ME...

ME...
MUSCAT-OMAN 2005

Selasa, 04 November 2008

Suksesi Kepemimpinan Dalam Islam

“Ketika etika makan dan masalah pipis diatur oleh Agama, adalah sebuah kejanggalan ketika sistem kepemimpinan negara dilupakannya”. Demikian ungkap seorang teman diskusi saya.


Memang menggelitik pikiran, ketika masalah sehari-hari yang tidak menyangkut kepentingan dan hajat hidup orang banyak, Agama menggariskan banyak peraturan dan tata etika. “Makanlah dengan tangan kanan!” (HR. Muslim), demikian etika makan yang diajarkan Agama, “Dan makanlah makanan yang halal” (QS. Al-Baqarah 168, al-Maidah 88, dan al-Nahl 114. Demikian Agama mengatur masalah makanan.

“Setelah makananmu dicerna oleh lambung, dan kamu hendak membuang hajat, maka hendaknya kamu mendahulukan kaki kiri saat masuk ke toilet, dan jangan melakukan buang air menghadap ke kiblat!” demikian aturan Agama ‘memasuki’ toilet.

Baik ketika makan, atau saat melakukan ‘ritual’ toilet, juga mendidik anak, melakukan transaksi ekonomi, berwudhu, berpuasa dan hal-hal yang berhubungan dengan ritual peribadatan dan kebiasaan sehari-hari tiap orang, semuanya memiliki aturan yang ditetapkan oleh Agama. Lalu bagaimana dengan aturan memilih dan mengangkat pemimpin negara, yang menyangkut kepentingan orang banyak; Apakah Agama memberikan aturan baku?


Modus Suksesi Dalam Islam

Menjawab pertanyaan di atas, saya akan coba mengulas proses pemilihan dan pengangkatan pemimpin yang pernah terjadi pada masa al-Khulafa` al-Rasyidun, yaitu era shahabat yang dinyatakan oleh Rasulullah sebagai era yang terbaik yang pernah ada dalam perjalanan sejarah (HR. Muslim)

Menarik untuk mempelajari sistem pemilihan pemimpin atau khalifah dalam Islam pada masa al-khulafa’ al-rasyidun, pasalnya sistem yang digunakan tidak baku dan berubah-ubah. Dan setidaknya ada tiga mekanisme pemilihan khalifah yang pernah dijalankan pada masa shahabat, demikian ungkap Sayyid Ahmad hamur. Hal ini karena Islam mengakui sistem-sistem pemilihan pemimpin yang bersifat kondisional sesuai dengan kebutuhan dan kemashlahatan umum, selama masih berpedoman kepada al-Qur`an dan sunnah Rasulullah.

Pertama, mekanisme pemilihan langsung yang dijalankan pada pemilihan Khalifah Abu Bakar,

Dalam sebuah Hadis dikisahkan beberapa Shahabat bertanya kepada Rasulullah tentang orang yang akan menggantikan beliau, “Ya Rasulullah, tidakkah Anda menunjuk orang yang akan menjadi pengganti Anda?” tanya mereka. Rasulullah menjawab tidak, “Kalau aku menunjuk seorang pengganti (sebagai khalifah) kemudian kalian mendurhakainya, maka kalian akan tertimpa azab”(HR. alBazzar) Mekanisme yang serupa juga dipilih khalifah Ali bin Abu Thalib.

Saat ditanya, “Apakah anda tidak akan mengangkat orang sebagai pengganti anda (sebagai khalifah)?”. Sayyidina Ali menjawab, “Rasulullah tidak menunjuk orang sebagai penggantinya, lalu (bagaimana mungkin) aku mengangkat orang sebagai penggantiku?! Tetapi kalaulah Allah Menghendaki kebaikan bagi manusia, maka Ia akan mengumpulkan manusia sesudahku dalam kepemimpinan manusia yang terbaik, seperti Allah telah mengumpulkan manusia atas orang yang terbaik”. Maksudnya Abu Bakar.(HR. Al-hakim)

Pola ini dijewantahkan berupa pemilihan (pembaiatan) langsung oleh rakyat kepada khalifah yang mereka kehendaki, tanpa adanya penunjukkan dari khalifah sebelumnya.

Kedua, mekanisme formatur yang digunakan oleh khalifah Umar bin al-Khathab dalam memilih orang yang akan mengantikannya. Umar menunjuk enam orang pemuka shahabat—yang masih tersisa dari sepuluh orang yang diridhai Rasulullah dan dijamin masuk surga olehnya—untuk bermusyawarah guna memilih salah seorang dari mereka untuk menjadi khalifah. Orang-orang yang duduk di kursi formatur ini merupakan shahabat-shahabat pilihan yang memiliki kredibilitas tinggi, keluasan ilmu dan pengalaman, serta merupakan panutan dan sosok yang berpengaruh dalam masyarakat. Rasulullah sendiri menjamin kualitas diri para anggota formatur lewat pernyataan beliau bahwa mereka adalah orang-orang yang pasti masuk surga.

Ketiga, pola monarki yang dipilih oleh Khalifah Abu Bakar saat menunjuk Sayidina Umar bin al-Khathab sebagai khalifah penggantinya. Kebijakan ini diambil Abu Bakar dengan pertimbangan menjaga persatuan umat Islam. Beliau khawatir “Tragedi Saqifah bani Saidah” terjadi lagi, saat itu kaum Muhajirin dan Anshar berdebat sengit masalah orang yang berhak menjadi khalifah Rasulullah. Perdebatan ini hampir membawa disintegrasi umat Islam, karena masing-masing kelompok bersikukuh menggolkan “jagonya” menjadi khalifah. Bahkan bisa jadi, fitnah yang timbul akibat perselisihan masalah kekhalifahan, lebih besar dari pada fitnah riddah (murtadnya banyak kaum muslimin).

Perlu diingat bahwa mekanisme ini dipilih Abu Bakar setelah beliau bermusyawarah dengan banyak shahabat, sehingga ketetapan yang diambil sesungguhnya merupakan kehendak mayoritas umat Islam, kalau tidak mau dikatakan kehendak semua shahabat.

Saat terbaring sakit menjelang kewafatannya, Khalifah Abu Bakar menunjuk Umar bin al-Khathab sebagai khalifah yang akan menggantikannya.

Pola pemilihan kedua dan ketiga ini, merupakan sistem yang baik, karena orang yang dijadikan pengganti (dan tim formatur yang akan memilih pengganti) khalifah tidak dipilih berdasarkan kekerabatan, atau golongan (nepotisme), melainkan berdasarkan profesionalisme dan kelayakan.

Sayidina Abu Bakar menghendaki khalifah yang akan menggantikannya merupakan sosok shahabat yang keras tapi tidak sewenang-wenang, dan lembut tapi tidak lemah. Kriteria ini ada pada banyak shahabat, namun nampaknya Umar bin al-Khathab paling cocok untuk mengemban amanah kekhalifahan. Penilaian ini berasal dari subyektivitas Abu Bakar dan para shahabat yang diajaknya bermusyawarah.

Saat Sayidina Abdurrahman bin ‘Auf menyatakan bahwa Sayidina Umar bin al-Khathab merupakan sosok shahabat yang keras, Sayidina Abu Bakar menjawab, “ia berlaku keras karena melihat diriku yang lembut. Kalaulah urusan ini (kekhalifahan) diserahkan padanya, niscaya ia akan meninggalkan banyak sifat kerasnya itu”.

Setelah merasa mantap dengan pilihannya, Sayidina Abu Bakar memanggil Sayidina Utsman bin ‘Affan untuk menuliskan keputusannya itu, “Bismillahirrahmanirrahim (Dengan menyebut Nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang). Ini adalah keputusan Abu Bakar bin Abu Quhafah untuk kaum Muslimin, Amma Ba’du”. Sejenak kemudian beliau pingsan, “Aku telah menetapkan Umar bin al-Khathab sebagai khalifah penggantiku, dan aku tidak menetapkannya untuk kalian kecuali kebaikan”. Sayidina Utsman menulis apa yang didiktekan Khalifah Abu Bakar.

Tidak lama kemudian Sayidina Abu Bakar siuman dan berkata, “Bacakan kepadaku apa yang engkau tulis!”. Dan Sayidina membaca apa yang didiktekan Abu Bakar kepadanya dengan tambahan yang berasal darinya saat khalifah pingsan.

“Aku melihat dirimu khawatir akan munculnya perselisihan kaum muslimin, jika aku meninggal tiba-tiba (sehingga dirimu berinisiatif menambahkan atas apa yang aku diktekan kepadamu)”. Ujar Abu Bakar. Sayidina Usman mengiyakan. “Semoga Allah membalasmu dengan pahala atas apa yang telah engkau lakukan untuk Islam dan kaum Muslimin” tanggap khalifah Abu Bakar seraya menetapkan keputusan tersebut beserta tambahannya.

Kemudian khalifah tampil di depan khalayak umum untuk mengumumkan keputusannya, dengan dipapah oleh istrinya, Asma` binti ‘Umais. “Apakah kalian ridha dengan orang yang aku tunjuk menjadi penggantiku?” tanya Khalifah. “Demi Allah, aku telah matang memikirkannya dan aku tidak mengangkatnya sebagai penggantiku karena kekerabatannya. Orang itu adalah Umar bin al-Khathab, maka dengarkanlah segala perintahnya dan patuhilah dia”. Dan kaum muslimin menyatakan kesetiaan dan kepatuhannya.

Dengan membaca sejarah di atas, nampaknya bahwa Islam tidak memberikan modus baku untuk suksesi pemerintahan. Islam mempersilahkan kaum muslimin memilih dan menetapkan sendiri model suksesi yang sesuai dengan kebutuhan mereka. Mungkin hal ini selaras dengan sabda Rasulullah, ”Kalian lebih mengetahui urusan duniawi kalian”.
Allah A’lam

1 komentar:

Aley mengatakan...

mohon bimbingannya, ustadz!