ME...

ME...
MUSCAT-OMAN 2005

Kamis, 03 Juli 2008

RADIKALISME DALAM ISLAM

A. Pendahuluan

Dalam sebuah penyergapan terhadap Noordin M. Top di salah satu tempat persembunyiannya di Semarang, polisi menemukan bukti penting berupa video rekaman pengakuan tiga pelaku pengeboman bunuh diri di Bali pada tanggal 1 Oktober lalu.[1] Dalam video itu, Mochamad Salik Firdaus, salah seorang pelaku bom bunuh diri di jimbaran Bali, menyatakan bahwa serangan bom bunuh diri itu dilakukan atas dasar keyakinan bahwa pelakunya akan masuk surga, “Kakakku serta istriku tersayang, insya Allah ketika dirimu melihat ini, insya Allah saya sudah berada dalam jannah (surga). Dalam al-Qur`an dan Hadis disebutkan bahwa ruh orang yang syahid itu berada dalam tembolok burung hijau yang terbang di dalam jannah.” Demikian ujar Salik.

Tidak lama waktu berselang, dalam operasi penggerebegan terhadap Dr. Azahari di Batu, ditemukan beberapa surat miliknya yang belum sempat dikirimkan untuk istrinya. Dalam salah satu suratnya, Dr. Azahari menulis, “Doakan abang mati syahid. Karena mati syahid adalah cara mati yang sempurna.”[2] Beberapa surat kabar mengutip ucapan Imam Samudera, terpidana mati kasus bom Bali I, yang menyatakan iri kepada Dr. Azahari yang mati tertembak saat penyerbuan polisi di kota Batu Malang pada tanggal 9 November 2005. Menurutnya, Dr. Azahari mati syahid dan sekarang ia telah masuk surga, sementara dia masih hidup di dunia ini.

Keyakinan bahwa serangan bom bunuh diri merupakan sebuah jihad juga yang dijadikan alasan utama tiga terpidana mati bom Bali I (Imam Samudera, Amrozy dan Ali Ghufron) menolak meminta Grasi. Dalam otobiografinya Imam Samudera menulis:

“Dengan memohon Grasi berarti menyesali perbuatan yang telah dilakukan. Menyesalinya berarti menyesali keyakinan. Berarti pula mengkhianati keyakinan itu sendiri, mengkhianati Islam. Nau’udzu billah min dzalik. Memohon Grasi berarti pula membenarkan hukum kafir. KUHP adalah jelas produk kafir. Mengakui ada “kebenaran” di luar Islam adalah sikap yang membatalkan syahadat. Tsumma nau’udzu billah min dzalik.”[3]

Ketiganya tidak merasa bersalah atas apa yang mereka perbuat, sekalipun kerugian yang ditimbulkan sangatlah besar termasuk jumlah korban meninggal. Mereka menganggap perbuatan mereka sebagai sebuah jihad yang bernilai ibadah. Dan anggapan ini memiliki justifikasi doktrin Agama berdasarkan beberapa ayat al-Qur`an dan Hadis, yang diinterpretasi secara parsial dan tekstual. Salah seorang terpidana perkara terorisme karena pernah menyembunyikan Azahari dari kejaran polisi menjelaskan alasan pengeboman yang dilakukan Azahari, “Bagi dia, operasi-operasi itu bagian dari jihad. Dan itu, bagi dia, ada pemahaman fikihnya. Bahwa jihad itu hukumnya fardhu kifayah. Seorang Amir, pimpinan sebuah negara, wajib melakukan operasi militer setahun sekali. Ini dapat dibaca dalam buku karangan Ibnu Nuhas, ulama abad ke-7 Hijriyah, Masari’ul Aswaq ‘ala Masyari’ul Isyaq.”[4]

Namun demikian, tidak sedikit orang menganggap kasus terorisme tidak semata dipicu oleh kekeliruan pemahaman ajaran agama. Karena seseorang yang fanatis dengan agamanya, belum tentu semerta-merta menjadi fundamentalis yang radikal. Cendekiawan agama seperti Gus Dur, Cak Nur, Frans Magnis Suseno mencontohkan kehidupan beragama yang harmonis dan penuh toleransi, serta sikap saling menghormati bekerja sama. Selain itu, keberagamaan bersifat abstrak dan konsekuensi ketaatan atau kedurhakaan terhadap ajaran agama tidak dapat dirasakan langsung oleh manusia. Orang kristen yang rajin mengikuti kebaktian di gereja tidaklah berbeda dengan orang kristen yang malas datang ke gereja. Demikian juga orang Muslim yang rajin melakukan shalat, tidaklah menampakkan perbedaan gejala-gejala sosial yang membedakannya dari muslim yang sering bermaksiat.

Lain halnya dengan faktor ekonomi, sosial dan politik yang secara langsung menyangkut hajat hidup manusia. Seseorang yang terputus mata pencarian dan sumber ekonominya, misalnya, akan langsung merasakan lapar akibat tidak mampu membeli makanan. Di waktu yang sama ia tidak dapat memenuhi hajat hidupnya dengan baik. Secara fisik, orang yang lapar akan terlihat berbeda dengan orang yang kenyang, sebagaimana orang yang kaya akan memiliki kesempatan yang berbeda dibanding orang miskin. Kebijakan politis yang dianggap merugikan juga bisa menimbulkan gejolak radikalisme dalam bentuk yang berbeda-beda. Misalnya kebijakan kenaikan BBM yang disambut dengan ramainya demonstrasi penolakan dari rakyat.

Dari sini timbul asumsi bahwa faktor ekonomi, sosial, dan politik adalah pemicu utama timbulnya radikalisme. Dan dalam konteks dunia Islam, perasaan tertekan akibat dominasi barat dalam semua sisi kehidupan, dan rasa inferioritas yang ada dalam diri kebanyakan kaum Muslimin di hadapan superioritas Barat, menumbuh kembangkan benih-benih radikalisme. Karena ketika dialog kebudayaan antara umat Islam dan barat dianggap telah gagal dan menemui kebuntuan. Maka upaya anarkis demi mempertahankan eksistensi diri menjadi pilihan sebagian kecil umat Islam.

Ada juga orang yang berasumsi bahwa radikalisme yang ada di Indonesia yang berujung pada aksi teror bom, dilakukan karena keputusasaan dari para pelakunya akibat depresi dan tekanan psikologis. Para pelaku bom bunuh diri dianggap sebagai orang-orang yang tidak memiliki “masa depan” dan kebahagiaan duniawi sehingga nekat memilih mengakhiri hidupnya agar dapat segera meninggal dunia dan segera masuk surga. Namun nampaknya anggapan ini kurang beralasan. Dalam otobiografinya, Imam Samudera mengisahkan dirinya yang selalu menjadi juara kelas, sempat menjadi siswa teladan se-kecamatan Serang,[5] dan pernah mendapatkan beasiswa prestasi.[6] Dr. Azahari juga bukan orang yang memiliki kehidupan buram. Ia adalah doktor statistik lulusan universitas Reading Inggris dan menjadi dosen di Universitas Teknologi Malaysia (UTM), Skudai, Johor. Bahkan ia pernah bekerja sebagai konsultan properti papan atas di Indonesia.[7]

Dengan membaca otobiografi Imam samudera, catatan-catatan Dr. Azahari, dan pengakuan-pengakuan pelaku bom lainnya, kita dapati bahwa aksi teror (jihad?) yang mereka lakukan merupakan pilihan hidup, bukan semata-mata pelarian dari kehidupan yang “tidak bermasa depan”.

Namun dengan melihat rekaman pengakuan para pelaku bom Bali II, serta buku dan propaganda yang digaungkan para pelaku teroris, anggapan di atas menjadi kurang relevan. Achmad Michdan dari Tim Pengacara Muslim (TPM), mengungkapkan bahwa sampai saat ini timnya meragukan bahwa musibah bom legian dilakukan oleh kelompok Imam Samudra, kecuali oleh suatu sebab sebuah pengakuan yang hanya dilandasi oleh semangat berjihad dan rasa militansi yang tinggi.[8] Pernyataan ini cukup beralasan karena pengungkapan fakta persidangan perkara Imam Samudra, pembuktian terhadap tindak pidana pelakunya relatif minim, dibandingkan dengan pengungkapan banyaknya jumlah korban dan meterial semata.

Nampak bahwa pemicu timbulnya kasus terorisme yang marak terjadi di Indonesia akhir-akhir ini, adalah radikalisme agama. Dan jika asumsi ini benar, maka kekeliruan intepretasi doktrin agama yang dilakukan secara literalis dan sempit merupakan faktor dominan pemicu timbulnya radikalisme di Indonesia. Bukan karena ajaran dan doktrin agama itu sendiri. Doktrin-doktrin agama yang dijadikan dalil dan landasan oleh para pelaku terorisme, lebih tepat disebut sebagai justifikasi psikologis bagi kejahatan terorisme yang sebenarnya ditolak dan dibenci oleh hati nurani mereka sendiri. Karena agama manapun memiliki ajaran universal berupa kasih sayang dan penghormatan terhadap sesama manusia.

Kemudian pelabelan radikalisme dan ekstrimisme kepada sebuah agama tertentu, Islam misalnya, merupakan hal yang tidak tepat. Karena fenomena terorisme yang dilakukan kaum fundamentalis terjadi dalam semua agama. Muladi mencontohkan kasus teror di Pakistan yang dilakukan oleh ekstrimis Hindu, sementara di Irlandia pelaku terornya adalah ekstrimis Kristen Katholik.[9]

Tulisan pendek ini mencoba memberikan analisa penyebab timbulnya radikalisme agama yang berujung kepada perilaku terorisme. Dan dalam konteks Indonesia dalam kurun waktu lima tahun terakhir ini, perilaku terorisme yang mengatasnamakan jihad.

B. Al-Qur’an dan Sunnah Sebagai Sumber Hukum Islam

Al-Qur`an, sebagaimana kitab-kitab suci lainnya, memuat ajaran dan nilai-nilai yang menjadi pedoman hidup penganutnya. Hal ini tertuang dalam firman-Nya: “(Yaitu) Bulan Ramadhan yang di dalamnya diturunkan al-Qur`an sebagai petunjuk bagi manusia, dan penjelasan mengenai petunjuk itu serta pembeda (antara yang haq dan yang bathil)” (QS. al-Baqarah/2:185).

Ajaran-ajaran yang ada dalam al-Qur`an memerlukan seseorang yang menjelaskannya dan memberikan teladan pelaksanaannya, sebagaimana dalam firman-Nya: “... Dan Kami turunkan kepadamu Al Qur'an, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan” (QS. al-Nahl/16:44).

Berdasarkan dua ayat di atas kita ketahui bahwa sumber hukum dalam agama Islam adalah firman-firman Allah, dan orang yang memiliki otoritas resmi untuk menafsirkan dan menjelaskan maksud-maksudnya adalah Rasulullah. Yang dimaksud dengan Firman Allah adalah al-Qur`an, sementara penjelasan dan penafsiran dari Rasulullah termaktubkan dalam Hadis. Dalam sebuah Hadis Rasulullah bersabda, “Sungguh aku telah tinggalkan bagi kalian dua perkara, di mana kalian tidak akan tersesat selamanya (dengan berpedoman kepada keduanya), yaitu Kitabullah (al-Qur`an) dan Sunnahku”. (HR. al-Hâkim dan al-Daruquthni)[10].

Firman Allah beserta penjelasan Rasul-nya terputus seiring dengan wafatnya Rasulullah. Padahal permasalahan umat manusia bertambah banyak dan semakin kompleks, sementara al-Qur`an dan Hadis tidak memberikan solusi atas semua permasalahan yang muncul pasca kemangkatan Rasulullah. Hal ini sudah diantisipasi Rasulullah saat mengutus Muadz bin Jabal ke Yaman untuk mengajarkan agama Islam dan memberikan keputusan atas perselisihan yang terjadi di negeri itu,

“Bagaimana caramu memutuskan perselisihan yang timbul di masyarakat” tanya Rasulullah kepada Mu’adz.

“Aku akan memberikan keputusan sesuai dengan hukum yang ada di dalam Kitabullah” jawab Mu’adz.

“Lalu jika engkau tidak mendapati solusinya di dalam Kitabullah?” tanggap Rasulullah.

“Aku akan memutuskan berdasarkan Sunnah Rasulullah”

“Dan semisal dirimu masih tidak mendapatkan solusinya dalam Sunnah Rasulullah?”.

“Aku akan berijtihad” jawab Mu’adz.

Rasulullah membenarkan tahapan dan cara yang digunakan Mu’adz guna menyelesaikan permasalahan yang terjadi di masyarakat. Seraya menepuk dada Mu’adz, beliau bersabda “Segala puji bagi Allah Yang telah memberikan taufiq kepada utusan Rasulullah sesuai dengan yang diridhai Rasulullah” (HR. Abu Dawud dan al-Tirmidzi).[11]

Dari sini dapat dipahami, bahwa selain al-Qur`an dan Hadis, Islam juga mengenal ijtihad ulama sebagai sumber hukum ketiga, yaitu ketika al-Qur`an dan Sunnah tidak memberikan jawaban dan solusi dari permasalahan yang ada. Dalam Surat al-Nisa` ayat 59 Allah berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”

Al-Qur`an dan Hadis berbahasa Arab yang dikenal memiliki beberapa karakteristik yang unik, misalnya kemungkinan setiap kata dan ungkapan dapat dipahami secara denotatif (hakiki) dan konotatif (majazi). Di waktu yang sama, satu kata terkadang memiliki lebih dari satu makna, dan satu ungkapan memiliki lebih dari satu intepretasi. Sementara ijtihad ulama (ulul amri) tidak dapat dipungkiri mengandung bias dan subyektivitas dari masing-masing mujtahid.

Dengan satu ayat tertentu, seseorang dapat memformulasikan sebuah hukum, sementara orang lain dengan menggunakan ayat yang sama dapat mengeluarkan hukum kebalikannya. Bahkan sebuah ayat yang secara gamblang menjelaskan sesuatu, dengan pendekatan ilmu yang berbeda-beda dapat memberikan penafsiran yang keluar dari konteks ayat. Misalnya ayat 40 surat al-Nahl yang artinya, Sesungguhnya firman Kami terhadap sesuatu apabila Kami menghendakinya, Kami hanya mengatakan baginya, “jadilah!”, maka jadilah sesuatu itu.”

Berkata al-Baihaqi:

“Allah menyatakan bahwa ketika menghendaki sesuatu, Dia berkata “Kun!”. Kalau perkataan (kalam)-Nya makhluk, pastilah ada ta’alluq (keterkaitan) dengan perkataan (“Kun!”) lain, demikian juga hukum perkataan itu, hingga tidak ada batasnya. Hal ini mengakibatkan kemustahilan adanya perkataan (al-qaul), dan ini mustahil terjadi“.[12]


Secara eksplisit, ayat di atas menerangkan ke-Maha Kuasaan Allah Ta’ala, yang mampu menciptakan apa saja yang dikehendaki-Nya dan kapan saja Dia kehendaki. Namun dengan penafsiran teologis, makna ayat menjadi dalil keqadiman al-Qur`an yang sudah tentu merupakan sebuah “pemaksaan”, karena penafsiran ayat ini sebagai dalil keqadiman al-Qur`an, tentu tidak diterima oleh orang-orang yang berkeyakinan bahwa al-Qur`an adalah makhluk (tidak qadim). Akibatnya, ayat ini justru menjadi bahan perdebatan di antara umat, bukan menjadi hidayah yang diamalkan seluruh umat.

Al-Qur`an dan Hadis diturunkan berdialog dengan kondisi masyarakat yang ada (musayarah al-hawadits). Keduanya ada untuk membentuk masyarakat dan individu masyarakat yang ideal. Perilaku menyimpang dan kejahatan-kejahatan dibenarkan dengan caranya yang khas dan unik. Perbudakan misalnya, Islam tidak menghendaki adanya perbudakan di muka bumi, karena kemerdekaan diri dan HAM merupakan hak yang dianugerahkan Tuhan untuk setiap manusia. Namun Islam turun dalam masa di mana perbudakan tersebar luas. Tidak hanya di kawasan Saudi Arabia, tetapi juga di kawasan lain. Dari sini menjadi aneh ketika al-Qur`an dan Hadis tidak memberikan aturan yang berkaitan dengan masalah perbudakan, kecuali jika keduanya memang tidak diturunkan untuk mengatur seluruh sendi kehidupan manusia. Namun demikian, al-Qur`an dan Hadis menghendaki perbudakan hilang di muka bumi, dan memberikan aturan-aturan yang mendukung upaya membebaskan manusia dari belenggu perbudakan, misalnya dengan menetapkan hukuman memerdekakan budak sebagai kaffarah (balasan) dari kesalahan atau kedurhakaan tertentu.

Demikian pula saat al-Qur`an diturunkan dan Hadis disabdakan, peperangan merupakan hal yang lumrah terjadi antar qabilah dan antar kerajaan/imperium (negara). Akan menjadi aneh jika al-Qur`an dan Hadis lalai memberikan aturan dan tata cara berperang.

Dari sini, menjadi sebuah kewajaran bila kita temui banyak ayat al-Qur`an dan Hadis yang mengatur peperangan. Setidaknya ada tiga surat dalam al-Qur`an (al-Anfâl, al-Maidah, dan Muhammad/al-Qital) yang memuat banyak aturan dan etika perang, demikian juga jihad. Hal ini menunjukkan betapa permasalahan peperangan dan jihad mendapat perhatian yang besar. bandingkan dengan permasalahan wudhu yang hanya terdapat dalam satu ayat (QS. al-Maidah/5:6).

C. Ayat Jihad dan Perang

Jihad yang merupakan kata serapan dari bahasa Arab, secara etimologis memiliki kisaran makna “mengerahkan segenap potensi diri untuk melakukan sesuatu”. Kata ini, dengan berbagai derivasinya, disebut sebanyak 41 kali dalam al-Qur`an yang kesemuanya berkonotasi peperangan. Namun demikian, jihad tidak selalu identik dengan peperangan, karena dalam istilah jihad juga diperkenalkan Rasulullah sebagai upaya mengendalikan hawa nafsu. Al-Qur`an dan Hadis lebih sering menyebut peperangan dengan al-Qital, al-Harb, al-Ma’rakah, dan al-Sariyah.

Dalam al-Qu`ran dan Hadis bertebaran keterangan yang menjelaskan keutamaan berjihad, etika berjihad, serta tujuan dan strategi jihad. Nampaknya ayat-ayat dan hadis-hadis inilah yang menjadi motivasi utama para pelaku bom bunuh diri di Indonesia. Seperti pada Surah al-Nisâ’/4:74 dan 76;

“Karena itu hendaklah orang-orang yang menukar kehidupan dunia dengan kehidupan akhirat berperang di jalan Allah. Barangsiapa yang berperang di jalan Allah, lalu gugur atau memperoleh kemenangan maka kelak akan Kami berikan kepadanya pahala yang besar.” (74)


“Orang-orang yang beriman berperang di jalan Allah, dan orang-orang yang kafir berperang di jalan thaghut, sebab itu perangilah kawan-kawan syaitan itu, karena sesungguhnya tipu daya syaitan itu adalah lemah.” (76)


Ayat 74 secara tegas menerangkan perintah untuk terjun ke medan perang, dan disediakan pahala yang besar nanti di akhirat. Sedangkan ayat 76 menerangkan perang seorang kafir adalah membela setan, sedangkan perang seorang muslim adalah menghancurkan setan-setan itu.

Selain kedua ayat di atas, pada Surah al-Anfâl/8: 39 juga diterangkan tentang perintah berperang melawan kaum kafir, dan ayat ini yang dijadikan oleh Imam Samudera dan kawan-kawannya sebagai dasar gerakannya. Yaitu;

“Dan perangilah mereka, supaya jangan ada fitnah dan supaya agama itu semata-mata untuk Allah. Jika mereka berhenti (dari kekafiran), maka sesungguhnya Allah Maha Melihat apa yang mereka kerjakan.”


Kata “fitnah” pada ayat di atas, diartikan Samudera –mengutip pendapat Ibn Katsîr- pertama, kemusyrikan; dan kedua, tidak mengakkan hukum Allah. Untuk mengeliminasi “fitnah” yang berupa dua hal itu, bagi Samudera, bukanlah dengan cara pemilihan umum ataupun dengan demokrasi. Tetapi satu-satunya jalan adalah jihad. Jihad yang dimaksud oleh Samudera adalah dengan pedang atau kekerasan.

Sayyid Quthb mengatakan bahwa jihad dalam arti peperangan merupakan kewajiban yang permanen, bukan insidental atau sementara waktu saja. Karena Islam membebaskan manusia dari penghambaan manusia lainnya. Islam menegakkan prinsip bahwa penghambaan hanya kepada Allah.

Ayat-ayat lain yang secara tegas menggunakan kata ‘perangilah’ (qâtilû) dalam bentuk perintah, yaitu;

“Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” (QS. al-Baqarah/2: 190)

“Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepada hari kemudian dan mereka tidak mengharamkan apa yang telah diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya dan tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah), (yaitu orang-orang) yang diberikan Al Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk.” (QS. al-Taubah/9: 29)

“Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah ialah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu, dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana merekapun memerangi kamu semuanya; dan ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa.” (QS. al-Taubah/9: 36)

Dari ketiga ayat di atas, dapat dikategorisasi menjadi tiga kelompok berdasarkan perintah yang dikandung pada masing-masing ayat. Yaitu pertama, mengandung perintah berperang hanya terhadap mereka yang menyerang umat Islam saja, seperti pada QS. Al-Baqarah/2: 190. beberapa ayat al-Qur’an yang mengandung perintah yang sama juga dapat ditemukan pada QS. al-Baqarah/2: 191 dan 194, dan QS. al-Nahl/16: 126.

Kedua, ayat-ayat yang mengandung perintah berperang terhadap orang-orang yang tidak beriman, seperti pada QS. al-Taubah/9: 12,14, 29, dan 73, al-Nisâ’/4: 75, 76, dan 84, al-Anfâl/8: 39, dan al-Maidah/5: 54.

Ketiga, ayat-ayat yang mengandung perintah memerangi kaum musyrik semuanya, seperti pada QS. al-Taubah/9: 5 dan 36.

Ibn Qayyim al-Jauziyah (1292-1350 M), seorang ulama klasik, dalam kitabnya mengatakan: “Pada mulanya perang itu dilarang, kemudian diizinkan, kemudian diperintahkan (perang) kepada orang-orang yang lebih dahulu memerangi, dan akhirnya diperintahkan memerangi kepada seluruh kaum musyrik.” Pendapat inilah yang sepertinya diikuti oleh Sayyid Quthb yang kemudian diamini oleh Imam Samudera dan kawan-kawannya.

Berbeda dengan pendapat al-Jauziyah, Muhammad Sa‘îd al-Asymawî, mantan Ketua Pengadilan Tinggi Kairo, Mesir, menyoroti ‘ayat-ayat pedang’ yang telah disebutkan di atas dari perspektif sejarah. Karena sebagian ayat-ayat di atas memiliki keterkaitan dengan kondisi masyarakat ketika ayat itu turun. Pada periode Mekah, menurut al-Asymawî, jihad lebih memiliki arti spiritual ketimbang fisikal. Jihad yang secara prinsip bermakna bersungguh-sungguh dan berjuan, memiliki arti tetap menjaga iman dan tetap sabar, menahan diri terhadap cercaan orang-orang musyrik Mekah. Seperti pada QS. al-Nahl/16: 126 –yang merupakan surah makkiyah- yang memberikan pilihan sabar sebagai solusi yang lebih baik ketimbang membalas serangan kaum musyrik.

Berikut adalah beberapa ayat al-Qur`an dan Hadis tersebut, yang tertulis dalam buku Aku Melawan Teroris karya Imam Samudra, dan situs www.anshar .net[13]:

I. Ayat-ayat al-Qur`an

Dalam al-Qur`an terdapat banyak ayat yang memotivasi kaum muslimin untuk berjihad, misalnya ayat 207 Surat al-Baqarah, “Dan di antara manusia ada orang yang mengorbankan dirinya karena mencari keridhaan Allah; dan Allah Maha Penyantun kepada hamba-hamba-Nya”, dan ayat al-Ankabut ayat 69, “Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan Kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik”. Jihad yang dipahami sebagai sebuah perang ofensif dinyatakan sebagai sebuah kewajiban yang mengikat setiap individu kaum muslimin (QS. al-Baqarah/2:216, al-Nisa`/4:84, al-Anfal/8:39) dengan janji balasan berupa surga dan atau kemenangan (QS. Alu Imran/3:142, al-Nisa`/4:74). Lebih dari pada itu, kesediaan berjihad merupakan ciri kaum beriman (QS. al-Maidah/5:54, dan al-Taubah/9:111), dan keengganan berjihad merupakan ciri kefasikan (QS. al-Taubah/9:24, 38,dan 39)

Di waktu yang sama, al-Qur`an juga mengabadikan permusuhan yang ada di antara umat Islam dengan kaum nashrani dan Yahudi, misalnya ayat 120 Surat al-Baqarah, “Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah: "Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang benar)". Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu.

Penjelasan akan adanya permusuhan abadi antara kaum Muslimin dangan kaum kafir ini, dilanjutkan dengan perintah memerangi kaum kafir yang terlebih dahulu menyerang kaum muslimin. Hal ini secara eksplisit dinyatakan dalam Surat al-Baqarah/2:190,“Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas”. Perintah senada terulang dalam Surat al-Baqarah/2:191, dan 194, al-Taubah/9:5, 12,14,29,36,dan 73.

II. Hadis

Motivasi dan perintah berperang atas nama jihad juga mendapatkan legitimasi dari Hadis.

a. Motivasi Jihad

1. Saat Rasulullah saw. ditanya tentang amal apa yang paling utama, beliau menjawab, “Iman kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian jihad fi sabilillah, lalu haji yang mabrur.” (HR. Muttafaq ‘Alaih dari Abu Hurairah)

2. Rasulullah bersabda, “Perumpamaan orang yang berjihad fi sabilillah, seperti orang yang berpuasa di siang hari dan beribadah di malam hari melaksanakan shalat dan membaca al-Qur’an. Ia senantiasa berpuasa dan beribadah, sampai orang yang berjihad itu pulang.” (HR. Muslim dari Abu Hurairah)

3. Rasulullah bersabda, “Keluar di pagi hari atau siang hari (untuk berjihad) fi sabilillah adalah lebih baik dari pada dunia dan seluruh isinya.” (Muttafaq ‘Alaih dari Anas bin Malik)

4. Rasulullah bersabda, “Demi (Allah) Dzat Yang menggenggam jiwaku, sungguh aku ingin terbunuh (dalam berjihad) fi sabilillah, kemudian aku dihidupkan, lalu aku terbunuh lagi, lalu dihidupkan lagi, lalu terbunuh lagi, lalu dihidupkan lagi, lalu terbunuh lagi.” (HR. Al-Bikhari dari Abu Hurairah)

5. Rasulullah bersabda, “Demi (Allah) Dzat Yang menggenggam jiwaku, tiada seseorang terluka (dalam jihad) fi sabilillah, dan Allah Maha Tahu siapa yang terluka dalam jihad fi sabilillah, kecuali ia datang pada hari kiamat, tubuhnya berwarna merah seperti darah dan aroma tubuhnya seperti minyak misk.” (HR. Muttafaq ‘Alaih dari Abu Hurairah)

6. Ummu Haritsah binti Saraqah menanyakan kabar anaknya yang bernama Haritsah yang wafat terkena panah nyasar kepada Rasulullah saw., “Kalau dia sekarang berada di surga, aku akan bersabar,” ungkapnya. “Dan kalau dia sekarang tidak di surga, maka aku akan meratapinya.” Rasulullah menjawab, “Ya Ummu Haritsah, putramu sekarang berada di surga firdaus yang tertinggi.” (HR. Al-Bukhari)

7. Rasulullah bersabda, “Ketahuilah, bahwa surga berada di bawah bayangan pedang” (HR. al-Bukhari dan Muslim dari Abdullah bin Abu Aufa)

8. Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya ada seratus derajat yang disediakan oleh Allah bagi orang-orang yang berjihad fi sabilillah, di mana jarak antara satu derajat dengan lainnya sejauh langit dan bumi.”(HR. al-Bukhari dari Abu Hurairah)

9. Rasulullah bersabda, “Telapak kaki yang terkena debu fi sabilillah tidak akan tersentuh api neraka.” (HR. Al-Bukhari)

10. Rasulullah bersabda, “Siapa yang mati belum sempat berperang, atau berniat untuk berperang, maka dia mati dalam keadaan munafiq.” (HR. Muslim dari Abu Hurairah)

11. Rasulullah bersabda, “Dua jenis mata yang tidak akan tersentuh neraka; Mata yang menangis karena takut kepada Allah dan mata yang terjaga fi sabilillah.” (HR. Al-Tirmidzi dari Ibn ‘Abbas)

b. Perintah Memerangi Orang Kafir

1. Rasulullah bersabda, Berperanglah di jalan Allah, perangilah mereka yang kafir kepada Allah, janganlah kalian melampaui batas, janganlah mencacah-cacah mayat, janganlah membunuh orang tua dan biarawan.” (HR. Muslim dari Buraidah)

2. Rasulullah bersabda, “Aku diutus menjelang hari kiamat dengan pedang sehingga hanya Allah yang diibadahi, tidak ada syirik (sekutu) bagi-Nya.” (Sahih Bukhari-Muslim, Imam Ahmad dari Abdullah bin Umar)

3. Rasulullah bersabda, “Aku diperintahkan untuk memerangi manusia sehingga mereka bersaksi bahwasanya tiada tuhan selain Allah dan bahwasanya Muhammad Rasul Allah, dan mereka mendirikan shalat serta menunaikan zakat.” (HR. Muttafaq ‘Alaih dari Ibn Umar)

Tafsir “Ayat Pedang”

Dalam otobiografi Aku Melawan Teroris, Imam Samudra menyebutkan empat marhalah (tahapan) jihad:[14]

a. Tahapan Menahan Diri

Dalam marhalah ini, jihad belum disyariatkan. Kaum muslimin diperintahkan untuk bersabar dalam menahan diri dari segala macam ujian, celaan, serangan, dan penindasan kaum kafir. Jihad di sini dipahami sebagai upaya menahan diri. Marhalah ini disebut masa kaff al-yad (menahan tangan dari membalas). Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya aku diperintahkan untuk memaafkan, maka janganlah kalian memerangi kaum itu.” (HR. Ibn Abi Hatim dari Ibn ‘Abbas)

Peristiwa penyiksaan yang paling kejam dan populer yang menimpa kaum muslimin ketika itu, antara lain dialami oleh Bilal bin Rabah dan keluarga Yasir. Di bawah sengatan matahari gurun yang ganas, Bilal disiksa oleh majikannya yang bernama Umayyah bin Khalaf. Sedangkan keluarga Yasir (‘Ammar, Yasir, dan Sumayyah) disiksa oleh kaum musyrikin Quraisy. Rasulullah bersabda kepada keluarga Yasir, “Bersabarlah wahai keluarga Yasir! Sesungguhnya tempat kembali kalian adalah surga.” (HR. Ahmad, al-Thabrani, al-Hakim, dan al-Baihaqi)

b. Tahapan Diijinkan Berperang

Siksaan dan intimidasi yang dilakukan oleh kaum kafir Quraisy semakin menjadi-jadi. Kaum muslimin bahkan harus berhijrah meninggalkan rumah dan hartanya untuk menyelamatkan diri. Tidak lama waktu berselang, turunlah ayat 39-40 surat al-Hajj, “Telah diijinkan berperang bagi orang-orang yang diperangi. Karena mereka sungguh telah dianiaya. Dan sesungguhnya Allah Maha Kuasa untuk menolong mereka. (yaitu) Orang-orang yang telah diusir dari kampung halaman mereka tanpa alasan yang benar kecuali karena mereka berkata: “Tuhan kami hanyalah Allah.”

Imam Mujahid dan al-Dhahhaq mengatakan bahwa ayat di atas merupakan ayat pertama yang berbicara tentang jihad.

Pada tahapan ini, kaum muslimin diizinkan berperang secara terbatas. Belum ada perintah wajib berperang. Artinya mereka dibolehkan dan dipersilahkan berperang jika mereka mau.

c. Tahapan Diwajibkan Berperang Secara Terbatas

Pada tahap ini, jiwa-jiwa diwajibkan memerangi kaum kafir yang memerangi mereka. Sedangkan kaum kafir yang tidak memerangi kaum muslimin tetap dibiarkan tetap diperangi. “Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu. Dan janganlah berlebihan, sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” (QS. Al-Baqarah: 190)

Kewajiban ini dipertegas lagi dengan ayat 216 surat al-Baqarah: “Diwajibkan atas kamu berperang padahal berperang adalah sesuatu yang kamu benci…”

d. Kewajiban Memerangi Seluruh Kaum Kafir

Dalam surat al-taubah ayat 29 disebutkan, “Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (beriman pula) kepada hari kemudian, dan mereka tidak mengharamkan apa yang telah diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya, mereka tidak beragama dengan agama yang benar (Islam). (yaitu orang-orang) yang diberikan Al-Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam keadaan rendah.”

Imam Samudra tidak menafikan ayat-ayat ‘toleransi beragama,’ seperti ayat 109 surat al-Baqarah, “Maka maafkanlah dan biarkanlah mereka sampai Allah mendatangkan perintah-Nya.” namun ayat-ayat toleransi ini dieliminasi (mansukh) oleh ‘ayat pedang,’ yang dalam versinya adalah ayat 5 dan 29 surat al-Taubah.

Dengan turunnya ‘ayat pedang’ ini, segala perjanjian yang pernah ada antara Rasulullah dengan kaum musyrik dihapuskan. Pada periode ini seluruh kaum musyrikin diperangi, kecuali jika mereka bertaubat masuk Islam, mendirikan shalat, dan membayar zakat, “Aku diperintahkan untuk memerangi manusia sehingga mereka bersaksi bahwasanya tiada tuhan selain Allah dan bahwasanya Muhammad Rasul Allah, dan mereka mendirikan shalat serta menunaikan zakat.” (HR. Muttafaq ‘Alaih dari Ibn Umar).

Dalam Surat al-Taubah ayat 36 disebutkan, “Dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana mereka memerangi kamu semuanya, dan ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa.” Peperangan ini dibenarkan hingga tidak ada lagi kemusyrikan dan kekafiran, “Dan perangilah mereka sehingga tidak ada lagi fitnah, dan supaya agama itu semata-mata agama Allah.” (QS. al-Anfal: 39)

Dalam sebuah Hadis Rasulullah bersabda, “Aku diutus menjelang hari kiamat dengan pedang sehingga hanya Allah saja yang diibadahi dan tidak ada sekutu bagi-Nya. Dan dijadikan rizkiku di bawah bayangan tombak, dan dijadikan kehinaan dan kerendahan atas orang yang menyalahi perintahku. Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk kaum itu.” (HR. Ahmad dari Ibn Umar)

Imam Samudra juga mengkritik seorang dai nasional terkenal yang disebut-sebut orang sebagai dai sukses dan dapat merebut hati umat Islam dan kaum kafir. Dai ini berdakwah dengan penuh ‘hikmah’ dan diterima oleh seluruh kalangan sehingga menjadi rahmatan lil ‘alamin. Menurut Imam Samudra, pemahaman semacam ini lumrah dan telah sekian lama mengendap di benak banyak kaum muslimin. Dalam persepsi mereka, akhlak karimah adalah mengalah, berbicara lemah lembut, tidak menyinggung perasaan orang lain, diam saja saat dicekik dan dilempari kotoran unta, bertoleransi dengan orang kafir dalam hal apapun termasuk dalam masalah ibadah dan akidah.

Menurut Imam Samudra, pemahaman ini tidak tepat. Ia mengutip Hadis di mana Rasulullah pernah melaknati kaum kafir yang melukainya di perang Uhud. Rasul juga pernah melakukan qunut nazilah untuk mengutuk kaum kafir yang sangat keji kepada kaum muslimin.

Membiarkan Bait al-Maqdis dan al-Haramain (kota Mekkah dan Madinah) dalam cengkraman Zionis dan Salibis bukanlah hikmah apalagi rahmatan lil ‘alamin. Membiarkan ribuan muslimah diperkosa kaum kaum kafir serta bayi-bayi muslim dibantai bukanlah rahmatan lil ‘alamin. Ketidakpedulian atas itu semua justru adalah sebuah pengkhianatan. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh al-Mundziri disebutkan: ”Orang yang tidak peduli terhadap urusan kaum muslimin, maka ia tidak termasuk golongan muslim.”

Islam cinta damai, namun bukan berarti Islam membolehkan kaum muslimin dianiaya dan disakiti.

Adanya klaim naskh ‘ayat pedang’ atas ‘ayat-ayat merpati,’ sebenarnya bukan pendapat pribadi Imam Samudra. Hampir seluruh ahli tafsir menyatakan demikian. Al-Suyuthi mengutip pendapat Ibn al-‘Arabi bahwa seluruh ayat toleransi terhadap orang kafir dinaskh oleh ayat pedang ini. Jumlah ayat-ayat yang dinaskh itu ada 124 ayat,[15] yang dalam penghitungan Muhammad al-Kilabi al-Andalusi jumlahnya 114.[16]

Nampaknya, kajian parsial terhadap ayat-ayat al-Qur`an dengan memperdalam ayat-ayat jihad telah memicingkan pandangan dan penafsiran Imam Samudra atas ayat-ayat merpati, yang dia akui sendiri keberadaannya.

Seharusnya ia mau memperhatikan penafsiran yang dilakukan Rasulullah atas ayat-ayat pedang dan ayat-ayat merpati. Tafsiran ini tergambarkan dalam sikap dan perilaku Rasulullah terhadap kaum kafir.

Sebagai orang yang paling memahami al-Quran, Rasulullah tidak semerta-merta membunuh seluruh yahudi yang hidup dan tinggal di kota Madinah dan kota-kota sekitarnya, beliau justru bergaul dan berinteraksi baik dengan mereka. Demikian juga dengan nashrani Najran, bahkan terhadap kaum Majusi yang hidup di daerah Hajar, beliau tidak memerangi mereka, tetapi hanya memungut upeti dari mereka[17]

Adapun pemahaman Hadis yang diriwayatkan oleh Sahabat Ibn Umar, bahwa Rasulullah diperintahkan untuk memerangi semua orang hingga mereka masuk Islam, maka harus dipahami secara kontekstual. Bahwa Rasulullah tidak semerta-merta memerangi orang kafir tanpa alasan, adalah bukti bahwa Hadis tersebut harus dimaknai sebagai perintah perang terhadap mereka yang enggan menyatakan keislaman dan tidak membayar upeti, serta merongrong kedamaian kaum muslimin, atau bahwa ayat dan Hadis tersebut, berkaitan dengan situasi perang, bukan dalam keadaan damai.

Masih dalam rangka 'memaknai' Hadis riwayat Sahabat Ibn Umar, Khalifah Abu Bakar memerangi orang-orang Islam yang membangkang dan enggan membayar zakat, padahal mereka sudah mengucapkan La ilaaha illa Allah.[18].

Sikap dan perilaku kau muslimin terhadap non muslim, harus proporsional. Artinya kita akan memerangi mereka tanpa jerih dan takut, ketika mereka memerangi kita. Dan ketika mereka berlaku baik, maka kita pun dituntut untuk berbuat baik. Allah Ta'ala berfirman, Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangi kamu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. Dan barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka itulah orang-orang yang zalim. (QS. al-Mumtahanah ayat 8-9).

Dalam sebuah Hadis, Rasulullah bersabda, Siapa yang membunuh orang kafir mu'ahad (yaitu kafir dzimmi yang telah mendapatkan perlindungan dari pemerintah), maka ia tidak dapat mencium aroma surga, dan aroma surga itu dapat dihirup dari jarak perjalanan selama empat puluh tahun.” (HR. al-Bukhari)

Keterangan-keterangan di atas, menjelaskan kepada kita tentang kebolehan umat Islam berinteraksi atau ber-mu'amalah dengan non muslim, selama mereka bersikap kooperatif dan tidak mengganggu kaum muslimin.

Kaum Muslimin memang harus merasa prihatin dengan kezaliman yang menimpa saudara-saudaranya di banyak tempat. Namun berperang dengan dorongan hawa nafsu dan dendam bukan merupakan ajaran Agama. Saat Ali bin Abu Thalib berhasil memojokkan seorang kafir dalam sebuah pertempuran, di mana dia sudah mampu mendesaknya, Ali batal membunuhnya akibat orang kafir itu meludahinya. Hal itu dia lakukan karena dia tidak ingin peperangan dan pertempuran yang dilakukannya berdasarkan dendam dan hawa nafsu, melainkan karena dorongan Agama. Ali bisa saja melanjutkan keinginannya untuk membunuh, namun ia takut perbuatannya itu berangkat dari kemarahan pribadinya.

Ada juga pihak yang secara radikal menghendaki syariah jihad dihilangkan dari Ajaran Islam, karena jihad berpotensi menimbulkan radikalisme yang berujung kepada perilaku terorisme. Hal ini tentu bukan sebuah usulan yang bijak. Karena pensyariatan jihad ada dalam al-Qur`an dan Hadis. Justru yang lebih mendesak untuk dilakukan adalah upaya menyosialisasikan pemahaman jihad yang sebenarnya. Sehingga tidak dipahami secara keliru dan ekstrim.

Mereka yang melakukan kegiatan terorisme, sebagaimana faksi-faksi sempalan lain yang melakukan kejahatan dan penyelewengan atas nama Agama, memang menggunakan ayat-ayat al-Qur`an serta Hadis Rasulullah sebagai legitimasi kejahatan yang mereka lakukan. Namun bukan berarti mereka melakukan “hal yang benar”, karena ayat-ayat dan Hadis yang mereka gunakan memang valid, hanya saja penafsiran atasnya berpotensi salah. Kondisi ini pernah diprediksikan Ali bin Abu Thalib lewat perkataannya, “kalimah al-haqq wa urid bi ha al-bathil” (kalimat haq yang digunakan sebagai legitimasi atas kebatilan). Wallah A’lam.



[1] Dikutip dari koran Warta Kota, edisi Sabtu 12 November 2005, hal 15.

[2] Dikutip dari majalah GATRA, No. 02, tahun XII 26 november 2005, hal. 33

[3] Dikutip dari Imam Samudera, Aku Melawan Teroris!, (Solo: Jazera, 2004), h. 199.

[4] Dikutip dari majalah GATRA, No. 01 tahun XII tanggal 19 November 2005, hal. 28.

[5] Samudra, Aku, hal. 26.

[6] Samudra, Aku, hal. 42.

[7] Keterangan ini disarikan dari Majalah TEMPO, Edisi 14-20 November 2005, h. 29.

[8] Samudra, Aku, hal. 7.

[9] Dikutip dari majalah FORUM, No. 29 tanggal 20 November 2005, hal. 25

[10] Muhammad bin Abdullah al-Hakim, Mustadrak ‘ala al-Shahihain, (Beirut: Dar al-Kutub al-’Ilmiah, 1990), cet. I, vol II, hal. 172; Ali bin Umar al-Daruquthni, Sunan al-Daruquthni, (Beirut: Dar al-Makrifah, 1966), vol. IV, hal. 245

[11] Sulaiman bin al-Asy’ats al-Sijistani, Sunan Abu Dawud, (Beirut: Dar al-Fikr, t.th.), vol. III, hal. 303; Muhammad bin Isa al-Tirmidzi, Sunan al-Tirmidzi, (Beirut: Dar Ihya` al-Turats al-‘Arabi), tth., vol. 3, hal. 606

[12] Abu Bakar bin al-Husain al-Baihaqi, al-Asma` wa al-Shifat, (Kairo: Dar al-Hadis, 2002), hal. 254-255.

[13] Situs ini sekarang sudah tidak bisa diakses. Menurut majalah GATRA situs ini merupakan situs resmi milik komplotan terorisme di Indonesia. Situs ini dirancang oleh Abdul Aziz, 30 th. Dan lihat pula Majalah GATRA, no. 02 tahun XII, 26 November 2005, hal. 24.

Situs ini ternyata teregistrasi di inggris, terdaftar atas nama Max Fiderman dan sudah dibayar lunas selama lima tahun. Pakar telematika Roy Suryo mengatakan bahwa pembuatan situs ini dilakukan pada 31 Agustus 2005 di Bolton London pada pukul 16.03 waktu London atau pukul 09.00 WIB. Menurutnya, ada beberapa kemungkinan pembuatan situs ini: Pertama, bisa jadi situs itu memang benar dibuat oleh jaringan teroris ini; Kedua, dibuat oleh simpatisan; dan Ketiga oleh pihak lain yang ingin mendiskreditkan teroris. Lebih jelasnya tentang seluk beluk pembuatan situs ini baca Warta Kota, Minggu 20 November 2005, hal. 1 dan 15.

[14] Samudra, Aku, hal. 125-134.

[15] Al-Suyuthi, ai-Itqan fi ‘Ulum al-Qur`an, (Beirut: Dar al-Fikr, 1951), II/24.

[16] Muhammad al-Andalusi, Kitab al-Tashil li Ulum al-Tanzil, (Beirut: Dar al-Fikr), tth, I/11. saat dilakukan penghitungan ulang, ternyata jumlah ayat mansukhah yang disebutkan secara terperinci oleh Muhammad al-Andalusi tersebut, bukan seratus empat belas, melainkan hanya seratus enam, yang terdapat dalam lima puluh satu surat dalam Alquran. Kajian ini secara lengkap dibahas oleh Andi Rahman dalam skripsinya, al-Muqaranah Baina Manhaj al-Naskh wa Manhaj al-Jam’ fi Fahm al-Ayat al-Muta’aridh Zhahiruha, (Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah, 2004), hal. 64-67

[17] al-Imam al-Bukhari, Op. Cit., jilid III, hal. 1151, bahwa Abdurrahman bin Auf bersaksi, sesungguhnya Rasulullah menarik upeti (jizyah) dari kaum majusi Hajar.

[18] Padahal menurut Hadis Ibn Umar tersebut, mereka yang telah mengucapkan laa ilaaha illallaah tidak boleh dibunuh. Dan ternyata setelah mengalami perdebatan antara khalifah dan beberapa sahabat seperti Sahabat Umar bin al-Khathab, perang terhadap 'pembangkang zakat' tersebut terjadi juga, dengan landasan dekrit dari khalifah yang kemudian didukung oleh seluruh sahabat.


(TULISAN TELAH DITERBITKAN DALAM BUKU AGAMA DAN RADIKALISME DI INDONESIA, 2007, PENULIS ADALAH ANDI RAHMAN, JAUHAR AZIZY DAN ADIB)

1 komentar:

Laola B.Wawa mengatakan...

mkasih ya....
udah bantu tugas kuliah..
hehehe...

kereeeeeeeen...