/results/2007/overall_rankings/top_400_universities/. Tertanggal 19 Desember 2008
4. Kriteria yang dipakai Times Higher Education untuk mengukur peringkat PT di antaranya adalah penilaian PT sejawat (peer reviewing), penilaian pegawai (employer review), pegawai asing (international staff), mahasiswa asing (international student), rasio mahasiswa dan dosen, citation atau karya tulis dosen yang dikutip di forum dunia.

Kamis, 11 Desember 2008

MEMBICARAKAN BID'AH

Rasulullah bersabda, "...Takutlah kamu akan al-muhdatsat (inovasi-inovasi baru), Karena semua muhdatsat adalah bid'ah, dan semua bid'ah adalah kesesatan". Hadis ini diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Dawud, al-Tirmidzi, Ibn Majah dan al-Darimi dengan
redaksional berbeda namun tidak merubah substansi matan (isi hadis).

Berikut adalah kualitas para perawi hadis yang ada dalam mata rantai sanad Hadis yang diriwayatkan oleh Ahmad Bin Hanbal:

1. al-Dhahhak bin Makhlad bin al-Dhahhak al-Syaybani, generasi junior atba' tabi'in, meninggal tahun 212 H. Dia memiliki banyak guru di antaranya Tsaur Bin Yazid
dan Ibrahim bin Umar bin Kysan. Dan memiliki banyak murid di antaranya Ahmad Bin Hanbal dan Ibrahim bin Dinar.

Al-Dhahhak adalah sosok perawi yang "tsiqah tsabat" (sangat terpercaya dan sangat cermat), sehingga semua Hadis yang diriwayatkan darinya memiliki kualitas shahih. Berikut adalah penilaian beberapa ulama hadis atasnya:

a. menurut Yahya bin Ma'in: dia (al-Dhahhak) adalah rawi yang tsiqat (terpercaya)
b. menurut al-'Ijly: dia adalah rawi yang tsiqat
c. menurut Muhammad bin Sa'd: dia adalah rawi yang tsiqat
d. menurut Abu Hatim al-Razi: dia adalah rawi yang tsiqat
e. menurut Ibn Hibban al-Busti: dia adalah rawi yang tsiqat.

2. Tsaur Bin Yazid bin Ziyad al-Kalla'iy, generasi senior atba' tabi'in, meninggal tahun 150 H.

Dia memiliki beberapa guru di antaranya Khalid Bin Ma'dan dan Abu Humaid, dan memiliki beberapa murid di antaranya Al-Dhahhak Bin Makhlad dan Ahmad bin Ali.
Tsaur sempat dituduh memiliki faham "qadariyyah", namun demikian, beliau dinilai sebagai sosok rawi yang tsiqat tsabat. Berikut beberapa komentar ulama atas
dirinya:

a. menurut Yahya bin Said al-Qhathan: dia adalah rawi yang tsiqat
b. menurut Ibn Ishak: dia adalah rawi yang tsiqat.
c. menurut Yahya bin Ma'in: dia adalah rawi yang tsiqat
d. menurut Ahmad bin Hanbal: dia adalah rawi yang "baik" (laysa bihi ba`s)

3.Khalid bin Ma'dan bin Abu Karb al-Kalla'iy, generasi pertengahan tabi'in, meninggal pada tahun 104 H. dia memiliki beberapa guru yang adalah Abdurrahman Bin 'Amr dan Ahzab bin Asid, dan ia memiliki beberapa murid yang di antaranya adalah Tsaur Bin Yazid dan Ahwash bin Hakim. Khalid adalah sosok perawi tsiqah yang sering melakukan "irsal" (menyembunyikan nama perawi shahabat). Berikut adalah komentar ulama tentang dirinya:

a. menurut al-'Ijly: dia adalah rawi yang tsiqat
b. manurut al-Nasa'i: dia adalah rawi yang tsiqah
c. menurut Muhamad bin Sa'd: dia adalah rawi yang Tsiqah
d. menurut Ibn Hibban: dia adalah rawi yang tsiqah

4. Abdurrahman bin 'Amr al-Sullamy, generasi pertengahan tabi'in, meninggal tahun 110 H. dia memiliki beberapa guru yang di antaranya adalah Abu Najih 'Irbath Bin Sariyah, sementara di antara muridnya ada yang bernama Khalid Bin Ma'dan. Abdurrahman adalah sosok rawi yang kurang baik atau "maqbul". Berikut komentar beberapa ulama atas
dirinya:

a. menurut Ibn Hibban: dia adalah rawi yang tsiqah
b. menurut al-Hakim: dia adalah rawi yang shahih
c. menurut al-Dzahabi: dia adalah rawi yang shaduq
d. Yahya bin al-Qathan menganggapnya sosok perawi yang tidak dikenal

5. Irbath Bin Sariyah seorang shahabat yang memiliki beberapa murid, di antaranya adalah Abdurrahman Bin 'Amr

Dengan melakukan "kritik sanad" (kajian atas kualitas sanad/perawi hadis), kita ketahui bahwa nilai hadis ini adalah hasan (semi shahih). Dalam hal ini, al-Tirmidzi menyatakan bahwa kualitas hadis ini adalah "hasan-shahih". Ringkasnya, hadis ini dapat dijadikan hujjah.

Mungkin anda merasa asing dengan beberapa istilah yang saya tulis (misalnya tabi'in, atba' tabi'in, qadariyyah, dsb). Dan saya pikir hal itu merupakan sebuah kelumrahan, karena kajian hadis masih minim di negeri kita.
'Ala kulli hal, saya akan lebih memfokuskan pembahasan kita pada isi (matan) hadisnya.

Tidak semua kata "kullu" sebagaimana yang terdapat dalam matan hadis dimaknai "semua". Demikian juga "kullu" yang ada dalam "hadis bid'ah" ini tidak dapat di artikan sebagai "semua". (Silahkan cermati ayat 260 Surat al-Baqarah yang menggunakan kata "kullu" dengan arti "sebagian", yaitu nabi ibrahim hanya meletakan potongan burung di empat gunung, bukan di seluruh gunung)

Dari sini beberapa ulama menyatakan bahwa "kullu" yang ada dalam "hadis bid'ah" memiliki faedah "al-Tab'idh" yang artinya "sebagian". Sehingga arti "kullu bid'ah dhalalah" adalah bahwa "sebagian bid'ah adalah kesesatan".

Al-Kahthabi menyatakan bahwa maksud hadis di atas adalah bahwa semua bid'ah yang tidak memiliki dalil (al-Qur`an dan hadis) adalah kesesatan. sementara bid'ah yang memiliki dalil tidak dapat dikategorikan sebagai kesesatan, walaupun secara etimologis (sisi kebahasaan) ia dapat disebut sebagai bid'ah.

Dari sini kita pahami ucapan Khalifah Umar bin al-Khathab sesaat setelah engeluarkan Inpres (mungkin lebih tepatnya: "inkhal" [instruksi khalifah]) tentang pelaksanaan shalat tarawih berjamaah: "Alangkah baiknya bid'ah ini". Dalam kesempatan lain, beliau berkata: "Kalaulah ini merupakan sebuah bid'ah, maka alangkah baiknya bid'ah ini".

Demikian juga saat khalifah Utsman bin Affan mengeluarkan Inpres (atau inkhal) yang isinya menambah satu adzan dalam pelaksanaan shalat Jumat. Shahabat Abdullah bin Umar menyatakan bahwa apa yang dilakukan menantu Rasulullah ini (Utsman menikah dengan Ruqayyah lalu dengan Ummu Kultsum yang keduanya adalah puteri Rasulullah) adalah sebuah bid'ah.

Menariknya, semua shahabat menyambut "bid'ah" Umar dan Utsman ini, dan bahkan seluruh umat Islam mengamalkannya hingga kini. Dan saya yakin, bahwa tidak seorang pun menganggap Umar dan Utsman sesat, apalagi berani memvonis keduanya sebagai penghuni neraka, mengingat bahwa Rasulullah telah menjamin keduanya masuk surga.

Baik shalat tarawih berjamaah maupun adzan Jumat dua kali, kedua "bid'ah" ini telah dilakukan oleh kaum muslimin sampai sekarang dan hampir di seluruh dunia.

Sekarang saya inngin bertanya kepada antum: Adakah orang yang menganggap sesat dua "bid'ah" ini?! Yang kemudian menganggap semua orang selain dirinya (dan beberapa gelintir orang sepertinya) sebagai orang sesat!

Saya setuju dengan al-Syafi'i yang membagi bid'ah dalam dua kategori: Dhalalah (sesat) dan Hasanah (baik). Secara sederhana, bid'ah dhalalah didefinisikan sebagai bid'ah yang bertentangan dengan empat komponen sumber hukum, yaitu: al-Qur`an, hadis, ijma' atau konsensus umat Islam (karena kaum muslimin tidak mungkin melakukan konspirasi global menciptakan kedustaan dan kesalahan), dan qiyas (analogi hukum yang mirip dengan yurisprudensi hukum). Sementara ketika bid'ah itu tidak bertentangan dengan empat komponen tersebut, maka dia dikategorikan sebagai
bid'ah lughawi (etimologis) yang hasanah.

Rasulullah wafat, sementara al-Qur`an belum terkodifikasikan (terbukukan) dalam sebuah mushaf. Kalifah Abu Bakar kemudian melakukan kodofikasi mushaf atas inisiatif Umar bin al-Khathab. Sebenarnya khalifah Abu Bakar menolak usulan Umar, dengan alasan bahwa Rasulullah tidak melakukannya semasa beliau hidup. Namun Umar dapat meyakinkannya dengan banyak argumentasi yang logis.

Kita bisa bayangkan semisal Khalifah Abu Bakar menolak "bid'ah" pembukuan al-Qur`an, bagaimana caranya orang non Arab, bahkan orang Arab sendiri yang tidak hafal
la-Qur`an, membaca dan mengkaji al-Qur`an.

Kemudian al-Qur`an hasil kodifikasi ini mengalami penyempurnaan (tanpa distorsi dan perubahan sedikitpun) di masa Khalifah Utsman bin Affan. Namun demikian masalah masih timbul, karena ada beberapa orang yang salah membaca al-Qur`an akibat tidak ada titik yang membedakan antara satu huruf dengan huruf lainnya, dan tanda baca (harakat). Sehingga Khalifah Ali bin Abu Thalib berinisiatif memberikan kaedah berupa titik dan tanda baca. Dan termasuk bid'ah adalah belajar bahasa Arab yang zaman Rasulullah tidak ada. Padahal mustahil seseorang mampu mempelajari al-Qur`an tanpa menguasai bahasa dan sastra Arab.

Beberapa orang mendifinisikan bid'ah sebagai perbuatan yang tidak pernah dilakukan Rasulullah, walaupun ada dalil yang membolehkannya. Definisi ini lemah secara argumentatif dan empiris, di mana kita semua mengetahui bahwa Rasulullah adalah sosok manusia sederhana dan seringkali meninggalkan hal-hal yang sebenarnya halal. Misalnya memakan "Dhabb" yang sering diterjemahkan sebagai biawak. Rasulullah tidak
memakannya sementara para shahabat mengkonsumsinya. Saat ditanya, Rasulullah menjelaskan bahwa beliau tidak memakannya karena tidak berselera.

Dan sependek pengamatan saya, Rasulullah tidak pernah melakukan shalat tahiyyatul masjid, padahal beliau mengajarkan umatnya untuk melaksanakan shalat tahiyyat
masjid setiap kali seseorang memasuki masjid sebelum ia melakukan aktivitas atau duduk. Beliau juga tidak pernah mengumandangkan adzan dan iqamat (Bilal bin
Rabah dan Abdullah bin Ummu Maktum adalah shahabat petugas adzan dan iqamat).
Apakah shalat tahiyyat masjid, adzan, dan Iqamat merupakan bid'ah? Saya pikir orang yang menganggap bid'ah sebagai perbuatan yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah, ia akan menolak menyebut shalat tahiyyat, adzan dan iqamat sebagai bid'ah yang sesat.

Ada juga orang yang menganggap bid'ah sebagai perbuatan yang tidak dia ketahui dalilnya. Padahal bacaannya sangat terbatas, bahkan seringkali ia adalah orang yang hanya membaca buku-buku terjemahan. Misalnya doa bersama (berjamaah) sering dianggap sebagai bid'ah oleh sebagian orang, padahal dalam hadis yang diriwayatkan oleh al-Thabrani dalam kitab al-Mu'jam al-Kabir, al-Mundziri dalam kitab al-Targhib
wa al-Tarhib, dan al-Hakim dalam kitab al-Mustadrak, Rasulullah bersabda, "Tidak berkumpul sekelompok orang, kemudian sebagian mereka berdoa dan sebagian
yang lain mengamininya, kecuali Allah akan mengabulkan doanya".
Beberapa orang yang membid'ahkan doa bersama (bukan doa bersama orang kafir) kemungkinan besar tidak membaca ketiga kitab ini, apalagi mengenal sosok pengarangnya.

'Izzuddin membagi bid'ah dalam lima bagian: Wajib, Sunnah, Mubah, Makruh, dan Haram. Hal ini sesuai dengan beberapa kriteria yang dia jelaskan secara gamblang.

Ada sebagian kelompok yang puritan menghendaki pemurnian Islam dari bidah. Hal ini tentu merupakan hal yang sangat baik dan dianjurkan oleh Agama. Namun sayangnya, kehendak ini tidak dibarengi dengan keilmuan yang cukup, dan etika yang seharusnya menjadi ciri orang yang beriman. Beberapa pihak, tanpa melakukan tabayyun (konfirmasi) memvonis sesuatu sebagai sebuah kesesatan. Bahkan ada kelompok yang
gemar mengulas masalah khilafiiah (perbedaan pendapat) yang ada di antara ulama, dan menyampaikannya pada kalangan awam sehingga tidak jarang menimbulkan pertikaian. Saya berdoa semoga kita tidak termasuk kelompok orang semacam ini. Karena pertikaian di antara umat Islam tidak menghasilkan kebaikan. Juatru hal inilah yang diinginkan kaum kafir yang memusuhi Islam beserta kaum muslimin. Tenaga kita seringkalihabis terpakai untuk bertikai, bukan untuk menemukan varietas unggulan agar petani dapat panen jagung tiap bulan. Kita juga lebih suka mengutik-utik jumlah rakaat shalat tarawih dari pada membahas penanggulangan banjir. Padahal, Rasulullah tidak pernah membatasi jumlah rakaat shalat tarawih.

Saran saya, perselisihan pendapat yang ada di antara para ulama, biarkan saja dibahas oleh ulama. Kita yang bukan ulama lebih baik diam dan tidak mengeluarkan
statement apa-apa. Kita lakukan aktivitas lain yang lebih berguna dari pada sekedar "menilai pendapat ulama". Dalam al-Hawi, Al-Suyuthi berkata, "Kalaulah orang-orang yang bodoh itu mau diam, niscaya akan berkurang perselisihan di tengah kaum muslimin".

Allah A'lam

Rabu, 10 Desember 2008

IJTIHAD, TAQLID, TALFIQ DAN IFTA`

الاجتهاد

تعريف الاجتهاد
الاحتهاد لغة تحمل الجهد (بفتح الجيم المعجمة) يعني المشقة، وقيل استغراق الجهد (بالضم) وهو الطاقة. ولا يستعمل كلمة الاجتهاد إلا فيما فيه كلفة وجهد، لذا نقول اجتهد في حمل الأحجار ولا نقول اجتهد في حمل خردلة.
وهو في اصطلاح الأصوليين استغراق الجهد لتحصيل حكم شرعي فرعي عن دليله. قيد الحكم في هذا التعريف بالشرعي لإخراج الحكم العقلي والحسي، وقيد بالفرعي لإخراج الأحكام الأصلية إذ إنها قطعيات وليس للمجتهد فيها مجال.
فالاجتهاد مشروع ومطلوب في كل عصر ومكان، وذلك لأن الوحي المتلو لن ينزل بعد وفاة الرسول صلى الله عليه وسلم، فالاجتهاد هو الذي جعل الشريعة صالحة في كل زمان ومكان. فلا يخلو عصر من العصور من المجتهدين.

حكم الاجتهاد
تلحق الاجتهاد أحكام أربعة:
الأول الوجوب العيني على مسؤول عن حادثة وقعت وخاف فوتها وكذلك من يعرف الحادثة وليس هناك من يعرف حكمها غيره. ثم إن كانت الحادثة قد حصلت له شخضيا وأراد معرفة حكمها فالاجتهاد في حقه أيضا واجب فالمجتهد لا يقلد غيره في حق نفسه.
الثاني الوجوب الكفائي على مسؤول لم يخف فوت الحادثة وهناك غيره من المجتهدين. فإذا تركوه أثموا كلهم، وإن أفتى بعضهم سقط الطلب عن جميعهم
الثالث الندب وذلك في الاجتهاد في حكم حادثة لم تحصل سواء سئل عنها أم لم يسأل
الرابع الحرمة لمن ليس له علم ولم يتوفر فيه شروط الاجتهاد مع وجود من توفرت فيه شروط الاجتهاد. فالجاهل حين سئل أفتى من غير علم فضل وأضل.
فالاجتهاد ليس حقا مشاعا لجميع الناس كما يزعمه بعض الناس، فيتجرأ عليه كل إنسان. وإنما هو اختصاص دقيق جدا لا يتهيأ إلا لفئة قليلة من العلماء البارعين الذين استكملوا أوصافا معينا تؤهلهم لاستنباط الحكم الشرعي من دليله. قال الله تعالى "وما كان المؤمنون لينفروا كافة فلولا نفر من كل فرقة منهم طائفة ليتفقهوا في الدين ولينذروا قومهم إذا رجعوا إليهم لعلهم يحذرون" (سورة التوبة الأية 122).

شروط المجتهد
والاجتهاد واجب لمن توفرت فيه شروط الاجتهاد وذلك لأن الاجتهاد من الدين حيث قال الرسول صلى الله عليه وسلم لمعاذ بن جبل حين بعثه إلى اليمن "كيف تقضي إذا عرض لك قضاء قال أقضي بكتاب الله قال فإن لم تجد في كتاب الله قال فبسنة رسول الله صلى الله عليه وسلم قال فإن لم تجد في سنة رسول الله صلى الله عليه وسلم ولا في كتاب الله قال أجتهد رأيي ولا آلو فضرب رسول الله صلى الله عليه وسلم صدره وقال الحمد لله الذي وفق رسول رسول الله لما يرضي رسول الله" (رواه أبو داود والترمذي من حديث منقطع صحيح محتف بالقرائن)
واشترط للمجتهد المطلق وهو المستقل بالمذهب كأبي حنيفة ومالك والشافعي وأحمد بن حنبل شروطا كالآتية:
أولا أن يكون عالما باللغة العربية والمعاني اللغوية إفرادا وتركيبا، ويعلم قواعد الصرف والنحو والبلاغة على وجه يتيسر به فهم خطاب العرب وعادتهم في الاستعمال. فيعلم المجتهد صريح الكلام وحقيقته ومجازه .
وإنما كان تعلم اللغة العربية على هذا الوجه ضروريا للمجتهد لأن النصوص الشريعة وردت بلسان العرب فلا يمكن فهمها واستفادة الأحكام منها إلا بمعرفة اللسان العربي والإحاطة بأساليبها وأسرارها البلاغية والبيانية.
ثانيا أن يكون عالما بالكتاب وهو أصل الأصول ومرجع كل دليل. والمجتهد يميز بين ناسخ الأية ومنسوخها وعامها وخاصها ومحكمها ومتشابهها ومطلقها ومقيدها ومنطوقها ومفهومها وما إلى ذلك.
ولا يشترط حفظ القرآن عن ظهر قلب بل أن يكون عالما بمواضع الآيات بحيث يمكنه أن يرجع إلى الأية المطلوبة بسهولة عند الحاجة
ثالثا أن يحيط بالسنة سندا ومتنا وأسباب ورود الحديث ومعرفة أحوال الرواة والجرح والتعديل وعلل الحديث وأقوال العلماء في حكم الحديث وشرحهم. وقيل يكفي ذلك الاعتماد على ما قرره أئمة الحديث كالبخاري ومسلم وأحمد بن حنبل لتعذر الاطلاع على على حقيقة أحوال الرواة على من لم يمارس السند ونقده.
وقال الغزالي وجماعة من الأصوليين إنه يكفي أن يكون عند المجتهد علم بمواقع كل باب فيراجعه عند الحاجة.
رابعا أن يعلم موارد الإجماع المنعقد قبله لئلا يجتهد بما يخالف. ولا يلزم إحاطته بعلم الفقه لأنه نتيجة الاجتهاد فلا يتقدمه إلا إذا أراد المقارنة بين اجتهاده واجتهاد غيره من الفقهاء.
خامسا أن يعلم وجوه القياس بشرائطها وأقسامها وأحكامها والمقبول منها أو المردود.
سادسا أن يكون عدلا لجواز الاعتماد على اجتهاده. ومن هذا القبيل حسن النية وسلامة الاعتقاد، فإن النية المخلصة تجعل القلب يستنير بنور الله تعالى فينفذ إلى لب هذا الدين الحكيم ويتجه إلى الحقيقة الدينية التي لا يبغي سواها ولا يقصد غيرها، وأن الله يلقي في قلب المؤمن المخلص بالحكمة.
وأما فاسد الاعتقاد بأن يكون ذا بدعة أو ذا هوى أو لا يتجه إلى النصوص بقلب سليم فإنه قد يسيطر على تفكيره ما يمنعه من الاستنباط الصحيح مهما تكن قوة تفكيره. لأن النية المعوجة تجعل الفكر معوجا. ونحن نجد الأئمة الأعلام كانوا ممن اشتهروا بالورع قبل أن يشتهروا بالفقه.
فإذا فقد شخص واحدا من هذه الشروط الخمسة فلا يتحقق الاجتهاد ولا يطلق عليه اسم المجتهد بل حرم عليه الاجتهاد. وإطلاق كلمة المجتهد في زماننا على من مارس فروع الفقه إنما هو إطلاق مجازي لا حقيقي.

مراتب الاجتهاد
قسم العلماء إلى مراتب ستة، أربعة منها يعدون مجتهدين والباقيتان مقلدين. وإدخال المرتبتين الأخيرتين في باب الاجتهاد لأجل التقسيمات فقط. وإليك بيان هذه التقسيمات:
المرتبة الأولى يسمى أصحابها المجتهدين المستقلين في الاجتهاد، ويشترط فيهم الشروط التي ذكرناها كلها. فليس أحد فيهم تابعا لأحد بل يرسمون المناهج لأنفسهم ويفرعون عليها الفروع التي يرونها. ومن هؤلاء فقهاء الصحابة كلهم وفقهاء التابعين أمثال سعيد بن المسيب وإبراهيم النخعي، والفقهاء المجتهدون مثل جعفر الصادق وأبوه محمد الباقر وأبو حنيفة ومالك والشافعي وأحمد والأوزاعي والليث بن سعد وسفيان الثوري وغيرهم كثيرين، وإن لم تصل إلينا مذاهبهم مجمعة مدونة مبوبة ولكن في ثنايا الكتب نجد آراءهم منقولة برواية لا دليل على كذبها.
وهناك تساؤل يتثور وهو هل يجوز هذا النوع من الاجتهاد في عصرنا الحاضر؟ فجوز بعضهم ومنع الآخرون.
والمرتبة الثانية المجتهدون المنتسبون الذين اختاروا أقوال الإمام في الأصل وخالفوه في الفرع وإن انتهوا إلى نتائج مشابهة في الجملة لما وصل إليه الإمام. ومن هؤلاء أبو يوسف في مذهب أبي حنيفة على خلاف من اعتبره مجتهدا مستقلا وتلميذه محمد بن الحسن وزفر، وفي المذهب الشافعي المزني، وفي المذهب المالكي عبد الرحمن بن القاسم وابن وهب.
قال النووي "ادعى الأستاذ أبو إسحاق (الاسفرايني) هذه الصفة لأصحابنا فحكى عن أصحاب مالك رحمه الله وأحمد وداود وأكثر الحنفية أنهم صاروا إلى مذاهب أئمتهم تقليدا لهم. والصحيح الذي ذهب إليه المحققون ما ذهب إليه أصحابنا وهو أنهم صاروا إلى مذهب الشافعي لا تقليدا لهم، بل إنهم لما وجدوا طريقته في الاجتهاد والقياس أسد الطرق ولم يكن لهم بد من الاجتهاد سلكوا طريقه فطلبوا معرفة الأحكام بطريق الشافعي. وذكر أبو علي السنجي (بكسر السين المهملة) نحو هذا فقال اتبعنا الشافعي دون غيره لأنا وجدنا قوله أرجح الأقوال وأعدلها لا أنا قلدناه. قلت: الذي ذكره موافق لما أمرهم به الشافعي ثم المزني في أول مختصره".
المرتبة الثالثة المجتهدون في المذهب الذين يتبعون الإمام في الأصول والفروع التي انتهى إليها. وإنما عملهم في استنباط أحكام المسائل التي لا رواية فيها عن الإمام. فلا يخلو عصر من العصور من هذا النوع من المجتهدين. وهم الذين قالوا إن عملهم في الاجتهاد هو تحقيق المناط أي تطبيق العلل الفقهية التي استخرجها سابقوهم فيما لم يعرض له السابقون من مسائل، وليس لهم أن يجتهدوا في مسائل قد نص عليها في المذهب إلا في دائرة معينة وهي التي يكون استنباط السابقين فيها مبنيا على اعتبارات لا وجود لها في عرف المتأخرين بحيث لو رأى السابقون ما يرى الحاضرون لأعرضوا عما قالوا.
المرتبة الرابعة المجتهدون المرجحون وهؤلاء لا يستنبطون أحكام فروع لا يجتهد فيها السابقون ولم يعرفوا حكمها كما أنهم لا يستنبطون أحكام مسائل لا يعرف حكمها، ولكن يرجحون بين الآراء المروية بوسائل الترحيج التي ضبطتها لهم المرتبة أعلاهم. فلهم أن يقرروا ترجيح بعض الأقوال على بعض بقوة الدليل أو الصلاحية للتطبيق بموافقة أحوال العصر ونحو ذلك مما لا يعد استنباطا جديدا مستقلا أو تابعا. وقد عد بعض العلماء المجتهدون في المذهب والمجتهدون المرجحون في نفس المرتبة، إذ أن الفرق بين هذه المرتبة والتي قبلها دقيق جدا.
فأهل هذه المرتبة يوازنون بين الأقوال والروايات فيقررون مثلا أن هذا القول أقيس من هذا وأن ذلك القول أصح رواية أو أقوى دليلا.
ولأهل هذه المراتب الأربعة ضرب من الاجتهاد، فالمرتبة الأولى لها الاجتهاد الكامل الموفور، والثانية لها اجتهاد في الفروع مطلقا وليس لها اجتهاد في الأصول في الجملة، والثالثة والرابعة لها اجتهاد في استخراج العلل ومناط الأحكام وتحقيق ذلك المناط في المسائل التي يتحقق فيها. والمرتبة الأخيرة اجتهادها محدود في تخيير الأقوال والروايات وهي في الحقيقة مقلدة بيد أن لها تفسيرا في المذهب ونشاطا عقليا فيه من غير أن تتجاوز إطاره أو تترك دائرته. ويمكننا أن نقول لها نوع اجتهاد بالترجيح الذي تتولاه.
وأما المرتبتين الخامسة والسادسة فهما مقلدتان ليس فيهما اجتهاد فقهي إلا الجمع والتدوين.
فالمرتبة الخامسة يسمونها محافظين التي تكون حجة في العلم بترجيحات السابقين ويقول فيهم ابن عابدين في المذهب الحنفي "إنهم القادرون على التمييز بين الأقوى والقوي والضعيف وظاهر الرواية وظاهر المذهب والرواية النادرة كأصحاب المتون المعتبرة كصاحب الكنز وصاحب الدر المختار وصاحب الوقاية وثاحب المجمع وشأنهم ألا ينقلوا في كتبهم الأقوال المردودة والروايات الضعيفة.
فعلمهم إذا ليس الترجيح ولكن معرفة ما رجح وترتيب درجة الترجيح على حسب ما قام به المرجحون. وقد يؤدي تعرف ترجيح المرجحين إل الحكم بينهم. وقد يرجح بعضهم رأيا لا يرجحه الآخر فيختار هو من أقوال المرجحين أقواها ترجيحا وأكثرها اعتمادا على أصول المذهب.
والمرتبة السادسة المقلدون وهي دون المراتب السابقة جميعا، وأهل هذه المرتبة الذين يستطيعون فهم الكتب ولا يستطيعون الترجيح بين الأقوال والروايات ولم يؤتوا علما بترجيح المرجحين وتمييز طبقات الترجيح، وقد وصفهم ابن عابدين بقوله لا يفرقون بين الغث والسمين ولا يميزون الشمال من اليمين بل يجمعون ما يجدون كحاطب ليل، فلا يجوز تقليدهم مطلقا.
وقد وجد في عصرنا قوم من هذا الصنف لا يتجهون إلا إلى الالتقاط من أقوال الفقهاء من غير تعرف لدليل ما يلتقطون بل يكتفون بأن يقولوا هناك قول بهذا. وقد كان عمل هذا الفريق له أثر في البيئات، فيسارع هؤلاء إلى قول يجدونه أيا كان قائله وأيا كانت قيمته ولو لم يعتمد على دليل واضح أو تفكير راجح، ثم ينثرون ذلك نثرا فضلوا وأضلوا.

ثمرة الاجتهاد
وأثر الاجتهاد الظن بالحكم على احتمال الخطأ في ذلك الحكم فلا يجري الاجتهاد في القطعيات أصولا وفروعا لأن الخطأ فيها غير محتمل لكونها موارد نصوص ولا مساغ للاجتهاد في مورد النص.
فالمجتهد قد يخطئ ولا يؤاخذ على خطئه بل يكون مأجورا لأنه استفرغ جهده في استنباط الحكم فلم يهتد إلى الحق لخطأ الدليل فأخطأ في اجتهاده. قال صلى الله عليه وسلم "إذا حكم الحاكم فاجتهد ثم أصاب فله أجران وإذا حكم فاجتهد ثم أخطأ فله أجر(متفق عليه عن عمرو بن العاص، وفي الباب عن عقبة بن عامر وأبي هريرة)

الاجتهاد لا يتجزأ
اختلف الأصوليون في اجتهاد من حصلت له ملكة في مسألة هل يجوز أن يطلق عليه مجتهد أم لا بد له من أن يكون قادرا على الاجتهاد في جميع المسائل؟
قال بعضهم يجوز ومنع الآخر وهذا هو القول المعول عليه إذ لا يتصور أن يكون العالم مجتهدا في أحكام العبادات وغير مجتهد في أحكام المعاملات.

تغيير الاجتهاد
يجوز للمجتهد أن يرجع عن اجتهاده. فإذا نقل عن مجتهد قولان يحمل على أنه رجع عن قوله الأول فيؤخذ بالثاني.

الاجتهاد لا ينقض بالاجتهاد
إذا حكم المجتهد في مسألة ثم غير اجتهاده فاجتهد اجتهادا مخالفا للأول فلا يجوز له نقض اجتهاده السابق. أما إذا عرضت عليه بعد ذلك مسألة تشبه الأولى فله أن يحكم بموجب اجتهاد الثاني. ولذلك لا يجوز نقض الاجتهاد في المسائل الاجتهادية باجتهاد مجتهدين آخرين إلا إذا كان اجتهاده مخالفا للأحكام القطعية فينقض. ونقل السيوطي إجماع الصحابة في هذا. قال عمر بن الخطاب رضي الله عنه "ذلك على ما قضينا وهذا على ما نقضي". فحكم أبو بكر في مسائل خالفه عمر فيها ولم ينقض حكمه، وحكم عمر في المشتركة بعدم المشاركة ثم بالمشاركة.
فمن اجتهد في القبلة بأن يوجه إلى ناحية ثم تغير ظنه فأعاد الاجتهاد بأن يوجه إلى ناحية أخرى فلا ينقض ما فعله بالأول ولو في صلاة واحدة، بل ولو صلى أربع ركعات لأربع جهات فلا قضاء عليه.
ولو صح نقض الاجتهاد بالاجتهاد لنقض النقض أيضا ولتسلسل فاضطربت الأحكام ولا تستتقر ولم يوثق بها إلا إذا بدا له أنه يخالف نصا أو دليلا قطعيا فوجب نقض الاجتهاد حينئذ. ونقل السيوطي أن ما يخالف المذاهب الأربعة كالمخالف للإجماع والإجماع دليل قطعي.
وإنما نقض حكم الحاكمين لتبين خطأه قد يكون ذلك الخطأ في نفس الحكم لكونه خالف نصا، وقد يكون في السبب كالحكم ببينة مزورة ثم تبين خلافه، وقد يكون في الطريق كما إذا حكم بينة ثم بان فسقها. وفي هذه الثلاثة ينقض الحكم. فلو لم ينتف الخطأ بل حصل مجرد التعارض كقيام بينة بعد الحكم بخلاف البينة التي بني الحكم عليها فلا ينقض لعدم تبين الخطأ.
معنى "الاجتهاد لا ينقض بالاجتهاد" في الماضي ولكن يغير الحكم في المستقبل. واستثنى السيوطي صورا ذكره في الأشباه والنظائر كنقض الإمام لحمى من قبله لأن المصلحة قد تتغير. ومن أراد الزيادة فليرجع إلى كتابه.

هل المصيب من المجتهدين واحد أم أكثر
المصيب من المجتهدين في الفروع واحد. فإذا حدثت حادثة في الفروع ولم يوجد دليل قاطع في حكمها من نص أو إجماع فإنا نعلم أن لله تعالى فيها حكما شرعيا معينا، فيطلب المجتهدون ذلك الحكم بشتى أنواع الاجتهاد. فمن أدركه كان مصيبا ومن لم يدرك كان مخطئا لا اثم عليه بل أجر أجرا واحدا.
ففي عصر الصحابة رضي الله عنهم انتشرت وقائع ومسائل وخطّأ بعضهم بعضا فيها وصرحوا بلفظ الخطأ والإنكار كقول ابن عباس إلى زيد ابن ثابت في مسألة الجد والإخوة "الا يتقي الله زيد يجعل ابن الابن ابنا ولا يجعل أب الأب أبا". فلو كان كل مجتهد مصيبا لما خطأ بعضهم بعضا بل يقول بعضهم أنا مصيب وأنت مصيب. فالله تعالى بين أن سليمان مصيب في مسألة غنم القوم "ففهمناها سليمان وكلا ءاتينا حكما وعلما".
فعلى ذلك قالوا إن من صلى خلف من توضأ وهو تارك للنية أو الترتيب أو شيء مما اختلف فيه فإنه تجب الإعادة على من يرى وجوب النية أو الترتيب في الوضوء.

تقليد المجتهد
إذا اجتهد مجتهد في مسألة بصورة من الصور فلا يجوز له أن يحكم على خلاف اجتهاده تقليدا لمجتهد آخر يخالفه في الاجتهاد في تلك المسألة لأنه معتقد بصحة اجتهاده فحكمه بما يخالف اجتهاده باطل.
أما إذا لم يجتهد بعد ولم ينظر والوقت متسع فلا يخاف فوت الحادثة وهو قادر على الاستنباط فهل يجوز له أن يقلد غيره؟ فالصحيح أنه لا يجوز لأن ذلك تقليد لمن لم تثبت عصمته عن الخطأ وليس هو عاميا فيقلد الآخر. فتقليد المجتهد على اجتهاد مجتهد آخر تضييع لنعمة العقل الذي كرم الله به الإنسان ونعمة توفر شروط الاجتهاد الذي فضله الله على الآخرين. قال الله تعالى "فاعتبروا يا أولي الأبصار" (سورة الحشر الاية 2) وقال "أفلا يتدبرون القرآن أم على قلوب أقفالها" (سورة محمد الأية 24) وقال "لعلمه الذين يستنبطونه منهم" (سورة النساء الأية 83)

لا اجتهاد في مورد النص
إذا دل النص على حكم في حادثة من الحوادث فلا يجوز للمجتهد أن يجتهد فيها، لأن النص متى كان قطعي الورود لا يسوغ أن يكون ثبوته وصدوره عن الله أو رسوله موضع بحث واجتهاد. وما دام قطعي الدلالة فلا يجوز أن تكون دلالته على معناه واستفادة الحكم منه موضع بحث وبذل جهد. فكل نص لا يحتمل التأويل يجب أن ينفذ كما ورد ولا مجال للاجتهاد فيه. قال الله تعالى "فإن تنازعتم في شيء فردوه إلى الله والرسول" (سورة النساء الأية 59) ، وقال "وما اختلفتم فيه من شيء فحكمه إلى الله" (سورة الشورة الأية 10).
أما إذا كان النص ظني الورود والدلالة أو ظني أحدهما فللاجتهاد فيه مجال لأن المجتهد عليه أن يبحث في الدليل الظني الورود من حيث سنده وأحوال رواته. وفي هذا يختلف تقدير المجتهدين للدليل، لأن الدليل قد يدل ظاهره على معنى ولكنه ليس هو المراد قد يكون عاما أو مطلقا وقد يكون مقيدا. فالمجتهد يصل باجتهاده إلى معرفة أن الظاهر على ظاهره أو أنه مؤول، وأن العام باق على عمومه أو مخصص، وأن المطلق على إطلاقه أو مقيد مسترشدا في ذلك كله بالقواعد الأصولية اللغوية ومقصد الشارع وما وضع له من مبادئ عامة.
أما إذا كانت الواقعة لا نص على حكمها فالمجال واسع للمجتهد بأن يجتهد فيها برأيه بعد البحث ليصل إلى معرفة حكمها بواسطة القياس أو الاستحسان أو الاستصحاب أو العرف أو المصالح المرسلة.
فمثال ما لا مجال للاجتهاد فيه النطق بالشهادتين ووجوب الصلوات المكتوبة الخمس وتحريم الزنا وكفارة الظهار.

فخلاصة البحث أن الاجتهاد لا يكون إلا في حالتين أحدهما عند عدم وجود النص أصلا والآخر عند وجود نص ظني وغير قطعي.


التقليد
مر بنا الكلام في الاجتهاد وشروط صحته وحكمه على من تأهل الاجتهاد ومن ليس له نصيب فيه. فالاجتهاد بابه مفتوح ولا يجوز لأحد أن يغلق بابا فتحه الله ورسوله صلى الله عليه وسلم. فللمجتهد أن يجتهد ويعمل بمقتضى اجتهاده، وعلى العوام تقليد المجتهد ولا يجتهد فضل وأضل. وفي مثل هذا أخرج أبو داود من حديث جابر رضي الله عنه "قال خرجنا في سفر فأصاب رجلا منا حجر فشجه في رأسه ثم احتلم فسأل أصحابه فقال هل تجدون لي رخصة في التيمم فقالوا ما نجد لك رخصة وأنت تقدر على الماء فاغتسل فمات فلما قدمنا على النبي صلى الله عليه وسلم أخبر بذلك فقال قتلوه قتلهم الله ألا سألوا إذ لم يعلموا فإنما شفاء العي السؤال إنما كان يكفيه أن يتيمم ويعصر أو يعصب شك الراوي على جرحه خرقة ثم يمسح عليها ويغسل سائر جسده". فعتب الرسول بعض أصحابه الذين اجتهدوا من غير علم.
والتقليد قبول اجتهاد الغير أوفتواه من غير أن يعرف دليله. فمن حرم عليه الاجتهاد فالتقليد في حقه واجب ولا عيب عليه في ذلك، قال الله تعالى "فاسألوا أهل الذكر إن كنتم لا تعلمون" (سورة الأنبياء الأية 7).

هل على العوام التزام مذهب معين؟
والأصل عدم وجوب التزام بمذهب معين بل يجوز لكل مسلم أن يستفتي في كل واقعة عند أي مفت اختاره ويعمل بفتواه كما كان في القرون الفاضلة من الصحابة والتابعين. قال النووي إنه لا يلزم التمذهب بمذهب معين بل يستفتي من شاء وذلك من غير تلقط الرخص، انتهى باختصار.
ومذاهب السلف الماضين من الصحابة والتابعين وتابعي التابعين رضوان الله عليهم كثيرة لا تكاد تنحصرعددا، وكلها اجتهادات استوفت الشروط. قال المناوي في شرح الجامع ويجب علينا أن نعتقد أن الأئمة الأربعة والسفيانين يعني سفيان الثوري والسفيان بن عيينة والأوزاعي وداود الظاهري وإسحاق بن راهويه وسائر الأئمة على هدى ولا التفات لمن تكلم فيهم بما هم بريئون منه. وبه قال جلال الدين المحلي.
وتقليد مذهب من مذاهبهم الآن غير المذاهب الأربعة فليس بجواز لا لنقصان مذاهبهم ورجحان المذاهب الأربعة عليهم بل لعدم تدوين مذاهبهم وعدم معرفتنا الآن بشروطها وقيودها وعدم وصولها إلينا بطريق التواتر حتى لو وصل إلينا شيء من ذلك فيجوز لنا تقليده لكنه لم يصل.
فالمذاهب الآن التي يجوز تقليدها هي المذاهب الأربعة الحنفية والمالكية والشافعية والحنابلة دون غيرها كمذهب أبي ثور والمزني، فقد انحصر الآن العمل بشريعة محمد صلى الله عليه وسلم في العمل بما ذهب إليه أحد الأربعة. وذلك في المسائل الاجتهادية لا غير كما مر. فأما ما علم من الدين بالضرورة كفرضية الصيام وحرمة الزنا وشريعة الجهاد فلا يحتاج إلى التقليد فيه لأحد الأربعة ولا حق اجتهاد في ذلك عندهم.
وأكد المناوي إلى عدم جواز تقليد الصحابة وكذا تقليد التابعين كما قاله إمام الحرمين من كل من لم يدون مذهبه فيمتنع تقليد غير المذاهب الأربعة في القضاء والإفتاء لأن المذاهب الأربعة انتشرت وتحررت بخلاف غيرهم لانقراض اتباعهم. وقد نقل الرازي إجماع المحققين على منع العوام من تقليد أعيان الصحابة. وصرح ابن نجيم الحنفي في التحرير لابن الهمام على أن الاجماع انعقد عل عدم العمل بمذهب يخالف الأربعة.
نعم يجوز لغير عامي من الفقهاء تقليد غير الأربعة في العمل لنفسه إن علم نسبته لمن يجوز تقليده وجميع شروط الاجتهاد عنده لكن بشرط أن لا يتبع الرخص بان يأخذ من كل مذهب الأهون فتنحل ربقة التكليف من عنقه.
ومن تمذهب بمذهب معين فلا يعدل عنه في مسألة من المسائل من مذهب آخر لأنه بالتزامه يصير ملزوما به ولأنه اعتقد أن المذهب الذي انتسب إليه هو الصواب فعليه الوفاء بموجب اعتقاده. وقيل لا يلزمه وهو الأصح كما ذهب إليه الرافعي وغيره بأن التزامه غير ملزم إذ لا واجب إلا ما أوجبه الله ورسوله ولم يوجب الله ولا رسوله على أحد من الناس أن يمتذهب بمذهب رجل من الأمة فيقلده دينه في كل ما يأتي ويذر غيره، ولا قال أحد من المجتهدين إن من تبعني فلا يتبع أحدا غيري. ففي الحديث الذي أخرجه البيهقي في المدخل أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال "مهما أو تيتم من كتاب الله فالعمل به لا عذر لأحد في تركه، فإن لم يكن في كتاب الله فسنة مني ماضية، فإن لم تكن سنة مني فما قال أصحابي، إن أصحابي بمنزلة النجوم في السماء، فأيما أخذتم به اهتديتم، واختلاف أصحابي لكم رحمة". وفي سنده سليمان بن أبي كريمة وجويبر وهما ضعيفان.
قال هارون الرشيد لمالك بن أنس يا أبا عبد الله تكتب هذه الكتب وتفرقها في آفاق الإسلام لتحمل عليها الأمة، فقال يا امير المؤمنين إن اختلاف العلماء رحمة من الله على هذه الأمة كل يتبع ما صح عنده وكل على هدى وكل يريد الله. وقال السيوطي واعلم أن اختلاف المذاهب في هذه الملة نعمة كبيرة وفضيلة جزيلة عظيمة وله سر لطيف أدركه العالمون وعمى عنه الجاهلون حتى سمعت بعض الجهال يقول النبي صلى الله عليه وسلم جاء بشرع واحد فمن أين مذاهب أربعة؟! ومن العجب أيضا من يأخذ في تفضيل بعض المذاهب تفضيلا يؤدي إلى تنقيص المفضل عليه وسقوطه وربما أدى إلى الخصام بين السفهاء وصارت عصبية وحمية والعلماء منزهون عن ذلك. وقد وقع الاختلاف بين الصحابة رضي الله تعالى عنهم وهم خير الأمة فما خاصم أحد منهم أحدا ولا عادى أحد أحدا.
فالاختلاف في حقنا يعني الأمة المحمدية رحمة وخصيصة فاضلة وتوسيع في هذه الشريعة السمحة السهلة وهو في حق الأمم السابقة هلاك وعذاب. فكانت الأنبياء يبعث أحدهم بشرع واحد وحكم واحد حتى إنه من ضيق شريعتهم لم يكن فيها تخييرفي كثير من الفروع التي شرع فيها التخيير في شريعتنا. فمن ذلك جريمة القتل التي شرع لنا القصاص والدية فكأنه جمع بين الشرعين معا وزادت حسنا بشرع ثالث وهو التخيير.
والاختلاف في الفروع عند المذاهب كشرائع متعددة كل مأمور به في هذه الشريعة فصارت هذه الشريعة كأنها عدة شرائع بعث النبي صلى الله عليه وسلم بجميعها.

هل يجوز التقليد بعد الفعل؟
قال بعضهم بأن التقليد بعد الفعل جائز كما إذا صلى ظنا صحتها على مذهبه ثم تبين بطلانها في مذهبه وصحتها على مذهب غيره فله تقليده ويجتزي بتلك الصلاة. فروي عن أبي يوسف انه صلى يوم الجمعة مغتسلا من الحمام بالناس وتفرقوا ثم أخبر بوجود فأرة ميتة في بئر الحمام فقال إذن نأخذ بقول إخواننا من أهل المدينة إذا بلغ الماء قلتين لم يحمل خبثا. ووجد الإشكال في أن المجتهد بعد اجتهاده في حكم ممنوع من تقليد غيره من المجتهدين. وهذا لا يرد على القول بجواز التقليد بعد الفعل لأن الإيراد على المجتهد لا المقلد. وعن مسألة أبي يوسف يمكن أن نقول أنه اجتهد في دليل مذهب غير مذهبه ثم أخذ به. والمجتهد المقيد في المذهب له أن يجتهد في أصول غير إمامه لأنه في معنى المقلد.

هل يجوز الانتقال من تقليد مجتهد إلى آخر للأرجحية؟
قال محمد البغدادي واختلفوا في أنه هل يجوز للمقلد تقليد المفضول مع وجود الأفضل؟ فجوزه الأئمة الحنفية والمالكية وأكثر الشافعية ومنعه أحمد وطائفة من الفقهاء. ونقل عن الغزالي أنه قال إذا اعتقد المقلد أحد المجتهدين بالفضل لا يجوز له أن يقلد غيره وإن كان لا يلزم البحث عن الأعلم إذا لم يعلم اختصاص أحدهم بزيادة الفضل والعلم. أما إذا علم واعتقد زيادة الفضل في أحدهم يلزم تقليد أورع العالمين وأعلم الورعين، وإن تعارضا في العلم والورع قدم الأعلم على الأصح.
قال المحلي في شرح جمع الجوامع تقليد المفضول من المجتهدين فيه أقوال أحدها ورجحه ابن الحاجب يجوز لوقوعه في زمن الصحابة وغيرهم من غير إنكار. ثانيها لا يجوز لأن أقوال المجتهدين في حق المقلد كالأدلة في حق المجتهد، فكما يجب الأخذ بالراجح من الأدلة يجب الأخذ بالراجح من الأقوال والراجح منها قول الفاضل ويعرفه العامي بالتسامع وغيره. وثالثها المختار يجوز لمعتقده فاضلا عنده أو مساويا له بخلاف من اعتقده مفضولا ومن ثم لم يجب البحث عن الأرجح من المجتهدين لعدم تعينه فإن اعتقد العامي رجحان واحد منهم تعين لأن يقلده وإن كان مرجوحا في الواقع عملا ياعتقاده المبني عنه والراجح علما فوق الراجح ورعا في الأصح لأن لزيادة العلم تأثيرا في الاجتهاد بخلاف زيادة الورع، وقيل العكس لأن لزيادة الورع تأثيرا في التثبت في الاجتهاد وغيره بخلاف زيادة العلم ويحتمل التساوي لأن لكل مرجحا. قال بعضهم إذا ظن المقلد رجحان وذهب الغير فيحسن له اتباع الراجح.
ونقل عن السبكي أن المنتقل من مذهب لآخر له أحوال منها أن يعتقد رجحان مذهب الغير فيجوز عمله بالراجح في ظنه، ومنها أن لا يعتقد رجحان شيء فيجوز.
قال بعضهم إذا سئلنا عن مذهبنا في الفروع (الفقه) ومذهب مخالفينا فنجيب بأن مذهبنا صواب يحتمل الخطأ ومذهب مخالفينا خطأ يحتمل الصواب لأنك لو قطعت القول لما صح قولنا إن المجتهد يصيب ويخطئ. أما إذا سئلنا عن معتقدنا ومعتقد خصومنا في العقائد فيجب علينا أن نقول الحق ما نحن عليه والباطل ما عليه خصومنا.

التلفيق
التلفيق هو أن يأخذ أحد أقوالا من كل مذهب في مسألة واحدة يجتمع على إبطاله كل من تلك المذاهب.
ومن المعلوم أن الناس ينقسم إلى إلى مجتهدين وغير مجتهدين. والاجتهاد إما أن يكون مطلقا وإما أن يكون مقيدا. فأهل الاجتهاد المطلق لا يجوز لهم تقليد غيرهم لأن الواجب لهم العمل باجتهادهم. وأهل الاجتهاد المقيد كأبي يوسف في المذهب الحنفي والنووي في الشافعي يجب عليهم تقليد أهل الاجتهاد المطلق في أصول مذاهبهم فقط دون الفروع.
وأما غير المجتهدين وهم عامة الناس فلا يجب عليهم التزام العمل بمذهب معين على القول المختار، بل يجوز لكل واحد منهم أن يأخذ أي مذهب شاء وذلك بعد استيفاء جميع الشروط التي يشترطها ذلك المذهب وإلا كان عمله باطلا بالاجماع. ومن أخذ من كل مذهب قولا لا يقول به صاحب المذهب الآخر فقد خرج عن المذاهب الأربعة واخترع له مذهبا خامسا فعبادته باطلة ومعاملته غير صحيحة وهو يعتبر متلاعبا في الدين وغير عامل بمذهب من مذاهب المجتهدين لأنه لو سئل كل مفت من أهل المذاهب الأربعة فلا يسوغ له أن يفتي بصحة تلك العبادة أو المعاملة لفقد شروط صحتها عنده.
وأي مفت حنفي يفتي بصحة الوضوء من ماء مقدار القلتين وقعت فيه نجاسة ولم يتغير بها أحد أوصافه وأي مفت شافعي يفتي بصحة الوضوء من غير نية ولا ترتيب وأي مفت مالكي بصحة الوضوء من غير دلك ولا موالاة وأي حنبلي يفتي بصحة والوضوء من غير تسمية. فلو توضأ رجل من ماء القلتين المذكور من غير نية ولا ترتيب ولا دلك ولا موالاة ولا تسمية فهذا الوضوء باطل إجماعا من غير خلاف، فلو حكم ذلك الرجل بصحته وهو مقلد لكان مخترعا مذهبا خامسا وذلك باطل.
وعن الإسنوي من الشافعية أنه قال إذا نكح رجل بلا ولي تقليدا لأبي حنيفة أو بلا شهود تقليدا لمالك ووطئ لا يحد. ولو نكح بلا ولي ولا شهود أيضا تقليدا لهما حد كما قاله الرافعي لأن الإمامين أبا حنيفة ومالكا قد اتفقا على البطلان.
قال أحمد الرملي وإذا دونت المذاهب وانتقل المقلد من مذهب إلى مذهب جاز، ولو قلد مجتهدا في مسائل أخرى جاز، لكن لا يتبع الرخص وإذا استفتى فافتاه مفت لزمه الأخذ بقوله إن لم يكن هناك مفت آخر وإلا فلا إذ له سؤال غيره. وشرط تقليد مذهب الغير أن لا يكون موقعا في أمر يجتمع على إبطاله الإمام الذي كان على مذهبه والإمام الذي انتقل إلى مذهبه. فمن قلد مالكا مثلا في عدم النقض باللمس الخالي عن الشهوة فلا بد أن يدلك بدنه ويمسح جميع رأسه.
قال عبدالرحمن العمادي يجوز للحنفي تقليد غير إمامه من الأئمة الثلاثة فيما تدعو إليه الضرورة بشرط أن يلتزم جميع ما يوجبه ذلك الإمام في ذلك.
فجدير بالذكر على ما قلنا من قبل إنه ليس على الإنسان التزام مذهب معين وإنه يجوز له العمل بما يخالف ما علمه على مذهبه مقلدا فيه غير إمامه مستعجما شروطه ويعمل بأمرين متضادين في حادثين لا تعلق لواحدة منهما بالأخرى وليس له إبطال عين ما فعله بتقليد إمام آخر لأن إمضاء الفعل كإمضاء قضاء القاضي لا ينقض.
قال بعضهم لا يصح التقليد في شيء مركب من اجتهادين مختلفين بالإجماع والحكم الملفق باطل بإجماع المسلمين. ونقل عن السبكي أنه قال إن التقليد إن اجتمعت فيه حقيقة مركبة ممتنعة بالإجماع يمتنع.
فمن انتقل من مذهبه إلى مذهب آخر ليتبع الرخص ويلتقطها خيف عليه بالوعد الذي جاء في قوله تعالى "أفرأيت من اتخذ إلهه هواه وأضله الله على علم وختم على سمعه وقلبه وجعل على بصره غشاوة فمن يهديه من بعد الله أفلا تذكرون" (سورة الجاثية الأية 23).
فالتلفيق ممنوع وعلى هذا رد قول محمد بن فرخ المكي من صحة التلفيق رأيا منه وقد استدل عليه بعبارة وقعت في التحرير لابن الهمام ليس معناها ذلك فقال قد أشار إلى عدم منعه المحقق في التحرير وأنه لا يدر ما يمنع منه مع أن عبارة ابن الهمام ليس فيها ذلك. نعم قد ثبت في الحديث المتفق عليه عن عائشة أم المؤمنين رضي الله عنها أنها قالت "ما خير رسول الله صلى الله عليه وسلم بين أمرين إلا أخذ أيسرهما ما لم يكن إثما فإن كان إثما كان أبعد الناس منه". فليس معنى هذا أخذ العامي في كل مسألة بقول مجتهد أخف عليه فإن الإشارة من الحديث تمام الحكم لا بعضه وذلك في مقابلة التزام مذهب معين.

الإفتاء

الإفتاء أخص من الاجتهاد لأن الاجتهاد استنباط الأحكام سواء أكان سؤال في موضعها أم لم يكن وذلك بخلاف الإفتاء فإنه لا يكون إلا إذا كانت واقعة وقعت.
والفتوى السليمة التي تكون من مجتهد تقتضي مع شروط الاجتهاد التي ذكرناها شروطا أخرى، وهي معرفة واقعة الاستفتاء والمستفتي والجماعة التي يعيش فيها ليعرف مدى أثر الفتوى سلبا وإيجابا حتى لا يُتخذ دين الله لعبا ولهوا. وقد شدد العلماء شروط المفتي لأنه هاد ومرشد وأن فتواه مدار لإصلاح الناس.
فللمفتي الخيار من المذاهب في فتواه ويراعي في ذلك الحق وصلاح الناس لا لإرضاء حاكم أو لهوى الناس.
وقد حكى الشاطبي في الموافقات قصة فقيه كان يفتي بالأندلس ثم حجر عليه بالفتوى لأشياء نقمت عليه واستمر محجورا عليه إلى أن حدثت حادثة أفتى فيها فتوى لحاكم خلاصتها أنه كان بجوار قصر الناصر أمير الأندلس وقف يتأذى بمنظره إذ كان مقابلا للمنتزه الذي يتنزه به، وكان فوق ذلك يؤذيه منطره إذا نظر من أعلى قصره. فرأى أن يعوض الوقف ويضمه إلى المنتزه. فأرسل إلى بقي بن مخلد كبير العلماء وكبير المفتين، فجمع العلماء ليجمعوا على رأي فأجمعوا على منع بيع الوقف كما هو مذهب مالك، ويظهر لهم طووا في نفوسهم أمرا آخر وهو أن يفطموا نفس الأمير عن شهوته فلا يساوره فيها. فلما أعلنوا فتواهم تبرم الأمير بها وإن كان قد أطاعها. وعلم الفقيه المحجور عليه، فأرسل إلى الأمير يبيح ما أراد أخذا من مذهب أبي حنيفة الذي يقرر أن الأوقاف غير لازمة وأنها تورث وتصبح غير موقوفة بعد وفاة الواقف. فجمع الأمير ذلك الفقيه بالعلماء وعقدت الشورى بينهم فأصر الفقهاء على رأيهم فقال الفقيه الذي كان محجورا عليه للعلماء ناشدتكم الله العظيم ألم تنزل بأحد منكم ملمة بلغت بكم أن أخذتم فيها بغير قول مالك في خاصة أنفسكم وأرخصتم لأنفسكم؟ قالوا بلى. قال فأمير المؤمنين أولى بذلك فخذوا مآخذكم وتعلقوا بقول من يوافقه من العلماء فكلهم قدوة. فسكتوا فأرسل القاضي إلى الأمير بصورة ما جرى في المجلس فأخذ بفتيا ذلك الفقيه وعوض الوقف بأضعاف كثيرة عن قيمة الوقف.
ويجب على من يتخير من المذاهب أن يلاحظ الأمور الثلاثة، وهي:
أولها، أن يتبع القول لديه، بأن لا يختار من المذاهب أضعفها دليلا بل يختار أقواها دليلا، ولا يتبع شواذ الفتيا. وأن يكون عالما بمناهج المذهب الذي يختار منه. فإن لم يكن عنده المقدرة هذه، فأولى ثم أولى أن يقتصر على مذهبه الذي يعلمه أو كان قد بلغ درجة الإفتاء فيه.
ثانيها أن يجتهد ما أمكن الاجتهاد في ألا يترك المجمع عليه إلى المختلف فيه. فمثلا إذا سئل المفتي الذي أحيط خبرا بالمذاهب الإسلامية عن تولى المرأة عقد زوجها بنفسها لا يفتي بقول أبي حنيفة الذي انفرد به من بين الجمهور، بل يفتي بقول الجمهور، ولا مانع من أن يبين له قول أبي حنيفة ويترك له مع بيان وجه اختياره رأي الجمهور. فيذكر مثلا أنها مسألة دقيقة في الحلال والحرام وأن الأخذ بالاحتياط فيها واجب.
وإذا كانت المسألة خلافية احتاط للشرع، واحتاط للمستفتي من غير خروج ولا شذوذ. فمثلا إذا سأله رجل يريد زواج امرأة قد رضعت من أمه رضعة واحدة، أفتاه بمذهب أبي حنيفة ومالك اللذين يعتبران قليل الرضاع محرما ولو كان مصة أو مصتية. وإن كان السائل قد وقع في البلوى وتزوج امرأة كانت بينهما رضاعة ولم يصل إلى خمس رضعات ولم يعلم تلك الواقعة إلا بعد أن أعقب منها أولادا، فإن الاحتياط للأولاد يسوغ له الإفتاء بالحل، ولكن شرط ذلك كله أن تكون الأدلة قد تراجحت لديه، ولا يرى واحدا منها قاطعا في الموضوع.
ثالثها أن يتبع الدليل والمصلحة دون أهواء الناس. والمصلحة المعتبرة هي مصلحة الكافة وما يؤدي به إلى الفتيا من تحليل وتحريم. فهذا الفقيه الذي اختار رأي الحنفية الذي يجوز بيع الوقف مسايرة للأمير في شهوته واعتبر رؤية وقف غير حسن المنظر ملمة نزلت بالأمير يجب العمل على تفريج كربته فيها، كان الأولى به أن يشير عليه بإصلاح الوقف ليكون منظره جميلا بدل أن يساير رغبته إلى أقصى مداها.
وعلى المفتي أن بأخذ بما يفتي به. فإنه إذا كان يترخص لنفسه بأمور لا يبيحها للناس فإن ذلك يفقده العدالة، إلا إذا كان الترخيص لسبب شخصي حاجي لو توافر في غيره لأفتاه بمثل ما يرخص لنفسه.
فالمفتي يجلس مجلس الأنبياء حيث يبين للناس ما يحل لهم وما يحرم عليهم. وهو وارثه في بيان شرع الله تعالى، فلا يجعل لهواه موضعا بل لزمه أن ينطق بالحق ولا يخاف في الله لومة لائم.
فسبحان الله لا علم لنا إلا ما علمنا إنه هو العليم الحكيم فله الحمد رب السموات ورب الأرض ورب العرش العظيم، وصلى الله على نبينا محمد بأمته رؤوف رحيم.

المصادر
أسعد عبد الغني وأحمد مختار محمود، محاضرات في أصول الفقه (الفرقة الرابعة)، (القاهرة: كلية الدراسات الإسلامية والعربية للبنين، 1422هـ)
شاكر بك الحنبلي، أصول الفقه الإسلامي، (مكة المكرمة: المكتبة المكية، 1423 هـ)، الطبعة الأولى
عبد الغني النابلسي، خلاصة التحقيق في بيان التقليد والتلفيق، (استنبول: مكتبة الحقيقة، 1991م)
عبد الكريم بن علي بن محمد النملة، الجامع لمسائل أصول الفقه وتطبيقها على المذهب الراجح، (الرياض: مكتبة الرشد ناشرون، 2003م)، الطبعة السادسة
عبد الكريم زيدان، الوجيز في أصول الفقه، (بيروت: مؤسسة الرسالة، 1407 هـ)، الطبعة الثانية
محمد أبو زهرة، أصول الفقه، (القاهرة: دار الفكر العربي)
وهبة الزحيلي، الوجيز في أصول الفقه، (دمشق: دار الفكر، 1418هـ)، الطبعة الثانية

Keyboard shortcuts for International Characters

Press (tekan)
CTRL+` (ACCENT GRAVE), the letter
à, è, ì, ò, ù,
À, È, Ì, Ò, Ù
CTRL+' (APOSTROPHE), the letter
á, é, í, ó, ú, ý
Á, É, Í, Ó, Ú, Ý
CTRL+SHIFT+^ (CARET), the letter
â, ê, î, ô, û
Â, Ê, Î, Ô, Û
CTRL+SHIFT+~ (TILDE), the letter
ã, ñ, õ
Ã, Ñ, Õ
CTRL+SHIFT+: (), the letter
ä, ë, ï, ö, ü, ÿ,
Ä, Ë, Ï, Ö, Ü, Ÿ
CTRL+SHIFT+@, a or A
å, Å
CTRL+SHIFT+&, a or A
æ, Æ
CTRL+SHIFT+&, o or O
œ, Œ
CTRL+, (COMMA), c or C
ç, Ç
CTRL+' (APOSTROPHE), d or D
ð, Ð
CTRL+/, o or O
ø, Ø
ALT+CTRL+SHIFT+?
¿
ALT+CTRL+SHIFT+!
¡
CTRL+SHIFT+&, s
ß

Selasa, 04 November 2008

Qira'ah Mu'ashirah Atas Qira'ah Mu'ashirah Karya M. Shahrur

Muhammad Shahrur adalah seorang insinyur (muhandis) tehnik sipil berkebangsaan Suriah yang lahir pada tanggal 11 Maret 1938 di perempatan Salihiyah Damaskus.

Ia merupakan anak kelima dari seorang tukang celup yang mengirimnya bukan ke sekolah Agama, melainkan justru ke sekolah dasar dan menengah di al-Midan, di pinggiran kota sebelah selatan Damaskus.

Setelah menyelesaikan pendidikan dasar dan menengahnya di Damaskus, untuk kemudian pada 1957 berangkat ke Saratow, dekat Moscow untuk mempelajari ilmu tehnik. Di sinilah ia berkenalan dengan marksisme yang kemudian mempengaruhi beberapa tulisannya tentang Islam. Pada tahun 1964 ia kembali ke Suriah untuk melanjutkan magister dan doktoralnya dalam bidang mekanika tanah dan tehnik pondasi di universitas College, Dublin, Irlandia.

Dalam waktu 4 tahun ia berhasil menyelesaikan magister dan doktoralnya kemudian pada akhirnya ia kembali ke Suriah pada tahun 1972. Sekembalinya ke Suriah, ia bergabung dengan universitas Damaskus dan menjadi mitra sebuah perusahaan tehnik sipil. Shahrur tidak bergabung dengan institusi Islam manapun, dan dia tidak pernah menempuh pelatihan resmi atau memperoleh sertifikat dalam ilmu-ilmu keislaman.

Latar belakang akademisnya sering menjadi sasaran kritik orang-orang yang tidak seide dengannya, terutama dalam kajian metodologi al-Qur`an. Abdul Qadir Muhammad Shalih dengan secara implisit menggugat kelayakan Shahrur dalam mengkaji al-Qur`an dengan menyatakan bahwa Shahrur bukan ahli dalam al-Qur`an, ia merupakan orang yang ahli dalam tehnik. Munir Muhammad Thahir mengatakan bahwa Shahrur bahkan belum mempelajari Islam, dan ini merupakan salah satu penyebab penyimpangan- penyimpangan terhadap ajaran Agama yang ia lakukan dalam buku al-Kitab wa al-Qur`an; Qira`ah Mu’ashirah.

Dan sebagai seorang yang tidak diperkirakan masuk dalam lingkaran wacana keagamaan, Shahrur harus menghadapi penentangan massif dari hampir seluruh para ahli yang professional di bidang Agama. pada saat yang sama, dia tidak memiliki lembaga pendukung, baik jaringan yang berbasis akademik maupun “pesantren” (lembaga pendidikan Islam). Lingkaran ini menyebabkannya dianggap telah dibayar oleh organisasi asing/zionis. Sementara ada juga yang menuduhnya menciptakan agama yang benar-benar baru, melakukan plagiatisme (penjiplakan) , atau berkomitmen melakukan perbuatan “dilettantisme” yang tidak termaafkan dalam wilayah penafsiran. Dan di antara hampir dua lusinan karya yang menanggapinya, hampir tidak tidak ada reaksi yang positif terhadapnya. Demikian pengantar yang ditulis Andreas Christmann. Di antara para penulis buku yang mengkritiknya itu, ada yang berprofesi sebagai pengacara dan yang ahli tehnik.

Pada September 1990, setelah menekuni filsafat dan lingusitik, Shahrur menerbitkan al-Kitâb wa al-Qur`ân: Qirâ`ah Mu’âshirah yang kemudian mengangkat namanya di kalangan pemikir Timur Tengah sebagai seorang tokoh kontroversial. Sebuah buku yang ditulisnya setelah melakukan kajian serius tentang al-Qur`an selama dua puluh tahun.

Jakfar Dakk al-Bâb, seorang kawan yang sekaligus menjadi guru linguistik bagi Shahrur, menyatakan bahwa Shahrur telah berhasil mengintrodusir banyak hal yang baru dalam bukunya itu, yang bertolak belakang dengan mainstream pemahaman yang diyakini umat Islam selama ini. Kontroversi yang terdapat dalam bukunya ini, menjadikannya merasa perlu memberikan penegasan bahwa ia adalah orang Arab muslim yang beriman. Berbeda dengan Nashr Abu Zaid yang menyatakan bahwa kajian yang dilakukan Shahrur dalam bukunya itu, tidak memuat sesuatu yang orisinal dan baru, demikian juga kritik yang dilakukannya terhadap kemapanan fiqh.

Shahrur menegaskan bahwa al-Qur`an senantiasa sesuai dengan segala ruang dan waktu sampai hari Kiamat. Kemukjizatan dapat dibuktikan melalui pendekatan ilmiah, dan menuntut usaha keras para ilmuan dari berbagai disiplin ilmu untuk menguak rahasianya. Ia lalu mengkritik kebanyakan ulama yang menurutnya terikat pada pemahaman al-Qur`an yang sudah ketinggalan zaman. Menurutnya, para ulama tradisional (salafi) merupakan muqallid (pengikut buta) yang mengabaikan konteks ruang dan waktu, serta menyia-nyiakan potensi akal yang diberikan Allah Ta’ala. Syahrur juga menganggap sunnah Rasulullah hanya sebagai salah satu variasi dari pengamalan
al-Qur`an, dan ini tidak menutup kemungkinan adanya variasi implementasi ajaran dan nilai al-Qur`an yang lain. Menurutnya, hukum-hukum yang ditetapkan Rasulullah terikat konteks ruang dan waktu masa beliau, yakni abad VII M. Sehingga bagaimanapun upaya
kita memahami al-Qur`an seperti pemahaman orang yang hidup pada abad VII M, kita hanya mampu kembali melalui teks-teks sejarah, padahal kita hidup di abad XXI M.

Shahrur menganalogikan kondisi ini dengan seekor gagak yang ingin berkicau merdu seperti burung perkutut, namun suaranya tetap saja parau. Ketika ia putus asa dan hendak kembali berkicau selayaknya gagak, ia terlanjur lupa untuk bersuara seperi gagak, yang pada akhirnya ia tidak memiliki identitas yang jelas; Gagak bukan, perkututpun bukan.

Shahrur juga mengkritik pendekatan yang selama ini digunakan ulama dalam memahami dan mengamalkan al-Qur`an, sebagai pendekatan yang tidak mampu menjawab tantangan dan problematika sosial kontemporer. Shahrur menyatakan bahwa untuk memahami al-Qur`an, kita harus menyesuaikannya dengan konteks kekinian, seakan-akan Rasulullah baru saja wafat. Dan dalam melakukan kajian terhadap al-Qur`an, Shahrur menggunakan metode historis-ilmiah (târikhy ‘ilmy) yang diadopsi dari aliran linguistik Abu Ali
al-Farisi. Metode ini merupakan perpaduan teori Ibn Jinny dalam buku al-Khashâ`is dan Abdul Qahir al-Jurjany dalam kitab Dalâ`il al-I’jâz. Ibn Jinny menitikberatkan kajiannya pada analisa kata perkata dan hubungan antara kata dengan suara (ashwât). Sedangkan al-Jurjani mengkaji hubungan antara struktur kata dengan peranannya sebagai media komunikasi (iblâgh). Jakfar Dakk al-Bâb memahami kedua teori ini saling melengkapi, yang ketika ditarik akar mulanya, akan bertemu pada aliran lingusitik Abu ‘Ali al-Fârisi. Salah satu pendapat aliran ini adalah penolakan adanya sinominitas kata (tarâduf). Dalam hal ini, ada ucapan Tsa’lab yang terkenal bahwa “Apa yang dalam kajian bahasa Arab dikira sebagai tarâduf (sinonim), sebenarnya adalah hal yang berbeda (mutabâyinât).

Metode historis-ilmiah menyatakan bahwa bahasa manusia pada mulanya merupakan suara-suara (ashwât) yang diucapkan manusia secara sadar sebagai media (wasilah) menyampaikan tujuan-tujuan (ide dan gagasan) kepada orang lain dan untuk memahami tujuan-tujuan itu, dalam kehidupan bersama. Point-point penting yang terdapat dalam kitab ini dijelaskan Shahrur secara ringkas dalam Muqadimah bukunya.

KRITIK SHAHRUR TERHADAP UMAT ISLAM

Shahrur memulai Muqaddimahnya dengan membuat perumpamaan orang yang melukis wajah manusia bermata satu. Siapapun orang yang memandang lukisan itu akan menyadari ketidakberesan lukisan itu dan akan mengatakan bahwa “Lukisan wajahnya kurang satu mata!”.

Berbeda dengan orang yang melukis wajah manusia dari cermin. Orang-orang yang memperhatikan lukisan itu tidak akan menyadari sesungguhnya lukisan itu terbalik; Bahwa mata sebelah kanan pada wajah yang ada dalam lukisan sebenarnya adalah mata sebelah kiri pada wajah orang yang dilukis. Kesalahan yang tidak disadari ini pernah terjadi pada manusia selama bertahun-tahun ketika mereka meyakini bahwa matahari mengelilingi bumi, bukan sebaliknya, bumi yang sebenarnya mengitari matahari. Kesalahan ini juga menimpa umat Islam selama berabad-abad, ketika meyakini bahwa kata al-Kitab, al-Qur`an, al-Dzikr dan al-Furqan merupakan murâdifât (sinonim).

Analogi lukisan yang merupakan kritik Shahrur terhadap ulama klasik dan produk fiqh mereka, dianggap sebagian kalangan ulama sebagai sebuah arogansi, yang seharusnya dihindari tiap orang yang menyampaikan sebuah kritik. Secara halus, Shahrur menyatakan bahwa para ulama selama empat belas abad telah tenggelam ke dalam kekeliruan dan kebodohan.

Orang yang membaca bukunya, akan menemukan dekonstruksi yang dilakukan Shahrur terhadap pemahaman yang selama ini berkembang dan diyakini umat Islam. Dekonstruksi ini yang mengundang sanggahan dan kecaman banyak umat Islam. Misalnya dalam masalah akidah, dengan pendekatan linguistik-filosofi s-humanistik, Shahrur sampai pada kesimpulan bahwa yang disebut mukmin adalah muslim pengikut Nabi Muhammad. Sedangkan orang yahudi adalah muslim-yahudi, dan orang nashrani adalah muslim-nashrani.

Sementara dalam wilayah syariah (fiqh), Shahrur juga sampai pada tesis baru yang dekonstruktif, misalnya dalam masalah hukum waris
(farâ`idh), ia tidak lagi terpaku pada pembagian-pembagian konvensional yang telah dikenal dan diamalkan oleh umat Islam selama 14 abad. Ia justru membuat penghitungan sendiri dengan menggunakan istilah-istilah yang juga ia ciptakan sendiri.

Lepas dari kontroversial wacana yang ia gulirkan, Shahrur tetap mendapat apresiasi dari pihak-pihak yang mengkritiknya sebagai orang yang berhasil “menggerakkan akal”.

“Hanya saja”, kata Ahmad Ratib Armush, “Saya setuju dengan Ahmad Imran bahwa fiqh yang ditawarkan Shahrur tidak masuk akal. Apalagi dalam pembahasan Fiqh Wanita, Shahrur “memprovokasi” wanita untuk telanjang, bukan lagi mengajak untuk mengamalkan ajaran Agama yang diturunkan Allah berupa penutupan aurat”.

Pendekatan historis-ilmiah yang digunakan Shahrur menafikan sinominitas kata. Menurutnya, bahasa Arab memiliki karaktersistik struktur di mana tiap kata memiliki arti dan pemahaman yang berbeda dengan kata lain. Pendapat yang diadopsinya dari Abu Ali al-Farisi dan Ibn Faris dalam kitab al-Maqâyis, sebenarnya bukan pendapat yang baru, di mana para ulama abad IV Hijriah telah memperdebatkannya.

Dan sebagaimana ijtihad dan diskursus ilmiah lainnya, apa yang diwacanakan Shahrur terbuka untuk dilakukan pembacaan yang kritis. Tulisan singkat ini akan mencoba mewacanakan wacana-wacana tersebut.

Dalam bukunya, Shahrur memulai tesisnya dengan mengutarakan distingsi terminologi antara al-Kitâb, al-Qur`ân, al-Dzikr, dan al-Furqân. Distingsi terminologis ini yang menjadi pondasi "fiqh baru" yang ditawarkan Shahrur (silahkan membaca langsung buku itu).


‘QIRA'AH MUA'SHIRAH TERHAAP PANDANGAN SHAHRUR

Orang yang membaca buku al-Kitab wa al-Qur`an; Qira`ah Mu’ashirah, pasti akan mengagumi kepiawaian Shahrur dalam menyampaikan argumentasinya. Teori-teori yang digunakan dalam rangka mendukung tesisnya disampaikan secara sistematis dan mengacu kepada para pendapat-pendapat ulama lingusitik besar, terutama AbuAli al-Farisi.

"Kami telah melakukan pembacaan kontemporer terhadap term al-Dikr yang dijamin Allah penjagaannya (QS. al-Hijr ayat 9 dan al-Nahl ayat 44) dengan berdasarkan pada analisa menyeluruh (mash ‘am) terhadap karakteristik (khasha`ish) bahasa Arab, dengan berpegang pada metode linguistik (manhaj lughawi) Abu Ali al-Farisi yang diidentikkan (mutamatsil) dengan Imam Ibn Jiny dan Imam Abdul Qahir al-Jurjani, dengan bersandar pada syair jahily.

Juga hasil akhir kajian yang telah kami lakukan terhadap ilmu-ilmu linguistik kontemporer yang pada intinya bahwa semua bahasa manusia tidak mengandung sinominitas (taraduf). Bahkan yang sebaliknya, yakni ketiadaan taraduf, merupakan hal yang benar, yaitu bahwa sebuah kata sejalan dengan perkembangan sejarah adakalanya ia musnah (tidak lagi dipergunakan) dan ada kalanya juga ia mengandung makna baru sebagai tambahan dari makna awalnya. Dan sungguh telah kami dapati karakteristik ini secara jelas dalam bahasa Arab." Demikian ungkap Shahrur.

Namun demikian, bukan berarti buku ini tanpa cacat, bahkan teori dasar yang melandasi semua tesisnya rapuh dan tidak tepat penggunaannya, yaitu pendapatnya tentang ketiadaan sinonim dalam bahasa Arab (juga dalam al-Kitab), yang pada akhirnya menimbulkan distingsi antara term al-Kitab, al-Qur`an, al-Furqan, dan al-Dzikr. Demikian juga dalam pembedaan Allah dalam posisi-Nya sebagai Ilah yang menurunkan nubuwah, dan posisi-Nya sebagai Rabb yang menurunkan risalah.

Ulama lingusitik Arab pada abad IV ramai berselisih pendapat tentang eksistensi taraduf (sinonim) dalam bahasa Arab; Sebagian menolak sama sekali adanya taraduf, ada juga yang menyatakan adanya taraduf, dan ada orang yang berlebihan dalam memahami adanya taraduf sehingga ada di antara mereka berpendapat bahwa satu makna (substansi) bisa jadi memiliki ratusan kata sinonim untuk mengungkapkannya. Nampaknya penolakan taraduf baru muncul pada akhir abad III, tepatnya ketika Tsa’lab yang menyatakan pengingkarannya terhadap taraduf. Pendapat ini diikuti oleh muridnya yang bernama Ibn Faris. Karena sebelum paruh terakhir abad III H, tidak ditemui catatan ulama linguistik yang menolak taraduf.

Berikut adalah ungkapan Ibn Faris sebagaimana yang dikutip oleh al-Suyuthi dalam al-muzhir:
Sesuatu diberi banyak nama yang berbeda-beda, seperti “saif”, “muhannad”, dan “husam” (ketiganya diartikan sebagai pedang), sebenarnya yang nama adalah “saif” dan selainnya merupakan sifat. Mazhab kami menyatakan bahwa sesungguhnya tiap sifat-sifat itu memiliki makna yang berbeda dari sifat yang lain. Hal ini berbeda dengan pendapat segolongan orang yang mengira bahwa nama-nama itu walaupun berbeda, namun tetap merujuk satu makna, seperti “saif”, ‘Adhb”, dan “husam” (yang ketiganya bermakna pedang).

Ada juga orang-orang yang berpendapat bahwa nama-nama tersebut bukan (menunjukkan pada) satu nama, dan juga bukan sifat yang bukan makna yang lain. Mereka berkata bahwasanya fi’il (kata kerja) juga demikian, misalnya kata “madha”, “dzahaba”, dan “inthalaqa” (semuanya diartikan pergi); Juga kata “qa’ada” dan “jalasa” (keduanya diartikan duduk); Serta kata “raqada”, “nama”, dan “haja’a (semuanya diartikan tidur). Mereka berpendapat bahwa dalam kata “qa’ada” ada makna yang tidak terdapat pada kata “jalasa”. Dan seterusnya.

Pendapat inilah yang kami pegang, yang juga merupakan pendapat guru kami, Abu al-Abbas Ahmad bin Yahya Tsa’lab.

Pendapat pertama berargumentasi bahwa jika tiap kata memiliki makna yang berbeda dengan kata-kata yang lain (yang dianggap sinonim) pastilah kita tidak dapat mengungkapkan makna sebuah kata dengan menggunakan kata lain. Padahal kita memaknakan ungkapan “la raiba fih” (QS. al-Baqarah 2:2) dengan “la syakk fih”. Seandainya kata “raib” tidak sama dengan kata “syakk”, maka pemaknaan “la raib fih” dengan “la syakk fih” merupakan sebuah kekeliruan. Dari sini kita pahami, bahwa pengungkapan sebuah makna dari sebuah kata dengan menggunakan kata lain, merupakan bukti kesatuan makna (sinonimitas) .

Sementara kami berpendapat bahwa dalam kata “qa’ada” ada makna yang tidak terdapat pada kata “jalasa”. Kita mengatakan “qama tsumma qa’ada” (dia berdiri lalu ia duduk)…dan “kana mudhthaji’an fa jalasa” (dia berbaring kemudian duduk). Dari sini kita memahami bahwa kata “qu’ud” (bentuk dasar dari kata “qa’ada”) dipasangkan pada “qiyam” (bentuk dasar dari kata “qama”), dan kata “julus” (kata dasar dari kata “jalasa”) menyatakan (perubahan) kondisi yang lebih rendah…adapun pandapat mereka yang menyatakan bahwa jika dua makna (yang dianggap sinonim) berbeda, maka sebuah kata tidak dapat digunakan untuk mengungkapkan makna kata yang lain. Pernyataan ini dapat kami jawab bahwa ungkapan itu (bahwa sebuah makna kata diungkapkan dengan kata lain) merupakan bentuk “musyakalah” (kemiripan). Dan kita tidak berpendapat seperti mereka, bahwa dua kata tersebut berbeda. Kami berpendapat bahwa setiap kata memiliki makna yang tidak terdapat dalam kata yang lain.
Demikian ungkap al-Suyuthi.

Penolakan terhadap taraduf ini, terbakukan dalam ungkapan “ma yuzhann Annahu min al-mutaradifat fa huwa min al-mutabayinat” (apa yang dianggap sebagai sinonim sebenarnya bukan sinonim).

Mengomentari pendapat ulama tentang ketiadaan eksistensi taraduf, al-Taj al-Subuki menyatakan bahwa memang ada orang yang mengingkari eksistensinya dalam bahasa Arab dan menganggap semua yang disangkakan sebagai taraduf sebenarnya merupakan hal yang memiliki perbedaan sesuai perbedaan yang ada pada sifat-sifatnya. Al-Subuki menganggap penolakan terhadap eksistensi taraduf dengan cara meneliti sifat-sifat yang ada pada tiap kata, merupakan sebuah upaya mengada-ada yang mencengangkan. Sementara al-Fakhr al-Razi menyatakan bahwa kemungkinan terjadinya taraduf merupakan hal yang tidak disangsikan lagi. Dan tidak sedikit ulama yang menulis buku khusus yang mengumpulkan kata-kata yang mutaradif (sinonim), seperti Ibnu Khaluwaih yang menulis buku khusus tentang kumpulan nama bagi macan dan ular.

Munir Muhammad Thahir menganggap orang yang menolak eksistensi taraduf dalam semua bahasa, termasuk bahasa Arab, sebagai orang bodoh dan tendensius (mughridh). Abu al-‘Ala` al-Ma’arry pernah menghadiri majelis al-Syarif al-Murtadha, dan ditanya seseorang, “Siapa anjing ini?” Abu al-‘Ala menjawab, “Anjing adalah orang yang tidak mengetahui 70 nama bagi anjing”. Dan Abu al-‘Ala` merupakan salah satu pakar linguistik yang menolak eksistensi taraduf. Bahkan Tsa’lab, yang dijadikan rujukan utama oleh Shahrur, pernah menyatakan “Suwaida` qalbuhu, habbah qalbuhu, sawad qalbuhu, sawadah qalbuhu, jaljalan qalbuhu, aswad qalbuhu, dan sauda` qalbuhu, kesemuanya bermakna sama”.

Untuk menengahi perbedaan pendapat ini, ‘Izzuddin menyatakan bahwa ulama yang mengakui adanya taraduf melihat sisi kesamaan dalalah (maksud/substansi) dzat (yang disimbolkan dengan kata), dan orang yang menolak eksistensinya melihat perbedaan sifat yang ada tiap kata.

Dengan asumsi pembedaan antara term al-Kitab, al-Qur`an, al-Dzikr, dan al-Furqan, Shahrur membangun diskursus tafsir dan fiqh kontemporernya. Fakta adanya perdebatan ulama linguistik tentang eksistensi taraduf, nampaknya tidak membuatnya bergeming. Ia
tetap bersikukuh dengan penolakannya terhadap taraduf dan terus mengembangkan teorinya dalam melakukan pembacaan kontemporer terhadap al-Qur`an. Hal ini dapat dilihat dalam buku-buku yang dikarangnya belakangan, “Jika kita memandang sebuah buku tentang kedokteran atau tehnik yang ditulis dalam bahasa apapun, maka kita tidak akan menemukan fenomena sinominitas di dalamnya. Jika sebuah sel berbeda dari sel lain, maka penulis buku akan memberikan nama lain terhadap sel tersebut, meskipun perbedaannya sangat kecil. Demikian juga ketika sebuah batasan yang belum diketahui dalam matematika berbeda dengan batasan lain, maka penyusun buku itu akan memberikan symbol-simbol yang berbeda (S1, S2, S3,…). Demikian juga dalam rangka ketelitian ilmiah. Mengapa hal ini (tidak adanya sinominitas dalam bidang ilmu pengetahuan demi ketelitian ilmiah) yang notabene berasal dari manusia kita terima dan
kita akui dengan ketelitian ilmiah, sementar di sisi lain kita bersikeras mengatakan bahwa simbol-simbol (terminologi- terminologi) dalam Kitabullah adalah sama (sinonim)…?! Bagaimana mungkin makhluk Tuhan dalam hal pengungkapan bisa lebih teliti dari pada Tuhannya dalam hal pewahyuan?!
demikian ungkap Shahrur.

Penolakan terhadap taraduf, bisa menimbulkan konskuensi teologis yang sangat besar. Dalam al-Qur`an Surat al-Hasyr ayat 22-24, misalnya, disebutkan enam belas Asma` Allah al-Husna (Nama-nama Allah yang maha baik), yaitu: Allah, ‘Alim al-Ghaib wa al-Syahadah, al-Rahman, al-Rahim, al-Malik, al-Quddus, al-Salam, al-Mu`min, al-Muhaiman, al-‘Aziz, al-Jabbar, al-Mutakabbir, al-Khaliq, al-Bari`, al-Mushawwir, al-Hakim. Dengan penafian terhadap taraduf akan timbul pemahaman berbilangnya tuhan, bahwa Tuhan tidak lagi Maha Esa, melainkan berjumlah sebanyak nama yang ada. Hal ini tentu merupakan kekeliruan teologis yang sangat fatal.

Teori dasar yang digunakan Shahrur dalam membedakan term al-Kitab, al-Qur`an, al-Dzikr, dan al-Furqan, dibangun di atas landasan teori ketidakadaan teraduf dalam bahasa Arab. Dan ketika eksistensi taraduf masih diperdebatkan, maka teori-teori yang dibangun di atasnya menjadi debateable dan lemah argumentatif.


Tartil al-Qur`an

Setelah memaparkan teori fundamental tesisnya yang berupa penafian taraduf, Shahrur mulai mencari justifikasi distingsi term al-Kitab, al-Qur`an, al-Dzikr, dan al-Furqan. Dalam hal ini, Jakfar Dakk al-Bab mencoba memberikan justifikasi itu.

Dengan mengutip ayat 4 Surat al-Muzammil, “wa rattil al-Qur`an tartila” (dan bacalah al-Qur`an dengan perlahan-lahan) , Jakfar Dakk al-Bab yang memberikan sambutan pada buku al-Kitab wa al-Qur`an; Qira`ah Mu’ashirah, mengakui bahwa makna yang selama ini
digunakan oleh umat Islam adalah “al-ta`annuq fi tilawatihi” (membacanya dengan perlahan). Tetapi, masih menurut Jakfar, Shahrur menawarkan pemaknaan yang baru dengan berdasarkan makna dasar dari kata “ra-ta-la” (yang terdiri dari tiga huruf; Ra`, Ta`, dan Lam). Makna tersebut adalah “nassaqahu wa nazhzhamahu” (mengklasifikasikan dan menertibkan susunannya).

Pemaknaan ini bukan tanpa landasan. Dengan melihat keselarasan antara ayat (munasabah), Jakfar menyatakan bahwa pemaknaan tartil pada ayat di atas dengan arti “membaca perlahan” merupakan pemaknaan yang sama sekali salah. Karena pada ayat selanjutnya (ayat 5 Surat al-Muzammil), Allah berfirman “Inna sa nulqi ‘alaika qaulan tsaqilan” (Sesungguhnya Kami akan menurunkan kepadamu perkataan yang berat). Dan “perkataan yang berat” tidak memiliki hubungan dengan “pembacaan perlahan”, karena maksud ayat ini bukanlah berat dalam hal pengucapan, melainkan berat dalam pemahaman makna ilmiah yang dikandung al-Qur`an.

Dengan demikian, pemaknaan yang tepat terhadap kata “tartil” dalam ayat 4 Surat al-Muzammil, adalah mengurutkan dan menyusun tema-tema tunggal yang tersebar dalam ayat-ayat al-Qur`an, dan mengklasifikasikann ya hingga mudah dipahami. Demikian ungkap Shahrur.

Dengan berdasarkan pemaknaan baru terhadap perintah tartil yang ada pada ayat 4 Surat al-Muzammil, Shahrur mulai melakukan klasifikasi dan penyusunan tema-tema yang ada dalam al-Qur`an, dengan cara mengumpulkan ayat-ayat yang di dalamnya terdapat kata “al-Qur`an” dan “al-Kitab”.

Namun kemudian timbul pertanyaan: Apakah dengan ini Jakfar menganggap Rasulullah tidak memahami perintah menartilkan al-Qur`an, sehingga beliau tidak melakukan tartil sebagaimana yang dilakukan Shahrur? Dan apakah para shahabat lalai meminta Rasulullah untuk melaksanakan tugasnya secara sempurna, yaitu melakukan penyusunan dan klasifikasi (tema-tema) al-Qur`an? Jika
memang demikian, maka kita tentu dalam kesesatan, karena kita mengikuti seorang nabi yang tidak memahami perintah Tuhannya. Hal ini menjadi mencengangkan, ketika timbul persepsi bahwa Allah memberikan beban (taklif) kepada nabi-Nya dengan wahyu yang tidak dimengertinya, atau dapat dipahami tetapi ia tidak melaksanakannya? Pada akhirnya akan timbul keraguan kita terhadap al-Qur`an. Demikian ungkap Ahmad Ratib ‘Armusy.

Ketika kata tartil tidak lagi dapat dimaknakan sebagai mengklasifikasi dan menyusun tema-tema yang ada dalam al-Qur`an, maka wacana klasifikasi dan penyusunan tema-tema itu menjadi absurd dan tidak lagi memiliki dasar teoritis yang kuat.

Shahrur menamakan tema-tema yang ada dalam al-Kitab sebagai “kitab” yang dijamakkan sebagai “kutub”. Menurutnya, “al-Kitâb” berasal dari kata “ka-ta-ba”, yang dalam bahasa Arab memiliki arti mengumpulkan bagian-bagian sesuatu sehingga menghasilkan sebuah makna yang mufid (maksudnya dapat dipahami), ataumengeluarkan tema yang sempurna.

Namun sayang sekali, setelah dilakukan penelusuran kamus dan mu’jam, terhadap kata “ka-ta-ba” yang memiliki pola dasar yang terdiri dari huruf Kaf, Ta`, dan Ba`, tidak ditemukan satupun yang memberikan pemaknaan seperti yang diungkapkan Shahrur. Demikian
tulis Ahmad Imran. Sehingga diskursus pembedaan terma al-Kitab yang memuat kumpulan “kitab-kitab”, serta pembedaan antara al-Qur`an, al-Dzikr, al-Furqan sebagai bagian (sebagian tema) dari al-Kitab, sebagaimana yang ditawarkan Shahrur dalam bukunya,
menjadi lemah argumentatif, dan tidak dapat dipertanggungjawabk an secara ilmiah.

Pada akhirnya timbul sebuah kegamangan; Bahwa pendekatan linguistik yang dilakukan Shahrur ternyata tercabut dari akar kebahasaannya.


Penutup

Setelah terbukti keruntuhan teori yang dijadikan Shahrur sebagai landasan diskursus-diskursus yang ia tawarkan, maka secara otomatis seluruh diskursus itu menjadi ikut roboh. Karena tidak mungkin sebuah istana yang megah dibangun di atas tumpukan Lumpur dan sampah.

Namun demikian, perlu juga untuk mengapresiasi upaya Shahrur yang telah berhasi; “menggerakkan akal”. Dan wacana yang digulirkan Shahrur merupakan satu bukti bahwa ulum al-Qur`an dan penafsiran al-Qur`an merupakan korpus terbuka yang selalu siap untuk dikaji dan dianalisa.


Daftar Bacaan

Anis (Ibrahim), fi al-Lahjah al-‘Arabiyah, (Cairo,
1873), cet. III
Imran (Ahmad), al-Qira`ah al-Mu’ashirah li al-Qur`an
fi al-Mizan, (Beirut: Dar al-Nafa`is, 1995), cet. I.
Rumadi, Menafsirkan al-Qur`an: Eksperimen Muhammad
Shahrur, Jurnal al-Burhan, No. 6 tahun, Jakarta: 2005
Shahrur (Muhammad), Dirasat Islamiyah Mu’ashirah fi
al-Daulah wa al-Mujtama’, (Damaskus: al-Ahali, 1994)
---, Dirasat Islamiyah Mu’ashirah (4) Nahw Ushul
Jadidah li al-Fiqh al-Islami, (alih bahasa: Sahiron
Syamsuddin dan Burhanuddin dengan judul Metodologi
Fiqh Islam Kontemporer) , (Yogyakarta: Penerbit alSAQ
Press, 2004), cet. II
---, al-Islam wa al-Iman: Manzhumah al-Qiyam (alih
bahasa oleh M. Said Su’di dengan judul IMAN DAN ISLAM;
Aturan-aturan Pokok), (Yogyakarta: Penerbit Jendela,
2002) cet. I
---, al-Kitab wa al-Qur`an: Qira`ah Mu’ashirah,
(Beirut: Syirkah al-Mathbu’at li al-Tauzi’ wa
al-Nasyr, 2000), cet. VI
Shalih (Abdul Qadir Muhammad), ¬al-Tafsir wa
al-Mufassirun fi al-‘Ashr al-Hadits, (Beirut: Dar
al-Makrifah, 2003), cet. I,
al-Syawwaf (Munir Muhammad Thahir), Tahafut al-Qira`ah
al-Mu’ashirah, (Cyprus: al-Syawwaf li al-Nasyr wa
al-Dirasat, 1993), cet. I

Suksesi Kepemimpinan Dalam Islam

“Ketika etika makan dan masalah pipis diatur oleh Agama, adalah sebuah kejanggalan ketika sistem kepemimpinan negara dilupakannya”. Demikian ungkap seorang teman diskusi saya.


Memang menggelitik pikiran, ketika masalah sehari-hari yang tidak menyangkut kepentingan dan hajat hidup orang banyak, Agama menggariskan banyak peraturan dan tata etika. “Makanlah dengan tangan kanan!” (HR. Muslim), demikian etika makan yang diajarkan Agama, “Dan makanlah makanan yang halal” (QS. Al-Baqarah 168, al-Maidah 88, dan al-Nahl 114. Demikian Agama mengatur masalah makanan.

“Setelah makananmu dicerna oleh lambung, dan kamu hendak membuang hajat, maka hendaknya kamu mendahulukan kaki kiri saat masuk ke toilet, dan jangan melakukan buang air menghadap ke kiblat!” demikian aturan Agama ‘memasuki’ toilet.

Baik ketika makan, atau saat melakukan ‘ritual’ toilet, juga mendidik anak, melakukan transaksi ekonomi, berwudhu, berpuasa dan hal-hal yang berhubungan dengan ritual peribadatan dan kebiasaan sehari-hari tiap orang, semuanya memiliki aturan yang ditetapkan oleh Agama. Lalu bagaimana dengan aturan memilih dan mengangkat pemimpin negara, yang menyangkut kepentingan orang banyak; Apakah Agama memberikan aturan baku?


Modus Suksesi Dalam Islam

Menjawab pertanyaan di atas, saya akan coba mengulas proses pemilihan dan pengangkatan pemimpin yang pernah terjadi pada masa al-Khulafa` al-Rasyidun, yaitu era shahabat yang dinyatakan oleh Rasulullah sebagai era yang terbaik yang pernah ada dalam perjalanan sejarah (HR. Muslim)

Menarik untuk mempelajari sistem pemilihan pemimpin atau khalifah dalam Islam pada masa al-khulafa’ al-rasyidun, pasalnya sistem yang digunakan tidak baku dan berubah-ubah. Dan setidaknya ada tiga mekanisme pemilihan khalifah yang pernah dijalankan pada masa shahabat, demikian ungkap Sayyid Ahmad hamur. Hal ini karena Islam mengakui sistem-sistem pemilihan pemimpin yang bersifat kondisional sesuai dengan kebutuhan dan kemashlahatan umum, selama masih berpedoman kepada al-Qur`an dan sunnah Rasulullah.

Pertama, mekanisme pemilihan langsung yang dijalankan pada pemilihan Khalifah Abu Bakar,

Dalam sebuah Hadis dikisahkan beberapa Shahabat bertanya kepada Rasulullah tentang orang yang akan menggantikan beliau, “Ya Rasulullah, tidakkah Anda menunjuk orang yang akan menjadi pengganti Anda?” tanya mereka. Rasulullah menjawab tidak, “Kalau aku menunjuk seorang pengganti (sebagai khalifah) kemudian kalian mendurhakainya, maka kalian akan tertimpa azab”(HR. alBazzar) Mekanisme yang serupa juga dipilih khalifah Ali bin Abu Thalib.

Saat ditanya, “Apakah anda tidak akan mengangkat orang sebagai pengganti anda (sebagai khalifah)?”. Sayyidina Ali menjawab, “Rasulullah tidak menunjuk orang sebagai penggantinya, lalu (bagaimana mungkin) aku mengangkat orang sebagai penggantiku?! Tetapi kalaulah Allah Menghendaki kebaikan bagi manusia, maka Ia akan mengumpulkan manusia sesudahku dalam kepemimpinan manusia yang terbaik, seperti Allah telah mengumpulkan manusia atas orang yang terbaik”. Maksudnya Abu Bakar.(HR. Al-hakim)

Pola ini dijewantahkan berupa pemilihan (pembaiatan) langsung oleh rakyat kepada khalifah yang mereka kehendaki, tanpa adanya penunjukkan dari khalifah sebelumnya.

Kedua, mekanisme formatur yang digunakan oleh khalifah Umar bin al-Khathab dalam memilih orang yang akan mengantikannya. Umar menunjuk enam orang pemuka shahabat—yang masih tersisa dari sepuluh orang yang diridhai Rasulullah dan dijamin masuk surga olehnya—untuk bermusyawarah guna memilih salah seorang dari mereka untuk menjadi khalifah. Orang-orang yang duduk di kursi formatur ini merupakan shahabat-shahabat pilihan yang memiliki kredibilitas tinggi, keluasan ilmu dan pengalaman, serta merupakan panutan dan sosok yang berpengaruh dalam masyarakat. Rasulullah sendiri menjamin kualitas diri para anggota formatur lewat pernyataan beliau bahwa mereka adalah orang-orang yang pasti masuk surga.

Ketiga, pola monarki yang dipilih oleh Khalifah Abu Bakar saat menunjuk Sayidina Umar bin al-Khathab sebagai khalifah penggantinya. Kebijakan ini diambil Abu Bakar dengan pertimbangan menjaga persatuan umat Islam. Beliau khawatir “Tragedi Saqifah bani Saidah” terjadi lagi, saat itu kaum Muhajirin dan Anshar berdebat sengit masalah orang yang berhak menjadi khalifah Rasulullah. Perdebatan ini hampir membawa disintegrasi umat Islam, karena masing-masing kelompok bersikukuh menggolkan “jagonya” menjadi khalifah. Bahkan bisa jadi, fitnah yang timbul akibat perselisihan masalah kekhalifahan, lebih besar dari pada fitnah riddah (murtadnya banyak kaum muslimin).

Perlu diingat bahwa mekanisme ini dipilih Abu Bakar setelah beliau bermusyawarah dengan banyak shahabat, sehingga ketetapan yang diambil sesungguhnya merupakan kehendak mayoritas umat Islam, kalau tidak mau dikatakan kehendak semua shahabat.

Saat terbaring sakit menjelang kewafatannya, Khalifah Abu Bakar menunjuk Umar bin al-Khathab sebagai khalifah yang akan menggantikannya.

Pola pemilihan kedua dan ketiga ini, merupakan sistem yang baik, karena orang yang dijadikan pengganti (dan tim formatur yang akan memilih pengganti) khalifah tidak dipilih berdasarkan kekerabatan, atau golongan (nepotisme), melainkan berdasarkan profesionalisme dan kelayakan.

Sayidina Abu Bakar menghendaki khalifah yang akan menggantikannya merupakan sosok shahabat yang keras tapi tidak sewenang-wenang, dan lembut tapi tidak lemah. Kriteria ini ada pada banyak shahabat, namun nampaknya Umar bin al-Khathab paling cocok untuk mengemban amanah kekhalifahan. Penilaian ini berasal dari subyektivitas Abu Bakar dan para shahabat yang diajaknya bermusyawarah.

Saat Sayidina Abdurrahman bin ‘Auf menyatakan bahwa Sayidina Umar bin al-Khathab merupakan sosok shahabat yang keras, Sayidina Abu Bakar menjawab, “ia berlaku keras karena melihat diriku yang lembut. Kalaulah urusan ini (kekhalifahan) diserahkan padanya, niscaya ia akan meninggalkan banyak sifat kerasnya itu”.

Setelah merasa mantap dengan pilihannya, Sayidina Abu Bakar memanggil Sayidina Utsman bin ‘Affan untuk menuliskan keputusannya itu, “Bismillahirrahmanirrahim (Dengan menyebut Nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang). Ini adalah keputusan Abu Bakar bin Abu Quhafah untuk kaum Muslimin, Amma Ba’du”. Sejenak kemudian beliau pingsan, “Aku telah menetapkan Umar bin al-Khathab sebagai khalifah penggantiku, dan aku tidak menetapkannya untuk kalian kecuali kebaikan”. Sayidina Utsman menulis apa yang didiktekan Khalifah Abu Bakar.

Tidak lama kemudian Sayidina Abu Bakar siuman dan berkata, “Bacakan kepadaku apa yang engkau tulis!”. Dan Sayidina membaca apa yang didiktekan Abu Bakar kepadanya dengan tambahan yang berasal darinya saat khalifah pingsan.

“Aku melihat dirimu khawatir akan munculnya perselisihan kaum muslimin, jika aku meninggal tiba-tiba (sehingga dirimu berinisiatif menambahkan atas apa yang aku diktekan kepadamu)”. Ujar Abu Bakar. Sayidina Usman mengiyakan. “Semoga Allah membalasmu dengan pahala atas apa yang telah engkau lakukan untuk Islam dan kaum Muslimin” tanggap khalifah Abu Bakar seraya menetapkan keputusan tersebut beserta tambahannya.

Kemudian khalifah tampil di depan khalayak umum untuk mengumumkan keputusannya, dengan dipapah oleh istrinya, Asma` binti ‘Umais. “Apakah kalian ridha dengan orang yang aku tunjuk menjadi penggantiku?” tanya Khalifah. “Demi Allah, aku telah matang memikirkannya dan aku tidak mengangkatnya sebagai penggantiku karena kekerabatannya. Orang itu adalah Umar bin al-Khathab, maka dengarkanlah segala perintahnya dan patuhilah dia”. Dan kaum muslimin menyatakan kesetiaan dan kepatuhannya.

Dengan membaca sejarah di atas, nampaknya bahwa Islam tidak memberikan modus baku untuk suksesi pemerintahan. Islam mempersilahkan kaum muslimin memilih dan menetapkan sendiri model suksesi yang sesuai dengan kebutuhan mereka. Mungkin hal ini selaras dengan sabda Rasulullah, ”Kalian lebih mengetahui urusan duniawi kalian”.
Allah A’lam

Fiqh Sebagai Produk Akal

Secara kodrati manusia memiliki kecenderungan untuk berbeda satu dengan lainnya. Fisik dan psikis (kejiwaan) tiap orang berbeda.

Orang tua yang membesarkan dan lingkungan masyarakat tempat tinggal juga berbeda. Daya tangkap panca indera dan nalar berpikir berbeda. Kualitas dan kesempatan mendapatkan pendidikan tiap orang berbeda. Status ekonomi dan sosial berbeda. Problematika dan konflik hidup berbeda. Zaman dan topografis tempat mereka tinggal berbeda. Dan masih banyak faktor lain yang menjadi pemicu timbulnya perbedaan-perbedaan seorang manusia dengan yang lain.

Perbedaan-perbedaan yang ada di antara manusia diakui oleh Allah dalam al-Qur`an Surat Hud ayat 118-119, "Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat. Kecuali otang-orang yang diberi rahmat oleh Tuhanmu. dan untuk itulah Dia menciptakan mereka".

Perbedaan-perbedaan ini menjadi penyebab utama timbulnya perbedaan memaknai dan memahami teks dan dalil-dalil Agama, atau yang sering kita sebut sebagai
ihkhtilaf fiqhy.

Fiqh adalah produk dari akal, sementara akal seseorang tidaklah sama dengan akal orang lain. Dalam fiqh memang banyak terdapat perbedaan, dan perbedaan-perbedaan itu dibenarkan dalam masalah-masalah furu'iyyah (cabang) setelah umat Islam bersepakat dalam masalah ushuliyyah (pokok). Demikian ungkap Abdullah bin Abdul Muhsin al-Turky dalam kitab Asbab Ikhtilaf al-Fuqaha`. Selama masing-masing pendapat memiliki argumentasi yang dibenarkan oleh Agama, yaitu al-Qur`an, Hadis Shahih, Ijma' (consensus) ulama, dan qiyas (analogi/menyamakan hukum sebuah perbuatan yang tidak memiliki status hukum definitif dan pasti dengan perbuatan yang memiliki kesamaan bentuk dan telah memiliki status hukum yang pasti).

Kewajiban shalat adalah contoh masalah ushuliyah yang tidak dibenarkan adanya pertentangan pendapat. Tiap orang harus meyakini bahwa shalat hukumnya wajib atas orang Islam. Sementara tata cara pelaksanaannya berupa rukun, syarat, kesunahan, dan perkara-perkara yang membatalkannya, maka akan kita temui banyak perbedaan pendapat, karena semuanya ini merupakan masalah furu'iyyah. Selama semua pendapat mengacu pada dalil al-Qur`an dan Hadis shahih, maka kita harus
menerimanya sebagai bentuk variasi (tanawwu') dalam beribadah yang diajarkan oleh Rasulullah. Dan selama amal ibadah yang kita laksanakan memiliki dalil, maka ia sah hukumnya, walaupun secara zhahir ia berbeda dengan tata cara yang dipraktikkan orang lain.

Sebagai contoh salah satu perbuatan yang sering menjadi bahan diskusi, bahkan cenderung mengakibatkan perpecahan di antara mereka adalah doa qunut dalam
shalat Shubuh. Ada sebagian orang yang melaksanakan qunut mencibir orang yang tidak berqunut dan menilai shalat Shubuh yang dilakukan tanpa qunut nilainya
"kurang afdhal", karena ada kesunahan shalat yang ditinggalkan. Sebaliknya sebagian orang yang tidak menggunakan doa qunut menyalahkan orang yang berqunut, dan menganggap qunut dalam shalat Shubuh adalah sebuah kebid'ahan yang tidak dibenarkan dalam Islam.

Seandainya kita mau membuka kitab Sunan al-Nasa'i, sebuah kitab Hadis standar bacaan umat Islam, maka akan kita dapati dalil orang yang tidak berqunut pada
bab Tark al-Qunut (meninggalkan qunut), "Aku shalat di belakang (menjadi makmum) Rasulullah dan beliau tidak berqunut (pada shalat Shubuh). Aku juga shalat di belakang Abu Bakar, Umar, Ustman, dan Ali (ternyata) mereka semua juga tidak berqunut. wahai anakku, sesungguhnya ia (qunut dalam shalat Shubuh) hukumnya
bid'ah". Hadis semakna juga diriwayatkan oleh Ibn Hibban dalam kitab Shahih-nya.

Sementara dalam kitab yang sama (Sunan al-Nasa'i) pada bab al-Qunut fi shalat al-Shubh (berqunut pada shalat Shubuh), al-Nasa`i meriwayatkan Hadis, "Shahabat Anas bin Malik ditanya: Apakah Rasulullah berqunut pada shalat Shubuh? beliau menjawab: Iya! Beliau ditanya lagi: Sebelum ruku' atau sesudahnya? Beliau menjawab: Sesudah ruku'!"

Ulama yang memahami bahwa qunut yang dilakukan Rasulullah pada shalat Shubuh bukan semata qunut nazilah (qunut yang dilakukan saat kaum muslimin tertimpa musibah atau qunut untuk melaknati kaum kafir yang berlaku zhalim), mereka berargumen dengan Hadis yang diriwayatkan oleh Ahmad dalam kitab Musnad,
"Rasulullah senantiasa berqunut pada shalat Fajar (Shubuh) sehingga beliau meninggal dunia". Hadis semakna juga diriwayatkan oleh al-Daruquthni dalam kitab Sunan-Nya.

Berdasarkan tiga Hadis di atas, dan hadis-hadis lainnya, para ulama berselisih pendapat tentang hukum berqunut pada shalah Shubuh. Ibn Qudamah dalam kitab
al-Mughni berpendapat bahwa qunut yang dilakukan pada shalat Shubuh bukanlah sebuah kesunahan. pendapat ini juga difatwakan oleh Sufyan al-Tsauri, Abu Hanifah,
dan diriwayatkan pendapat ini dari Ibn Abbas, Ibn Umar, dan Ibn Mas'ud. Sementara Malik bin Anas, al-Syafi'i, Abu Ya'la, dan ulama lainnya berpendapat bahwa berqunut dalam shalat Shubuh hukumnya sunnah.

Ada ulama yang mencoba memahami kedua pendapat dengan menyatakan bahwa Hadis yang menyatakan bahwa Rasulullah berqunut pada shalat Shubuh dan Hadis yang menyatakan bahwa beliau tidak berqunut (bahkan qunut dalam shalat Shubuh adalah bid'ah) memberikan pengertian bahwa Rasulullah terkadang berqunut dan
terkadang tidak berqunut. Sehingga dapat diambil kesimpulan bahwa qunut dalam shalat Shubuh hukumnya sunnah, bukan wajib.


Fiqh = Produk Ijtihad

Sebagaimana telah disinggung di atas, perbedaan pendapat dalam pengertian tertentu bukanlah sesuatu yang tabu dalam Islam. Sebagian mujtahid (ulama) ada
cenderung kaku dan berhati-hati dalam menetapkan hukum, sementara mujtahid yang lain bersikap lunak dan mempermudah dalam berfatwa (Rasulullah sendiri senantiasa memilih di antara dua hal, mana yang lebih mudah selama hal itu tidak merupakan dosa).

Kondisi sosio-geografis serta keadaan politik juga mempunyai andil dalam timbulnya perbedaan ijtihad. Ulama yang hidup di tengah-tengah kondisi perang, tentu memiliki kecenderungan fatwa yang berbeda dengan ulama yang hidup ditengah keadaan damai. Begitu pula perbedaan kondisi sosio-ekonomi. Misalnya dalam sebuah Hadis dinyatakan bahwa seorang pencuri dipotong tangannya ketika barang curiannya mencapai nilai sebuah perisai perang (mijann). Abu Hanifah yang merupakan ulama konglomerat menetapkan 12 Dinar sebagai nilai sebuah perisai perang, sementara
al-Syafi'i yang merupakan sosok ulama sederhana menetapkan 4 Dinar. Hal ini tidak aneh, di mana seorang konglomerat tentu akan membeli perisai dengan kualitas terbaik, sementara nilai perisai tentu tidak sama, tergantung kualitas dan bahan bakunya.

Dan nampaknya, kualitas intelektual masing-masing mujtahid merupakan faktor dominan timbulnya perbedaan hasil ijtihad, di mana orang yang tersinari "cahaya
ilham" (al-Suyuthi menyebutnya "ilmu mauhibah") tentu memiliki kemampuan ijtihad yang berbeda dari orang biasa. Dan mujtahid yang telah membaca 20 jilid kitab Hadis, tentu memiliki wawasan yang lebih luas dibanding orang yang baru membaca kitab Arba'in
Nawawi.

Al-Syafi'i merevisi fiqhnya (dalam qaul jadid) saat tinggal di Mesir, setelah mendapatkan Hadis-hadis dan diskursus (wacana) fiqh yang sebelumnya tidak beliau
temukan saat masih tinggal di Irak. Al-Syafi'i menyatakan bahwa walaupun seluruh penduduk Madinah tidak berqunut saat shalat Shubuh, beliau tetap menyatakan qunut itu hukumnya sunnah karena ada sebuah Hadis yang menyatakan demikian (dugaan saya, Hadis itu tidak sempat diterima oleh penduduk Madinah, dari seorang shahabat yang berdomisili di Irak).

Sebuah Hadis yang dinilai shahih oleh seorang ulama, bisa jadi dinilai dhaif oleh ulama yang lain, karena penilaian keshahihan Hadis merupakan ijtihad. Hal ini pada akhirnya berimbas kepada penggunaan Hadis itu sebagai landasan berijtihad. Dan sederhana atau rumitnya sebuah permasalahan, juga menjadi faktor timbulnya perbedaan hasil ijtihad. Termasuk karakteristik bahasa Arab (bahasa al-Qur`an dan Sunnah) yang dapat dipahami secara denotatif (hakiki) dan konotatif (majazi) dalam waktu yang sama, serta musytarak (satu kata memiliki lebih dari satu makna) seperti kata "quru`" (QS. Al-Baqarah ayat 228) yang dapat diartikan suci dan haidh sekaligus. Pemaknaan
"quru" sebagai masa suci dianut oleh Aisyah, Ibn Umar, Zaid bin Tsabit, al-Syafi'i, Malik, Daud al-Zhahiri, dan beberapa ulama lain. Sementara Abu Bakar, Umar bin al-Khathab, Utsman bin 'Affan, Ali bin Abu Thalib, mayoritas shahabat, Abu Hanifah, al-Auza'i, Said bin al-Musayyib, Hasan al-Bashri, dan beberapa ahli fiqh golongan tabi'in memahami "quru`" sebagai masa haidl

Hakikat Fiqh

Secara etimologis, fiqh diartikan sebagai pemahaman yang mendalam. Ungkapan bahwa langit ada di atas, atau bahwa dua adalah seperenam dari dua belas bukanlah merupakan fiqh, karena ia tidak memerlukan analisa yang mendalam. Lain halnya masalah bunga bank konvensional, apakah ia identik dengan riba yang secara tegas diharamkan al-Qur`an (QS. Al-Baqarah ayat 275) dan Sunnah, atau tidak identik dengan riba. Hal yang perlu diingat, al-Qur`an tidak pernah menyebut bunga bank, dan Rasulullah tidak pernah memberikan ketetapan hukum atasnya mengingat lembaga bank itu sendiri tidak ada di zaman beliau. Karenanya diperlukan analisa yang mendalam ketika mendefinisikan riba, apa kriterianya, serta illah hukum (ratio legis)
yang ada di balik pengharaman riba, untuk kemudian menganalisa bunga bank konvensional.

Sesaat sebelum diutus ke Yaman untuk menjadi hakim dan juru dakwah, Muadz bin Jabal menjalani fit and proper test di hadapan Rasulullah. Isi pertanyaan uji kelayakan itu adalah cara atau mekanisme yang akan digunakan Muadz dalam membuat keputusan. Dengan tegas dan lugas Muadz menjawab, "Aku akan membuat keputusan
berdasarkan al-Qur`an. Jika aku tidak mendapatkan landasan normatifnya dalam al-Qur`an, aku akan memutuskannya berdasarkan Sunnah Rasulullah. Kemudian
jika dalam al-Qur`an dan Sunnah tidak aku temukan landasan hukumnya, aku akan berijtihad menggunakan segenap potensi nalarku" (HR. Ahmad, Abu Dawud, dan
al-Tirmidzi). Rasulullah tersenyum dan membenarkannya.

Berdasar Hadis di atas, hukum Islam ditetapkan berdasarkan al-Qur`an, Sunnah dan ijtihad. Dan dengan memperhatikan urutannya, seorang mujtahid harus melakukan kajian atas al-Qur`an sebelum ia menoleh ke Sunnah. Mekanisme ijtihad dapat dilakukan setelah dipastikan bahwa al-Qur`an dan Sunnah tidak memberikan keputusan. Ijtihad memiliki fungsi yang sangat penting mengingat "keterbatasan" al-Qur`an yang terdiri dari 6000 ayat lebih sedikit, dan Sunnah yang terputus seiring wafatnya Rasulullah. Ijtihad merupakan media yang menjaga relevansi nash (al-Qur`an dan Sunnah) di sepanjang waktu dan di semua tempat

Pada masa Rasulullah setiap kali muncul permasalahan, para shahabat langsung bertanya dan meminta keputusan kepada beliau. Terkadang Allah menurunkan wahyu untuk menanggapi permasalahan itu, dan seringkali Rasulullah berijtihad yang kemudian mendapat pembenaran (berupa pembiaran, penguatan atau justru koreksi) dari Allah melalui wahyu-Nya.

Para ulama juga menyatakan bahwa ijtihad Rasulullah (baca: Sunnah) merupakan wahyu Ilahi. Karena ijtihad yang dilakukan Rasulullah, mendapat konfirmasi dari
wahyu. Sehingga dapat dinyatakan bahwa sumber hukum pada masa ini adalah wahyu semata.

Ada juga ijtihad individual yang dilakukan shahabat. Namun hal itu masih perlu penetapan dari Rasulullah, sehingga yang menjadi sumber hukum bukanlah ijtihad
shahabat itu melainkan wahyu yang mengkonfirmasikannya. Misalnya peristiwa dua orang shahabat yang dalam perjalanan tidak mendapati air untuk berwudhu. Keduanya bertayammum lalu melakukan shalat secara berjamaah lalu melanjutkan perjalanan.
Di tengah jalan mereka menemukan air. Salah seorang shahabat berwudhu dan mengqadha shalatnya, sementara yang lain tidak mengqadha dengan alasan bahwa ia telah melaksanakan shalat. Saat dilapori, Rasulullah menyatakan bahwa orang yang mengqadha shalat mendapat pahala dobel, sementara orang yang tidak mengqadha
telah sesuai dengan sunnah.

Dalam perang Dzat al-Salasil, shahabat 'Amr bin al-'Ash pernah menjadi imam shalat Shubuh padahal ia dalam keadaan jinabat. Rasulullah yang dilapori hal ini meminta penjelasannya. 'Amr menjelaskan bahwa saat itu udara sangat dingin. Ia mengkhawatirkan keselamatannya jika harus "mandi besar" sementara Allah telah berfirman, "dan janganlah kalian membunuh dirimu. Sesungguhnya Allah Maha Penyayang kepadamu" (QS. Al-Nisa ayat 29). Mendengar jawaban ini, Rasulullah tertawa dan mendiamkannya (HR. Ahmad)

Sesaat setelah perang Ahzab, Rasulullah memerintahkan para shahabat untuk berangkat ke perkampungan Yahudi Bani Quraizhah. Para shahabat juga diperintahkan untuk tidak melaksanakan shalat Ashar kecuali di perkampungan Bani Quraizhah. Di tengah perjalanan waktu Ashar hampir habis. Sebagian shahabat ada yang berhenti di tengah jalan untuk mendirikan shalat Ashar, dengan alasan bahwa Allah telah menetapkan waktu bagi masing-masing shalat (QS. Al-Nisa` ayat 103). Mereka memahami sabda rasulullah untuk melaksanakan shalat Ashar hanya di perkampungan Bani Quraizhah sebagai perintah untuk menyegerakan perjalanan. Sementara ada shahabat lain yang memahami perintah Rasulullah ini secara harfiyah, dan melaksanakan shalat Ashar setibanya di perkampungan Bani Quraizhah secara qadha. Ijtihad dua kelompok ini dibenarkan oleh Rasulullah (HR. al-Bukhari dan Muslim).

Peristiwa Saqifah bani Saidah saat kaum Muhajirin dan Anshar berselisih pendapat mengenai sosok shahabat yang akan menjadi khalifah, merupakan contoh perbedaan
ijtihad di kalangan kaum muslimin. Sebenarnya masih banyak lagi contoh yang menggambarkan bahwa ijtihad sudah dilakukan oleh para shahabat. Yang perlu digarisbawahi adalah kedewasaan shahabat dalam menyikapi perbedaan pendapat dan mekanisme syura yang digunakan untuk menyelesaikan perbedaan itu.


Pintu Ijtihad

Yusuf al-Qardhawi pernah menyatakan bahwa pintu ijtihad selalu terbuka, dan tidak seorangpun berhak menutup pintu yang telah dibuka oleh Rasulullah. Namun demikian ada dua hal yang perlu diperhatikan, yaitu objek ijtihad dan pelaku ijtihad.

Ijtihad, dengan fiqh sebagai produknya, hanya berlaku pada permasalahan yang tidak memiliki ketetapan hukum dalam al-Qur`an dan Sunnah. Pernah suatu ketika saat mengajar, al-Syafi'i diminta fatwa tentang sebuah permasalahan. Beliau menjawabnya dengan merujuk sebuah Hadis. Si penanya merasa perlu menanyakan pendapat
pribadi al-Syafi'i yang bukan berdasarkan Hadis, namun ia justru mendapat hardikan keras dari al-Syafi'i, "Apakah engkau melihat aku keluar dari gereja, atau engkau dapati di pinggangku ikat pinggang orang yahudi?! Ketika Rasulullah telah menetapkan sesuatu kemudian aku mengeluarkan pendapat pribadi!".

Dan yang tidak kalah penting adalah otoritas ijtihad yang hanya dimiliki ulama yang berkompeten. Al-Suyuthi menyebutkan lebih dari 150 disiplin ilmu yang harus dimiliki seseorang sebelum ia boleh berijtihad. Dalam generasi shahabat kita temui beberapa orang yang memiliki predikat fuqaha shahabat (ahli fiqh golongan shahabat), misalnya Umar bin al-Khathab, Ali bin Abu Thalib, Ibn Abbas dan Aisyah radhiyallah 'anhum.
Sementara kebanyakan shahabat lain menyandarkan solusi atas permasalahan mereka kepada para fuqaha itu.

Dalam al-Hawi, al-Suyuthi berkata, "Kalaulah orang-orang bodoh mau diam, maka perselisihan akan sedikit". Dan memang dalam kehidupan sehari-hari kita temui orang-orang awam justru yang ramai bermain di "wilayah khilafiyah". Karena mereka inilah ikhtilaf menjadi potensi perpecahan umat, bukan justru menjadi rahmat.

Bagi orang yang mampu berijtihad, maka hendaknya ia menggunakan anugerah itu. Sementara masyarakat awam diharap mengikuti para ulama (ittiba'), dan jangan
coba-coba berijtihad.

Adapun timbulnya pertikaian akibat mazhab dan ittiba', maka ini lebih diakibatkan ketidakdewasaan sikap. Karena ijtihad dan ittiba' bersifat netral, seperti sebilah pisau yang dapat digunakan mengiris bawang dan menodong di jalanan, mirip ilustrasi yang dikatakan Ali bin Abu Thalib berkata, 'Perkataan yang hak, namun digunakan untuk kebathilan” (kalimah al-haqq urida biha al-bathil).


Perbedaan Hasil Ijtihad

Al-Qur`an mengabadikan perbedaan ijtihad antara nabi Dawud dengan nabi Sulaiman dalam masalah "kambing yang memakan ladang" (QS. Al-Anbiya` ayat 78-79). Kedua
ijtihad yang berbeda ini mendapat apresiasi dari Allah. Dan dalam sebuah kesempatan, Rasulullah menyatakan bahwa jika seorang hakim (dan mujtahid) tepat dalam berijtihad, maka ia mendapat dua pahala. Sementara jika ia keliru, maka ia mendapat satu pahala.

Berikut adalah contoh perbedaan ijtihad.

Dalam sebuah Hadis disebutkan Rasulullah pernah melakukan shalat jama' di perjalanan. Beberapa ulama, setelah melakukan penghitungan, menyatakan bahwa jarak minimal perjalanan yang membolehkan menjama' shalat adalah 80,65 km (lih. Fiqh 'ala Madzahib al-Arba'ah). Ada juga yang menyatakan bahwa jarak ini adalah jarak
pulang-pergi. Artinya siapa yang melakukan perjalanan sejauh 41 kilo diperbolehkan melakukan jama' shalat. Baik ada kesulitan dalam perjalanan maupun tidak, jama' shalat tetap boleh. Misalnya orang yang pergi dari Jakarta ke Kuta Bali menaiki pesawat yang nyaman dan hanya membutuhkan waktu kurang dari 2 jam.

Ada juga ulama yang menyatakan bahwa alasan kebolehan jama' shalat adalah adanya kesulitan dalam perjalanan. Rasulullah sendiri menyatakan bahwa bepergian adalah
sepotong kesulitan (masyaqqah). Sehingga siapa saja yang merasa kerepotan saat perjalanan, sedekat apapun jaraknya, ia tetap boleh menjama’. Seorang karyawan
atau manager perusahan yang rumahnya di Ciputat sementara kantornya di jalan Gatot Subroto bila ia terjebak macet, maka baginya menjama' shalat atau melakukan shalat di dalam kendaraan (dengan bertayammum).

Dan dalam sebuah Hadis yang diriwayatkan al-Nasa`, disebutkan bahwa Rasulullah pernah menjama' shalat di rumah. Ibn Abbas yang diminta konfirmasi tentang hal
ini, mengiakannya seraya mengira-ngira bahwa saat itu sedang turun hujan. Berdasar Hadis ini, sementara ulama ada yang membolehkan jama' shalat tanpa alasan perjalanan, misalnya dua orang mempelai yang biasanya dirias pada jam 9 pagi, dan baru lepas riasan jam 4 sore, maka baginya jama' shalat Zhuhur dan Ashar.
Namun ulama yang membolehkan jama' shalat di rumah, memberikan beberapa persyaratan (conditions).

Ibn Qudamah, seorang faqih mazhab Hanbali menyatakan bahwa perbedaan yang ada di antara para ulama adalah rahmat, dan kesepakatan mereka adalah hujjah yang
tidak bisa dibantah dan didebat.

Dari sini kita pahami bahwa ijtihad dan perbedaan fiqh sudah ada semenjak zaman shahabat, maka menjadi aneh jika sekarang ada orang yang ingin meniadakannya, atau justru menjadikannya sumber perpecahan umat Islam. Dan, sekali lagi, perlu kedewasaan dalam menyikapi perbedaan fiqh. Para ulama menyarankan untuk
menggunakan dua standar dalam menentukan pilihan di antara ijtihad-ijtihad yang ada:

(1) Pendapat mana yang memiliki argumentasi dalil dan penalaran yang lebih kuat, serta

(2) Yang paling sesuai dengan suara hati nurani.

Wallah a'lam.