ME...

ME...
MUSCAT-OMAN 2005

Selasa, 04 November 2008

Qira'ah Mu'ashirah Atas Qira'ah Mu'ashirah Karya M. Shahrur

Muhammad Shahrur adalah seorang insinyur (muhandis) tehnik sipil berkebangsaan Suriah yang lahir pada tanggal 11 Maret 1938 di perempatan Salihiyah Damaskus.

Ia merupakan anak kelima dari seorang tukang celup yang mengirimnya bukan ke sekolah Agama, melainkan justru ke sekolah dasar dan menengah di al-Midan, di pinggiran kota sebelah selatan Damaskus.

Setelah menyelesaikan pendidikan dasar dan menengahnya di Damaskus, untuk kemudian pada 1957 berangkat ke Saratow, dekat Moscow untuk mempelajari ilmu tehnik. Di sinilah ia berkenalan dengan marksisme yang kemudian mempengaruhi beberapa tulisannya tentang Islam. Pada tahun 1964 ia kembali ke Suriah untuk melanjutkan magister dan doktoralnya dalam bidang mekanika tanah dan tehnik pondasi di universitas College, Dublin, Irlandia.

Dalam waktu 4 tahun ia berhasil menyelesaikan magister dan doktoralnya kemudian pada akhirnya ia kembali ke Suriah pada tahun 1972. Sekembalinya ke Suriah, ia bergabung dengan universitas Damaskus dan menjadi mitra sebuah perusahaan tehnik sipil. Shahrur tidak bergabung dengan institusi Islam manapun, dan dia tidak pernah menempuh pelatihan resmi atau memperoleh sertifikat dalam ilmu-ilmu keislaman.

Latar belakang akademisnya sering menjadi sasaran kritik orang-orang yang tidak seide dengannya, terutama dalam kajian metodologi al-Qur`an. Abdul Qadir Muhammad Shalih dengan secara implisit menggugat kelayakan Shahrur dalam mengkaji al-Qur`an dengan menyatakan bahwa Shahrur bukan ahli dalam al-Qur`an, ia merupakan orang yang ahli dalam tehnik. Munir Muhammad Thahir mengatakan bahwa Shahrur bahkan belum mempelajari Islam, dan ini merupakan salah satu penyebab penyimpangan- penyimpangan terhadap ajaran Agama yang ia lakukan dalam buku al-Kitab wa al-Qur`an; Qira`ah Mu’ashirah.

Dan sebagai seorang yang tidak diperkirakan masuk dalam lingkaran wacana keagamaan, Shahrur harus menghadapi penentangan massif dari hampir seluruh para ahli yang professional di bidang Agama. pada saat yang sama, dia tidak memiliki lembaga pendukung, baik jaringan yang berbasis akademik maupun “pesantren” (lembaga pendidikan Islam). Lingkaran ini menyebabkannya dianggap telah dibayar oleh organisasi asing/zionis. Sementara ada juga yang menuduhnya menciptakan agama yang benar-benar baru, melakukan plagiatisme (penjiplakan) , atau berkomitmen melakukan perbuatan “dilettantisme” yang tidak termaafkan dalam wilayah penafsiran. Dan di antara hampir dua lusinan karya yang menanggapinya, hampir tidak tidak ada reaksi yang positif terhadapnya. Demikian pengantar yang ditulis Andreas Christmann. Di antara para penulis buku yang mengkritiknya itu, ada yang berprofesi sebagai pengacara dan yang ahli tehnik.

Pada September 1990, setelah menekuni filsafat dan lingusitik, Shahrur menerbitkan al-Kitâb wa al-Qur`ân: Qirâ`ah Mu’âshirah yang kemudian mengangkat namanya di kalangan pemikir Timur Tengah sebagai seorang tokoh kontroversial. Sebuah buku yang ditulisnya setelah melakukan kajian serius tentang al-Qur`an selama dua puluh tahun.

Jakfar Dakk al-Bâb, seorang kawan yang sekaligus menjadi guru linguistik bagi Shahrur, menyatakan bahwa Shahrur telah berhasil mengintrodusir banyak hal yang baru dalam bukunya itu, yang bertolak belakang dengan mainstream pemahaman yang diyakini umat Islam selama ini. Kontroversi yang terdapat dalam bukunya ini, menjadikannya merasa perlu memberikan penegasan bahwa ia adalah orang Arab muslim yang beriman. Berbeda dengan Nashr Abu Zaid yang menyatakan bahwa kajian yang dilakukan Shahrur dalam bukunya itu, tidak memuat sesuatu yang orisinal dan baru, demikian juga kritik yang dilakukannya terhadap kemapanan fiqh.

Shahrur menegaskan bahwa al-Qur`an senantiasa sesuai dengan segala ruang dan waktu sampai hari Kiamat. Kemukjizatan dapat dibuktikan melalui pendekatan ilmiah, dan menuntut usaha keras para ilmuan dari berbagai disiplin ilmu untuk menguak rahasianya. Ia lalu mengkritik kebanyakan ulama yang menurutnya terikat pada pemahaman al-Qur`an yang sudah ketinggalan zaman. Menurutnya, para ulama tradisional (salafi) merupakan muqallid (pengikut buta) yang mengabaikan konteks ruang dan waktu, serta menyia-nyiakan potensi akal yang diberikan Allah Ta’ala. Syahrur juga menganggap sunnah Rasulullah hanya sebagai salah satu variasi dari pengamalan
al-Qur`an, dan ini tidak menutup kemungkinan adanya variasi implementasi ajaran dan nilai al-Qur`an yang lain. Menurutnya, hukum-hukum yang ditetapkan Rasulullah terikat konteks ruang dan waktu masa beliau, yakni abad VII M. Sehingga bagaimanapun upaya
kita memahami al-Qur`an seperti pemahaman orang yang hidup pada abad VII M, kita hanya mampu kembali melalui teks-teks sejarah, padahal kita hidup di abad XXI M.

Shahrur menganalogikan kondisi ini dengan seekor gagak yang ingin berkicau merdu seperti burung perkutut, namun suaranya tetap saja parau. Ketika ia putus asa dan hendak kembali berkicau selayaknya gagak, ia terlanjur lupa untuk bersuara seperi gagak, yang pada akhirnya ia tidak memiliki identitas yang jelas; Gagak bukan, perkututpun bukan.

Shahrur juga mengkritik pendekatan yang selama ini digunakan ulama dalam memahami dan mengamalkan al-Qur`an, sebagai pendekatan yang tidak mampu menjawab tantangan dan problematika sosial kontemporer. Shahrur menyatakan bahwa untuk memahami al-Qur`an, kita harus menyesuaikannya dengan konteks kekinian, seakan-akan Rasulullah baru saja wafat. Dan dalam melakukan kajian terhadap al-Qur`an, Shahrur menggunakan metode historis-ilmiah (târikhy ‘ilmy) yang diadopsi dari aliran linguistik Abu Ali
al-Farisi. Metode ini merupakan perpaduan teori Ibn Jinny dalam buku al-Khashâ`is dan Abdul Qahir al-Jurjany dalam kitab Dalâ`il al-I’jâz. Ibn Jinny menitikberatkan kajiannya pada analisa kata perkata dan hubungan antara kata dengan suara (ashwât). Sedangkan al-Jurjani mengkaji hubungan antara struktur kata dengan peranannya sebagai media komunikasi (iblâgh). Jakfar Dakk al-Bâb memahami kedua teori ini saling melengkapi, yang ketika ditarik akar mulanya, akan bertemu pada aliran lingusitik Abu ‘Ali al-Fârisi. Salah satu pendapat aliran ini adalah penolakan adanya sinominitas kata (tarâduf). Dalam hal ini, ada ucapan Tsa’lab yang terkenal bahwa “Apa yang dalam kajian bahasa Arab dikira sebagai tarâduf (sinonim), sebenarnya adalah hal yang berbeda (mutabâyinât).

Metode historis-ilmiah menyatakan bahwa bahasa manusia pada mulanya merupakan suara-suara (ashwât) yang diucapkan manusia secara sadar sebagai media (wasilah) menyampaikan tujuan-tujuan (ide dan gagasan) kepada orang lain dan untuk memahami tujuan-tujuan itu, dalam kehidupan bersama. Point-point penting yang terdapat dalam kitab ini dijelaskan Shahrur secara ringkas dalam Muqadimah bukunya.

KRITIK SHAHRUR TERHADAP UMAT ISLAM

Shahrur memulai Muqaddimahnya dengan membuat perumpamaan orang yang melukis wajah manusia bermata satu. Siapapun orang yang memandang lukisan itu akan menyadari ketidakberesan lukisan itu dan akan mengatakan bahwa “Lukisan wajahnya kurang satu mata!”.

Berbeda dengan orang yang melukis wajah manusia dari cermin. Orang-orang yang memperhatikan lukisan itu tidak akan menyadari sesungguhnya lukisan itu terbalik; Bahwa mata sebelah kanan pada wajah yang ada dalam lukisan sebenarnya adalah mata sebelah kiri pada wajah orang yang dilukis. Kesalahan yang tidak disadari ini pernah terjadi pada manusia selama bertahun-tahun ketika mereka meyakini bahwa matahari mengelilingi bumi, bukan sebaliknya, bumi yang sebenarnya mengitari matahari. Kesalahan ini juga menimpa umat Islam selama berabad-abad, ketika meyakini bahwa kata al-Kitab, al-Qur`an, al-Dzikr dan al-Furqan merupakan murâdifât (sinonim).

Analogi lukisan yang merupakan kritik Shahrur terhadap ulama klasik dan produk fiqh mereka, dianggap sebagian kalangan ulama sebagai sebuah arogansi, yang seharusnya dihindari tiap orang yang menyampaikan sebuah kritik. Secara halus, Shahrur menyatakan bahwa para ulama selama empat belas abad telah tenggelam ke dalam kekeliruan dan kebodohan.

Orang yang membaca bukunya, akan menemukan dekonstruksi yang dilakukan Shahrur terhadap pemahaman yang selama ini berkembang dan diyakini umat Islam. Dekonstruksi ini yang mengundang sanggahan dan kecaman banyak umat Islam. Misalnya dalam masalah akidah, dengan pendekatan linguistik-filosofi s-humanistik, Shahrur sampai pada kesimpulan bahwa yang disebut mukmin adalah muslim pengikut Nabi Muhammad. Sedangkan orang yahudi adalah muslim-yahudi, dan orang nashrani adalah muslim-nashrani.

Sementara dalam wilayah syariah (fiqh), Shahrur juga sampai pada tesis baru yang dekonstruktif, misalnya dalam masalah hukum waris
(farâ`idh), ia tidak lagi terpaku pada pembagian-pembagian konvensional yang telah dikenal dan diamalkan oleh umat Islam selama 14 abad. Ia justru membuat penghitungan sendiri dengan menggunakan istilah-istilah yang juga ia ciptakan sendiri.

Lepas dari kontroversial wacana yang ia gulirkan, Shahrur tetap mendapat apresiasi dari pihak-pihak yang mengkritiknya sebagai orang yang berhasil “menggerakkan akal”.

“Hanya saja”, kata Ahmad Ratib Armush, “Saya setuju dengan Ahmad Imran bahwa fiqh yang ditawarkan Shahrur tidak masuk akal. Apalagi dalam pembahasan Fiqh Wanita, Shahrur “memprovokasi” wanita untuk telanjang, bukan lagi mengajak untuk mengamalkan ajaran Agama yang diturunkan Allah berupa penutupan aurat”.

Pendekatan historis-ilmiah yang digunakan Shahrur menafikan sinominitas kata. Menurutnya, bahasa Arab memiliki karaktersistik struktur di mana tiap kata memiliki arti dan pemahaman yang berbeda dengan kata lain. Pendapat yang diadopsinya dari Abu Ali al-Farisi dan Ibn Faris dalam kitab al-Maqâyis, sebenarnya bukan pendapat yang baru, di mana para ulama abad IV Hijriah telah memperdebatkannya.

Dan sebagaimana ijtihad dan diskursus ilmiah lainnya, apa yang diwacanakan Shahrur terbuka untuk dilakukan pembacaan yang kritis. Tulisan singkat ini akan mencoba mewacanakan wacana-wacana tersebut.

Dalam bukunya, Shahrur memulai tesisnya dengan mengutarakan distingsi terminologi antara al-Kitâb, al-Qur`ân, al-Dzikr, dan al-Furqân. Distingsi terminologis ini yang menjadi pondasi "fiqh baru" yang ditawarkan Shahrur (silahkan membaca langsung buku itu).


‘QIRA'AH MUA'SHIRAH TERHAAP PANDANGAN SHAHRUR

Orang yang membaca buku al-Kitab wa al-Qur`an; Qira`ah Mu’ashirah, pasti akan mengagumi kepiawaian Shahrur dalam menyampaikan argumentasinya. Teori-teori yang digunakan dalam rangka mendukung tesisnya disampaikan secara sistematis dan mengacu kepada para pendapat-pendapat ulama lingusitik besar, terutama AbuAli al-Farisi.

"Kami telah melakukan pembacaan kontemporer terhadap term al-Dikr yang dijamin Allah penjagaannya (QS. al-Hijr ayat 9 dan al-Nahl ayat 44) dengan berdasarkan pada analisa menyeluruh (mash ‘am) terhadap karakteristik (khasha`ish) bahasa Arab, dengan berpegang pada metode linguistik (manhaj lughawi) Abu Ali al-Farisi yang diidentikkan (mutamatsil) dengan Imam Ibn Jiny dan Imam Abdul Qahir al-Jurjani, dengan bersandar pada syair jahily.

Juga hasil akhir kajian yang telah kami lakukan terhadap ilmu-ilmu linguistik kontemporer yang pada intinya bahwa semua bahasa manusia tidak mengandung sinominitas (taraduf). Bahkan yang sebaliknya, yakni ketiadaan taraduf, merupakan hal yang benar, yaitu bahwa sebuah kata sejalan dengan perkembangan sejarah adakalanya ia musnah (tidak lagi dipergunakan) dan ada kalanya juga ia mengandung makna baru sebagai tambahan dari makna awalnya. Dan sungguh telah kami dapati karakteristik ini secara jelas dalam bahasa Arab." Demikian ungkap Shahrur.

Namun demikian, bukan berarti buku ini tanpa cacat, bahkan teori dasar yang melandasi semua tesisnya rapuh dan tidak tepat penggunaannya, yaitu pendapatnya tentang ketiadaan sinonim dalam bahasa Arab (juga dalam al-Kitab), yang pada akhirnya menimbulkan distingsi antara term al-Kitab, al-Qur`an, al-Furqan, dan al-Dzikr. Demikian juga dalam pembedaan Allah dalam posisi-Nya sebagai Ilah yang menurunkan nubuwah, dan posisi-Nya sebagai Rabb yang menurunkan risalah.

Ulama lingusitik Arab pada abad IV ramai berselisih pendapat tentang eksistensi taraduf (sinonim) dalam bahasa Arab; Sebagian menolak sama sekali adanya taraduf, ada juga yang menyatakan adanya taraduf, dan ada orang yang berlebihan dalam memahami adanya taraduf sehingga ada di antara mereka berpendapat bahwa satu makna (substansi) bisa jadi memiliki ratusan kata sinonim untuk mengungkapkannya. Nampaknya penolakan taraduf baru muncul pada akhir abad III, tepatnya ketika Tsa’lab yang menyatakan pengingkarannya terhadap taraduf. Pendapat ini diikuti oleh muridnya yang bernama Ibn Faris. Karena sebelum paruh terakhir abad III H, tidak ditemui catatan ulama linguistik yang menolak taraduf.

Berikut adalah ungkapan Ibn Faris sebagaimana yang dikutip oleh al-Suyuthi dalam al-muzhir:
Sesuatu diberi banyak nama yang berbeda-beda, seperti “saif”, “muhannad”, dan “husam” (ketiganya diartikan sebagai pedang), sebenarnya yang nama adalah “saif” dan selainnya merupakan sifat. Mazhab kami menyatakan bahwa sesungguhnya tiap sifat-sifat itu memiliki makna yang berbeda dari sifat yang lain. Hal ini berbeda dengan pendapat segolongan orang yang mengira bahwa nama-nama itu walaupun berbeda, namun tetap merujuk satu makna, seperti “saif”, ‘Adhb”, dan “husam” (yang ketiganya bermakna pedang).

Ada juga orang-orang yang berpendapat bahwa nama-nama tersebut bukan (menunjukkan pada) satu nama, dan juga bukan sifat yang bukan makna yang lain. Mereka berkata bahwasanya fi’il (kata kerja) juga demikian, misalnya kata “madha”, “dzahaba”, dan “inthalaqa” (semuanya diartikan pergi); Juga kata “qa’ada” dan “jalasa” (keduanya diartikan duduk); Serta kata “raqada”, “nama”, dan “haja’a (semuanya diartikan tidur). Mereka berpendapat bahwa dalam kata “qa’ada” ada makna yang tidak terdapat pada kata “jalasa”. Dan seterusnya.

Pendapat inilah yang kami pegang, yang juga merupakan pendapat guru kami, Abu al-Abbas Ahmad bin Yahya Tsa’lab.

Pendapat pertama berargumentasi bahwa jika tiap kata memiliki makna yang berbeda dengan kata-kata yang lain (yang dianggap sinonim) pastilah kita tidak dapat mengungkapkan makna sebuah kata dengan menggunakan kata lain. Padahal kita memaknakan ungkapan “la raiba fih” (QS. al-Baqarah 2:2) dengan “la syakk fih”. Seandainya kata “raib” tidak sama dengan kata “syakk”, maka pemaknaan “la raib fih” dengan “la syakk fih” merupakan sebuah kekeliruan. Dari sini kita pahami, bahwa pengungkapan sebuah makna dari sebuah kata dengan menggunakan kata lain, merupakan bukti kesatuan makna (sinonimitas) .

Sementara kami berpendapat bahwa dalam kata “qa’ada” ada makna yang tidak terdapat pada kata “jalasa”. Kita mengatakan “qama tsumma qa’ada” (dia berdiri lalu ia duduk)…dan “kana mudhthaji’an fa jalasa” (dia berbaring kemudian duduk). Dari sini kita memahami bahwa kata “qu’ud” (bentuk dasar dari kata “qa’ada”) dipasangkan pada “qiyam” (bentuk dasar dari kata “qama”), dan kata “julus” (kata dasar dari kata “jalasa”) menyatakan (perubahan) kondisi yang lebih rendah…adapun pandapat mereka yang menyatakan bahwa jika dua makna (yang dianggap sinonim) berbeda, maka sebuah kata tidak dapat digunakan untuk mengungkapkan makna kata yang lain. Pernyataan ini dapat kami jawab bahwa ungkapan itu (bahwa sebuah makna kata diungkapkan dengan kata lain) merupakan bentuk “musyakalah” (kemiripan). Dan kita tidak berpendapat seperti mereka, bahwa dua kata tersebut berbeda. Kami berpendapat bahwa setiap kata memiliki makna yang tidak terdapat dalam kata yang lain.
Demikian ungkap al-Suyuthi.

Penolakan terhadap taraduf ini, terbakukan dalam ungkapan “ma yuzhann Annahu min al-mutaradifat fa huwa min al-mutabayinat” (apa yang dianggap sebagai sinonim sebenarnya bukan sinonim).

Mengomentari pendapat ulama tentang ketiadaan eksistensi taraduf, al-Taj al-Subuki menyatakan bahwa memang ada orang yang mengingkari eksistensinya dalam bahasa Arab dan menganggap semua yang disangkakan sebagai taraduf sebenarnya merupakan hal yang memiliki perbedaan sesuai perbedaan yang ada pada sifat-sifatnya. Al-Subuki menganggap penolakan terhadap eksistensi taraduf dengan cara meneliti sifat-sifat yang ada pada tiap kata, merupakan sebuah upaya mengada-ada yang mencengangkan. Sementara al-Fakhr al-Razi menyatakan bahwa kemungkinan terjadinya taraduf merupakan hal yang tidak disangsikan lagi. Dan tidak sedikit ulama yang menulis buku khusus yang mengumpulkan kata-kata yang mutaradif (sinonim), seperti Ibnu Khaluwaih yang menulis buku khusus tentang kumpulan nama bagi macan dan ular.

Munir Muhammad Thahir menganggap orang yang menolak eksistensi taraduf dalam semua bahasa, termasuk bahasa Arab, sebagai orang bodoh dan tendensius (mughridh). Abu al-‘Ala` al-Ma’arry pernah menghadiri majelis al-Syarif al-Murtadha, dan ditanya seseorang, “Siapa anjing ini?” Abu al-‘Ala menjawab, “Anjing adalah orang yang tidak mengetahui 70 nama bagi anjing”. Dan Abu al-‘Ala` merupakan salah satu pakar linguistik yang menolak eksistensi taraduf. Bahkan Tsa’lab, yang dijadikan rujukan utama oleh Shahrur, pernah menyatakan “Suwaida` qalbuhu, habbah qalbuhu, sawad qalbuhu, sawadah qalbuhu, jaljalan qalbuhu, aswad qalbuhu, dan sauda` qalbuhu, kesemuanya bermakna sama”.

Untuk menengahi perbedaan pendapat ini, ‘Izzuddin menyatakan bahwa ulama yang mengakui adanya taraduf melihat sisi kesamaan dalalah (maksud/substansi) dzat (yang disimbolkan dengan kata), dan orang yang menolak eksistensinya melihat perbedaan sifat yang ada tiap kata.

Dengan asumsi pembedaan antara term al-Kitab, al-Qur`an, al-Dzikr, dan al-Furqan, Shahrur membangun diskursus tafsir dan fiqh kontemporernya. Fakta adanya perdebatan ulama linguistik tentang eksistensi taraduf, nampaknya tidak membuatnya bergeming. Ia
tetap bersikukuh dengan penolakannya terhadap taraduf dan terus mengembangkan teorinya dalam melakukan pembacaan kontemporer terhadap al-Qur`an. Hal ini dapat dilihat dalam buku-buku yang dikarangnya belakangan, “Jika kita memandang sebuah buku tentang kedokteran atau tehnik yang ditulis dalam bahasa apapun, maka kita tidak akan menemukan fenomena sinominitas di dalamnya. Jika sebuah sel berbeda dari sel lain, maka penulis buku akan memberikan nama lain terhadap sel tersebut, meskipun perbedaannya sangat kecil. Demikian juga ketika sebuah batasan yang belum diketahui dalam matematika berbeda dengan batasan lain, maka penyusun buku itu akan memberikan symbol-simbol yang berbeda (S1, S2, S3,…). Demikian juga dalam rangka ketelitian ilmiah. Mengapa hal ini (tidak adanya sinominitas dalam bidang ilmu pengetahuan demi ketelitian ilmiah) yang notabene berasal dari manusia kita terima dan
kita akui dengan ketelitian ilmiah, sementar di sisi lain kita bersikeras mengatakan bahwa simbol-simbol (terminologi- terminologi) dalam Kitabullah adalah sama (sinonim)…?! Bagaimana mungkin makhluk Tuhan dalam hal pengungkapan bisa lebih teliti dari pada Tuhannya dalam hal pewahyuan?!
demikian ungkap Shahrur.

Penolakan terhadap taraduf, bisa menimbulkan konskuensi teologis yang sangat besar. Dalam al-Qur`an Surat al-Hasyr ayat 22-24, misalnya, disebutkan enam belas Asma` Allah al-Husna (Nama-nama Allah yang maha baik), yaitu: Allah, ‘Alim al-Ghaib wa al-Syahadah, al-Rahman, al-Rahim, al-Malik, al-Quddus, al-Salam, al-Mu`min, al-Muhaiman, al-‘Aziz, al-Jabbar, al-Mutakabbir, al-Khaliq, al-Bari`, al-Mushawwir, al-Hakim. Dengan penafian terhadap taraduf akan timbul pemahaman berbilangnya tuhan, bahwa Tuhan tidak lagi Maha Esa, melainkan berjumlah sebanyak nama yang ada. Hal ini tentu merupakan kekeliruan teologis yang sangat fatal.

Teori dasar yang digunakan Shahrur dalam membedakan term al-Kitab, al-Qur`an, al-Dzikr, dan al-Furqan, dibangun di atas landasan teori ketidakadaan teraduf dalam bahasa Arab. Dan ketika eksistensi taraduf masih diperdebatkan, maka teori-teori yang dibangun di atasnya menjadi debateable dan lemah argumentatif.


Tartil al-Qur`an

Setelah memaparkan teori fundamental tesisnya yang berupa penafian taraduf, Shahrur mulai mencari justifikasi distingsi term al-Kitab, al-Qur`an, al-Dzikr, dan al-Furqan. Dalam hal ini, Jakfar Dakk al-Bab mencoba memberikan justifikasi itu.

Dengan mengutip ayat 4 Surat al-Muzammil, “wa rattil al-Qur`an tartila” (dan bacalah al-Qur`an dengan perlahan-lahan) , Jakfar Dakk al-Bab yang memberikan sambutan pada buku al-Kitab wa al-Qur`an; Qira`ah Mu’ashirah, mengakui bahwa makna yang selama ini
digunakan oleh umat Islam adalah “al-ta`annuq fi tilawatihi” (membacanya dengan perlahan). Tetapi, masih menurut Jakfar, Shahrur menawarkan pemaknaan yang baru dengan berdasarkan makna dasar dari kata “ra-ta-la” (yang terdiri dari tiga huruf; Ra`, Ta`, dan Lam). Makna tersebut adalah “nassaqahu wa nazhzhamahu” (mengklasifikasikan dan menertibkan susunannya).

Pemaknaan ini bukan tanpa landasan. Dengan melihat keselarasan antara ayat (munasabah), Jakfar menyatakan bahwa pemaknaan tartil pada ayat di atas dengan arti “membaca perlahan” merupakan pemaknaan yang sama sekali salah. Karena pada ayat selanjutnya (ayat 5 Surat al-Muzammil), Allah berfirman “Inna sa nulqi ‘alaika qaulan tsaqilan” (Sesungguhnya Kami akan menurunkan kepadamu perkataan yang berat). Dan “perkataan yang berat” tidak memiliki hubungan dengan “pembacaan perlahan”, karena maksud ayat ini bukanlah berat dalam hal pengucapan, melainkan berat dalam pemahaman makna ilmiah yang dikandung al-Qur`an.

Dengan demikian, pemaknaan yang tepat terhadap kata “tartil” dalam ayat 4 Surat al-Muzammil, adalah mengurutkan dan menyusun tema-tema tunggal yang tersebar dalam ayat-ayat al-Qur`an, dan mengklasifikasikann ya hingga mudah dipahami. Demikian ungkap Shahrur.

Dengan berdasarkan pemaknaan baru terhadap perintah tartil yang ada pada ayat 4 Surat al-Muzammil, Shahrur mulai melakukan klasifikasi dan penyusunan tema-tema yang ada dalam al-Qur`an, dengan cara mengumpulkan ayat-ayat yang di dalamnya terdapat kata “al-Qur`an” dan “al-Kitab”.

Namun kemudian timbul pertanyaan: Apakah dengan ini Jakfar menganggap Rasulullah tidak memahami perintah menartilkan al-Qur`an, sehingga beliau tidak melakukan tartil sebagaimana yang dilakukan Shahrur? Dan apakah para shahabat lalai meminta Rasulullah untuk melaksanakan tugasnya secara sempurna, yaitu melakukan penyusunan dan klasifikasi (tema-tema) al-Qur`an? Jika
memang demikian, maka kita tentu dalam kesesatan, karena kita mengikuti seorang nabi yang tidak memahami perintah Tuhannya. Hal ini menjadi mencengangkan, ketika timbul persepsi bahwa Allah memberikan beban (taklif) kepada nabi-Nya dengan wahyu yang tidak dimengertinya, atau dapat dipahami tetapi ia tidak melaksanakannya? Pada akhirnya akan timbul keraguan kita terhadap al-Qur`an. Demikian ungkap Ahmad Ratib ‘Armusy.

Ketika kata tartil tidak lagi dapat dimaknakan sebagai mengklasifikasi dan menyusun tema-tema yang ada dalam al-Qur`an, maka wacana klasifikasi dan penyusunan tema-tema itu menjadi absurd dan tidak lagi memiliki dasar teoritis yang kuat.

Shahrur menamakan tema-tema yang ada dalam al-Kitab sebagai “kitab” yang dijamakkan sebagai “kutub”. Menurutnya, “al-Kitâb” berasal dari kata “ka-ta-ba”, yang dalam bahasa Arab memiliki arti mengumpulkan bagian-bagian sesuatu sehingga menghasilkan sebuah makna yang mufid (maksudnya dapat dipahami), ataumengeluarkan tema yang sempurna.

Namun sayang sekali, setelah dilakukan penelusuran kamus dan mu’jam, terhadap kata “ka-ta-ba” yang memiliki pola dasar yang terdiri dari huruf Kaf, Ta`, dan Ba`, tidak ditemukan satupun yang memberikan pemaknaan seperti yang diungkapkan Shahrur. Demikian
tulis Ahmad Imran. Sehingga diskursus pembedaan terma al-Kitab yang memuat kumpulan “kitab-kitab”, serta pembedaan antara al-Qur`an, al-Dzikr, al-Furqan sebagai bagian (sebagian tema) dari al-Kitab, sebagaimana yang ditawarkan Shahrur dalam bukunya,
menjadi lemah argumentatif, dan tidak dapat dipertanggungjawabk an secara ilmiah.

Pada akhirnya timbul sebuah kegamangan; Bahwa pendekatan linguistik yang dilakukan Shahrur ternyata tercabut dari akar kebahasaannya.


Penutup

Setelah terbukti keruntuhan teori yang dijadikan Shahrur sebagai landasan diskursus-diskursus yang ia tawarkan, maka secara otomatis seluruh diskursus itu menjadi ikut roboh. Karena tidak mungkin sebuah istana yang megah dibangun di atas tumpukan Lumpur dan sampah.

Namun demikian, perlu juga untuk mengapresiasi upaya Shahrur yang telah berhasi; “menggerakkan akal”. Dan wacana yang digulirkan Shahrur merupakan satu bukti bahwa ulum al-Qur`an dan penafsiran al-Qur`an merupakan korpus terbuka yang selalu siap untuk dikaji dan dianalisa.


Daftar Bacaan

Anis (Ibrahim), fi al-Lahjah al-‘Arabiyah, (Cairo,
1873), cet. III
Imran (Ahmad), al-Qira`ah al-Mu’ashirah li al-Qur`an
fi al-Mizan, (Beirut: Dar al-Nafa`is, 1995), cet. I.
Rumadi, Menafsirkan al-Qur`an: Eksperimen Muhammad
Shahrur, Jurnal al-Burhan, No. 6 tahun, Jakarta: 2005
Shahrur (Muhammad), Dirasat Islamiyah Mu’ashirah fi
al-Daulah wa al-Mujtama’, (Damaskus: al-Ahali, 1994)
---, Dirasat Islamiyah Mu’ashirah (4) Nahw Ushul
Jadidah li al-Fiqh al-Islami, (alih bahasa: Sahiron
Syamsuddin dan Burhanuddin dengan judul Metodologi
Fiqh Islam Kontemporer) , (Yogyakarta: Penerbit alSAQ
Press, 2004), cet. II
---, al-Islam wa al-Iman: Manzhumah al-Qiyam (alih
bahasa oleh M. Said Su’di dengan judul IMAN DAN ISLAM;
Aturan-aturan Pokok), (Yogyakarta: Penerbit Jendela,
2002) cet. I
---, al-Kitab wa al-Qur`an: Qira`ah Mu’ashirah,
(Beirut: Syirkah al-Mathbu’at li al-Tauzi’ wa
al-Nasyr, 2000), cet. VI
Shalih (Abdul Qadir Muhammad), ¬al-Tafsir wa
al-Mufassirun fi al-‘Ashr al-Hadits, (Beirut: Dar
al-Makrifah, 2003), cet. I,
al-Syawwaf (Munir Muhammad Thahir), Tahafut al-Qira`ah
al-Mu’ashirah, (Cyprus: al-Syawwaf li al-Nasyr wa
al-Dirasat, 1993), cet. I

5 komentar:

Anonim mengatakan...

mas klo mau hubungin mas bagaimana caranya?saya sangat berminat pada buku mas yg berjudul al-Kitab wa al-Qur`an: Qira`ah Mu’ashirah,
(Beirut: Syirkah al-Mathbu’at li al-Tauzi’ wa
al-Nasyr, 2000), cet. VI saya ingin memilikinya. tlg kasih kabar k email saya mufie19@gmail.com

Anonim mengatakan...

Assalamu'alaikum, akhi fillah. Perkenalkan ana Ibnu Saif. Kebetulan sekarang ana lagi nulis M. Syahrur. Kelihatannya antum punya bukunya Mahami Munir Muhammad Thahir asy-Syawwaf, Tahafut al-Qira'ah al-Mu'ashirah. Ana sangat membutuhkannya sekarang ini. Klo bisa menghubungi antum kira-2 kemana ya..? Afwan klo boleh, ana minta copy-an makalah antum yang tadi beserta foot note-nya yang jelas. Kalau tidak keberatan, tolong dikirimkan ke www.ibnsaif83@yahoo.com. Syukran akhi atas perhatiannya.
Wassalam.

Andi Rahman mengatakan...

salam. kalau anda di ciputat, kita bisa mengobrol. silahkan temui saya di pesantren darus-sunnah

Ivan S Amhar mengatakan...

assalamu 'alaikum. jumat kemarin saya diskusi dengan seorang teman tentang syahrur. saya jadi teringat diskusi kita di milis insists, termasuk tentang artikel ini. terima kasih banyak, sebelumnya, ustadz.

o ya, obrolan saya dengan teman tersebut antara lain tentang pembedaan nabi dan rasul menurut syahrur. antum punya kritiknya ndak? syukran sebelumnya dan mohon maaf.

shofhi amhar

Andi Rahman mengatakan...

silahkan bediskusi dengan saya, hubungi andiwowo@yahoo.com untuk pengaturan waktunya. saya senang bisa mendapat teman diskusi baru