ME...

ME...
MUSCAT-OMAN 2005

Selasa, 04 November 2008

Fiqh Sebagai Produk Akal

Secara kodrati manusia memiliki kecenderungan untuk berbeda satu dengan lainnya. Fisik dan psikis (kejiwaan) tiap orang berbeda.

Orang tua yang membesarkan dan lingkungan masyarakat tempat tinggal juga berbeda. Daya tangkap panca indera dan nalar berpikir berbeda. Kualitas dan kesempatan mendapatkan pendidikan tiap orang berbeda. Status ekonomi dan sosial berbeda. Problematika dan konflik hidup berbeda. Zaman dan topografis tempat mereka tinggal berbeda. Dan masih banyak faktor lain yang menjadi pemicu timbulnya perbedaan-perbedaan seorang manusia dengan yang lain.

Perbedaan-perbedaan yang ada di antara manusia diakui oleh Allah dalam al-Qur`an Surat Hud ayat 118-119, "Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat. Kecuali otang-orang yang diberi rahmat oleh Tuhanmu. dan untuk itulah Dia menciptakan mereka".

Perbedaan-perbedaan ini menjadi penyebab utama timbulnya perbedaan memaknai dan memahami teks dan dalil-dalil Agama, atau yang sering kita sebut sebagai
ihkhtilaf fiqhy.

Fiqh adalah produk dari akal, sementara akal seseorang tidaklah sama dengan akal orang lain. Dalam fiqh memang banyak terdapat perbedaan, dan perbedaan-perbedaan itu dibenarkan dalam masalah-masalah furu'iyyah (cabang) setelah umat Islam bersepakat dalam masalah ushuliyyah (pokok). Demikian ungkap Abdullah bin Abdul Muhsin al-Turky dalam kitab Asbab Ikhtilaf al-Fuqaha`. Selama masing-masing pendapat memiliki argumentasi yang dibenarkan oleh Agama, yaitu al-Qur`an, Hadis Shahih, Ijma' (consensus) ulama, dan qiyas (analogi/menyamakan hukum sebuah perbuatan yang tidak memiliki status hukum definitif dan pasti dengan perbuatan yang memiliki kesamaan bentuk dan telah memiliki status hukum yang pasti).

Kewajiban shalat adalah contoh masalah ushuliyah yang tidak dibenarkan adanya pertentangan pendapat. Tiap orang harus meyakini bahwa shalat hukumnya wajib atas orang Islam. Sementara tata cara pelaksanaannya berupa rukun, syarat, kesunahan, dan perkara-perkara yang membatalkannya, maka akan kita temui banyak perbedaan pendapat, karena semuanya ini merupakan masalah furu'iyyah. Selama semua pendapat mengacu pada dalil al-Qur`an dan Hadis shahih, maka kita harus
menerimanya sebagai bentuk variasi (tanawwu') dalam beribadah yang diajarkan oleh Rasulullah. Dan selama amal ibadah yang kita laksanakan memiliki dalil, maka ia sah hukumnya, walaupun secara zhahir ia berbeda dengan tata cara yang dipraktikkan orang lain.

Sebagai contoh salah satu perbuatan yang sering menjadi bahan diskusi, bahkan cenderung mengakibatkan perpecahan di antara mereka adalah doa qunut dalam
shalat Shubuh. Ada sebagian orang yang melaksanakan qunut mencibir orang yang tidak berqunut dan menilai shalat Shubuh yang dilakukan tanpa qunut nilainya
"kurang afdhal", karena ada kesunahan shalat yang ditinggalkan. Sebaliknya sebagian orang yang tidak menggunakan doa qunut menyalahkan orang yang berqunut, dan menganggap qunut dalam shalat Shubuh adalah sebuah kebid'ahan yang tidak dibenarkan dalam Islam.

Seandainya kita mau membuka kitab Sunan al-Nasa'i, sebuah kitab Hadis standar bacaan umat Islam, maka akan kita dapati dalil orang yang tidak berqunut pada
bab Tark al-Qunut (meninggalkan qunut), "Aku shalat di belakang (menjadi makmum) Rasulullah dan beliau tidak berqunut (pada shalat Shubuh). Aku juga shalat di belakang Abu Bakar, Umar, Ustman, dan Ali (ternyata) mereka semua juga tidak berqunut. wahai anakku, sesungguhnya ia (qunut dalam shalat Shubuh) hukumnya
bid'ah". Hadis semakna juga diriwayatkan oleh Ibn Hibban dalam kitab Shahih-nya.

Sementara dalam kitab yang sama (Sunan al-Nasa'i) pada bab al-Qunut fi shalat al-Shubh (berqunut pada shalat Shubuh), al-Nasa`i meriwayatkan Hadis, "Shahabat Anas bin Malik ditanya: Apakah Rasulullah berqunut pada shalat Shubuh? beliau menjawab: Iya! Beliau ditanya lagi: Sebelum ruku' atau sesudahnya? Beliau menjawab: Sesudah ruku'!"

Ulama yang memahami bahwa qunut yang dilakukan Rasulullah pada shalat Shubuh bukan semata qunut nazilah (qunut yang dilakukan saat kaum muslimin tertimpa musibah atau qunut untuk melaknati kaum kafir yang berlaku zhalim), mereka berargumen dengan Hadis yang diriwayatkan oleh Ahmad dalam kitab Musnad,
"Rasulullah senantiasa berqunut pada shalat Fajar (Shubuh) sehingga beliau meninggal dunia". Hadis semakna juga diriwayatkan oleh al-Daruquthni dalam kitab Sunan-Nya.

Berdasarkan tiga Hadis di atas, dan hadis-hadis lainnya, para ulama berselisih pendapat tentang hukum berqunut pada shalah Shubuh. Ibn Qudamah dalam kitab
al-Mughni berpendapat bahwa qunut yang dilakukan pada shalat Shubuh bukanlah sebuah kesunahan. pendapat ini juga difatwakan oleh Sufyan al-Tsauri, Abu Hanifah,
dan diriwayatkan pendapat ini dari Ibn Abbas, Ibn Umar, dan Ibn Mas'ud. Sementara Malik bin Anas, al-Syafi'i, Abu Ya'la, dan ulama lainnya berpendapat bahwa berqunut dalam shalat Shubuh hukumnya sunnah.

Ada ulama yang mencoba memahami kedua pendapat dengan menyatakan bahwa Hadis yang menyatakan bahwa Rasulullah berqunut pada shalat Shubuh dan Hadis yang menyatakan bahwa beliau tidak berqunut (bahkan qunut dalam shalat Shubuh adalah bid'ah) memberikan pengertian bahwa Rasulullah terkadang berqunut dan
terkadang tidak berqunut. Sehingga dapat diambil kesimpulan bahwa qunut dalam shalat Shubuh hukumnya sunnah, bukan wajib.


Fiqh = Produk Ijtihad

Sebagaimana telah disinggung di atas, perbedaan pendapat dalam pengertian tertentu bukanlah sesuatu yang tabu dalam Islam. Sebagian mujtahid (ulama) ada
cenderung kaku dan berhati-hati dalam menetapkan hukum, sementara mujtahid yang lain bersikap lunak dan mempermudah dalam berfatwa (Rasulullah sendiri senantiasa memilih di antara dua hal, mana yang lebih mudah selama hal itu tidak merupakan dosa).

Kondisi sosio-geografis serta keadaan politik juga mempunyai andil dalam timbulnya perbedaan ijtihad. Ulama yang hidup di tengah-tengah kondisi perang, tentu memiliki kecenderungan fatwa yang berbeda dengan ulama yang hidup ditengah keadaan damai. Begitu pula perbedaan kondisi sosio-ekonomi. Misalnya dalam sebuah Hadis dinyatakan bahwa seorang pencuri dipotong tangannya ketika barang curiannya mencapai nilai sebuah perisai perang (mijann). Abu Hanifah yang merupakan ulama konglomerat menetapkan 12 Dinar sebagai nilai sebuah perisai perang, sementara
al-Syafi'i yang merupakan sosok ulama sederhana menetapkan 4 Dinar. Hal ini tidak aneh, di mana seorang konglomerat tentu akan membeli perisai dengan kualitas terbaik, sementara nilai perisai tentu tidak sama, tergantung kualitas dan bahan bakunya.

Dan nampaknya, kualitas intelektual masing-masing mujtahid merupakan faktor dominan timbulnya perbedaan hasil ijtihad, di mana orang yang tersinari "cahaya
ilham" (al-Suyuthi menyebutnya "ilmu mauhibah") tentu memiliki kemampuan ijtihad yang berbeda dari orang biasa. Dan mujtahid yang telah membaca 20 jilid kitab Hadis, tentu memiliki wawasan yang lebih luas dibanding orang yang baru membaca kitab Arba'in
Nawawi.

Al-Syafi'i merevisi fiqhnya (dalam qaul jadid) saat tinggal di Mesir, setelah mendapatkan Hadis-hadis dan diskursus (wacana) fiqh yang sebelumnya tidak beliau
temukan saat masih tinggal di Irak. Al-Syafi'i menyatakan bahwa walaupun seluruh penduduk Madinah tidak berqunut saat shalat Shubuh, beliau tetap menyatakan qunut itu hukumnya sunnah karena ada sebuah Hadis yang menyatakan demikian (dugaan saya, Hadis itu tidak sempat diterima oleh penduduk Madinah, dari seorang shahabat yang berdomisili di Irak).

Sebuah Hadis yang dinilai shahih oleh seorang ulama, bisa jadi dinilai dhaif oleh ulama yang lain, karena penilaian keshahihan Hadis merupakan ijtihad. Hal ini pada akhirnya berimbas kepada penggunaan Hadis itu sebagai landasan berijtihad. Dan sederhana atau rumitnya sebuah permasalahan, juga menjadi faktor timbulnya perbedaan hasil ijtihad. Termasuk karakteristik bahasa Arab (bahasa al-Qur`an dan Sunnah) yang dapat dipahami secara denotatif (hakiki) dan konotatif (majazi) dalam waktu yang sama, serta musytarak (satu kata memiliki lebih dari satu makna) seperti kata "quru`" (QS. Al-Baqarah ayat 228) yang dapat diartikan suci dan haidh sekaligus. Pemaknaan
"quru" sebagai masa suci dianut oleh Aisyah, Ibn Umar, Zaid bin Tsabit, al-Syafi'i, Malik, Daud al-Zhahiri, dan beberapa ulama lain. Sementara Abu Bakar, Umar bin al-Khathab, Utsman bin 'Affan, Ali bin Abu Thalib, mayoritas shahabat, Abu Hanifah, al-Auza'i, Said bin al-Musayyib, Hasan al-Bashri, dan beberapa ahli fiqh golongan tabi'in memahami "quru`" sebagai masa haidl

Hakikat Fiqh

Secara etimologis, fiqh diartikan sebagai pemahaman yang mendalam. Ungkapan bahwa langit ada di atas, atau bahwa dua adalah seperenam dari dua belas bukanlah merupakan fiqh, karena ia tidak memerlukan analisa yang mendalam. Lain halnya masalah bunga bank konvensional, apakah ia identik dengan riba yang secara tegas diharamkan al-Qur`an (QS. Al-Baqarah ayat 275) dan Sunnah, atau tidak identik dengan riba. Hal yang perlu diingat, al-Qur`an tidak pernah menyebut bunga bank, dan Rasulullah tidak pernah memberikan ketetapan hukum atasnya mengingat lembaga bank itu sendiri tidak ada di zaman beliau. Karenanya diperlukan analisa yang mendalam ketika mendefinisikan riba, apa kriterianya, serta illah hukum (ratio legis)
yang ada di balik pengharaman riba, untuk kemudian menganalisa bunga bank konvensional.

Sesaat sebelum diutus ke Yaman untuk menjadi hakim dan juru dakwah, Muadz bin Jabal menjalani fit and proper test di hadapan Rasulullah. Isi pertanyaan uji kelayakan itu adalah cara atau mekanisme yang akan digunakan Muadz dalam membuat keputusan. Dengan tegas dan lugas Muadz menjawab, "Aku akan membuat keputusan
berdasarkan al-Qur`an. Jika aku tidak mendapatkan landasan normatifnya dalam al-Qur`an, aku akan memutuskannya berdasarkan Sunnah Rasulullah. Kemudian
jika dalam al-Qur`an dan Sunnah tidak aku temukan landasan hukumnya, aku akan berijtihad menggunakan segenap potensi nalarku" (HR. Ahmad, Abu Dawud, dan
al-Tirmidzi). Rasulullah tersenyum dan membenarkannya.

Berdasar Hadis di atas, hukum Islam ditetapkan berdasarkan al-Qur`an, Sunnah dan ijtihad. Dan dengan memperhatikan urutannya, seorang mujtahid harus melakukan kajian atas al-Qur`an sebelum ia menoleh ke Sunnah. Mekanisme ijtihad dapat dilakukan setelah dipastikan bahwa al-Qur`an dan Sunnah tidak memberikan keputusan. Ijtihad memiliki fungsi yang sangat penting mengingat "keterbatasan" al-Qur`an yang terdiri dari 6000 ayat lebih sedikit, dan Sunnah yang terputus seiring wafatnya Rasulullah. Ijtihad merupakan media yang menjaga relevansi nash (al-Qur`an dan Sunnah) di sepanjang waktu dan di semua tempat

Pada masa Rasulullah setiap kali muncul permasalahan, para shahabat langsung bertanya dan meminta keputusan kepada beliau. Terkadang Allah menurunkan wahyu untuk menanggapi permasalahan itu, dan seringkali Rasulullah berijtihad yang kemudian mendapat pembenaran (berupa pembiaran, penguatan atau justru koreksi) dari Allah melalui wahyu-Nya.

Para ulama juga menyatakan bahwa ijtihad Rasulullah (baca: Sunnah) merupakan wahyu Ilahi. Karena ijtihad yang dilakukan Rasulullah, mendapat konfirmasi dari
wahyu. Sehingga dapat dinyatakan bahwa sumber hukum pada masa ini adalah wahyu semata.

Ada juga ijtihad individual yang dilakukan shahabat. Namun hal itu masih perlu penetapan dari Rasulullah, sehingga yang menjadi sumber hukum bukanlah ijtihad
shahabat itu melainkan wahyu yang mengkonfirmasikannya. Misalnya peristiwa dua orang shahabat yang dalam perjalanan tidak mendapati air untuk berwudhu. Keduanya bertayammum lalu melakukan shalat secara berjamaah lalu melanjutkan perjalanan.
Di tengah jalan mereka menemukan air. Salah seorang shahabat berwudhu dan mengqadha shalatnya, sementara yang lain tidak mengqadha dengan alasan bahwa ia telah melaksanakan shalat. Saat dilapori, Rasulullah menyatakan bahwa orang yang mengqadha shalat mendapat pahala dobel, sementara orang yang tidak mengqadha
telah sesuai dengan sunnah.

Dalam perang Dzat al-Salasil, shahabat 'Amr bin al-'Ash pernah menjadi imam shalat Shubuh padahal ia dalam keadaan jinabat. Rasulullah yang dilapori hal ini meminta penjelasannya. 'Amr menjelaskan bahwa saat itu udara sangat dingin. Ia mengkhawatirkan keselamatannya jika harus "mandi besar" sementara Allah telah berfirman, "dan janganlah kalian membunuh dirimu. Sesungguhnya Allah Maha Penyayang kepadamu" (QS. Al-Nisa ayat 29). Mendengar jawaban ini, Rasulullah tertawa dan mendiamkannya (HR. Ahmad)

Sesaat setelah perang Ahzab, Rasulullah memerintahkan para shahabat untuk berangkat ke perkampungan Yahudi Bani Quraizhah. Para shahabat juga diperintahkan untuk tidak melaksanakan shalat Ashar kecuali di perkampungan Bani Quraizhah. Di tengah perjalanan waktu Ashar hampir habis. Sebagian shahabat ada yang berhenti di tengah jalan untuk mendirikan shalat Ashar, dengan alasan bahwa Allah telah menetapkan waktu bagi masing-masing shalat (QS. Al-Nisa` ayat 103). Mereka memahami sabda rasulullah untuk melaksanakan shalat Ashar hanya di perkampungan Bani Quraizhah sebagai perintah untuk menyegerakan perjalanan. Sementara ada shahabat lain yang memahami perintah Rasulullah ini secara harfiyah, dan melaksanakan shalat Ashar setibanya di perkampungan Bani Quraizhah secara qadha. Ijtihad dua kelompok ini dibenarkan oleh Rasulullah (HR. al-Bukhari dan Muslim).

Peristiwa Saqifah bani Saidah saat kaum Muhajirin dan Anshar berselisih pendapat mengenai sosok shahabat yang akan menjadi khalifah, merupakan contoh perbedaan
ijtihad di kalangan kaum muslimin. Sebenarnya masih banyak lagi contoh yang menggambarkan bahwa ijtihad sudah dilakukan oleh para shahabat. Yang perlu digarisbawahi adalah kedewasaan shahabat dalam menyikapi perbedaan pendapat dan mekanisme syura yang digunakan untuk menyelesaikan perbedaan itu.


Pintu Ijtihad

Yusuf al-Qardhawi pernah menyatakan bahwa pintu ijtihad selalu terbuka, dan tidak seorangpun berhak menutup pintu yang telah dibuka oleh Rasulullah. Namun demikian ada dua hal yang perlu diperhatikan, yaitu objek ijtihad dan pelaku ijtihad.

Ijtihad, dengan fiqh sebagai produknya, hanya berlaku pada permasalahan yang tidak memiliki ketetapan hukum dalam al-Qur`an dan Sunnah. Pernah suatu ketika saat mengajar, al-Syafi'i diminta fatwa tentang sebuah permasalahan. Beliau menjawabnya dengan merujuk sebuah Hadis. Si penanya merasa perlu menanyakan pendapat
pribadi al-Syafi'i yang bukan berdasarkan Hadis, namun ia justru mendapat hardikan keras dari al-Syafi'i, "Apakah engkau melihat aku keluar dari gereja, atau engkau dapati di pinggangku ikat pinggang orang yahudi?! Ketika Rasulullah telah menetapkan sesuatu kemudian aku mengeluarkan pendapat pribadi!".

Dan yang tidak kalah penting adalah otoritas ijtihad yang hanya dimiliki ulama yang berkompeten. Al-Suyuthi menyebutkan lebih dari 150 disiplin ilmu yang harus dimiliki seseorang sebelum ia boleh berijtihad. Dalam generasi shahabat kita temui beberapa orang yang memiliki predikat fuqaha shahabat (ahli fiqh golongan shahabat), misalnya Umar bin al-Khathab, Ali bin Abu Thalib, Ibn Abbas dan Aisyah radhiyallah 'anhum.
Sementara kebanyakan shahabat lain menyandarkan solusi atas permasalahan mereka kepada para fuqaha itu.

Dalam al-Hawi, al-Suyuthi berkata, "Kalaulah orang-orang bodoh mau diam, maka perselisihan akan sedikit". Dan memang dalam kehidupan sehari-hari kita temui orang-orang awam justru yang ramai bermain di "wilayah khilafiyah". Karena mereka inilah ikhtilaf menjadi potensi perpecahan umat, bukan justru menjadi rahmat.

Bagi orang yang mampu berijtihad, maka hendaknya ia menggunakan anugerah itu. Sementara masyarakat awam diharap mengikuti para ulama (ittiba'), dan jangan
coba-coba berijtihad.

Adapun timbulnya pertikaian akibat mazhab dan ittiba', maka ini lebih diakibatkan ketidakdewasaan sikap. Karena ijtihad dan ittiba' bersifat netral, seperti sebilah pisau yang dapat digunakan mengiris bawang dan menodong di jalanan, mirip ilustrasi yang dikatakan Ali bin Abu Thalib berkata, 'Perkataan yang hak, namun digunakan untuk kebathilan” (kalimah al-haqq urida biha al-bathil).


Perbedaan Hasil Ijtihad

Al-Qur`an mengabadikan perbedaan ijtihad antara nabi Dawud dengan nabi Sulaiman dalam masalah "kambing yang memakan ladang" (QS. Al-Anbiya` ayat 78-79). Kedua
ijtihad yang berbeda ini mendapat apresiasi dari Allah. Dan dalam sebuah kesempatan, Rasulullah menyatakan bahwa jika seorang hakim (dan mujtahid) tepat dalam berijtihad, maka ia mendapat dua pahala. Sementara jika ia keliru, maka ia mendapat satu pahala.

Berikut adalah contoh perbedaan ijtihad.

Dalam sebuah Hadis disebutkan Rasulullah pernah melakukan shalat jama' di perjalanan. Beberapa ulama, setelah melakukan penghitungan, menyatakan bahwa jarak minimal perjalanan yang membolehkan menjama' shalat adalah 80,65 km (lih. Fiqh 'ala Madzahib al-Arba'ah). Ada juga yang menyatakan bahwa jarak ini adalah jarak
pulang-pergi. Artinya siapa yang melakukan perjalanan sejauh 41 kilo diperbolehkan melakukan jama' shalat. Baik ada kesulitan dalam perjalanan maupun tidak, jama' shalat tetap boleh. Misalnya orang yang pergi dari Jakarta ke Kuta Bali menaiki pesawat yang nyaman dan hanya membutuhkan waktu kurang dari 2 jam.

Ada juga ulama yang menyatakan bahwa alasan kebolehan jama' shalat adalah adanya kesulitan dalam perjalanan. Rasulullah sendiri menyatakan bahwa bepergian adalah
sepotong kesulitan (masyaqqah). Sehingga siapa saja yang merasa kerepotan saat perjalanan, sedekat apapun jaraknya, ia tetap boleh menjama’. Seorang karyawan
atau manager perusahan yang rumahnya di Ciputat sementara kantornya di jalan Gatot Subroto bila ia terjebak macet, maka baginya menjama' shalat atau melakukan shalat di dalam kendaraan (dengan bertayammum).

Dan dalam sebuah Hadis yang diriwayatkan al-Nasa`, disebutkan bahwa Rasulullah pernah menjama' shalat di rumah. Ibn Abbas yang diminta konfirmasi tentang hal
ini, mengiakannya seraya mengira-ngira bahwa saat itu sedang turun hujan. Berdasar Hadis ini, sementara ulama ada yang membolehkan jama' shalat tanpa alasan perjalanan, misalnya dua orang mempelai yang biasanya dirias pada jam 9 pagi, dan baru lepas riasan jam 4 sore, maka baginya jama' shalat Zhuhur dan Ashar.
Namun ulama yang membolehkan jama' shalat di rumah, memberikan beberapa persyaratan (conditions).

Ibn Qudamah, seorang faqih mazhab Hanbali menyatakan bahwa perbedaan yang ada di antara para ulama adalah rahmat, dan kesepakatan mereka adalah hujjah yang
tidak bisa dibantah dan didebat.

Dari sini kita pahami bahwa ijtihad dan perbedaan fiqh sudah ada semenjak zaman shahabat, maka menjadi aneh jika sekarang ada orang yang ingin meniadakannya, atau justru menjadikannya sumber perpecahan umat Islam. Dan, sekali lagi, perlu kedewasaan dalam menyikapi perbedaan fiqh. Para ulama menyarankan untuk
menggunakan dua standar dalam menentukan pilihan di antara ijtihad-ijtihad yang ada:

(1) Pendapat mana yang memiliki argumentasi dalil dan penalaran yang lebih kuat, serta

(2) Yang paling sesuai dengan suara hati nurani.

Wallah a'lam.

Tidak ada komentar: