ME...

ME...
MUSCAT-OMAN 2005

Jumat, 04 Juli 2008

MENDISKUSIKAN "TUHAN"

Jika Anda ingin berinteraksi dengan seseorang, tentulah Anda harus mengenalnya lebih dahulu, siapa dia serta apa namanya maupun ciri-ciri dan sifatnya. Dengan mengenalnya secara baik, kita berharap semoga hubungan yang terjalin dapat lancar Nah, Tuhan sang Pencipta, yang senantiasa diharapkan pertolongan-Nya serta menjadi tumpuan dan sandaran segala sesuatu, pastilah lebih 'berhak' untuk dikenal.

Seandainya Anda berkata bahwa "Saya telah mengenal Tuhan", ucapan ini dapat benar, seperti halnya Anda benar jika berkata "Saya tidak mengenal-Nya". Memang, se-pintas lalu, kedua pernyataan ini kontradiktif, karena yang satu menetapkan dan yang lain menafikan, namun keduanya bernilai benar jika masing-masing dilihat dari sisi yang berbeda. Seperti jika Anda ditanya "apakah Anda mengenal Soekarno, sang proklamator Republik Indonesia?" kemudian Anda menjawab "Soekarno bukanlah seorang yang tidak dikenal, beliau amatlah populer, bukankah semenjak sekolah dasar kita sudah dikenalkan dengan dirinya, bahkan sampai kita di perguruan tinggi?" jawaban Anda ini benar, tetapi jika jawabannya "Tidak, Saya tidak mengenal beliau, selain sebatas nama dan beberapa kisah sejarah yang menyangkut beliau, banyak sekali hal yang tidak saya ketahui", jawaban inipun bisa benar.

Dalam bukunya, Qadhiyat al Uluhiyah baina al Falsafah wa al Din, ulama besar dan philosofis muslim kontemporer Abdul Karim al Khathib mengilustrasikan upaya pengenalan Tuhan yang kurang lebih sebagaimana berikut[1]:

"Yang melihat/mengenal Tuhan, pada hakikatnya hanya melihat-Nya melalui wujud yang terhampar di muka bumi serta yang terbentang di langit. Yang demikian itu adalah penglihatan tidak langsung serta memerlukan pandangan hati yang tajam, akal yang cerdas lagi qalbu yang bersih. Mampukan Anda membaca kumpulan syair seorang penyair, atau mendengar gubahan seorang komposer,…dengan melihat lukisan pelukis atau pahatan pemahat. Apakah dengan melihat hasil karya seni mereka, Anda mampu mengenal mereka tanpa melihat mereka secara langsung?! Memang Anda mampu mengenal selayang pandang tentang mereka, bahkan boleh jadi melalui imajinasi, Anda dapat membayangkannya sesuai kemampuan Anda membaca karya seni, namun pada akhirnya Anda harus sadar bahwa gambaran yang dilukiskan oleh imajinasi Anda tentang para seniman itu, adalah bersifat pribadi dan merupakan ekspresi dari perasaan Anda sendiri. Demikian juga yang dialami orang-orang yang berhubungan dengan para seniman itu, masing-masing memiliki pandangan pribadi yang berbeda dengan yang lain. Kalaupun ada yang sama, maka persamaan itu dalam bentuk gambaran umum menyangkut kekaguman dalam berbagai tingkat. Kalau demikian itu adanya dalam memandang seniman melalui karya-karya mereka, maka bagaimana dengan Tuhan, sedangkan Anda hanya merupakan setetes dari samudra ciptaan-Nya?

Pengenalan Tuhan yang selama ini dilakukan—dengan segala variasi pendeka-tannya—hanyalah menghasilkan pengenalan yang sedikit sekali, bahkan jauh lebih sedi-kit daripada hasil pengenalan terhadap seniman-seniman itu. Pengenalan para seniman ini, dilakukan berdasarkan pengamatan terhadap hasil karya mereka yang terbatas, dan itu pun belum tentu semuanya dapat dijangkau. Nah, Tuhan yang ciptaan-Nya amat sangat banyak, tentu lebih sulit untuk dikenali.

Ketika sayidina Abu Bakar ra. ditanya "Bagaimana Engkau mengenal Tuhan-mu?" beliau menjawab "Aku mengenal Tuhan melalui Tuhanku. Seandainya Dia tidak ada, niscaya aku tidak mengenal-Nya" selanjutnya ketika beliau ditanya lagi, "Bagaimana Engkau mengenal-Nya?" Beliau menjawab "al 'Ajz 'an al Idraak, Idrakk (ketiadaan mengenal-Nya merupakan pengenalan)"[2]

Tetapi, apakah ketidakmampuan pengenalan ini absolut, yang kemudian meng-haramkan kita untuk mengenal Tuhan? Tentu saja tidak, dalam berinteraksi dengan-Nya, kita tidak hanya ingin patuh, tetapi juga kagum dan cinta. Kedua rasa ini dapat timbul dengan pengenalan.

Mengenal Tuhan

Dalam surat Muhammad (47) ayat 19, Allah Ta'ala berfirman "Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada tuhan (yang haq) melainkan Allah…". Tuhan menghen-daki diri-Nya dikenal oleh manusia (dan jin) dalam kapasitasnya sebagai Tuhan Yang Hakiki, dan menjadikan pengenalan ini sebagai sebuah kewajiban. Rasulullah Shallalahu 'alaihi wa Sallam ketika memulai dakwah, yang pertama kali beliau lakukan adalah memperkenalkan Tuhan Yang Maha Esa, sambil meluruskan kekeliruan dan kesesatan masyarakat jahiliyah. Hal ini tampak jelas pada ayat pertama yang turun, yaitu surah al Alaq (96) yang mengandung pengenalan kepada Tuhan dalam perbuatan dan sifat-Nya "Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhan-Mu Yang Mencipta. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah" Selanjutnya silih berganti ayat turun mengarahkan manusia pada pengenalan Tuhan.

Berikut kami ketengahkan tiga pendekatan guna mengenal Tuhan: Pertama, pendekatan nalar dan akal. Kedua, pendekatan intuisi dan informasi jiwa. Ketiga, pendekatan nash atau teks-teks agama.

Pendekatan Nalar dan Akal

Akal manusia yang terbatas, hanya mampu menghadirkan ilmu yang amat sangat sedikit, demikian yang dijelaskan-Nya dalam surat al Isra (17) ayat 85 "…dan tidaklah kamu diberikan ilmu, melainkan hanya sedikit sekali" keterbatasan akal ini mengaki-batkan gagasan, ide, konsep dan gambaran yang dihasilkan tentang Tuhan itu sendiri (dan hal-hal gaib lainnya), cenderung 'ngawur' antropomorfistis (Tajassum). Tuhan dibentukkan (difahami) sesuai dengan kemampuan, penangkapan, pengetahuan dan per-sepsi manusia. Xenophanes (+ 570-480 SM), seorang filusuf Yunani, mengkritik antrofomorfisme Tuhan lewat pernyataannya: "Seandainya sapi, kuda dan singa mempunyai tangan dan pandai menggambar seperti manusia, tentu kuda akan meng-gambar tuhan-tuhan menyerupai kuda, sapi akan menggambarkan tuhan-tuhan menyerupai sapi, dan dengan demikian mereka akan mengenakan rupa yang sama kepada tuhan-tuhan seperti terdapat pada mereka sendiri. Orang Etiopia mempunyai tuhan-tuhan yang hitam dan berhidung pesek, sedangkan orang Trasia mengatakan bahwa tuhan-tuhan mereka bermata biru dan berambut merah"[3]

Pengenalan Tuhan melalui pendekatan nalar, banyak dipengaruhi oleh kebudayaan, hal ini dapat dibuktikan oleh sejarah agama-agama (kepercayaan). Tuhan dalam kepercayaan orang-orang yang berkebudayaan patriarkal pastoral, yang berkebudayaan perayahan yang hidup dengan menggembala, berbeda dengan Tuhan dalam kepercayaan orang-orang yang berkebudayaan matriarkal agrikultural, yang berkebudayaan peribuan yang hidup dengan bertani. Bapa Samawi atau Bapa Surgawi adalah tuhan tipikal orang-orang nomad yang hidup dari hasil kawanan ternak mereka; kawanan ternak itu hidup di padang rumput yang bergantung pada hujan dari langit. Ibu Bumi atau Ibu Pertiwi adalah tuhan tipikal para petani yang hidup dari hasil tanah atau bumi[4] dalam kebudayaan patriarkal pastoral, biasanya Bapa dan langit dijadikan simbol Tuhan. Dalam kebudayaan matriarkal agrikultural, ibu dan bumi sering dijadikan simbol Tuhan.

Pendekatan ini, hanya akan menghasilkan "Tuhan yang diciptakan" (al Ilaah al Mukhtalaq). Hal ini disebabkan kapasitas nalar dan akal manusia—secara perorangan—telah mewarnai dan mempengaruhi ide, gagasan atau gambaran manusia akan Tuhan yang dihasilkan, Tuhan seperti itu bukanlah Tuhan sebagaimana Dia sebenarnya, karena 'bentuk', 'gambar', atau 'wajah' "Tuhan yang diciptakan" tersebut ditentukan dan dipengaruhi oleh pengetahuan dan pemahaman tentang tuhan yang dimiliki. Hal ini selaras dengan pernyataan Ibn al Araby yang mengutip ucapan al junaid "warna air adalah warna bejana yang ditempatinya"

Pengenalan yang semata-mata menggunakan pendekatan ini, amat berbahaya dan menjerumuskan, karena akal manusia seringkali tidak puas hanya sampai pada titik dimana wujud-Nya terbukti. Keterbatasan akal dan nalar tersebut, tidak meyurutkan manusia untuk mengenal zat Tuhan dan hakekat-Nya, bahkan lebih dari itu, akal sering-kali menjerumuskan lewat keinginannya untuk melihat Tuhan dengan mata kepala seakan-akan tuhan adalah sesuatu yang dapat tercapai oleh pancaindera.

Nah, di sinilah letak kesalahan fatal dan bahayanya. Di 'arena' ini jatuh tersungkur banyak 'pemikir' ketika mereka menuntut kehadiran-Nya melebihi bukti-bukti wujud-Nya, yakni kehadiran alam raya dan keteraturannya. Bahkan di sinilah bergelimpangan korban, yaitu mereka yang tidak puas dengan pengenalan rasa, atau yang mendesak untuk mengenal Tuhan melebihi informasi yang diberikan-Nya. Sekiranya mereka berinteraksi dengan Tuhan sebagaimana mereka berinteraksi dengan matahari, yaitu meraih kehangatan dan memanfaatkan cahayanya tanpa harus mengenal hakikatnya, atau menghindari harimau dengan hanya mendengar suara aumannya atau bekas telapak kakinya tanpa harus mencari tahu dan mendekatinya, tentu akan baik sekali bagi mereka dan akan banyak daya dan waktu yang dapat digunakan untuk hal-hal yang lebih bermanfaat.

Dalam surat Ali Imran (3) ayat 28 dan 30 Allah Ta'ala memberikan 'warning' ke-pada kita akan diri-Nya"…dan Allah memperingatkan kalian tentang diri-Nya…"

Pendekatan Intuisi dan Infofmasi Jiwa

Metode ini digunakan oleh kaum sufi yang ingin mengetahui Tuhan dengan cara pengabdian, bukan pemikiran; melalui cinta, bukan kata; melalui taqwa, bukan hawa. Mereka cenderung menjauhi pendefinisian Tuhan, mereka ingin mengenal-Nya dengan cara 'menyaksikan-Nya'. Dengan perasaan jiwa yang tenang dan damai bersama Tuhan, tanpa 'mendiskusikan' apakah 'Dia' benar-benar 'Dia', atau 'Dia' bukanlah 'Dia', metode ini telah memberikan kepuasan bagi mereka.

Sayidina Ali bin Abi Thalib ra. kw. pernah ditanya oleh sahabatnya Dzi'lib al Yamany "Ya Amirul Mukminin, apakan Anda pernah melihat Tuhan" Beliau menjawab "Apakah aku menyambah apa yang tidak kulihat?!". Sahabatnya kembali bertanya "Lalu bagaimana Anda melihat-Nya?" beliau menjelaskan "Dia tidak dapat dilihat dengan pandangan mata, tetapi dijangkau oleh akal dengan hakekat keimanan".[5]

Maksud dari akal pada ungkapan sayidina Ali ra. kw. tersebut, bukanlah akal se-bagaimana pemahaman kita dewasa ini, yaitu daya nalar, melainkan akal dalam penger-tian "Gabungan antara daya qalbu dan daya nalar yang menghasilkan 'ikatan' yang menghalangi manusia untuk melakukan hal-hal negatif"

Para sufi menganggap pengetahuan yang diperoleh melalui hati (ilham) adalah pengetahuan yang sejati. Hal ini—menurut sebagian mereka—berdasarkan nash-nash agama yang menyatakan demikian; baginda nabi Muhammad Shallalahu 'alaihi wa Sallam bersabda "Takutlah kalian kepada firasat orang mukmin, karena ia melihat dengan cahaya Allah" (HR. al Imam al Turmudzi), kemudian beliau juga bersabda kepada Wabishah "Mintalah fatwa (bertanyalah) kepada hatimu sendiri, sekalipun orang-orang berfatwa kepadamu" (HR. al Imam Ahmad)[6] al Imam al Bukhari meriwayatkan hadis dalam Shahihnya dari shahabat Abi Hurairah ra. "Seorang hamba senantiasa mendekati-Ku dengan amalan-amalan sunnah, sehingga aku mencintainya. Dan jika Aku telah mencintainya, maka Aku akan menjadi pendengaran yang dia pakai untuk mendengarkan, (Aku) menjadi penglihatan yang dia gunakan untuk melihat…"

Namun kaum sufi cenderung berlebihan dalam menggunakan ilham dan kasyaf sebagai sumber pengetahuan dan hujjah, berargumen dengan kisah nabi Musa dan Khidhir 'alalihima al Salam, mereka bahkan menganggap ilham dan kasyaf sebagai jalan yang tidak mungkin salah[7], mereka mencela ulama syariat yang hanya berpegang teguh kepada dalil-dalil dan tidak mengikuti pernyataan yang tidak disertai bukti, baik dari indera, akal atau wahyu. Mereka mencela ulama syariat, bahwa mereka telah terpaku pada ilmu dzahir saja, padahal ilmu dzahir tidak lebih dari sekedar kulit, sedangkan ilmu batin yang mereka (ulama syariat) tolak, sejatinya justru merupakan inti. Mereka menganggap ilham berasal dari Allah Ta'ala, dan apa yang berasal dari-Nya adalah kebenaran yang tidak mungkin salah. Dalam hal ini, Syaikh Abu Yazid al Busthami menulis untuk sebagian ahli hadis, "Kalian mengambil ilmu dari orang mati, dan kami mengambilnya langsung dari Dzat Yang Maha Hidup dan tidak mati"[8]

Pendekatan Nash atau Teks-teks Agama

Metode ini tidak meniadakan dua metode di atas. Ia tidak menolak melayani desakan akal dan dorongan nalar. Bukankan beragam argumen aqliyah yang dipaparkan bersama dengan sentuhan-sentuhan rasa justru menguatkan keberadaan dan keesaan-Nya? Dalam al Quran, Allah Ta'ala benyak memuji Ulul Albab (cendekiawan) yang berzikir dan berfikir tentang kejadian langit dan bumi, Dia bahkan memerintahkan untuk memandang alam dan phenomenanya dengan pandangan nadzar/nalar, serta memikirkannya. Metode ini juga tidak meniadakan keberadaan ilham dam kasyaf sebagai sebuah kebenaran, karena teks agama sendiri banyak yang berbicara tentangnya.

Pendekatan melalui metode ini menghendaki pengenalan Tuhan dengan merujuk kepada al Quran dan Hadis, dengan asumsi bahwa kita mengenal-Nya hanya sebatas informasi yang diberikan-Nya. Di sini akal dan ilham hanya berfungsi sebagai penguat keterangan dari al Quran dan Hadis. Pengenalan lewat metode ini sangat unik dan mengagumkan; Allah Ta'ala tidak diperkenalkan diri sebagai sesuatu yang bersifat materi, karena jika demikian, pastilah Ia berbentuk, dan bila berbentuk pastilah berbatas, dan ini menjadikan Dia bukan Tuhan, karena Tuhan tidak membutuhkan sesuatu dan tidak pula terbatas. Di sisi lain—apabila Tuhan diasumsikan sebagai materi—Dia ada di satu tempat dan tidak ada di tempat lain, pasti Dia dapat dilihat oleh sebagian dan tidak terlihat oleh sebagian yang lain. Semua ini akan mengurangi kebesaran dan keagungan-Nya, bahkan bertentangan dengan ide yang ada dalam benak manusia. Matahari pernah suatu ketika dipertuhankan, tetapi akal manusia (nabi Ibrahim 'ala nabiyyina wa 'alaihi al Shalat wa al Salaam), enggan mengakuinya setelah melihatnya terbanam "Kemudian tatkala ia melihat matahari terbit, dia berkata: 'Inilah Tuhanku, ini yang lebih besar', maka tatkala matahari itu telah terbanam, dia berkata:'Hai kaumku, sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kalian persekutukan" (QS. Al An'am 6:76)

Tapi bukan berarti Allah Ta'ala diperkenalkan sebagai sesuatu yang bersifat ide atau immaterial, yang tidak dapat diberi sifat atau digambarkan dalam kenyataan, atau di gambarkan dalam keadaan yang dapat dijangkau oleh akal manusia, karena jika demikian, bukan saja hati manusia tidak dapat tentram terhadap-Nya, akal dan nalar kemanusiaannya pun tidak dapat memahami-Nya.

Metode ini menempuh cara moderat dalam upaya pengenalan Tuhan. Ketika Dia, menyifati diri-Nya sebagai Maha Mendengar, Maha Melihat, Hidup, bersemayam di atas 'Arsy, bahkan nabi Muhammad Shallalahu 'alaihi wa Sallam menjelaskan bahwa Dia berlari, bergembira, Mengenggam jiwa manusia, dan sebagainya yang kesemuanya mengantarkan manusia kepada pengenalan yang dapat terjangkau oleh akal dan potensi-potensi manusia. Maka Dia kemudian menegaskan bahwa"tidak ada yang serupa dengan-Nya, dan Dia Maha mendengar lagi Maha Melihat (QS. al Syura 42:11) sehingga, apapun yang tergambarkan oleh akal, yang terbetik dalam benak atau imajinasi apapun tentang Tuhan, maka Dia tidak demikian. Dengan menyadari hal ini, maka luluhlah semua gambaran yang dapat dijangkau oleh indera dan imajinasi manusia tentang Dzat Yang Maha Sempurna itu.

'Ketuhanan' adalah sesuatu yang hanya dimiliki oleh Allah Ta'ala, tidak dapat tergambar dalam benak, bahwa ada yang mengenal-Nya kecuali Dia sendiri, dan karena tidak ada yang sama dengan-Nya, maka tidak ada yang mengenal-Nya kecuali Dia. Demikian kira-kira Al Imam al Ghazali menulis dalam kitabnya, al Maqshad al Asna. Kemudian beliau menambahkan "Demi Allah, tidak ada yang mengetahui Dia—di dunia dan akhirat—kecuali Dia"[9]

Metode ketiga ini mirip dengan aliran salafiyah yang menerima keterangan tentang Tuhan dari al Quran dan Hadis, tanpa menakwilkan dan tanpa mempersonifikasikan-Nya. Metode ini cenderung miskin pembahasan, karena ia tidak membolehkan memikirkan Tuhan melebihi keterangan al Quran dan Hadis, padahal jumlahnya tidak mengalami pertambahan sama sekali, namun metode ini lebih minim 'penyimpangan', karena memang peluang munculnya penyimpangan itu sendiri sedemikian diminimalisir.

Ketiga pendekatan ini, tidak akan mengantarkan kita kepada pengenalan Tuhan secara sempurna, karena Dia merupakan transeden yang absolut yang mustahil dapat dicapai oleh manusia, dalam surat al An'am (6) ayat 103 dijelaskan, "Penglihatan tidak dapat mempersepsikan-Nya (yaitu Tuhan), tetapi Dia mempersepsi semua penglihatan". Berulang kali Ibn al 'Araby mengutip perkataan sayidina Abu Bakr ra. "ketidakmampuan mencapai pengetahuan adalah kemampuan" Ungkapan ini melukiskan tingkatan tertinggi pengetahuan manusia tentang Tuhan dan segala sesuatu yang gaib yang tidak diketahuinya. Orang yang mengetahui bahwa ia tidak dapat mengetahui Tuhan adalah orang yang secara benar mengetahui-Nya; itulah orang yang bijak[10].

Penutup

Bahwa pengenalan Tuhan—apapun pendekatan yang digunakan—akan berakhir kepada ketidakmampuan mengenal-Nya. Diri-Nya amatlah luhur untuk diraih manusia dan kesempurnan-Nya tidak akan mampu digapai oleh siapapun. Pembahasan-pembahasan tentang Tuhan—sebagaimana hal-hal gaib lainnya—haruslah senantiasa mengacu kepada informasi yang diberikan oleh Dzat Yang Maha Mengetahui, jangan lebih dari itu. Dan kita pun harus menginsyapi bahwa—dengan segala keterbatasan— hasil pengenalan kita amat mungkin salah sebagaimana ia mungkin sedikit benar, sehingga kita harus lebih berlapang dada dan bersikap arif dalam keyakinan orang lain yang berbeda dengan kita, "Kebenaran itu adalah dari Tuhanmu, sebab itu jangan sekali-kali kamu termasuk orang yang ragu" (QS. al Baqarah 2:147).

Mengutip kembali pendapat sayidina Abu Bakr ra., bahwa ketiadaan mengenal-Nya merupakan hakekat pengenalan terhadap-Nya, kita harus sadar segala macam upaya pengenalan terhadap Tuhan akan senantiasa berakhir kepada 'kebutaan', persis seperti kelelawar yang menjadi buta saat diterpa sinar sang surya. Al Imam al Ghazali mengatakan, "Siapa yang tidak mengenal Allah, maka dia wajib diam. Dan bagi yang mengenal-Nya pun baginya adalah keharusan (untuk diam). Karena siapa yang mengenal Allah, tumpul sudah lidahnya".[11]

Wallahu 'alam bish shawab***



[1] Prof. DR. KH. M. Quraish Syihab, "Menyingkap" Tabir Ilahi, Lentera Hati, Jakarta, 1998, hal. xxi-xxii

[2] Ibid, hal. xxiii, lihat juga Futuhat, 2:619; 3:132 (sebagaimana terdapat dalam JURNAL PEMIKIRAN ISLAM PARAMADINA, vol. I th. 1998, hal. 146

[3] H. Diels W. Kranz, Die Fragmente der Vorsokratiker, Griechisch und Deutsch, 3 vol. (Berlin, 1934-1937), fr. 15-16. kedua fragmen ini dikutip oleh K. Bertens, Sejarah Filsafat Yunani (Yogyakarta: Kanisius, 1989), hal 40. Pemakalah mengutipnya dari Kautsar Azhary Noer, Tuhan yang diciptakan dan tuhan yang Sebenarnya, JURNAL PEMIKIRAN ISLAM PARAMADINA. Vol. I, no. 1, hal. 133, Juli-Desember 1998. Sumber ini selanjutnya disebut Jurnal.

[4] ibid, hal. 135

[5] Prof. DR. KH.M. Quraish Syihab, op. cit., hal.xxv

[6] Hadis yang semakna juga diriwayatkan oleh Imam al Darimi dalam musnadnya, al Imam al Bukhari dalam al Tarikh dan Abu Ya'la, juga al Thabrani. Al Imam al Nawawi menganggap hasan hadis ini dalam kitabnya Riyadh al Shalihin dan al Arba'in. dalam Jami' al Shaghir, al Imam al Suyuthi menyebutkan hadis ini dengan sanad yang hasan

[7] DR. Yusuf al Qardhawi, Fiqh Taysir, edisi terjemahan, Kautsar, Jakarta , 2001, hal. 127,

[8] Jurnal,hal 128

[9] Prof. DR. KH.M. Quraish Syihab, loc.cit.

[10] Jurnal, hal.146

[11] Prof. DR. KH. M. Quraish Syihab, op.cit, hal. viii

Tidak ada komentar: