ME...

ME...
MUSCAT-OMAN 2005

Selasa, 21 Oktober 2008

Ibn Hajar Juga Manusia

METODOLOGI PENULISAN KITAB

TAHRIR TAQRIB AL-TAHDZIB

KARYA BASYSYAR ‘AWWAD MA’RUF DAN SYU’AIB AL-ARNA`UTH

Oleh: Andi Rahman



Dalam kajian filologi, nama Basysyar ‘Awwad Ma’ruf dan Syu’aib al-Arna`uth bukanlah sosok yang asing. Belasan manuscript telah ditahqiq, baik yang dilakukan secara individual maupun team work, selain beberapa kitab syarah (penjelasan), muraja’ah, dan karya-karya original dari dua ulama ini yang semuanya telah diterbitkan.

Dalam situs www.adabwafan.com/browse[1] disebutkan beberapa masnuscript yang telah ditahqiq oleh Basysyar, misalnya: Tarikh Madinah al-Salam karya al-Khathib al-Baghdady, Tuhfah al-Isyraf bi Ma’rifah al-Athraf karya al-Mizzy, al-Muwaththa` (Riwayat Yahya bin Yahya al-Laitsy) karya Malik bin Anas, al-Jami’ al-Kabir-Sunan al-Tirmidzy karya al-Tirmidzy, Wajiz al-Kalam karya Syamsuddin al-Sakhawy, Hayah al-Shahabah karya al-Kandahlawy, dan Tahdzib al-Kamal karya al-Mizzy. Beliau juga memuraja’ah kitab Syama`il al-Naby karya al-Tirmidzy yang ditahqiq oleh Mahir Yasin Fahl, menulis Tafsir al-Thabary yang diterbitkan dalam 7 jilid, Syarh Ibn Majah, dan Dhabth al-Nash wa al-Ta’liq ‘alaih, serta mengoleksi Hadis-hadis yang ada dalam beberapa Musnad yang diberi nama al-Musnad al-Jami’ ma’a al-Faharis yang diterbitkan dalam 22 jilid.

Masih dalam situs yang sama, disebutkan beberapa manuscript yang telah di tahqiq oleh Syu’aib al-Arnauth, misalnya: al-Da` wa al-Dawa`, Zad al-Ma’ad, dan al-Thib al-Nabawy, ketiganya merupakan karya Ibn Qayyim al-Jauziyyah. Beliau juga menahqiq Riyadh al-Shalihin karya al-Nawawy, Syarh Aqidah al-Thahawiyah karya Ibn ‘Abd al-‘Izz al-Hanafy, Siyar A’lam al-Nubala` karya al-Dzahaby, Jami’ al-‘Ulum wa al-Hikam karya Ibn Rajab al-Hanbaly, Musnad al-Imam Ahmad karya Ahmad bin Hanbal, Mawarid al-Zham`an Ila Zawa`id Ibn Hibban karya al-Haytsamy, al-Marasil karya Abu Dawud, Shahih Ibn Hibban bi Tartib Ibn Balban karya Ibn Balban al-Farisy, dan al-Adab al-Syar’iyyah karya Ibn Muflih al-Maqdisy. Beliau juga membimbing penahqiqan kitab Tahdzib Siyar A’lam al-Nubala` karya al-Dzahaby yang dilakukan oleh Ahmad Fayiz al-Himshy.

Kedua pakar Hadis dan filologi kontemporer ini kemudian berkolaborasi menulis kitab Tahrir Taqrib al-Tahdzib.



Latar Belakang Penulisan Kitab

Sejarah mencatat kitab Tahdzib al-Kamal, karya agung al-Mizzy (654-742 H), sebagai rujukan utama biografi perawi-perawi yang ada dalam al-Kutub al-Sittah (al-Bukhary, Muslim, al-Tirmidzi, Abu Dawud, al-Nasa`i, dan Ibn Majah). Para ulama menyatakan bahwa tidak ada kitab yang dapat menyamainya, di mana pengarangnya (al-Mizzy) telah menciptakan metode penulisan buku yang belum pernah ada sebelumnya. Tidak sedikit jumlah ulama yang kemudian mencoba mengkaji kitab ini secara mendalam, kemudian menulis ringkasan atau tambahan atasnya,[2] misalnya: Jamaluddin Rafi’ al-Sallamy (668-718 H) menulis al-Kuna al-Mukhtashar min Tahdzib al-Kamal fi Asma` al-Rijal, al-Dzahaby (673-748 H) menulis Tadzhib al-Tahdzib, al-Kasyif fi Ma’rifah Man Lahu Riwayah fi al-Kutub al-Sittah, al-Mujarrad min Tahdzib al-Kamal, dan al-Muqtadhab min Tahdzib al-Kamal, al-Gassany al-Andarsyi (690-750 H) menulis Mukhtashar li Tahdzib al-Kamal, ‘Ala` al-Din Mughulthay (689-762 H) menulis Ikmal Tahdzib al-Kamal, al-Husayny (715-765 H) menulis al-Tadzkirah fi Rijal al-‘Asyrah, Ibn Katsir (701-774 H) menulis al-Takmil fi al-Jarh wa al-Ta’dil wa Ma’rifah al-Tsiqat wa al-Dhu’afa` wa al-Majahil, Ibn Bardas al-Ba’labakky (720-786 H) menulis Bughyah al-Arib fi Ikhtishar al-Tahdzib, Ibn Mulaqqin (723-804 H) menulis Ikmal Tahdzib al-Kamal fi Asma` al-Rijal, dan Sibth Ibn al-‘Ajamy la-Halaby (753-841 H) menulis Nihayah al-Sul fi Ruwat al-Sittah al-Ushul.[3]

Banyaknya ulama yang telah mengkaji kitab Tahdzib al-Kamal, tidak menyurutkan keinginan Ibn Hajar al-‘Asqalany (773-852 H) untuk menulis ringkasan kitab ini. Malahan kitab yang dinamainya Tahdzib al-Tahdzib ini kemudian menjadi rujukan utama ulama-ulama sesudahnya. Ibn Hajar meringkas karya al-Mizzy menjadi sekitar sepertiga isi kitab Tahdzib al-Kamal, dengan metodologi penulisan sebagaimana berikut:

1. Mencantumkan seluruh rawi yang disebutkan dalam kitab Tahdzib al-Kamal, dengan penambahan rawi yang sesuai dengan standart (syarat) yang dimilikinya, serta penambahan biografi yang dianggap dapat membantu membedakan apa-apa yang tidak dijelaskan oleh al-Mizzy.

2. Menulis kembali biografi rawi yang tidak dicantumkan al-Mizzy, padahal ia ada dalam kitab al-Kamal.

Ibn Hajar kemudian meringkas isi kitab ­Tahdzib al-Tahdzib dalam kitab Taqrib al-Tahdzib. Kitab ini (Taqrib al-Tahdzib) selesai ditulis pada tahun 827 H. Namun demikian, Ibn Hajar masih menganggap perlu mengkaji ulang isi kitab ini dan melakukan revisi-revisi serta menambahkan penjelasan yang dirasa perlu. Hal ini berlangsung hingga dua tahun menjelang kewafatannya. hingga dapat dikatakan bahwa isi dari kitab ini (al-Taqrib) merupakan ijtihad terakhir darinya dalam menentukan status dan kualitas rawi-rawi Hadis yang disebutkannya dalam kitab itu.[4] Secara lengkap, metode penulisan kitab Tahdzib al-Tahdzib dan Taqrib al-Tahdzib ini diterangkan Ibn Hajar dalam Muqaddimah kitab Taqrib al-Tahdzib.

Hasil ijtihad Ibn Hajar dalam Taqrib al-Tahdzib kemudian dijadikan pegangan utama dalam rangka meneliti status para rawi Hadis oleh para pengkaji Hadis, bahkan oleh banyak ulama yang membimbing penulisan karya ilmiah di pascasarjana. Ada kesan penyakralan kitab ini, dan anggapan bahwa isi kitab ini bersifat qath’i yang tidak dapat dikritisi. Hal ini juga pernah dirasakan Basysyar ‘Awwad Ma’ruf dan Syu’aib al-Arna`uth. Padahal dalam kitabnya, Ibn Hajar tidak memberikan penjelasan yang signifikan terutama pada rawi-rawi yang diperselisihkan status dan kualitasnya. Di waktu yang sama, banyak kontradiksi yang dilakukan Ibn Hajar dalam memberikan status dan penilaian kualitas rawi. Dan nampaknya, hal yang juga luput dari perhatian banyak ulama, adalah bahwa penilaian terhadap para rawi bersifat ijtihadiyah yang dapat dikritisi.[5]

Para ulama tidak ada yang meragukan kepakaran Ibn Hajar dalam kajian Hadis dan Ulum al-Hadis. Namun manusia sangat mungkin melakukan kesalahan dan kekeliruan, tidak terkecuali Ibn Hajar. “Adalah sebuah kebenaran yang pahit, bahwa ijtihad Ibn Hajar dalam kitabnya ini tidak sesuai dengan nama besar yang disandangnya”, demikian ungkap Basysyar ‘Awwad Ma’ruf dan Syu’aib al-Arnauth.[6] Melalui penelitian atas status para rawi yang telah ditetapkan Ibn Hajar dalam kitab Taqrib al-Tahdzib, dengan meng-cross check pendapat para ulama pakar jarh wa ta’dil, didapati tidak sedikit pendapat Ibn Hajar yang terkoreksi, baik yang berkaitan dengan kualitas rawi, maupun tahun kematian dan thabaqat (tingkatan)-nya.[7] Pengalaman menahqiq berbagai manuscript yang berkaitan dengan kitab Hadis dan Ulum al-Hadis, menjadi salah satu latar belakang ditulisnya kitab Tahrir Taqrib al-Tahdzib.



Muqaddimah al-Tahqiq Sebagai Pengantar Kitab Tahrir

Dalam Muqaddimah kitab Tahrir Taqrib al-Tahdzib, Basysyar ‘Awwad dan Syu’aib al-Arna`uth menyebutkan beberapa kaedah dan hal-hal yang dianggap perlu untuk diketahui pembaca kitabnya. Disebutkan juga marhalah-marhalah (periodenisasi) kritik Hadis[8]:

Marhalah pertama, periode kritik Matan Hadis. Periode ini dimulai pada masa shahabat dan berakhir pada pertengahan awal abad II H. Para shahabat saling mengkritisi matan Hadis yang didengarnya dari shahabat lain, sebagaimana Aisyah mengkritik Abu Hurairah, Umar bin al-Khathab dan Ibn Umar, di waktu yang sama Umar bin al-Khathab mengkritisi Aisyah dan Fathimah binti Qais.

Marhalah Kedua, periode kodifikasi Hadis (al-Tabwib wa al-Tanzhim) dan penilaian kualitas Hadis. Dalam marhalah ini kita kenal banyak pakar Hadis seperti Ali al-Madini, Yahya bin Ma’in, Ahmad bin Hanbal, Abu Zur’ah, al-Bukhari sebagainya.

Ulama terdahulu, seperti Malik bin Anas, Sufyan bin ‘Uyaynah, Sufyan al-Tsaury, dan al-Auza’iy memberikan penilaian atas para rawi karena mereka hidup semasa dengan rawi-rawi tersebut. Sementara ulama setelahnya, mengambil penilaian ini langsung dari mereka. Permasalahan yang timbul kemudian adalah: Bagaimana ulama abad ketiga Hijriyah dapat menilai kualitas rawi-rawi dari generasi tabi’in yang tidak mereka temui, sedangkan ulama pendahulunya tidak menjelaskan status dan kualitas rawi-rawi itu?

Misalnya, Ibn Abi Hatim pernah bertanya kepada ayahnya tentang kualitas seorang rawi yang bernama Ahmad bin Ibrahim al-Halaby. Setelah dibacakan Hadis yang berasal dari Ahmad bin Ibrahim, Abu Hatim berkata, “Aku tidak mengenalnya! Dan semua Hadis yang diriwayatkan darinya palsu dan bathil tidak memiliki sanad (laysa laha ushul). Hadis yang kamu bacakan menunjukkan bahwa dia (Ahmad bin Ibrahim) adalah seorang pendusta (kadzdzab)”. Saat Ibn Abi Hatim menanyakan bertanya lagi kepada ayahnya tentang biografi seorang rawi yang bernama Ahmad bin al-Mundzir bin al-Jarud al-Qazzaz, Abu Hatim menjawab, “Aku tidak mengenalnya!” Dan saat dibacakan sebuah Hadis yang diriwayatkan darinya (Ahmad bin al-Mundzir), Abu Hatim menyatakan bahwa Hadisnya shahih.[9]

Abu ‘Ubaid al-Ajiry pernah bertanya Abu Dawud tentang kualitas Maslamah bin Muhammad al-Tsaqafy al-Bashry, “Yahya bin Ma’in menganggapnya dhaif (laysa bi syai`)” Abu Dawud menanggapinya, “Kami telah dikabarkan Musaddad: Hadis-hadisnya baik (mustaqimah)”, Abu ‘Ubaid menanyakan status sebuah Hadis yang diriwayatkan Maslamah bin Muhammad yang ditanggapi oleh Abu Dawud: ”Siapa saja yang meriwayatkan Hadis itu, maka curigailah dia”.[10]

Berdasarkan tiga kasus di atas, nampak bahwa Abu Hatim dan Abu Dawud tidak mengenali rawi-rawi yang ditanyakan kepadanya kecuali dengan cara melakukan kajian atas matan Hadis-hadis yang diriwayatkan dari rawi-rawi itu. Ironisnya, cara ini pula yang dijadikan pedoman menentukan status dan kualitas Hadis.

Pada marhalah ini, kritik matan lebih dominan dibanding kritik sanad. Abu Hatim mengisahkan kedatangan seorang tokoh ahl al-ra`y yang membawa catatan Hadis kepadanya agar ia memberikan status kualitas tiap-tiap Hadis yang dibacakan dari catatan itu, “Hadis ini keliru (khatha`), Hadis itu batil (bathil), dan Hadis ini dusta (kadzib), sementara sisanya shahih”. Timbul pertanyan dari tokoh itu: Dari mana Abu Hatim mengetahui status dan kualitas Hadis-hadis yang dibacakan sementara ia tidak mengatahui rawi-rawi Hadisnya. “Aku tidak mengenal rawi-rawi Hadis itu, hanya saja aku tahu bahwa Hadis itu keliru” Jawab Abu Hatim.

“Apa Anda mengetahui hal-hal yang bersifat ghaib”, Tanyanya.

Abu Hatim menolak dianggap mengetahui hal-hal ghaib, “Silahkan engkau tanyakan orang yang memiliki keilmuan yang setingkat denganku tentang Hadis-hadis yang telah engkau tanyakan kepadaku. Jika penilaiannya sama dengan penilaianku, maka engkau akan mengetahui bahwa hal ini bukan sebuah kebetulan, tetapi berdasarkan ilmu”.

Maka dipilihlah Abu Zur’ah sebagai pakar Hadis untuk meng-cross check penilaian Hadis yang diberikan Abu Hatim. Tidak lama waktu berselang, orang tadi mendatangi kembali Abu Hatim dengan membawa hasil penilaian Abu Zur`ah yang ternyata sama persis dengan penilaian Abu Hatim. “Alangkah menakjubkan, bahwa anda berdua (Abu Hatim dan Abu Zur`ah) memiliki kesamaan penilaian tanpa adanya kesengajaan (konspirasi)”, decak kagum orang tadi.[11]

Seorang ahli emas (mata uang dinar) dapat dengan mudah mengetahui kualitas emas, tanpa harus mengetahui proses pembuatannya, atau adanya pemberitahuan dari orang yang mengolahnya. Demikian pula ahli permata akan dapat dengan mudah membedakan antara permata dengan kaca. “Demikian pula kami yang telah dianugerahi ilmu, yang tidak dapat kami beritahukan kepadamu, kami mampu mengetahui bahwa Hadis ini dusta atau munkar”. Demikian pungkas Abu Hatim.[12]

Marhalah ketiga, periode mengumpulkan pendapat ulama-ulama terdahulu tentang status dan kualitas Hadis, dengan disertai penjabaran Hadis yang diriwayatkannya dan status Hadis itu. Metode ini digunakan oleh ulama abad III Hijriyah, seperti Ibn Hibban (w. 354 H), Ibn ‘Addy al-Jurjani (w. 365 H), dan al-Daruquthny (w. 385 H).

Marhalah keempat, periode menyandarkan status dan kualitas rawi kepada pendapat ulama-ulama belakangan (muta`akhirin), khususnya pendapat Ibn Hajar al-‘Asqalani dalam kitab al-Taqrib. Periode ini berlangsung hingga sekarang, di mana kebanyakan pengkaji Hadis merasa cukup dengan penilaian yang diberikan Ibn Hajar akan status dan kualitas rawi, dan penilaian ulama belakangan seperti al-Hakim dan al-’Iraqy dalam hal keshahihan atau kedha’ifan Hadis. Padahal tidak sedikit dari ulama-ulama itu yang tasahul, misalnya al-Hakim.

Kaedah-kaedah yang ditetapkan para ulama mushthalah bersifat ijtihadiyah. Sebagian merupakan hasil penelitian yang akurat (istiqra` tam) dan kebanyakan merupakan hasil penelitian parsial. Demikian pula penilaian atas rawi. “Terkadang dua orang imam (pakar) Hadis berbeda pendapat tentang status dan kualitas seorang rawi, dan sebuah Hadis. Sebagian mendhaifkan sebuah Hadis sementara ada pakar yang menganggap Hadis itu shahih. Sebagian men-jarh seorang rawi, sementara ada juga yang men-ta’dil rawi itu. dari sini memberi kesan bahwa panshahihan Hadis termasuk masalah ijtihadiyah yang ada padanya perbedaan pendapat”. Demikian tulis al-Shan’ani dalam kitab Irsyad al-Nuqqad Ila Taysir al-Ijtihad. Al-Mundziry menganggap perbedaan muhadditsin seperti perbedaan fuqaha`.[13]

Masih ada beberapa hal yang dipaparkan Basysyar ‘Awwad Ma’ruf dan Syu’aib al-Arna`uth dalam Muqaddimah al-Tahqiq kitab Tahrir, yang nampaknya dimaksudkan untuk memberikan pandangan umum kepada pembaca akan isi kitab, sekaligus justifikasi atas kritik yang dilakukan terhadap kitab al-Taqrib karya Ibn Hajar.



Metodologi Penulisan Kitab Tahrir Taqrib al-Tahdzib

Sebelum menulis kitab Tahrir, Basysyar dan Syu’aib telah lebih dahulu mengkaji secara khusus (al-dhabt) kitab al-Taqrib dengan memberikan komentar dan catatan-catatan yang diperlukan. Hal ini dilakukan dengan cara membandingkan manuscript yang ditulis langsung oleh Ibn Hajar dengan manuscriprt yang ditulis oleh Muhammad Amin bin Hasan al-Mayarghany al-Husainy al-Hanafy, kemudian dilakukan cross check dengan kitab Tahdzib al-Kamal. Kajian ini juga dilakukan dengan cara memberikan harakat (tanda baca) atas nama-nama, kunyah (julukan), dan nisbah (asosiasi), serta pembetulan nomor, dan penulisan catatan kaki pada wahm (kekhilafan) yang dilakukan Ibn Hajar.

Kemudian Basysyar dan Syu’aib melanjutkan kajiannya yang kemudian diterbitkan dengan diberi nama Tahrir Ahkam al-Taqrib, dengan metodologi penulisan sebagaimana berikut[14]:

1. Tahqiq (kajian kritis) atas rutbah (derajat) para rawi yang diberikan Ibn Hajar. Ketika hasil kajiannya sama dengan apa yang ditulis Ibn Hajar, maka tidak diberikan komentar apa-apa. Sebaliknya jika ditemukan hasil kajian yang berbeda dengan hukum yang diberikan Ibn Hajar, maka diberikan catatan dengan argumentasi yang signifikan, dengan memberikan tanda bulatan di dalam kurung [(Ž)] sebagai pembeda antara Tahrir dengan al-Taqrib.

2. Melakukan kajian komprehensif atas setiap biografi yang ada dalam kitab al-Taqrib, dengan berdasarkan pendapat para imam jarh wa ta’dil sebagaimana disebutkan al-Mizzy dalam Tahdzib al-Kamal, dan sumber-sumber lain yang disebutkan secara singkat.

3. Mengkaji secara kritis status dan kualitas rawi-rawi yang perselisihkan, dengan membandingkan pendapat-pendapat ulama jarh wa ta’dil, dan terkadang dengan mengkaji riwayat-riwayat yang berasal dari rawi itu.

4. Khusus rawi yang ada dalam kitab Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim yang dikritik oleh beberapa pihak, dijelaskan status riwayat yang ada dalam dua kitab shahih: Apakah masuk dalam kategori ihtijaj, mutabi’ah, atau syahid

5. Menambahkan beberapa hal penting yang tidak disebutkan Ibn Hajar, seperti derajat rawi mudallis, status dan kualitas rawi mukhtalith seraya menentukan murid-murid yang meriwayatkan darinya sebelum ikhtilath atau sesudahnya.

6. Setiap Rawi yang dijuluki al-Ighrab oleh salah seorang imam, maka status itu ditetapkan, walaupun yang menjulukinya hanya satu orang. Di sini Ibn Hajar melakukan kerancuan (idhthirab), terutama terhadap ucapan Ibn Hibban yang seringkali menggunakan istilah ighrab. Status yang diberikan Ibn Hibban dan diikuti oleh Ibn Hajar ini tidak dianggap.

7. Adapau tautsiq yang diberikan Ibn Hibban, atau hukum jahalah yang diberikan olehnya, maka secara khusus dibahas dalam bab “Ibn Hibban wa al-Jarh wa al-Ta’dil”. Demikian pula status rawi yang dituduh melakukan bid’ah atau di-jarh dengan jarh yang tidak dibenarkan, maka kesemuanya dibahas dalam bab khusus.

8. Konsistensi dan penyeragaman istilah:

a. Rawi Tsiqah seluruh Hadisnya shahih kecuali jika dicurigai wahm atau terdapat syadz

b. Rawi Shaduq atau Hasan al-Hadis Hadisnya Hasan li Dzatihi dan bisa naik menjadi Shahih li Ghairihi jika terdapat mutabi’

c. Rawi Dha’if Yu’tabar Bih atau Maqbul Hadisnya dhaif dan dapat naik menjadi Hasan li Ghairihi jika ada mutabi’

d. Rawi Dha’if Hadisnya dhaif dan tidak dapat dijadikan mutabi’ atau syahid.

e. Rawi Matruk atau Munkar al-Hadis Hadisnya dhaif sekali, dan tidak dapat naik kualitasnya walaupun didukung oleh mutabi’ atau syahid.

f. Rawi Kadzdzab dan Wadhdha’ dan Halka Hadisnya palsu dan tidak dapat dijadikan hujjah.

9. Walaupun telah diupayakan adanya penyeragaman istilah, tetap dianggap perlu menambahkan istilah yang menjelaskan keadaan seorang rawi, misalnya “Tsiqah fi Ma ‘Ada al-Zuhri” (dhaif jika meriwayatkan Hadis dari al-Zuhri), atau “Tsiqah Yudallis” (dhaif jika meriwayatkan Hadis secara ’An’anah), atau “Tsiqah Yughrib” (Tsiqah jika meriwayatkan Hadis sendirian)., dan seterusnya.

10. Kajian yang ada dalam kitab Tahrir dilakukan berdasarkan pendapat-pendapat ulama terdahulu dengan mencermati pendapat-pendapat itu dan mengkomparasikannya. Kemudian menentukan pendapat yang benar. Hasil akhir yang ada dalam kitab ini (al-Tahrir) bersifat ijtihadiyah yang dapat dikririsi ulang dan dapat terjadi kekeliruan.

Dalam melakukan kajian, Basysyar ‘Awwad dan Syua’iab menggunakan fasilitas computer.

Hanya sabda Rasulullah yang wajib diikuti, selain beliau, kita dapat saja mengambil atau meninggalkan pendapat orang. Adanya perbedaan penilaian status dan kualitas yang ada dalam kitab Tahrir dengan apa yang ada dalam kitab al-Taqrib, bukanlah hal yang aneh, karena ulama terdahulupun berbeda pendapat akan penilaian terhadap seorang rawi.





[1] Tertanggal 10 Desember 2005

[2] Basysyar ‘Awwad Ma’ruf dan Syu’aib al-Arna`uth, “Muqaddimah al-Tahqiq”, dalam Tahrir Taqrib al-Tahdzib, karya Basysyar ‘Awwad Ma’ruf dan Syu’aib al-Arnauth, (Beirut: Mu`assasah al-Risalah, 1997), cet. I, vol I, hal. 8. Selanjutnya disebut Tahrir

[3] Penjelasan kitab-kitab ini secara lengkap dapat dibaca di Muqaddimah kitab Tahdzib al-Kamal cetakan Beirut 1980, vol. I, hal. 51-71

[4] Basysyar ‘Awwad Ma’ruf dan Syu’aib al-Arna`uth, “Muqaddimah al-Tahqiq”, dalam Tahrir …, vol. I, hal. 14

[5] Basysyar ‘Awwad Ma’ruf dan Syu’aib al-Arna`uth, “Muqaddimah al-Tahqiq”, dalam Tahrir… vol I, hal. 14-15

[6] Basysyar ‘Awwad Ma’ruf dan Syu’aib al-Arna`uth, “Muqaddimah al-Tahqiq”, dalam Tahrir …, vol I, hal. 17. [Dengan perubahan redaksional.]

[7] Ridwan Da’wul, “Muqaddimah al-Nasyir”, dalam Tahrir…, vol I, hal. 5

[8] Basysyar ‘Awwad Ma’ruf dan Syu’aib al-Arna`uth, “Muqaddimah al-Tahqiq”, dalam Tahrir…, vol I, hal. 18-24

[9] Tahrir…, vol I, hal. 19

[10] Tahrir…, vol I, hal. 20

[11] Basysyar ‘Awwad Ma’ruf dan Syu’aib al-Arna`uth, “Muqaddimah al-Tahqiq”, dalam Tahrir …, vol I, hal. 20-21 [dengan perubahan redaksional].

[12] Basysyar ‘Awwad Ma’ruf dan Syu’aib al-Arna`uth, “Muqaddimah al-Tahqiq”, dalam Tahrir …, vol I, hal. 22

[13] Basysyar ‘Awwad Ma’ruf dan Syu’aib al-Arna`uth, “Muqaddimah al-Tahqiq”, dalam Tahrir …, vol I, hal. 35

[14] Basysyar ‘Awwad Ma’ruf dan Syu’aib al-Arna`uth, “Muqaddimah al-Tahqiq”, dalam Tahrir …, vol I, hal. 45-50

1 komentar:

subhan nurdin mengatakan...

Zayyak, saya lagi nyari metode jarh wat ta'dil tahdzibul kamal plus bigrafi al-mizzy. kalau antum & ikhwan di sana punya tolong email ke subhannurdin@yahoo.com.
salam silaturrahim

http://subhan-nurdin.blogspot.com