ME...

ME...
MUSCAT-OMAN 2005

Kamis, 23 Oktober 2008

Pandangan Hadratusy Syaikh Hasyim Asy'ari Tentang Peringatan Maulid

Kutipan Bebas Dari Kitab
al-Tanbihat al-Wajibat Li Man Yashna’ al-Mawlid Bi al-Munkarat
Karya Hadratusy Syaikh Hasyim Asy’ari

Buku ini terdiri muqaddimah, 10 Tanbih, khatimah, 3 penjelasan tambahan, tadznib (epilog) yang dikutip dari ‘Izz al-Din bin ‘Abd al-Salam

a. Muqaddimah
Hadratusy syaikh memulai muqaddimah kitabnya dengan kutipan hadis, “Kullu bid’ah dhalalah”.
Pada malam Senin, 25 Rabiul Awal 1355 H, saya mendapati sekelompok santri di beberapa pesantren menyelenggarakan perayaan Maulid. Mereka mendatangkan alat-alat malahi (musik), dan melakukan kemunkaran seperti pencak silat, tinju, dan permainan rebana, setrek (ketoprak), judi, joget-joget, tertawa terbahak-bahak, teriak-teriak, di hadapan perempuan-perempuan yang bukan mahramnya. Sebagian dari mereka bahkan melakukan ikhthilath, di mana laki-laki dan perempuan bercampur baur. Kemunkaran ini dilakukan setelah pembacaan ayat Alquran, khabar-khabar tentang Rasulullah, dan sirah beliau. Melihat hal ini, akupun menegur dan melarang mereka. Kemudian merekapun membubarkan diri.
Kekhawatiran akan terjadinya kembali peristiwa ini, yang bisa jadi membuat masyarakat yang awam keluar dari agama Islam (murtad) tanpa mereka sadari, maka akupun menulis Tanbihat ini sebagai sebuah nasihat dariku kepada kaum muslimin.

b. Sepuluh Tanbihat
Pertama, peringatan maulid sebagaimana yang dikehendaki ulama, yaitu berkumpulnya sekelompok orang yang membaca Alquran, sirah rasulullah, dan menyantap hidangan yang disediakan. Ada juga yang menabuh rebana dengan tetap menjaga etika dan kesopanan.
Hadratusy syaikh mengutip Abu Syamah dalam kitabnya al-Ba’its Fi Inkar al-Bida’ wa al-Hawadits yang menyatakan bahwa salah satu bid’ah yang terbaik yang ada di zamannya adalah tradisi peringatan mauled rasulullah yang dimanifestasikan dalam bentuk sedekah, kegembiraan, dan berbuat baik kepada kaum dhuafa.
Pada tanbih pertama ini, Hadratusy syaikh banyak mengutip riwayat (hadis) dan pendapat ulama terkait anjuran bergembira dengan mawlid rasulullah. Beliau mengutip hadis riwayat al-Tirmidzi tentang kebolehan membunyikan rebana di masjid saat mengumumkan pernikahan. Beliau mengkritik al-Tirmidzi yang mendhaifkan hadis tersebut.
Kedua, Hadratusy syaikh kembali menyatakan keharaman peringatan mauled yang disertai kemunkaran. Beliau mengutip al-Baydhawi dalam Tafsirnya, “Ketaatan yang memunculkan kemaksiatan yang rajih (lebih dominan dari pada ketaatan itu sendiri) wajib ditinggalkan. Karena segala sesuatu yang menjerumuskan kita ke dalam keburukan adalah buruk”.
Ketiga, Hadratusy syaikh mengutip ucapan al-Fakihani, seorang ulama mazhab Maliki tentang keharaman peringatan mauled yang disertai kemunkaran. Sementara ketika peringatan mauled ini dilakukan berupa berkumpulnya sekelompok orang yang menyantap hidangan yang disediakan, maka hukumnya bid’ah yang makruhah. Pendapat al-Fakihani yang menyatakan kemakruhan mauled yang diselenggarakan tanpa kemunkaran ini dikritik oleh Yusuf al-Dajawi.
Keempat, Hadratusy syaikh mengutip Abu ‘Abdullah bin al-Haj, seorang ulama mazhab Maliki, tentang keharaman perayaan mauled dengan disertai kemunkaran.
Kelima, Hadratusy syaikh mengutip Ibn Hajar (al-‘Asqalani) yang menyatakan bahwa peringatan mauled adalah bid’ah yang memuat kebaikan dan keburukan. Jika mauled dilaksanakan dengan cara yang benar dan menjauhi kemaksiatan, maka ia menjadi bid’ah hasanah. Demikian pula sebaliknya jika mauled dilaksanakan dengan disertai kemunkaran, maka ia adalah bid’ah yang haram. Al-‘Asqalani kemudian menyatakan riwayat yang menyatakan anjuran menampakkan kegembiraan atas lahirnya rasulullah, dan manifestasi kegembiraan yang diperbolehkan (yaitu dengan ibadah).
Keenam, Hadratusy syaikh mengutip al-Qadhi ‘Iyadh tentang kewajiban memuliakan rasulullah yang salah satunya berupa peringatan hari kelahirannya. Al-Qadhi menyatakan bahwa rasulullah wajib dimuliakan baik saat beliau hidup maupun setelah kemangkatannya.
Ketujuh, Hadratusy syaikh mengutip Ibn al-Haj al-Fasi tentang keharaman memuliakan sesuatu bukan pada tempatnya. Demikian juga haram hukumnya menggunakan sesuatu yang menghinakan pada sesuatu yang dimuliakan.
Kedelapan, Hadratusy syaikh mengutip al-Qadhi ‘Iyadh keharaman menghina rasulullah.
Kesembilan, Hadratusy syaikh memaparkan bahwa merayakan mauled dengan disertai kemunkaran adalah perbuatan yang sangat buruk.
Kesepuluh, Hadratusy syaikh memaparkan kemunkaran yang dilakukan bersamaan dengan peringatan mauled, seperti memubadzirkan harta dan berlebihan dalam berdandan (dan berpakaian). Hadratusy syaikh juga membahas banyak hal pada tanbih ini.

c. Khatimah
Hadratusy syaikh mengulas tentang tradisi NU (Nahdhatul ‘Ulama) dalam memperingati mauled. Beliau memaparkan dalil membaca (Alquran) dengan suara yang merdu

Buku ini selesai ditulis pada hari Ahad, 14 Rabi’ al-Tsani 1355 H (ditulis dalam rentan waktu kira-kira delapan belas hari).

Tidak ada komentar: