ME...

ME...
MUSCAT-OMAN 2005

Kamis, 31 Juli 2008

UNIVERSALITAS PUASA

“Wahai orang-orang yang beriman, telah diwajibkan atas kalian berpuasa

seperti halnya (puasa) telah diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian,

agar kalian bertaqwa”

(QS. al-Baqarah 2:183)

Puasa bukan aktivitas atau ritual keagamaan yang menjadi milik pribadi umat Islam. Hal ini kita ketahui dari catatan sejarah, bahwa praktek puasa telah dilakukan umat manusia di berbagai tempat dan di tiap kurun waktu mereka, bahkan jauh sebelum Islam dikumandangkan oleh Nabi Muhammad Shallalahu ’alaihi wa Sallam dan menyebar di penjuru dunia.

Puasa yang dilakukan manusia memang kebanyakan didasari alasan keagamaan (pure rituality). Namun demikian, tidak jarang puasa juga dilakukan bukan atas dasar dorongan keagamaan (non pure rituality). Hal ini dipahami dari redaksi pasif yang digunakan Allah Ta’ala dalam menyatakan perintah pelaksanaan puasa seperti yang tercantum dalam surat al-Baqarah ayat 183, “Wahai orang-orang yang beriman, telah diwajibkan atas kalian berpuasa seperti halnya (puasa) telah diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian, agar kalian bertaqwa”

Redaksi pasif yang digunakan al-Quran, 'telah diwajibkan atas kalian'—tanpa menyebutkan secara eksplisit siapa yang mewajibkan—memiliki kesan bahwa perintah puasa bisa jadi berasal dari Tuhan, sehingga pelaksanaannya merupakan sebuah ibadah. Dan di waktu yang sama dapat dipahami juga bahwa yang mewajibkan puasa bukan Tuhan, melainkan bisa jadi yang mewajibkannya adalah diri pribadi seseorang, atau tradisi yang terlembagakan oleh sebuah komunitas dan wajib dilaksanakan oleh masyarakatnya, atau bahkan sebuah bentuk aktivitas yang didasari alasan tertentu yang tidak berkaitan dengan diri pribadi dan tuntutan tradisi, misalnya alasan ekonomis, medis dan politis.

Dalam keseharian kita temui orang-orang yang melakukan puasa karena alasan ekonomis, untuk mengirit anggaran belanja misalnya. Juga terapi puasa yang diterapkan dokter kepada pasiennya, baik puasa dalam arti tidak mengkonsumsi makanan dan minuman sama sekali dalam rentan waktu tertentu, atau tidak mengkonsumsi makanan dan minuman tertentu selama terapi medis dilaksanakan.

Dalam Encyclopedia Americana (American Corp. 1974) pada vol. XI halaman 42-43 disebutkan bahwa di Irlandia, dahulu kala, tiap-tiap pelanggar hukum yang telah dinyatakan bersalah oleh pengadilan akan dikenai hukuman puasa yang dikenal sebagai Black Fast (atau Santa Trinian’s) sesuai dengan berat-ringannya kejahatan yang dilakukan. Pada tahun 1375, wanita pembunuh yang bernama Cecilia De Ridgeway diampuni dan dibebaskan dari hukuman oleh Edward III (raja Inggris) setelah ia mampu bertahan hidup dengan berpuasa selama 20 hari. Puasa juga dapat bernuansa politis dan dan digunakan sebagai media penggalang massa agar bersimpati dan mendukung sebuah propaganda, seperti yang dilakukan oleh Terence Mc Swiney dari Inggris dan Mahatma Gandi dari India serta beberapa pemimpin lainnya.

Masih dari Encyclopedia Americana, dinyatakan bahwa masyarakat primitif suku Teita di Afrika Timur melakukan puasa sebagai pendahuluan atas pelaksanaan pernikahan. Hal serupa juga dilakukan oleh suku Macuai di Guyana, suku Tlingit di Alaska, dan suku Santals di Bengal. Wanita-wanita di pulau Bar-bar berpuasa selama suami mereka berada di medan pertempuran, sebagai wujud dukungan dan solidaritas terhadap perjuangan para suami, serta permohonan agar mereka dapat kembali dengan selamat dan memperoleh kemenangan. Di Jerman, masih banyak orang melakukan puasa bila ada badai yang mengancam.

Sementara dalam Encyclopedia Britanica disebutkan bahwa hampir semua agama, aliran filsafat, bijak bestari dan kepercayaan yang ada di dunia ini sejak dahulu hingga kini, menganjurkan dan menjadikan puasa sebagai salah satu syariat, kecuali Kun fu Tse dan Zoroaster (Zuruthusta). Namun kalau kita teliti lebih jauh, ternyata Zoroaster pun mewajibkan puasa walaupun hanya kepada para pendetanya, paling sedikit satu hari dalam lima tahun. Dr. Alwi Syihab dalam buku Islam Inklusif (1999) menjelaskan bahwa sebenarnya Kun Fu Tse juga memiliki ‘syariat’ puasa sebagai persiapan dalam melakukan penyembahan kepada nenek moyang. Disebutkan juga bahwa tradisi kepercayaan klasik di Cina, yaitu Chai (ritual puasa pisik) yang kemudian dimodifikasi dengan aliran Taoisme menjadi Hsin Chai (puasa jiwa) merupakan sebuah anjuran khusus.

Masih menurut Dr. Alwi Syihab, dinyatakan bahwa aliran Filsafat Yunani kuno, Phytagorean, berpendapat bahwa puasa adalah salah satu jalan untuk meraih kembali sifat dasar kesempurnaan primordial manusia. Pemuka agama dalam tradisi Mesir kuno juga melakukan puasa setiap kali akan memahami pesan-pesan Tuhannya, setidaknya menurut mereka, puasa dapat mempertajam fungsi indera dan menjernihkan rasio sehingga tabir kebenaran mudah tersingkap.

Puasa bagi pemuka agama Hindu merupakan kelaziman, khususnya pada saat mempersiapkan diri untuk memasuki upacara dan perayaan keagamaan. Agama Budha tidak ketinggalan, walau Siddarta Ghautama menganjurkan moderasi dalam melaksanakan ritual ibadah, khususnya dalam pelaksanaan puasa, namun tidak sedikit biarawan dan biarawati penganut Buddhisme yang melakukan praktik puasa pada hari-hari biasa (hanya makan sekali dalam satu hari). Bahkan masa sekarang banyak penganut agama Budha yang melakukan puasa empat kali sebulan, yakni saat mereka melakukan introspeksi atas pelanggaran dan dosa yang dilakukan.

Kristen dan Yahudi—yang merupakan agama semitik serumpun dengan Islam, yang pertama diproklamasikan oleh patriarkh Nabi Ibrahim ‘alaihi as-Salam—juga mencanangkan puasa sebagai barometer standart kualitas keagamaan pemeluknya.

Dalam Ensiklopedia Nasional Indonesia vol. XIII halaman 432 dinyatakan bahwa bagi orang Kristen, praktek puasa mendapatkan otoritas dari teladan dan ajaran Yesus sendiri. Kristen Katolik Roma misalnya, mewajibkan penganutnya berpuasa selama 40 hari dimulai hari Rabu (Ash Wednesday) sampai Jumat Suci (Easter) untuk memperingati meninggalnya Yesus Kristus.

Gereja-gereja reformasi yang umumnya tidak melaksanakan puasa dan menolak manfaat puasa, belakangan ini menggalakkan puasa dan menjadikannya sebagai ritual. Bahkan menurut Hukum Universal Gereja; puasa dilakukan/diperintahkan tiap hari Minggu, namun ini kiranya kurang mendapatkan perhatian. Gereja Yunani kuno bahkan mengenal 266 hari berpuasa tiap tahunnya. Namun demikian, ritual puasa yang didogmakan Kristen tidak sama, hal ini disesuaikan dengan peraturan yang dikeluarkan tiap-tiap keuskupan. Dalam Matius (4:2) diterangkan bahwa Yesus berpuasa selama 40 hari 40 malam sehingga perutnya terasa lapar, hal senada juga terdapat dalam Markus (2:18-22).

Puasa—sebagaimana yang dipahami kaum sebagian kristiani—yang dilakukan Yesus setelah pembaptisan-Nya ini, menjadi model dan ajaran tentang puasa dalam arti Kristen. Yesus menekankan bahwa puasa harus dilakukan demi kemulyaan Tuhan, bukan untuk dilihat agar mendapatkan perhatian atau pujian dari manusia. Dari sini puasa harus dilakukan dengan orientasi keagamaan (pure ritual oriented) dan dilakukan secara diam-diam, supaya hanya Tuhan Yang Mengetahui dan Membalasnya (Matius 4: 6,16-18). Waktu Yesus ditanya tentang puasa, Ia berkata bahwa pengikut-pengikutnya akan berpuasa setelah Ia meninggalkan mereka (Matius 4:9, 14-15), dan ini merupakan dasar bagi pelaksanaan puasa di Gereja Perdana (Kis 13,3:14,23)

Agama Yahudi juga memiliki ritual puasa, yaitu tiap tanggal 10 Penanggalan Tishri yang dikenal dengan the Great Fast of Atonement. Selain itu mereka juga mengenal 4 hari puasa dalam setahun. (silahkan baca, Injil: Zakariya 8:19, Exodus 34:28, Samuel 31:131 dan Jeremiyah 36:9).

Dalam beberapa Hadis diterangkan bahwa ritual puasa yang paling baik adalah puasa yang dilaksanakan oleh Nabi Dawud, yaitu puasa selang-seling, sehari puasa dan sehari berbuka (tidak berpuasa).

Berdasar pada sekilas penomena yang disebutkan di atas, dapatlah kita sadari amaliyah puasa sedemikian baiknya dan Rasionable hingga diakui dan diterapkan umat manusia di setiap kurun waktunya dengan berbagai alasan, latar belakang agama dan kondisi sosial serta orientasi yang berbeda.

Puasa Dalam Islam

Islam menyatakan bahwa puasa—sebagaimana ibadah yang lain—dilakukan semata untuk mencari keridhaan Allah Ta’ala, yang dalam al-Qur`an Surah al-Baqarah 2:183, tujuan mulia itu adalah ketaqwaan. Ini artinya puasa yang dilaksanakan dalam Islam merupakan sebuah aktivitas yang berorientasi ibadah.

Islam menetapkan beberapa rukun dalam melaksanakan ibadah puasa, sehingga ada keseragaman pelaksanaan puasa yang dilakukan umat Muslim, di manapun dan kapanpun. Islam juga menetapkan beberapa persyaratan dan kriteria dalam pelaksanaan puasa, dan mengklasifikasikannya dalam beberapa jenis hukum (wajib, sunah, mubah, makruh, dan haram) dengan mempertimbangkan hak Allah Ta’ala sebagai Tuhan, dan hak manusia (jasmani dan rohaninya) yang melaksanakan puasa tersebut, serta hak orang lain dan lingkungannya yang secara langsung maupun tidak langsung terkena imbas pelaksanaan puasanya.

Puasa yang dikenalkan oleh Islam lebih ditekankan pada prinsip pengendalian diri dan nafsu syahwat. Manusia memiliki kebebasan memilih aktivitasnya dan mengkonsumsi makanan dan minuman, selama makanan dan minuman tersebut halal. Dan saat melakukan puasa, makanan dan minuman halal tersebut dilarang dikonsumsi siang hari selama bulan Ramadhan.

Puasa yang dilaksanakan selama satu bulan tidak semerta-merta dilakukan guna membunuh nafsu, melainkan mengendalikannya. Karena mereka yang saat siang hari dilarang makan dan minum, serta berhubungan badan dengan suami atau istrinya, pada malam harinya kesemua itu diperbolehkan.

Diharapkan setelah menjalankan pelatihan selama satu bulan penuh, nafsu dapat menjadi ‘jinak’ dan dapat dikendalikan. Pengendalian diri ini diperlukan manusia, guna menyeimbangkan hidup dirinya sebagai individu, dan sebagai bagian dari masyarakat.

Dan dalam beberapa Hadis diterangkan, bahwa pada bulan Ramadhan, setan-setan dibelenggu dan diikat. Di waktu yang sama nafsu juga sedang dilatih. Sehingga tingkat keberhasilan latihan pengendalian nafsu ini menjadi lebih besar. Harapan kita, setelah satu bulan penuh melakukan pendadaran diri dan nafsu, kualitas diri kita menjadi lebih baik. Jangankan memakan harta yang haram, korupsi misalnya, memakan harta yang dihalalkan saja Agama menghendaki adanya pengendalian diri, yaitu tidak memenuhi kehendak nafsu melebihi kadar yang diperlukan. Dan pada akhirnya diharapkan kualitas keimanan dan keislaman umat Islam meningkat, yang pada akhirnya menjadikan mereka layak menyandang predikat “al-Muttaqin” atau orang yang bertaqwa. Allah A’lam.


Tidak ada komentar: