ME...

ME...
MUSCAT-OMAN 2005

Kamis, 31 Juli 2008

INTERFAITH DIALOGUE

Keberagaman atau pluralitas adalah sebuah kenyataan hidup. Al-Qur`an menyatakan bahwa manusia diciptakan berbeda-beda agar mereka saling mengenal dan bekerja sama, dan bahwa kemuliaan seseorang berdasarkan tingkat ketakwaannya kepada Allah bukan berdasarkan ras dan suku bangsa (QS. Al-Hujurat: 13). Dalam salah satu khutbahnya, Rasulullah menegaskan bahwa manusia berasal dari satu moyang, yaitu Adam. Tidak ada keutamaan bangsa Arab atas non Arab (’Ajam), demikian juga sebaliknya (HR. Ahmad dari Jabir bin ’Abdillah).

Pluralitas ini juga ada pada masalah keyakinan dan ketuhanan, di mana selain Islam, masih ada agama-agama lain. Namun demikian, Islam tidak mengenal relativisme yang menyatakan bahwa semua agama adalah benar. Al-Qur`an menegaskan bahwa Islam adalah satu-satunya agama yang diridhai Allah (QS. Alu Imran: 19 dan al-Maidah: 3), dan bahwa agama selain Islam pastilah tertolak (QS. Alu Imran: 85). Demikian juga pemeluk agama-agama yang lain meyakini bahwa agama merekalah yang benar.

Untuk menyikapi keberagaman dalam keyakinan, al-Qur`an mengajarkan kearifan, di mana masing-masing pemeluk agama diminta saling menghormati dan bekerja sama tanpa harus mencampuradukkan akidah dan keyakinan mereka (QS. Al-Kafirun: 6, dan al-Mumtahanah: 8).

Dengan umat agama lain (khususnya ahli kitab), al-Qur`an menghendaki adanya dialog. Bukan untuk mempertajam perbedaan, tetapi untuk mencari titik temu, ”Wahai ahli kitab, marilah menuju ”kalimah sawa” (persamaan-persamaan) antara kami dan kalian, yaitu hendaknya kita menyembah Allah dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatupun, serta kita tidak menjadikan tuhan dari selain Allah. Maka ketika mereka berpaling, katakanlah: Bersaksilah kalian, bahwa kami adalah orang-orang yang Islam (menyerahkan diri kepada Allah)” (QS. Alu Imran: 64).

Dengan menyadari adanya beberapa kesamaan dalam ajaran agama-agama ini, interaksi antar umat beragama bisa berjalan baik dan dalam nuansa saling menghargai. Kesadaran ini juga akan membantu masing-masing umat beragama dalam menghargai keyakinan umat lain.

Dalam berdialog, al-Qur`an mengajarkan etika santun dan cara yang penuh hikmah (QS. Al-Nahl: 125), dan dengan menggunakan argumentasi dan data yang akurat lagi logis, bukan sekedar asumsi-asumsi (QS. Al-Baqarah: 111, al-Anbiya: 24, dan al-Qashash: 75). Selama berdialog, hendaknya dijauhi luapan emosi, caci maki, tuduhan-tuduhan yang dusta, dan ungkapan yang tidak santun, baik kepada teman dialog maupun terhadap ajaran-ajaran dan doktrin agama mereka, ”Janganlah kalian mencaci orang-orang yang menyeru kepada selain Allah, sehingga mereka mencaci Allah karena permusuhan dan tanpa ilmu. Yang seperti itu, Kami telah menghiasi tiap-tiap umat, perbuatan mereka. Kemudian kepada Tuhan mereka tempat kembali mereka, dan Dia akan menceritakan (menjelaskan) mereka apa-apa yang mereka lakukan” (QS. Al-an’am: 108). Allah A’lam.

UNIVERSALITAS PUASA

“Wahai orang-orang yang beriman, telah diwajibkan atas kalian berpuasa

seperti halnya (puasa) telah diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian,

agar kalian bertaqwa”

(QS. al-Baqarah 2:183)

Puasa bukan aktivitas atau ritual keagamaan yang menjadi milik pribadi umat Islam. Hal ini kita ketahui dari catatan sejarah, bahwa praktek puasa telah dilakukan umat manusia di berbagai tempat dan di tiap kurun waktu mereka, bahkan jauh sebelum Islam dikumandangkan oleh Nabi Muhammad Shallalahu ’alaihi wa Sallam dan menyebar di penjuru dunia.

Puasa yang dilakukan manusia memang kebanyakan didasari alasan keagamaan (pure rituality). Namun demikian, tidak jarang puasa juga dilakukan bukan atas dasar dorongan keagamaan (non pure rituality). Hal ini dipahami dari redaksi pasif yang digunakan Allah Ta’ala dalam menyatakan perintah pelaksanaan puasa seperti yang tercantum dalam surat al-Baqarah ayat 183, “Wahai orang-orang yang beriman, telah diwajibkan atas kalian berpuasa seperti halnya (puasa) telah diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian, agar kalian bertaqwa”

Redaksi pasif yang digunakan al-Quran, 'telah diwajibkan atas kalian'—tanpa menyebutkan secara eksplisit siapa yang mewajibkan—memiliki kesan bahwa perintah puasa bisa jadi berasal dari Tuhan, sehingga pelaksanaannya merupakan sebuah ibadah. Dan di waktu yang sama dapat dipahami juga bahwa yang mewajibkan puasa bukan Tuhan, melainkan bisa jadi yang mewajibkannya adalah diri pribadi seseorang, atau tradisi yang terlembagakan oleh sebuah komunitas dan wajib dilaksanakan oleh masyarakatnya, atau bahkan sebuah bentuk aktivitas yang didasari alasan tertentu yang tidak berkaitan dengan diri pribadi dan tuntutan tradisi, misalnya alasan ekonomis, medis dan politis.

Dalam keseharian kita temui orang-orang yang melakukan puasa karena alasan ekonomis, untuk mengirit anggaran belanja misalnya. Juga terapi puasa yang diterapkan dokter kepada pasiennya, baik puasa dalam arti tidak mengkonsumsi makanan dan minuman sama sekali dalam rentan waktu tertentu, atau tidak mengkonsumsi makanan dan minuman tertentu selama terapi medis dilaksanakan.

Dalam Encyclopedia Americana (American Corp. 1974) pada vol. XI halaman 42-43 disebutkan bahwa di Irlandia, dahulu kala, tiap-tiap pelanggar hukum yang telah dinyatakan bersalah oleh pengadilan akan dikenai hukuman puasa yang dikenal sebagai Black Fast (atau Santa Trinian’s) sesuai dengan berat-ringannya kejahatan yang dilakukan. Pada tahun 1375, wanita pembunuh yang bernama Cecilia De Ridgeway diampuni dan dibebaskan dari hukuman oleh Edward III (raja Inggris) setelah ia mampu bertahan hidup dengan berpuasa selama 20 hari. Puasa juga dapat bernuansa politis dan dan digunakan sebagai media penggalang massa agar bersimpati dan mendukung sebuah propaganda, seperti yang dilakukan oleh Terence Mc Swiney dari Inggris dan Mahatma Gandi dari India serta beberapa pemimpin lainnya.

Masih dari Encyclopedia Americana, dinyatakan bahwa masyarakat primitif suku Teita di Afrika Timur melakukan puasa sebagai pendahuluan atas pelaksanaan pernikahan. Hal serupa juga dilakukan oleh suku Macuai di Guyana, suku Tlingit di Alaska, dan suku Santals di Bengal. Wanita-wanita di pulau Bar-bar berpuasa selama suami mereka berada di medan pertempuran, sebagai wujud dukungan dan solidaritas terhadap perjuangan para suami, serta permohonan agar mereka dapat kembali dengan selamat dan memperoleh kemenangan. Di Jerman, masih banyak orang melakukan puasa bila ada badai yang mengancam.

Sementara dalam Encyclopedia Britanica disebutkan bahwa hampir semua agama, aliran filsafat, bijak bestari dan kepercayaan yang ada di dunia ini sejak dahulu hingga kini, menganjurkan dan menjadikan puasa sebagai salah satu syariat, kecuali Kun fu Tse dan Zoroaster (Zuruthusta). Namun kalau kita teliti lebih jauh, ternyata Zoroaster pun mewajibkan puasa walaupun hanya kepada para pendetanya, paling sedikit satu hari dalam lima tahun. Dr. Alwi Syihab dalam buku Islam Inklusif (1999) menjelaskan bahwa sebenarnya Kun Fu Tse juga memiliki ‘syariat’ puasa sebagai persiapan dalam melakukan penyembahan kepada nenek moyang. Disebutkan juga bahwa tradisi kepercayaan klasik di Cina, yaitu Chai (ritual puasa pisik) yang kemudian dimodifikasi dengan aliran Taoisme menjadi Hsin Chai (puasa jiwa) merupakan sebuah anjuran khusus.

Masih menurut Dr. Alwi Syihab, dinyatakan bahwa aliran Filsafat Yunani kuno, Phytagorean, berpendapat bahwa puasa adalah salah satu jalan untuk meraih kembali sifat dasar kesempurnaan primordial manusia. Pemuka agama dalam tradisi Mesir kuno juga melakukan puasa setiap kali akan memahami pesan-pesan Tuhannya, setidaknya menurut mereka, puasa dapat mempertajam fungsi indera dan menjernihkan rasio sehingga tabir kebenaran mudah tersingkap.

Puasa bagi pemuka agama Hindu merupakan kelaziman, khususnya pada saat mempersiapkan diri untuk memasuki upacara dan perayaan keagamaan. Agama Budha tidak ketinggalan, walau Siddarta Ghautama menganjurkan moderasi dalam melaksanakan ritual ibadah, khususnya dalam pelaksanaan puasa, namun tidak sedikit biarawan dan biarawati penganut Buddhisme yang melakukan praktik puasa pada hari-hari biasa (hanya makan sekali dalam satu hari). Bahkan masa sekarang banyak penganut agama Budha yang melakukan puasa empat kali sebulan, yakni saat mereka melakukan introspeksi atas pelanggaran dan dosa yang dilakukan.

Kristen dan Yahudi—yang merupakan agama semitik serumpun dengan Islam, yang pertama diproklamasikan oleh patriarkh Nabi Ibrahim ‘alaihi as-Salam—juga mencanangkan puasa sebagai barometer standart kualitas keagamaan pemeluknya.

Dalam Ensiklopedia Nasional Indonesia vol. XIII halaman 432 dinyatakan bahwa bagi orang Kristen, praktek puasa mendapatkan otoritas dari teladan dan ajaran Yesus sendiri. Kristen Katolik Roma misalnya, mewajibkan penganutnya berpuasa selama 40 hari dimulai hari Rabu (Ash Wednesday) sampai Jumat Suci (Easter) untuk memperingati meninggalnya Yesus Kristus.

Gereja-gereja reformasi yang umumnya tidak melaksanakan puasa dan menolak manfaat puasa, belakangan ini menggalakkan puasa dan menjadikannya sebagai ritual. Bahkan menurut Hukum Universal Gereja; puasa dilakukan/diperintahkan tiap hari Minggu, namun ini kiranya kurang mendapatkan perhatian. Gereja Yunani kuno bahkan mengenal 266 hari berpuasa tiap tahunnya. Namun demikian, ritual puasa yang didogmakan Kristen tidak sama, hal ini disesuaikan dengan peraturan yang dikeluarkan tiap-tiap keuskupan. Dalam Matius (4:2) diterangkan bahwa Yesus berpuasa selama 40 hari 40 malam sehingga perutnya terasa lapar, hal senada juga terdapat dalam Markus (2:18-22).

Puasa—sebagaimana yang dipahami kaum sebagian kristiani—yang dilakukan Yesus setelah pembaptisan-Nya ini, menjadi model dan ajaran tentang puasa dalam arti Kristen. Yesus menekankan bahwa puasa harus dilakukan demi kemulyaan Tuhan, bukan untuk dilihat agar mendapatkan perhatian atau pujian dari manusia. Dari sini puasa harus dilakukan dengan orientasi keagamaan (pure ritual oriented) dan dilakukan secara diam-diam, supaya hanya Tuhan Yang Mengetahui dan Membalasnya (Matius 4: 6,16-18). Waktu Yesus ditanya tentang puasa, Ia berkata bahwa pengikut-pengikutnya akan berpuasa setelah Ia meninggalkan mereka (Matius 4:9, 14-15), dan ini merupakan dasar bagi pelaksanaan puasa di Gereja Perdana (Kis 13,3:14,23)

Agama Yahudi juga memiliki ritual puasa, yaitu tiap tanggal 10 Penanggalan Tishri yang dikenal dengan the Great Fast of Atonement. Selain itu mereka juga mengenal 4 hari puasa dalam setahun. (silahkan baca, Injil: Zakariya 8:19, Exodus 34:28, Samuel 31:131 dan Jeremiyah 36:9).

Dalam beberapa Hadis diterangkan bahwa ritual puasa yang paling baik adalah puasa yang dilaksanakan oleh Nabi Dawud, yaitu puasa selang-seling, sehari puasa dan sehari berbuka (tidak berpuasa).

Berdasar pada sekilas penomena yang disebutkan di atas, dapatlah kita sadari amaliyah puasa sedemikian baiknya dan Rasionable hingga diakui dan diterapkan umat manusia di setiap kurun waktunya dengan berbagai alasan, latar belakang agama dan kondisi sosial serta orientasi yang berbeda.

Puasa Dalam Islam

Islam menyatakan bahwa puasa—sebagaimana ibadah yang lain—dilakukan semata untuk mencari keridhaan Allah Ta’ala, yang dalam al-Qur`an Surah al-Baqarah 2:183, tujuan mulia itu adalah ketaqwaan. Ini artinya puasa yang dilaksanakan dalam Islam merupakan sebuah aktivitas yang berorientasi ibadah.

Islam menetapkan beberapa rukun dalam melaksanakan ibadah puasa, sehingga ada keseragaman pelaksanaan puasa yang dilakukan umat Muslim, di manapun dan kapanpun. Islam juga menetapkan beberapa persyaratan dan kriteria dalam pelaksanaan puasa, dan mengklasifikasikannya dalam beberapa jenis hukum (wajib, sunah, mubah, makruh, dan haram) dengan mempertimbangkan hak Allah Ta’ala sebagai Tuhan, dan hak manusia (jasmani dan rohaninya) yang melaksanakan puasa tersebut, serta hak orang lain dan lingkungannya yang secara langsung maupun tidak langsung terkena imbas pelaksanaan puasanya.

Puasa yang dikenalkan oleh Islam lebih ditekankan pada prinsip pengendalian diri dan nafsu syahwat. Manusia memiliki kebebasan memilih aktivitasnya dan mengkonsumsi makanan dan minuman, selama makanan dan minuman tersebut halal. Dan saat melakukan puasa, makanan dan minuman halal tersebut dilarang dikonsumsi siang hari selama bulan Ramadhan.

Puasa yang dilaksanakan selama satu bulan tidak semerta-merta dilakukan guna membunuh nafsu, melainkan mengendalikannya. Karena mereka yang saat siang hari dilarang makan dan minum, serta berhubungan badan dengan suami atau istrinya, pada malam harinya kesemua itu diperbolehkan.

Diharapkan setelah menjalankan pelatihan selama satu bulan penuh, nafsu dapat menjadi ‘jinak’ dan dapat dikendalikan. Pengendalian diri ini diperlukan manusia, guna menyeimbangkan hidup dirinya sebagai individu, dan sebagai bagian dari masyarakat.

Dan dalam beberapa Hadis diterangkan, bahwa pada bulan Ramadhan, setan-setan dibelenggu dan diikat. Di waktu yang sama nafsu juga sedang dilatih. Sehingga tingkat keberhasilan latihan pengendalian nafsu ini menjadi lebih besar. Harapan kita, setelah satu bulan penuh melakukan pendadaran diri dan nafsu, kualitas diri kita menjadi lebih baik. Jangankan memakan harta yang haram, korupsi misalnya, memakan harta yang dihalalkan saja Agama menghendaki adanya pengendalian diri, yaitu tidak memenuhi kehendak nafsu melebihi kadar yang diperlukan. Dan pada akhirnya diharapkan kualitas keimanan dan keislaman umat Islam meningkat, yang pada akhirnya menjadikan mereka layak menyandang predikat “al-Muttaqin” atau orang yang bertaqwa. Allah A’lam.


Jumat, 04 Juli 2008

MENDISKUSIKAN "TUHAN"

Jika Anda ingin berinteraksi dengan seseorang, tentulah Anda harus mengenalnya lebih dahulu, siapa dia serta apa namanya maupun ciri-ciri dan sifatnya. Dengan mengenalnya secara baik, kita berharap semoga hubungan yang terjalin dapat lancar Nah, Tuhan sang Pencipta, yang senantiasa diharapkan pertolongan-Nya serta menjadi tumpuan dan sandaran segala sesuatu, pastilah lebih 'berhak' untuk dikenal.

Seandainya Anda berkata bahwa "Saya telah mengenal Tuhan", ucapan ini dapat benar, seperti halnya Anda benar jika berkata "Saya tidak mengenal-Nya". Memang, se-pintas lalu, kedua pernyataan ini kontradiktif, karena yang satu menetapkan dan yang lain menafikan, namun keduanya bernilai benar jika masing-masing dilihat dari sisi yang berbeda. Seperti jika Anda ditanya "apakah Anda mengenal Soekarno, sang proklamator Republik Indonesia?" kemudian Anda menjawab "Soekarno bukanlah seorang yang tidak dikenal, beliau amatlah populer, bukankah semenjak sekolah dasar kita sudah dikenalkan dengan dirinya, bahkan sampai kita di perguruan tinggi?" jawaban Anda ini benar, tetapi jika jawabannya "Tidak, Saya tidak mengenal beliau, selain sebatas nama dan beberapa kisah sejarah yang menyangkut beliau, banyak sekali hal yang tidak saya ketahui", jawaban inipun bisa benar.

Dalam bukunya, Qadhiyat al Uluhiyah baina al Falsafah wa al Din, ulama besar dan philosofis muslim kontemporer Abdul Karim al Khathib mengilustrasikan upaya pengenalan Tuhan yang kurang lebih sebagaimana berikut[1]:

"Yang melihat/mengenal Tuhan, pada hakikatnya hanya melihat-Nya melalui wujud yang terhampar di muka bumi serta yang terbentang di langit. Yang demikian itu adalah penglihatan tidak langsung serta memerlukan pandangan hati yang tajam, akal yang cerdas lagi qalbu yang bersih. Mampukan Anda membaca kumpulan syair seorang penyair, atau mendengar gubahan seorang komposer,…dengan melihat lukisan pelukis atau pahatan pemahat. Apakah dengan melihat hasil karya seni mereka, Anda mampu mengenal mereka tanpa melihat mereka secara langsung?! Memang Anda mampu mengenal selayang pandang tentang mereka, bahkan boleh jadi melalui imajinasi, Anda dapat membayangkannya sesuai kemampuan Anda membaca karya seni, namun pada akhirnya Anda harus sadar bahwa gambaran yang dilukiskan oleh imajinasi Anda tentang para seniman itu, adalah bersifat pribadi dan merupakan ekspresi dari perasaan Anda sendiri. Demikian juga yang dialami orang-orang yang berhubungan dengan para seniman itu, masing-masing memiliki pandangan pribadi yang berbeda dengan yang lain. Kalaupun ada yang sama, maka persamaan itu dalam bentuk gambaran umum menyangkut kekaguman dalam berbagai tingkat. Kalau demikian itu adanya dalam memandang seniman melalui karya-karya mereka, maka bagaimana dengan Tuhan, sedangkan Anda hanya merupakan setetes dari samudra ciptaan-Nya?

Pengenalan Tuhan yang selama ini dilakukan—dengan segala variasi pendeka-tannya—hanyalah menghasilkan pengenalan yang sedikit sekali, bahkan jauh lebih sedi-kit daripada hasil pengenalan terhadap seniman-seniman itu. Pengenalan para seniman ini, dilakukan berdasarkan pengamatan terhadap hasil karya mereka yang terbatas, dan itu pun belum tentu semuanya dapat dijangkau. Nah, Tuhan yang ciptaan-Nya amat sangat banyak, tentu lebih sulit untuk dikenali.

Ketika sayidina Abu Bakar ra. ditanya "Bagaimana Engkau mengenal Tuhan-mu?" beliau menjawab "Aku mengenal Tuhan melalui Tuhanku. Seandainya Dia tidak ada, niscaya aku tidak mengenal-Nya" selanjutnya ketika beliau ditanya lagi, "Bagaimana Engkau mengenal-Nya?" Beliau menjawab "al 'Ajz 'an al Idraak, Idrakk (ketiadaan mengenal-Nya merupakan pengenalan)"[2]

Tetapi, apakah ketidakmampuan pengenalan ini absolut, yang kemudian meng-haramkan kita untuk mengenal Tuhan? Tentu saja tidak, dalam berinteraksi dengan-Nya, kita tidak hanya ingin patuh, tetapi juga kagum dan cinta. Kedua rasa ini dapat timbul dengan pengenalan.

Mengenal Tuhan

Dalam surat Muhammad (47) ayat 19, Allah Ta'ala berfirman "Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada tuhan (yang haq) melainkan Allah…". Tuhan menghen-daki diri-Nya dikenal oleh manusia (dan jin) dalam kapasitasnya sebagai Tuhan Yang Hakiki, dan menjadikan pengenalan ini sebagai sebuah kewajiban. Rasulullah Shallalahu 'alaihi wa Sallam ketika memulai dakwah, yang pertama kali beliau lakukan adalah memperkenalkan Tuhan Yang Maha Esa, sambil meluruskan kekeliruan dan kesesatan masyarakat jahiliyah. Hal ini tampak jelas pada ayat pertama yang turun, yaitu surah al Alaq (96) yang mengandung pengenalan kepada Tuhan dalam perbuatan dan sifat-Nya "Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhan-Mu Yang Mencipta. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah" Selanjutnya silih berganti ayat turun mengarahkan manusia pada pengenalan Tuhan.

Berikut kami ketengahkan tiga pendekatan guna mengenal Tuhan: Pertama, pendekatan nalar dan akal. Kedua, pendekatan intuisi dan informasi jiwa. Ketiga, pendekatan nash atau teks-teks agama.

Pendekatan Nalar dan Akal

Akal manusia yang terbatas, hanya mampu menghadirkan ilmu yang amat sangat sedikit, demikian yang dijelaskan-Nya dalam surat al Isra (17) ayat 85 "…dan tidaklah kamu diberikan ilmu, melainkan hanya sedikit sekali" keterbatasan akal ini mengaki-batkan gagasan, ide, konsep dan gambaran yang dihasilkan tentang Tuhan itu sendiri (dan hal-hal gaib lainnya), cenderung 'ngawur' antropomorfistis (Tajassum). Tuhan dibentukkan (difahami) sesuai dengan kemampuan, penangkapan, pengetahuan dan per-sepsi manusia. Xenophanes (+ 570-480 SM), seorang filusuf Yunani, mengkritik antrofomorfisme Tuhan lewat pernyataannya: "Seandainya sapi, kuda dan singa mempunyai tangan dan pandai menggambar seperti manusia, tentu kuda akan meng-gambar tuhan-tuhan menyerupai kuda, sapi akan menggambarkan tuhan-tuhan menyerupai sapi, dan dengan demikian mereka akan mengenakan rupa yang sama kepada tuhan-tuhan seperti terdapat pada mereka sendiri. Orang Etiopia mempunyai tuhan-tuhan yang hitam dan berhidung pesek, sedangkan orang Trasia mengatakan bahwa tuhan-tuhan mereka bermata biru dan berambut merah"[3]

Pengenalan Tuhan melalui pendekatan nalar, banyak dipengaruhi oleh kebudayaan, hal ini dapat dibuktikan oleh sejarah agama-agama (kepercayaan). Tuhan dalam kepercayaan orang-orang yang berkebudayaan patriarkal pastoral, yang berkebudayaan perayahan yang hidup dengan menggembala, berbeda dengan Tuhan dalam kepercayaan orang-orang yang berkebudayaan matriarkal agrikultural, yang berkebudayaan peribuan yang hidup dengan bertani. Bapa Samawi atau Bapa Surgawi adalah tuhan tipikal orang-orang nomad yang hidup dari hasil kawanan ternak mereka; kawanan ternak itu hidup di padang rumput yang bergantung pada hujan dari langit. Ibu Bumi atau Ibu Pertiwi adalah tuhan tipikal para petani yang hidup dari hasil tanah atau bumi[4] dalam kebudayaan patriarkal pastoral, biasanya Bapa dan langit dijadikan simbol Tuhan. Dalam kebudayaan matriarkal agrikultural, ibu dan bumi sering dijadikan simbol Tuhan.

Pendekatan ini, hanya akan menghasilkan "Tuhan yang diciptakan" (al Ilaah al Mukhtalaq). Hal ini disebabkan kapasitas nalar dan akal manusia—secara perorangan—telah mewarnai dan mempengaruhi ide, gagasan atau gambaran manusia akan Tuhan yang dihasilkan, Tuhan seperti itu bukanlah Tuhan sebagaimana Dia sebenarnya, karena 'bentuk', 'gambar', atau 'wajah' "Tuhan yang diciptakan" tersebut ditentukan dan dipengaruhi oleh pengetahuan dan pemahaman tentang tuhan yang dimiliki. Hal ini selaras dengan pernyataan Ibn al Araby yang mengutip ucapan al junaid "warna air adalah warna bejana yang ditempatinya"

Pengenalan yang semata-mata menggunakan pendekatan ini, amat berbahaya dan menjerumuskan, karena akal manusia seringkali tidak puas hanya sampai pada titik dimana wujud-Nya terbukti. Keterbatasan akal dan nalar tersebut, tidak meyurutkan manusia untuk mengenal zat Tuhan dan hakekat-Nya, bahkan lebih dari itu, akal sering-kali menjerumuskan lewat keinginannya untuk melihat Tuhan dengan mata kepala seakan-akan tuhan adalah sesuatu yang dapat tercapai oleh pancaindera.

Nah, di sinilah letak kesalahan fatal dan bahayanya. Di 'arena' ini jatuh tersungkur banyak 'pemikir' ketika mereka menuntut kehadiran-Nya melebihi bukti-bukti wujud-Nya, yakni kehadiran alam raya dan keteraturannya. Bahkan di sinilah bergelimpangan korban, yaitu mereka yang tidak puas dengan pengenalan rasa, atau yang mendesak untuk mengenal Tuhan melebihi informasi yang diberikan-Nya. Sekiranya mereka berinteraksi dengan Tuhan sebagaimana mereka berinteraksi dengan matahari, yaitu meraih kehangatan dan memanfaatkan cahayanya tanpa harus mengenal hakikatnya, atau menghindari harimau dengan hanya mendengar suara aumannya atau bekas telapak kakinya tanpa harus mencari tahu dan mendekatinya, tentu akan baik sekali bagi mereka dan akan banyak daya dan waktu yang dapat digunakan untuk hal-hal yang lebih bermanfaat.

Dalam surat Ali Imran (3) ayat 28 dan 30 Allah Ta'ala memberikan 'warning' ke-pada kita akan diri-Nya"…dan Allah memperingatkan kalian tentang diri-Nya…"

Pendekatan Intuisi dan Infofmasi Jiwa

Metode ini digunakan oleh kaum sufi yang ingin mengetahui Tuhan dengan cara pengabdian, bukan pemikiran; melalui cinta, bukan kata; melalui taqwa, bukan hawa. Mereka cenderung menjauhi pendefinisian Tuhan, mereka ingin mengenal-Nya dengan cara 'menyaksikan-Nya'. Dengan perasaan jiwa yang tenang dan damai bersama Tuhan, tanpa 'mendiskusikan' apakah 'Dia' benar-benar 'Dia', atau 'Dia' bukanlah 'Dia', metode ini telah memberikan kepuasan bagi mereka.

Sayidina Ali bin Abi Thalib ra. kw. pernah ditanya oleh sahabatnya Dzi'lib al Yamany "Ya Amirul Mukminin, apakan Anda pernah melihat Tuhan" Beliau menjawab "Apakah aku menyambah apa yang tidak kulihat?!". Sahabatnya kembali bertanya "Lalu bagaimana Anda melihat-Nya?" beliau menjelaskan "Dia tidak dapat dilihat dengan pandangan mata, tetapi dijangkau oleh akal dengan hakekat keimanan".[5]

Maksud dari akal pada ungkapan sayidina Ali ra. kw. tersebut, bukanlah akal se-bagaimana pemahaman kita dewasa ini, yaitu daya nalar, melainkan akal dalam penger-tian "Gabungan antara daya qalbu dan daya nalar yang menghasilkan 'ikatan' yang menghalangi manusia untuk melakukan hal-hal negatif"

Para sufi menganggap pengetahuan yang diperoleh melalui hati (ilham) adalah pengetahuan yang sejati. Hal ini—menurut sebagian mereka—berdasarkan nash-nash agama yang menyatakan demikian; baginda nabi Muhammad Shallalahu 'alaihi wa Sallam bersabda "Takutlah kalian kepada firasat orang mukmin, karena ia melihat dengan cahaya Allah" (HR. al Imam al Turmudzi), kemudian beliau juga bersabda kepada Wabishah "Mintalah fatwa (bertanyalah) kepada hatimu sendiri, sekalipun orang-orang berfatwa kepadamu" (HR. al Imam Ahmad)[6] al Imam al Bukhari meriwayatkan hadis dalam Shahihnya dari shahabat Abi Hurairah ra. "Seorang hamba senantiasa mendekati-Ku dengan amalan-amalan sunnah, sehingga aku mencintainya. Dan jika Aku telah mencintainya, maka Aku akan menjadi pendengaran yang dia pakai untuk mendengarkan, (Aku) menjadi penglihatan yang dia gunakan untuk melihat…"

Namun kaum sufi cenderung berlebihan dalam menggunakan ilham dan kasyaf sebagai sumber pengetahuan dan hujjah, berargumen dengan kisah nabi Musa dan Khidhir 'alalihima al Salam, mereka bahkan menganggap ilham dan kasyaf sebagai jalan yang tidak mungkin salah[7], mereka mencela ulama syariat yang hanya berpegang teguh kepada dalil-dalil dan tidak mengikuti pernyataan yang tidak disertai bukti, baik dari indera, akal atau wahyu. Mereka mencela ulama syariat, bahwa mereka telah terpaku pada ilmu dzahir saja, padahal ilmu dzahir tidak lebih dari sekedar kulit, sedangkan ilmu batin yang mereka (ulama syariat) tolak, sejatinya justru merupakan inti. Mereka menganggap ilham berasal dari Allah Ta'ala, dan apa yang berasal dari-Nya adalah kebenaran yang tidak mungkin salah. Dalam hal ini, Syaikh Abu Yazid al Busthami menulis untuk sebagian ahli hadis, "Kalian mengambil ilmu dari orang mati, dan kami mengambilnya langsung dari Dzat Yang Maha Hidup dan tidak mati"[8]

Pendekatan Nash atau Teks-teks Agama

Metode ini tidak meniadakan dua metode di atas. Ia tidak menolak melayani desakan akal dan dorongan nalar. Bukankan beragam argumen aqliyah yang dipaparkan bersama dengan sentuhan-sentuhan rasa justru menguatkan keberadaan dan keesaan-Nya? Dalam al Quran, Allah Ta'ala benyak memuji Ulul Albab (cendekiawan) yang berzikir dan berfikir tentang kejadian langit dan bumi, Dia bahkan memerintahkan untuk memandang alam dan phenomenanya dengan pandangan nadzar/nalar, serta memikirkannya. Metode ini juga tidak meniadakan keberadaan ilham dam kasyaf sebagai sebuah kebenaran, karena teks agama sendiri banyak yang berbicara tentangnya.

Pendekatan melalui metode ini menghendaki pengenalan Tuhan dengan merujuk kepada al Quran dan Hadis, dengan asumsi bahwa kita mengenal-Nya hanya sebatas informasi yang diberikan-Nya. Di sini akal dan ilham hanya berfungsi sebagai penguat keterangan dari al Quran dan Hadis. Pengenalan lewat metode ini sangat unik dan mengagumkan; Allah Ta'ala tidak diperkenalkan diri sebagai sesuatu yang bersifat materi, karena jika demikian, pastilah Ia berbentuk, dan bila berbentuk pastilah berbatas, dan ini menjadikan Dia bukan Tuhan, karena Tuhan tidak membutuhkan sesuatu dan tidak pula terbatas. Di sisi lain—apabila Tuhan diasumsikan sebagai materi—Dia ada di satu tempat dan tidak ada di tempat lain, pasti Dia dapat dilihat oleh sebagian dan tidak terlihat oleh sebagian yang lain. Semua ini akan mengurangi kebesaran dan keagungan-Nya, bahkan bertentangan dengan ide yang ada dalam benak manusia. Matahari pernah suatu ketika dipertuhankan, tetapi akal manusia (nabi Ibrahim 'ala nabiyyina wa 'alaihi al Shalat wa al Salaam), enggan mengakuinya setelah melihatnya terbanam "Kemudian tatkala ia melihat matahari terbit, dia berkata: 'Inilah Tuhanku, ini yang lebih besar', maka tatkala matahari itu telah terbanam, dia berkata:'Hai kaumku, sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kalian persekutukan" (QS. Al An'am 6:76)

Tapi bukan berarti Allah Ta'ala diperkenalkan sebagai sesuatu yang bersifat ide atau immaterial, yang tidak dapat diberi sifat atau digambarkan dalam kenyataan, atau di gambarkan dalam keadaan yang dapat dijangkau oleh akal manusia, karena jika demikian, bukan saja hati manusia tidak dapat tentram terhadap-Nya, akal dan nalar kemanusiaannya pun tidak dapat memahami-Nya.

Metode ini menempuh cara moderat dalam upaya pengenalan Tuhan. Ketika Dia, menyifati diri-Nya sebagai Maha Mendengar, Maha Melihat, Hidup, bersemayam di atas 'Arsy, bahkan nabi Muhammad Shallalahu 'alaihi wa Sallam menjelaskan bahwa Dia berlari, bergembira, Mengenggam jiwa manusia, dan sebagainya yang kesemuanya mengantarkan manusia kepada pengenalan yang dapat terjangkau oleh akal dan potensi-potensi manusia. Maka Dia kemudian menegaskan bahwa"tidak ada yang serupa dengan-Nya, dan Dia Maha mendengar lagi Maha Melihat (QS. al Syura 42:11) sehingga, apapun yang tergambarkan oleh akal, yang terbetik dalam benak atau imajinasi apapun tentang Tuhan, maka Dia tidak demikian. Dengan menyadari hal ini, maka luluhlah semua gambaran yang dapat dijangkau oleh indera dan imajinasi manusia tentang Dzat Yang Maha Sempurna itu.

'Ketuhanan' adalah sesuatu yang hanya dimiliki oleh Allah Ta'ala, tidak dapat tergambar dalam benak, bahwa ada yang mengenal-Nya kecuali Dia sendiri, dan karena tidak ada yang sama dengan-Nya, maka tidak ada yang mengenal-Nya kecuali Dia. Demikian kira-kira Al Imam al Ghazali menulis dalam kitabnya, al Maqshad al Asna. Kemudian beliau menambahkan "Demi Allah, tidak ada yang mengetahui Dia—di dunia dan akhirat—kecuali Dia"[9]

Metode ketiga ini mirip dengan aliran salafiyah yang menerima keterangan tentang Tuhan dari al Quran dan Hadis, tanpa menakwilkan dan tanpa mempersonifikasikan-Nya. Metode ini cenderung miskin pembahasan, karena ia tidak membolehkan memikirkan Tuhan melebihi keterangan al Quran dan Hadis, padahal jumlahnya tidak mengalami pertambahan sama sekali, namun metode ini lebih minim 'penyimpangan', karena memang peluang munculnya penyimpangan itu sendiri sedemikian diminimalisir.

Ketiga pendekatan ini, tidak akan mengantarkan kita kepada pengenalan Tuhan secara sempurna, karena Dia merupakan transeden yang absolut yang mustahil dapat dicapai oleh manusia, dalam surat al An'am (6) ayat 103 dijelaskan, "Penglihatan tidak dapat mempersepsikan-Nya (yaitu Tuhan), tetapi Dia mempersepsi semua penglihatan". Berulang kali Ibn al 'Araby mengutip perkataan sayidina Abu Bakr ra. "ketidakmampuan mencapai pengetahuan adalah kemampuan" Ungkapan ini melukiskan tingkatan tertinggi pengetahuan manusia tentang Tuhan dan segala sesuatu yang gaib yang tidak diketahuinya. Orang yang mengetahui bahwa ia tidak dapat mengetahui Tuhan adalah orang yang secara benar mengetahui-Nya; itulah orang yang bijak[10].

Penutup

Bahwa pengenalan Tuhan—apapun pendekatan yang digunakan—akan berakhir kepada ketidakmampuan mengenal-Nya. Diri-Nya amatlah luhur untuk diraih manusia dan kesempurnan-Nya tidak akan mampu digapai oleh siapapun. Pembahasan-pembahasan tentang Tuhan—sebagaimana hal-hal gaib lainnya—haruslah senantiasa mengacu kepada informasi yang diberikan oleh Dzat Yang Maha Mengetahui, jangan lebih dari itu. Dan kita pun harus menginsyapi bahwa—dengan segala keterbatasan— hasil pengenalan kita amat mungkin salah sebagaimana ia mungkin sedikit benar, sehingga kita harus lebih berlapang dada dan bersikap arif dalam keyakinan orang lain yang berbeda dengan kita, "Kebenaran itu adalah dari Tuhanmu, sebab itu jangan sekali-kali kamu termasuk orang yang ragu" (QS. al Baqarah 2:147).

Mengutip kembali pendapat sayidina Abu Bakr ra., bahwa ketiadaan mengenal-Nya merupakan hakekat pengenalan terhadap-Nya, kita harus sadar segala macam upaya pengenalan terhadap Tuhan akan senantiasa berakhir kepada 'kebutaan', persis seperti kelelawar yang menjadi buta saat diterpa sinar sang surya. Al Imam al Ghazali mengatakan, "Siapa yang tidak mengenal Allah, maka dia wajib diam. Dan bagi yang mengenal-Nya pun baginya adalah keharusan (untuk diam). Karena siapa yang mengenal Allah, tumpul sudah lidahnya".[11]

Wallahu 'alam bish shawab***



[1] Prof. DR. KH. M. Quraish Syihab, "Menyingkap" Tabir Ilahi, Lentera Hati, Jakarta, 1998, hal. xxi-xxii

[2] Ibid, hal. xxiii, lihat juga Futuhat, 2:619; 3:132 (sebagaimana terdapat dalam JURNAL PEMIKIRAN ISLAM PARAMADINA, vol. I th. 1998, hal. 146

[3] H. Diels W. Kranz, Die Fragmente der Vorsokratiker, Griechisch und Deutsch, 3 vol. (Berlin, 1934-1937), fr. 15-16. kedua fragmen ini dikutip oleh K. Bertens, Sejarah Filsafat Yunani (Yogyakarta: Kanisius, 1989), hal 40. Pemakalah mengutipnya dari Kautsar Azhary Noer, Tuhan yang diciptakan dan tuhan yang Sebenarnya, JURNAL PEMIKIRAN ISLAM PARAMADINA. Vol. I, no. 1, hal. 133, Juli-Desember 1998. Sumber ini selanjutnya disebut Jurnal.

[4] ibid, hal. 135

[5] Prof. DR. KH.M. Quraish Syihab, op. cit., hal.xxv

[6] Hadis yang semakna juga diriwayatkan oleh Imam al Darimi dalam musnadnya, al Imam al Bukhari dalam al Tarikh dan Abu Ya'la, juga al Thabrani. Al Imam al Nawawi menganggap hasan hadis ini dalam kitabnya Riyadh al Shalihin dan al Arba'in. dalam Jami' al Shaghir, al Imam al Suyuthi menyebutkan hadis ini dengan sanad yang hasan

[7] DR. Yusuf al Qardhawi, Fiqh Taysir, edisi terjemahan, Kautsar, Jakarta , 2001, hal. 127,

[8] Jurnal,hal 128

[9] Prof. DR. KH.M. Quraish Syihab, loc.cit.

[10] Jurnal, hal.146

[11] Prof. DR. KH. M. Quraish Syihab, op.cit, hal. viii

Kamis, 03 Juli 2008

RADIKALISME DALAM ISLAM

A. Pendahuluan

Dalam sebuah penyergapan terhadap Noordin M. Top di salah satu tempat persembunyiannya di Semarang, polisi menemukan bukti penting berupa video rekaman pengakuan tiga pelaku pengeboman bunuh diri di Bali pada tanggal 1 Oktober lalu.[1] Dalam video itu, Mochamad Salik Firdaus, salah seorang pelaku bom bunuh diri di jimbaran Bali, menyatakan bahwa serangan bom bunuh diri itu dilakukan atas dasar keyakinan bahwa pelakunya akan masuk surga, “Kakakku serta istriku tersayang, insya Allah ketika dirimu melihat ini, insya Allah saya sudah berada dalam jannah (surga). Dalam al-Qur`an dan Hadis disebutkan bahwa ruh orang yang syahid itu berada dalam tembolok burung hijau yang terbang di dalam jannah.” Demikian ujar Salik.

Tidak lama waktu berselang, dalam operasi penggerebegan terhadap Dr. Azahari di Batu, ditemukan beberapa surat miliknya yang belum sempat dikirimkan untuk istrinya. Dalam salah satu suratnya, Dr. Azahari menulis, “Doakan abang mati syahid. Karena mati syahid adalah cara mati yang sempurna.”[2] Beberapa surat kabar mengutip ucapan Imam Samudera, terpidana mati kasus bom Bali I, yang menyatakan iri kepada Dr. Azahari yang mati tertembak saat penyerbuan polisi di kota Batu Malang pada tanggal 9 November 2005. Menurutnya, Dr. Azahari mati syahid dan sekarang ia telah masuk surga, sementara dia masih hidup di dunia ini.

Keyakinan bahwa serangan bom bunuh diri merupakan sebuah jihad juga yang dijadikan alasan utama tiga terpidana mati bom Bali I (Imam Samudera, Amrozy dan Ali Ghufron) menolak meminta Grasi. Dalam otobiografinya Imam Samudera menulis:

“Dengan memohon Grasi berarti menyesali perbuatan yang telah dilakukan. Menyesalinya berarti menyesali keyakinan. Berarti pula mengkhianati keyakinan itu sendiri, mengkhianati Islam. Nau’udzu billah min dzalik. Memohon Grasi berarti pula membenarkan hukum kafir. KUHP adalah jelas produk kafir. Mengakui ada “kebenaran” di luar Islam adalah sikap yang membatalkan syahadat. Tsumma nau’udzu billah min dzalik.”[3]

Ketiganya tidak merasa bersalah atas apa yang mereka perbuat, sekalipun kerugian yang ditimbulkan sangatlah besar termasuk jumlah korban meninggal. Mereka menganggap perbuatan mereka sebagai sebuah jihad yang bernilai ibadah. Dan anggapan ini memiliki justifikasi doktrin Agama berdasarkan beberapa ayat al-Qur`an dan Hadis, yang diinterpretasi secara parsial dan tekstual. Salah seorang terpidana perkara terorisme karena pernah menyembunyikan Azahari dari kejaran polisi menjelaskan alasan pengeboman yang dilakukan Azahari, “Bagi dia, operasi-operasi itu bagian dari jihad. Dan itu, bagi dia, ada pemahaman fikihnya. Bahwa jihad itu hukumnya fardhu kifayah. Seorang Amir, pimpinan sebuah negara, wajib melakukan operasi militer setahun sekali. Ini dapat dibaca dalam buku karangan Ibnu Nuhas, ulama abad ke-7 Hijriyah, Masari’ul Aswaq ‘ala Masyari’ul Isyaq.”[4]

Namun demikian, tidak sedikit orang menganggap kasus terorisme tidak semata dipicu oleh kekeliruan pemahaman ajaran agama. Karena seseorang yang fanatis dengan agamanya, belum tentu semerta-merta menjadi fundamentalis yang radikal. Cendekiawan agama seperti Gus Dur, Cak Nur, Frans Magnis Suseno mencontohkan kehidupan beragama yang harmonis dan penuh toleransi, serta sikap saling menghormati bekerja sama. Selain itu, keberagamaan bersifat abstrak dan konsekuensi ketaatan atau kedurhakaan terhadap ajaran agama tidak dapat dirasakan langsung oleh manusia. Orang kristen yang rajin mengikuti kebaktian di gereja tidaklah berbeda dengan orang kristen yang malas datang ke gereja. Demikian juga orang Muslim yang rajin melakukan shalat, tidaklah menampakkan perbedaan gejala-gejala sosial yang membedakannya dari muslim yang sering bermaksiat.

Lain halnya dengan faktor ekonomi, sosial dan politik yang secara langsung menyangkut hajat hidup manusia. Seseorang yang terputus mata pencarian dan sumber ekonominya, misalnya, akan langsung merasakan lapar akibat tidak mampu membeli makanan. Di waktu yang sama ia tidak dapat memenuhi hajat hidupnya dengan baik. Secara fisik, orang yang lapar akan terlihat berbeda dengan orang yang kenyang, sebagaimana orang yang kaya akan memiliki kesempatan yang berbeda dibanding orang miskin. Kebijakan politis yang dianggap merugikan juga bisa menimbulkan gejolak radikalisme dalam bentuk yang berbeda-beda. Misalnya kebijakan kenaikan BBM yang disambut dengan ramainya demonstrasi penolakan dari rakyat.

Dari sini timbul asumsi bahwa faktor ekonomi, sosial, dan politik adalah pemicu utama timbulnya radikalisme. Dan dalam konteks dunia Islam, perasaan tertekan akibat dominasi barat dalam semua sisi kehidupan, dan rasa inferioritas yang ada dalam diri kebanyakan kaum Muslimin di hadapan superioritas Barat, menumbuh kembangkan benih-benih radikalisme. Karena ketika dialog kebudayaan antara umat Islam dan barat dianggap telah gagal dan menemui kebuntuan. Maka upaya anarkis demi mempertahankan eksistensi diri menjadi pilihan sebagian kecil umat Islam.

Ada juga orang yang berasumsi bahwa radikalisme yang ada di Indonesia yang berujung pada aksi teror bom, dilakukan karena keputusasaan dari para pelakunya akibat depresi dan tekanan psikologis. Para pelaku bom bunuh diri dianggap sebagai orang-orang yang tidak memiliki “masa depan” dan kebahagiaan duniawi sehingga nekat memilih mengakhiri hidupnya agar dapat segera meninggal dunia dan segera masuk surga. Namun nampaknya anggapan ini kurang beralasan. Dalam otobiografinya, Imam Samudera mengisahkan dirinya yang selalu menjadi juara kelas, sempat menjadi siswa teladan se-kecamatan Serang,[5] dan pernah mendapatkan beasiswa prestasi.[6] Dr. Azahari juga bukan orang yang memiliki kehidupan buram. Ia adalah doktor statistik lulusan universitas Reading Inggris dan menjadi dosen di Universitas Teknologi Malaysia (UTM), Skudai, Johor. Bahkan ia pernah bekerja sebagai konsultan properti papan atas di Indonesia.[7]

Dengan membaca otobiografi Imam samudera, catatan-catatan Dr. Azahari, dan pengakuan-pengakuan pelaku bom lainnya, kita dapati bahwa aksi teror (jihad?) yang mereka lakukan merupakan pilihan hidup, bukan semata-mata pelarian dari kehidupan yang “tidak bermasa depan”.

Namun dengan melihat rekaman pengakuan para pelaku bom Bali II, serta buku dan propaganda yang digaungkan para pelaku teroris, anggapan di atas menjadi kurang relevan. Achmad Michdan dari Tim Pengacara Muslim (TPM), mengungkapkan bahwa sampai saat ini timnya meragukan bahwa musibah bom legian dilakukan oleh kelompok Imam Samudra, kecuali oleh suatu sebab sebuah pengakuan yang hanya dilandasi oleh semangat berjihad dan rasa militansi yang tinggi.[8] Pernyataan ini cukup beralasan karena pengungkapan fakta persidangan perkara Imam Samudra, pembuktian terhadap tindak pidana pelakunya relatif minim, dibandingkan dengan pengungkapan banyaknya jumlah korban dan meterial semata.

Nampak bahwa pemicu timbulnya kasus terorisme yang marak terjadi di Indonesia akhir-akhir ini, adalah radikalisme agama. Dan jika asumsi ini benar, maka kekeliruan intepretasi doktrin agama yang dilakukan secara literalis dan sempit merupakan faktor dominan pemicu timbulnya radikalisme di Indonesia. Bukan karena ajaran dan doktrin agama itu sendiri. Doktrin-doktrin agama yang dijadikan dalil dan landasan oleh para pelaku terorisme, lebih tepat disebut sebagai justifikasi psikologis bagi kejahatan terorisme yang sebenarnya ditolak dan dibenci oleh hati nurani mereka sendiri. Karena agama manapun memiliki ajaran universal berupa kasih sayang dan penghormatan terhadap sesama manusia.

Kemudian pelabelan radikalisme dan ekstrimisme kepada sebuah agama tertentu, Islam misalnya, merupakan hal yang tidak tepat. Karena fenomena terorisme yang dilakukan kaum fundamentalis terjadi dalam semua agama. Muladi mencontohkan kasus teror di Pakistan yang dilakukan oleh ekstrimis Hindu, sementara di Irlandia pelaku terornya adalah ekstrimis Kristen Katholik.[9]

Tulisan pendek ini mencoba memberikan analisa penyebab timbulnya radikalisme agama yang berujung kepada perilaku terorisme. Dan dalam konteks Indonesia dalam kurun waktu lima tahun terakhir ini, perilaku terorisme yang mengatasnamakan jihad.

B. Al-Qur’an dan Sunnah Sebagai Sumber Hukum Islam

Al-Qur`an, sebagaimana kitab-kitab suci lainnya, memuat ajaran dan nilai-nilai yang menjadi pedoman hidup penganutnya. Hal ini tertuang dalam firman-Nya: “(Yaitu) Bulan Ramadhan yang di dalamnya diturunkan al-Qur`an sebagai petunjuk bagi manusia, dan penjelasan mengenai petunjuk itu serta pembeda (antara yang haq dan yang bathil)” (QS. al-Baqarah/2:185).

Ajaran-ajaran yang ada dalam al-Qur`an memerlukan seseorang yang menjelaskannya dan memberikan teladan pelaksanaannya, sebagaimana dalam firman-Nya: “... Dan Kami turunkan kepadamu Al Qur'an, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan” (QS. al-Nahl/16:44).

Berdasarkan dua ayat di atas kita ketahui bahwa sumber hukum dalam agama Islam adalah firman-firman Allah, dan orang yang memiliki otoritas resmi untuk menafsirkan dan menjelaskan maksud-maksudnya adalah Rasulullah. Yang dimaksud dengan Firman Allah adalah al-Qur`an, sementara penjelasan dan penafsiran dari Rasulullah termaktubkan dalam Hadis. Dalam sebuah Hadis Rasulullah bersabda, “Sungguh aku telah tinggalkan bagi kalian dua perkara, di mana kalian tidak akan tersesat selamanya (dengan berpedoman kepada keduanya), yaitu Kitabullah (al-Qur`an) dan Sunnahku”. (HR. al-Hâkim dan al-Daruquthni)[10].

Firman Allah beserta penjelasan Rasul-nya terputus seiring dengan wafatnya Rasulullah. Padahal permasalahan umat manusia bertambah banyak dan semakin kompleks, sementara al-Qur`an dan Hadis tidak memberikan solusi atas semua permasalahan yang muncul pasca kemangkatan Rasulullah. Hal ini sudah diantisipasi Rasulullah saat mengutus Muadz bin Jabal ke Yaman untuk mengajarkan agama Islam dan memberikan keputusan atas perselisihan yang terjadi di negeri itu,

“Bagaimana caramu memutuskan perselisihan yang timbul di masyarakat” tanya Rasulullah kepada Mu’adz.

“Aku akan memberikan keputusan sesuai dengan hukum yang ada di dalam Kitabullah” jawab Mu’adz.

“Lalu jika engkau tidak mendapati solusinya di dalam Kitabullah?” tanggap Rasulullah.

“Aku akan memutuskan berdasarkan Sunnah Rasulullah”

“Dan semisal dirimu masih tidak mendapatkan solusinya dalam Sunnah Rasulullah?”.

“Aku akan berijtihad” jawab Mu’adz.

Rasulullah membenarkan tahapan dan cara yang digunakan Mu’adz guna menyelesaikan permasalahan yang terjadi di masyarakat. Seraya menepuk dada Mu’adz, beliau bersabda “Segala puji bagi Allah Yang telah memberikan taufiq kepada utusan Rasulullah sesuai dengan yang diridhai Rasulullah” (HR. Abu Dawud dan al-Tirmidzi).[11]

Dari sini dapat dipahami, bahwa selain al-Qur`an dan Hadis, Islam juga mengenal ijtihad ulama sebagai sumber hukum ketiga, yaitu ketika al-Qur`an dan Sunnah tidak memberikan jawaban dan solusi dari permasalahan yang ada. Dalam Surat al-Nisa` ayat 59 Allah berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”

Al-Qur`an dan Hadis berbahasa Arab yang dikenal memiliki beberapa karakteristik yang unik, misalnya kemungkinan setiap kata dan ungkapan dapat dipahami secara denotatif (hakiki) dan konotatif (majazi). Di waktu yang sama, satu kata terkadang memiliki lebih dari satu makna, dan satu ungkapan memiliki lebih dari satu intepretasi. Sementara ijtihad ulama (ulul amri) tidak dapat dipungkiri mengandung bias dan subyektivitas dari masing-masing mujtahid.

Dengan satu ayat tertentu, seseorang dapat memformulasikan sebuah hukum, sementara orang lain dengan menggunakan ayat yang sama dapat mengeluarkan hukum kebalikannya. Bahkan sebuah ayat yang secara gamblang menjelaskan sesuatu, dengan pendekatan ilmu yang berbeda-beda dapat memberikan penafsiran yang keluar dari konteks ayat. Misalnya ayat 40 surat al-Nahl yang artinya, Sesungguhnya firman Kami terhadap sesuatu apabila Kami menghendakinya, Kami hanya mengatakan baginya, “jadilah!”, maka jadilah sesuatu itu.”

Berkata al-Baihaqi:

“Allah menyatakan bahwa ketika menghendaki sesuatu, Dia berkata “Kun!”. Kalau perkataan (kalam)-Nya makhluk, pastilah ada ta’alluq (keterkaitan) dengan perkataan (“Kun!”) lain, demikian juga hukum perkataan itu, hingga tidak ada batasnya. Hal ini mengakibatkan kemustahilan adanya perkataan (al-qaul), dan ini mustahil terjadi“.[12]


Secara eksplisit, ayat di atas menerangkan ke-Maha Kuasaan Allah Ta’ala, yang mampu menciptakan apa saja yang dikehendaki-Nya dan kapan saja Dia kehendaki. Namun dengan penafsiran teologis, makna ayat menjadi dalil keqadiman al-Qur`an yang sudah tentu merupakan sebuah “pemaksaan”, karena penafsiran ayat ini sebagai dalil keqadiman al-Qur`an, tentu tidak diterima oleh orang-orang yang berkeyakinan bahwa al-Qur`an adalah makhluk (tidak qadim). Akibatnya, ayat ini justru menjadi bahan perdebatan di antara umat, bukan menjadi hidayah yang diamalkan seluruh umat.

Al-Qur`an dan Hadis diturunkan berdialog dengan kondisi masyarakat yang ada (musayarah al-hawadits). Keduanya ada untuk membentuk masyarakat dan individu masyarakat yang ideal. Perilaku menyimpang dan kejahatan-kejahatan dibenarkan dengan caranya yang khas dan unik. Perbudakan misalnya, Islam tidak menghendaki adanya perbudakan di muka bumi, karena kemerdekaan diri dan HAM merupakan hak yang dianugerahkan Tuhan untuk setiap manusia. Namun Islam turun dalam masa di mana perbudakan tersebar luas. Tidak hanya di kawasan Saudi Arabia, tetapi juga di kawasan lain. Dari sini menjadi aneh ketika al-Qur`an dan Hadis tidak memberikan aturan yang berkaitan dengan masalah perbudakan, kecuali jika keduanya memang tidak diturunkan untuk mengatur seluruh sendi kehidupan manusia. Namun demikian, al-Qur`an dan Hadis menghendaki perbudakan hilang di muka bumi, dan memberikan aturan-aturan yang mendukung upaya membebaskan manusia dari belenggu perbudakan, misalnya dengan menetapkan hukuman memerdekakan budak sebagai kaffarah (balasan) dari kesalahan atau kedurhakaan tertentu.

Demikian pula saat al-Qur`an diturunkan dan Hadis disabdakan, peperangan merupakan hal yang lumrah terjadi antar qabilah dan antar kerajaan/imperium (negara). Akan menjadi aneh jika al-Qur`an dan Hadis lalai memberikan aturan dan tata cara berperang.

Dari sini, menjadi sebuah kewajaran bila kita temui banyak ayat al-Qur`an dan Hadis yang mengatur peperangan. Setidaknya ada tiga surat dalam al-Qur`an (al-Anfâl, al-Maidah, dan Muhammad/al-Qital) yang memuat banyak aturan dan etika perang, demikian juga jihad. Hal ini menunjukkan betapa permasalahan peperangan dan jihad mendapat perhatian yang besar. bandingkan dengan permasalahan wudhu yang hanya terdapat dalam satu ayat (QS. al-Maidah/5:6).

C. Ayat Jihad dan Perang

Jihad yang merupakan kata serapan dari bahasa Arab, secara etimologis memiliki kisaran makna “mengerahkan segenap potensi diri untuk melakukan sesuatu”. Kata ini, dengan berbagai derivasinya, disebut sebanyak 41 kali dalam al-Qur`an yang kesemuanya berkonotasi peperangan. Namun demikian, jihad tidak selalu identik dengan peperangan, karena dalam istilah jihad juga diperkenalkan Rasulullah sebagai upaya mengendalikan hawa nafsu. Al-Qur`an dan Hadis lebih sering menyebut peperangan dengan al-Qital, al-Harb, al-Ma’rakah, dan al-Sariyah.

Dalam al-Qu`ran dan Hadis bertebaran keterangan yang menjelaskan keutamaan berjihad, etika berjihad, serta tujuan dan strategi jihad. Nampaknya ayat-ayat dan hadis-hadis inilah yang menjadi motivasi utama para pelaku bom bunuh diri di Indonesia. Seperti pada Surah al-Nisâ’/4:74 dan 76;

“Karena itu hendaklah orang-orang yang menukar kehidupan dunia dengan kehidupan akhirat berperang di jalan Allah. Barangsiapa yang berperang di jalan Allah, lalu gugur atau memperoleh kemenangan maka kelak akan Kami berikan kepadanya pahala yang besar.” (74)


“Orang-orang yang beriman berperang di jalan Allah, dan orang-orang yang kafir berperang di jalan thaghut, sebab itu perangilah kawan-kawan syaitan itu, karena sesungguhnya tipu daya syaitan itu adalah lemah.” (76)


Ayat 74 secara tegas menerangkan perintah untuk terjun ke medan perang, dan disediakan pahala yang besar nanti di akhirat. Sedangkan ayat 76 menerangkan perang seorang kafir adalah membela setan, sedangkan perang seorang muslim adalah menghancurkan setan-setan itu.

Selain kedua ayat di atas, pada Surah al-Anfâl/8: 39 juga diterangkan tentang perintah berperang melawan kaum kafir, dan ayat ini yang dijadikan oleh Imam Samudera dan kawan-kawannya sebagai dasar gerakannya. Yaitu;

“Dan perangilah mereka, supaya jangan ada fitnah dan supaya agama itu semata-mata untuk Allah. Jika mereka berhenti (dari kekafiran), maka sesungguhnya Allah Maha Melihat apa yang mereka kerjakan.”


Kata “fitnah” pada ayat di atas, diartikan Samudera –mengutip pendapat Ibn Katsîr- pertama, kemusyrikan; dan kedua, tidak mengakkan hukum Allah. Untuk mengeliminasi “fitnah” yang berupa dua hal itu, bagi Samudera, bukanlah dengan cara pemilihan umum ataupun dengan demokrasi. Tetapi satu-satunya jalan adalah jihad. Jihad yang dimaksud oleh Samudera adalah dengan pedang atau kekerasan.

Sayyid Quthb mengatakan bahwa jihad dalam arti peperangan merupakan kewajiban yang permanen, bukan insidental atau sementara waktu saja. Karena Islam membebaskan manusia dari penghambaan manusia lainnya. Islam menegakkan prinsip bahwa penghambaan hanya kepada Allah.

Ayat-ayat lain yang secara tegas menggunakan kata ‘perangilah’ (qâtilû) dalam bentuk perintah, yaitu;

“Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” (QS. al-Baqarah/2: 190)

“Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepada hari kemudian dan mereka tidak mengharamkan apa yang telah diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya dan tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah), (yaitu orang-orang) yang diberikan Al Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk.” (QS. al-Taubah/9: 29)

“Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah ialah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu, dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana merekapun memerangi kamu semuanya; dan ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa.” (QS. al-Taubah/9: 36)

Dari ketiga ayat di atas, dapat dikategorisasi menjadi tiga kelompok berdasarkan perintah yang dikandung pada masing-masing ayat. Yaitu pertama, mengandung perintah berperang hanya terhadap mereka yang menyerang umat Islam saja, seperti pada QS. Al-Baqarah/2: 190. beberapa ayat al-Qur’an yang mengandung perintah yang sama juga dapat ditemukan pada QS. al-Baqarah/2: 191 dan 194, dan QS. al-Nahl/16: 126.

Kedua, ayat-ayat yang mengandung perintah berperang terhadap orang-orang yang tidak beriman, seperti pada QS. al-Taubah/9: 12,14, 29, dan 73, al-Nisâ’/4: 75, 76, dan 84, al-Anfâl/8: 39, dan al-Maidah/5: 54.

Ketiga, ayat-ayat yang mengandung perintah memerangi kaum musyrik semuanya, seperti pada QS. al-Taubah/9: 5 dan 36.

Ibn Qayyim al-Jauziyah (1292-1350 M), seorang ulama klasik, dalam kitabnya mengatakan: “Pada mulanya perang itu dilarang, kemudian diizinkan, kemudian diperintahkan (perang) kepada orang-orang yang lebih dahulu memerangi, dan akhirnya diperintahkan memerangi kepada seluruh kaum musyrik.” Pendapat inilah yang sepertinya diikuti oleh Sayyid Quthb yang kemudian diamini oleh Imam Samudera dan kawan-kawannya.

Berbeda dengan pendapat al-Jauziyah, Muhammad Sa‘îd al-Asymawî, mantan Ketua Pengadilan Tinggi Kairo, Mesir, menyoroti ‘ayat-ayat pedang’ yang telah disebutkan di atas dari perspektif sejarah. Karena sebagian ayat-ayat di atas memiliki keterkaitan dengan kondisi masyarakat ketika ayat itu turun. Pada periode Mekah, menurut al-Asymawî, jihad lebih memiliki arti spiritual ketimbang fisikal. Jihad yang secara prinsip bermakna bersungguh-sungguh dan berjuan, memiliki arti tetap menjaga iman dan tetap sabar, menahan diri terhadap cercaan orang-orang musyrik Mekah. Seperti pada QS. al-Nahl/16: 126 –yang merupakan surah makkiyah- yang memberikan pilihan sabar sebagai solusi yang lebih baik ketimbang membalas serangan kaum musyrik.

Berikut adalah beberapa ayat al-Qur`an dan Hadis tersebut, yang tertulis dalam buku Aku Melawan Teroris karya Imam Samudra, dan situs www.anshar .net[13]:

I. Ayat-ayat al-Qur`an

Dalam al-Qur`an terdapat banyak ayat yang memotivasi kaum muslimin untuk berjihad, misalnya ayat 207 Surat al-Baqarah, “Dan di antara manusia ada orang yang mengorbankan dirinya karena mencari keridhaan Allah; dan Allah Maha Penyantun kepada hamba-hamba-Nya”, dan ayat al-Ankabut ayat 69, “Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan Kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik”. Jihad yang dipahami sebagai sebuah perang ofensif dinyatakan sebagai sebuah kewajiban yang mengikat setiap individu kaum muslimin (QS. al-Baqarah/2:216, al-Nisa`/4:84, al-Anfal/8:39) dengan janji balasan berupa surga dan atau kemenangan (QS. Alu Imran/3:142, al-Nisa`/4:74). Lebih dari pada itu, kesediaan berjihad merupakan ciri kaum beriman (QS. al-Maidah/5:54, dan al-Taubah/9:111), dan keengganan berjihad merupakan ciri kefasikan (QS. al-Taubah/9:24, 38,dan 39)

Di waktu yang sama, al-Qur`an juga mengabadikan permusuhan yang ada di antara umat Islam dengan kaum nashrani dan Yahudi, misalnya ayat 120 Surat al-Baqarah, “Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah: "Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang benar)". Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu.

Penjelasan akan adanya permusuhan abadi antara kaum Muslimin dangan kaum kafir ini, dilanjutkan dengan perintah memerangi kaum kafir yang terlebih dahulu menyerang kaum muslimin. Hal ini secara eksplisit dinyatakan dalam Surat al-Baqarah/2:190,“Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas”. Perintah senada terulang dalam Surat al-Baqarah/2:191, dan 194, al-Taubah/9:5, 12,14,29,36,dan 73.

II. Hadis

Motivasi dan perintah berperang atas nama jihad juga mendapatkan legitimasi dari Hadis.

a. Motivasi Jihad

1. Saat Rasulullah saw. ditanya tentang amal apa yang paling utama, beliau menjawab, “Iman kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian jihad fi sabilillah, lalu haji yang mabrur.” (HR. Muttafaq ‘Alaih dari Abu Hurairah)

2. Rasulullah bersabda, “Perumpamaan orang yang berjihad fi sabilillah, seperti orang yang berpuasa di siang hari dan beribadah di malam hari melaksanakan shalat dan membaca al-Qur’an. Ia senantiasa berpuasa dan beribadah, sampai orang yang berjihad itu pulang.” (HR. Muslim dari Abu Hurairah)

3. Rasulullah bersabda, “Keluar di pagi hari atau siang hari (untuk berjihad) fi sabilillah adalah lebih baik dari pada dunia dan seluruh isinya.” (Muttafaq ‘Alaih dari Anas bin Malik)

4. Rasulullah bersabda, “Demi (Allah) Dzat Yang menggenggam jiwaku, sungguh aku ingin terbunuh (dalam berjihad) fi sabilillah, kemudian aku dihidupkan, lalu aku terbunuh lagi, lalu dihidupkan lagi, lalu terbunuh lagi, lalu dihidupkan lagi, lalu terbunuh lagi.” (HR. Al-Bikhari dari Abu Hurairah)

5. Rasulullah bersabda, “Demi (Allah) Dzat Yang menggenggam jiwaku, tiada seseorang terluka (dalam jihad) fi sabilillah, dan Allah Maha Tahu siapa yang terluka dalam jihad fi sabilillah, kecuali ia datang pada hari kiamat, tubuhnya berwarna merah seperti darah dan aroma tubuhnya seperti minyak misk.” (HR. Muttafaq ‘Alaih dari Abu Hurairah)

6. Ummu Haritsah binti Saraqah menanyakan kabar anaknya yang bernama Haritsah yang wafat terkena panah nyasar kepada Rasulullah saw., “Kalau dia sekarang berada di surga, aku akan bersabar,” ungkapnya. “Dan kalau dia sekarang tidak di surga, maka aku akan meratapinya.” Rasulullah menjawab, “Ya Ummu Haritsah, putramu sekarang berada di surga firdaus yang tertinggi.” (HR. Al-Bukhari)

7. Rasulullah bersabda, “Ketahuilah, bahwa surga berada di bawah bayangan pedang” (HR. al-Bukhari dan Muslim dari Abdullah bin Abu Aufa)

8. Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya ada seratus derajat yang disediakan oleh Allah bagi orang-orang yang berjihad fi sabilillah, di mana jarak antara satu derajat dengan lainnya sejauh langit dan bumi.”(HR. al-Bukhari dari Abu Hurairah)

9. Rasulullah bersabda, “Telapak kaki yang terkena debu fi sabilillah tidak akan tersentuh api neraka.” (HR. Al-Bukhari)

10. Rasulullah bersabda, “Siapa yang mati belum sempat berperang, atau berniat untuk berperang, maka dia mati dalam keadaan munafiq.” (HR. Muslim dari Abu Hurairah)

11. Rasulullah bersabda, “Dua jenis mata yang tidak akan tersentuh neraka; Mata yang menangis karena takut kepada Allah dan mata yang terjaga fi sabilillah.” (HR. Al-Tirmidzi dari Ibn ‘Abbas)

b. Perintah Memerangi Orang Kafir

1. Rasulullah bersabda, Berperanglah di jalan Allah, perangilah mereka yang kafir kepada Allah, janganlah kalian melampaui batas, janganlah mencacah-cacah mayat, janganlah membunuh orang tua dan biarawan.” (HR. Muslim dari Buraidah)

2. Rasulullah bersabda, “Aku diutus menjelang hari kiamat dengan pedang sehingga hanya Allah yang diibadahi, tidak ada syirik (sekutu) bagi-Nya.” (Sahih Bukhari-Muslim, Imam Ahmad dari Abdullah bin Umar)

3. Rasulullah bersabda, “Aku diperintahkan untuk memerangi manusia sehingga mereka bersaksi bahwasanya tiada tuhan selain Allah dan bahwasanya Muhammad Rasul Allah, dan mereka mendirikan shalat serta menunaikan zakat.” (HR. Muttafaq ‘Alaih dari Ibn Umar)

Tafsir “Ayat Pedang”

Dalam otobiografi Aku Melawan Teroris, Imam Samudra menyebutkan empat marhalah (tahapan) jihad:[14]

a. Tahapan Menahan Diri

Dalam marhalah ini, jihad belum disyariatkan. Kaum muslimin diperintahkan untuk bersabar dalam menahan diri dari segala macam ujian, celaan, serangan, dan penindasan kaum kafir. Jihad di sini dipahami sebagai upaya menahan diri. Marhalah ini disebut masa kaff al-yad (menahan tangan dari membalas). Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya aku diperintahkan untuk memaafkan, maka janganlah kalian memerangi kaum itu.” (HR. Ibn Abi Hatim dari Ibn ‘Abbas)

Peristiwa penyiksaan yang paling kejam dan populer yang menimpa kaum muslimin ketika itu, antara lain dialami oleh Bilal bin Rabah dan keluarga Yasir. Di bawah sengatan matahari gurun yang ganas, Bilal disiksa oleh majikannya yang bernama Umayyah bin Khalaf. Sedangkan keluarga Yasir (‘Ammar, Yasir, dan Sumayyah) disiksa oleh kaum musyrikin Quraisy. Rasulullah bersabda kepada keluarga Yasir, “Bersabarlah wahai keluarga Yasir! Sesungguhnya tempat kembali kalian adalah surga.” (HR. Ahmad, al-Thabrani, al-Hakim, dan al-Baihaqi)

b. Tahapan Diijinkan Berperang

Siksaan dan intimidasi yang dilakukan oleh kaum kafir Quraisy semakin menjadi-jadi. Kaum muslimin bahkan harus berhijrah meninggalkan rumah dan hartanya untuk menyelamatkan diri. Tidak lama waktu berselang, turunlah ayat 39-40 surat al-Hajj, “Telah diijinkan berperang bagi orang-orang yang diperangi. Karena mereka sungguh telah dianiaya. Dan sesungguhnya Allah Maha Kuasa untuk menolong mereka. (yaitu) Orang-orang yang telah diusir dari kampung halaman mereka tanpa alasan yang benar kecuali karena mereka berkata: “Tuhan kami hanyalah Allah.”

Imam Mujahid dan al-Dhahhaq mengatakan bahwa ayat di atas merupakan ayat pertama yang berbicara tentang jihad.

Pada tahapan ini, kaum muslimin diizinkan berperang secara terbatas. Belum ada perintah wajib berperang. Artinya mereka dibolehkan dan dipersilahkan berperang jika mereka mau.

c. Tahapan Diwajibkan Berperang Secara Terbatas

Pada tahap ini, jiwa-jiwa diwajibkan memerangi kaum kafir yang memerangi mereka. Sedangkan kaum kafir yang tidak memerangi kaum muslimin tetap dibiarkan tetap diperangi. “Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu. Dan janganlah berlebihan, sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” (QS. Al-Baqarah: 190)

Kewajiban ini dipertegas lagi dengan ayat 216 surat al-Baqarah: “Diwajibkan atas kamu berperang padahal berperang adalah sesuatu yang kamu benci…”

d. Kewajiban Memerangi Seluruh Kaum Kafir

Dalam surat al-taubah ayat 29 disebutkan, “Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (beriman pula) kepada hari kemudian, dan mereka tidak mengharamkan apa yang telah diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya, mereka tidak beragama dengan agama yang benar (Islam). (yaitu orang-orang) yang diberikan Al-Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam keadaan rendah.”

Imam Samudra tidak menafikan ayat-ayat ‘toleransi beragama,’ seperti ayat 109 surat al-Baqarah, “Maka maafkanlah dan biarkanlah mereka sampai Allah mendatangkan perintah-Nya.” namun ayat-ayat toleransi ini dieliminasi (mansukh) oleh ‘ayat pedang,’ yang dalam versinya adalah ayat 5 dan 29 surat al-Taubah.

Dengan turunnya ‘ayat pedang’ ini, segala perjanjian yang pernah ada antara Rasulullah dengan kaum musyrik dihapuskan. Pada periode ini seluruh kaum musyrikin diperangi, kecuali jika mereka bertaubat masuk Islam, mendirikan shalat, dan membayar zakat, “Aku diperintahkan untuk memerangi manusia sehingga mereka bersaksi bahwasanya tiada tuhan selain Allah dan bahwasanya Muhammad Rasul Allah, dan mereka mendirikan shalat serta menunaikan zakat.” (HR. Muttafaq ‘Alaih dari Ibn Umar).

Dalam Surat al-Taubah ayat 36 disebutkan, “Dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana mereka memerangi kamu semuanya, dan ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa.” Peperangan ini dibenarkan hingga tidak ada lagi kemusyrikan dan kekafiran, “Dan perangilah mereka sehingga tidak ada lagi fitnah, dan supaya agama itu semata-mata agama Allah.” (QS. al-Anfal: 39)

Dalam sebuah Hadis Rasulullah bersabda, “Aku diutus menjelang hari kiamat dengan pedang sehingga hanya Allah saja yang diibadahi dan tidak ada sekutu bagi-Nya. Dan dijadikan rizkiku di bawah bayangan tombak, dan dijadikan kehinaan dan kerendahan atas orang yang menyalahi perintahku. Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk kaum itu.” (HR. Ahmad dari Ibn Umar)

Imam Samudra juga mengkritik seorang dai nasional terkenal yang disebut-sebut orang sebagai dai sukses dan dapat merebut hati umat Islam dan kaum kafir. Dai ini berdakwah dengan penuh ‘hikmah’ dan diterima oleh seluruh kalangan sehingga menjadi rahmatan lil ‘alamin. Menurut Imam Samudra, pemahaman semacam ini lumrah dan telah sekian lama mengendap di benak banyak kaum muslimin. Dalam persepsi mereka, akhlak karimah adalah mengalah, berbicara lemah lembut, tidak menyinggung perasaan orang lain, diam saja saat dicekik dan dilempari kotoran unta, bertoleransi dengan orang kafir dalam hal apapun termasuk dalam masalah ibadah dan akidah.

Menurut Imam Samudra, pemahaman ini tidak tepat. Ia mengutip Hadis di mana Rasulullah pernah melaknati kaum kafir yang melukainya di perang Uhud. Rasul juga pernah melakukan qunut nazilah untuk mengutuk kaum kafir yang sangat keji kepada kaum muslimin.

Membiarkan Bait al-Maqdis dan al-Haramain (kota Mekkah dan Madinah) dalam cengkraman Zionis dan Salibis bukanlah hikmah apalagi rahmatan lil ‘alamin. Membiarkan ribuan muslimah diperkosa kaum kaum kafir serta bayi-bayi muslim dibantai bukanlah rahmatan lil ‘alamin. Ketidakpedulian atas itu semua justru adalah sebuah pengkhianatan. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh al-Mundziri disebutkan: ”Orang yang tidak peduli terhadap urusan kaum muslimin, maka ia tidak termasuk golongan muslim.”

Islam cinta damai, namun bukan berarti Islam membolehkan kaum muslimin dianiaya dan disakiti.

Adanya klaim naskh ‘ayat pedang’ atas ‘ayat-ayat merpati,’ sebenarnya bukan pendapat pribadi Imam Samudra. Hampir seluruh ahli tafsir menyatakan demikian. Al-Suyuthi mengutip pendapat Ibn al-‘Arabi bahwa seluruh ayat toleransi terhadap orang kafir dinaskh oleh ayat pedang ini. Jumlah ayat-ayat yang dinaskh itu ada 124 ayat,[15] yang dalam penghitungan Muhammad al-Kilabi al-Andalusi jumlahnya 114.[16]

Nampaknya, kajian parsial terhadap ayat-ayat al-Qur`an dengan memperdalam ayat-ayat jihad telah memicingkan pandangan dan penafsiran Imam Samudra atas ayat-ayat merpati, yang dia akui sendiri keberadaannya.

Seharusnya ia mau memperhatikan penafsiran yang dilakukan Rasulullah atas ayat-ayat pedang dan ayat-ayat merpati. Tafsiran ini tergambarkan dalam sikap dan perilaku Rasulullah terhadap kaum kafir.

Sebagai orang yang paling memahami al-Quran, Rasulullah tidak semerta-merta membunuh seluruh yahudi yang hidup dan tinggal di kota Madinah dan kota-kota sekitarnya, beliau justru bergaul dan berinteraksi baik dengan mereka. Demikian juga dengan nashrani Najran, bahkan terhadap kaum Majusi yang hidup di daerah Hajar, beliau tidak memerangi mereka, tetapi hanya memungut upeti dari mereka[17]

Adapun pemahaman Hadis yang diriwayatkan oleh Sahabat Ibn Umar, bahwa Rasulullah diperintahkan untuk memerangi semua orang hingga mereka masuk Islam, maka harus dipahami secara kontekstual. Bahwa Rasulullah tidak semerta-merta memerangi orang kafir tanpa alasan, adalah bukti bahwa Hadis tersebut harus dimaknai sebagai perintah perang terhadap mereka yang enggan menyatakan keislaman dan tidak membayar upeti, serta merongrong kedamaian kaum muslimin, atau bahwa ayat dan Hadis tersebut, berkaitan dengan situasi perang, bukan dalam keadaan damai.

Masih dalam rangka 'memaknai' Hadis riwayat Sahabat Ibn Umar, Khalifah Abu Bakar memerangi orang-orang Islam yang membangkang dan enggan membayar zakat, padahal mereka sudah mengucapkan La ilaaha illa Allah.[18].

Sikap dan perilaku kau muslimin terhadap non muslim, harus proporsional. Artinya kita akan memerangi mereka tanpa jerih dan takut, ketika mereka memerangi kita. Dan ketika mereka berlaku baik, maka kita pun dituntut untuk berbuat baik. Allah Ta'ala berfirman, Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangi kamu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. Dan barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka itulah orang-orang yang zalim. (QS. al-Mumtahanah ayat 8-9).

Dalam sebuah Hadis, Rasulullah bersabda, Siapa yang membunuh orang kafir mu'ahad (yaitu kafir dzimmi yang telah mendapatkan perlindungan dari pemerintah), maka ia tidak dapat mencium aroma surga, dan aroma surga itu dapat dihirup dari jarak perjalanan selama empat puluh tahun.” (HR. al-Bukhari)

Keterangan-keterangan di atas, menjelaskan kepada kita tentang kebolehan umat Islam berinteraksi atau ber-mu'amalah dengan non muslim, selama mereka bersikap kooperatif dan tidak mengganggu kaum muslimin.

Kaum Muslimin memang harus merasa prihatin dengan kezaliman yang menimpa saudara-saudaranya di banyak tempat. Namun berperang dengan dorongan hawa nafsu dan dendam bukan merupakan ajaran Agama. Saat Ali bin Abu Thalib berhasil memojokkan seorang kafir dalam sebuah pertempuran, di mana dia sudah mampu mendesaknya, Ali batal membunuhnya akibat orang kafir itu meludahinya. Hal itu dia lakukan karena dia tidak ingin peperangan dan pertempuran yang dilakukannya berdasarkan dendam dan hawa nafsu, melainkan karena dorongan Agama. Ali bisa saja melanjutkan keinginannya untuk membunuh, namun ia takut perbuatannya itu berangkat dari kemarahan pribadinya.

Ada juga pihak yang secara radikal menghendaki syariah jihad dihilangkan dari Ajaran Islam, karena jihad berpotensi menimbulkan radikalisme yang berujung kepada perilaku terorisme. Hal ini tentu bukan sebuah usulan yang bijak. Karena pensyariatan jihad ada dalam al-Qur`an dan Hadis. Justru yang lebih mendesak untuk dilakukan adalah upaya menyosialisasikan pemahaman jihad yang sebenarnya. Sehingga tidak dipahami secara keliru dan ekstrim.

Mereka yang melakukan kegiatan terorisme, sebagaimana faksi-faksi sempalan lain yang melakukan kejahatan dan penyelewengan atas nama Agama, memang menggunakan ayat-ayat al-Qur`an serta Hadis Rasulullah sebagai legitimasi kejahatan yang mereka lakukan. Namun bukan berarti mereka melakukan “hal yang benar”, karena ayat-ayat dan Hadis yang mereka gunakan memang valid, hanya saja penafsiran atasnya berpotensi salah. Kondisi ini pernah diprediksikan Ali bin Abu Thalib lewat perkataannya, “kalimah al-haqq wa urid bi ha al-bathil” (kalimat haq yang digunakan sebagai legitimasi atas kebatilan). Wallah A’lam.



[1] Dikutip dari koran Warta Kota, edisi Sabtu 12 November 2005, hal 15.

[2] Dikutip dari majalah GATRA, No. 02, tahun XII 26 november 2005, hal. 33

[3] Dikutip dari Imam Samudera, Aku Melawan Teroris!, (Solo: Jazera, 2004), h. 199.

[4] Dikutip dari majalah GATRA, No. 01 tahun XII tanggal 19 November 2005, hal. 28.

[5] Samudra, Aku, hal. 26.

[6] Samudra, Aku, hal. 42.

[7] Keterangan ini disarikan dari Majalah TEMPO, Edisi 14-20 November 2005, h. 29.

[8] Samudra, Aku, hal. 7.

[9] Dikutip dari majalah FORUM, No. 29 tanggal 20 November 2005, hal. 25

[10] Muhammad bin Abdullah al-Hakim, Mustadrak ‘ala al-Shahihain, (Beirut: Dar al-Kutub al-’Ilmiah, 1990), cet. I, vol II, hal. 172; Ali bin Umar al-Daruquthni, Sunan al-Daruquthni, (Beirut: Dar al-Makrifah, 1966), vol. IV, hal. 245

[11] Sulaiman bin al-Asy’ats al-Sijistani, Sunan Abu Dawud, (Beirut: Dar al-Fikr, t.th.), vol. III, hal. 303; Muhammad bin Isa al-Tirmidzi, Sunan al-Tirmidzi, (Beirut: Dar Ihya` al-Turats al-‘Arabi), tth., vol. 3, hal. 606

[12] Abu Bakar bin al-Husain al-Baihaqi, al-Asma` wa al-Shifat, (Kairo: Dar al-Hadis, 2002), hal. 254-255.

[13] Situs ini sekarang sudah tidak bisa diakses. Menurut majalah GATRA situs ini merupakan situs resmi milik komplotan terorisme di Indonesia. Situs ini dirancang oleh Abdul Aziz, 30 th. Dan lihat pula Majalah GATRA, no. 02 tahun XII, 26 November 2005, hal. 24.

Situs ini ternyata teregistrasi di inggris, terdaftar atas nama Max Fiderman dan sudah dibayar lunas selama lima tahun. Pakar telematika Roy Suryo mengatakan bahwa pembuatan situs ini dilakukan pada 31 Agustus 2005 di Bolton London pada pukul 16.03 waktu London atau pukul 09.00 WIB. Menurutnya, ada beberapa kemungkinan pembuatan situs ini: Pertama, bisa jadi situs itu memang benar dibuat oleh jaringan teroris ini; Kedua, dibuat oleh simpatisan; dan Ketiga oleh pihak lain yang ingin mendiskreditkan teroris. Lebih jelasnya tentang seluk beluk pembuatan situs ini baca Warta Kota, Minggu 20 November 2005, hal. 1 dan 15.

[14] Samudra, Aku, hal. 125-134.

[15] Al-Suyuthi, ai-Itqan fi ‘Ulum al-Qur`an, (Beirut: Dar al-Fikr, 1951), II/24.

[16] Muhammad al-Andalusi, Kitab al-Tashil li Ulum al-Tanzil, (Beirut: Dar al-Fikr), tth, I/11. saat dilakukan penghitungan ulang, ternyata jumlah ayat mansukhah yang disebutkan secara terperinci oleh Muhammad al-Andalusi tersebut, bukan seratus empat belas, melainkan hanya seratus enam, yang terdapat dalam lima puluh satu surat dalam Alquran. Kajian ini secara lengkap dibahas oleh Andi Rahman dalam skripsinya, al-Muqaranah Baina Manhaj al-Naskh wa Manhaj al-Jam’ fi Fahm al-Ayat al-Muta’aridh Zhahiruha, (Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah, 2004), hal. 64-67

[17] al-Imam al-Bukhari, Op. Cit., jilid III, hal. 1151, bahwa Abdurrahman bin Auf bersaksi, sesungguhnya Rasulullah menarik upeti (jizyah) dari kaum majusi Hajar.

[18] Padahal menurut Hadis Ibn Umar tersebut, mereka yang telah mengucapkan laa ilaaha illallaah tidak boleh dibunuh. Dan ternyata setelah mengalami perdebatan antara khalifah dan beberapa sahabat seperti Sahabat Umar bin al-Khathab, perang terhadap 'pembangkang zakat' tersebut terjadi juga, dengan landasan dekrit dari khalifah yang kemudian didukung oleh seluruh sahabat.


(TULISAN TELAH DITERBITKAN DALAM BUKU AGAMA DAN RADIKALISME DI INDONESIA, 2007, PENULIS ADALAH ANDI RAHMAN, JAUHAR AZIZY DAN ADIB)