ME...

ME...
MUSCAT-OMAN 2005

Kamis, 23 Oktober 2008

Pandangan Hadratusy Syaikh Hasyim Asy'ari Tentang Peringatan Maulid

Kutipan Bebas Dari Kitab
al-Tanbihat al-Wajibat Li Man Yashna’ al-Mawlid Bi al-Munkarat
Karya Hadratusy Syaikh Hasyim Asy’ari

Buku ini terdiri muqaddimah, 10 Tanbih, khatimah, 3 penjelasan tambahan, tadznib (epilog) yang dikutip dari ‘Izz al-Din bin ‘Abd al-Salam

a. Muqaddimah
Hadratusy syaikh memulai muqaddimah kitabnya dengan kutipan hadis, “Kullu bid’ah dhalalah”.
Pada malam Senin, 25 Rabiul Awal 1355 H, saya mendapati sekelompok santri di beberapa pesantren menyelenggarakan perayaan Maulid. Mereka mendatangkan alat-alat malahi (musik), dan melakukan kemunkaran seperti pencak silat, tinju, dan permainan rebana, setrek (ketoprak), judi, joget-joget, tertawa terbahak-bahak, teriak-teriak, di hadapan perempuan-perempuan yang bukan mahramnya. Sebagian dari mereka bahkan melakukan ikhthilath, di mana laki-laki dan perempuan bercampur baur. Kemunkaran ini dilakukan setelah pembacaan ayat Alquran, khabar-khabar tentang Rasulullah, dan sirah beliau. Melihat hal ini, akupun menegur dan melarang mereka. Kemudian merekapun membubarkan diri.
Kekhawatiran akan terjadinya kembali peristiwa ini, yang bisa jadi membuat masyarakat yang awam keluar dari agama Islam (murtad) tanpa mereka sadari, maka akupun menulis Tanbihat ini sebagai sebuah nasihat dariku kepada kaum muslimin.

b. Sepuluh Tanbihat
Pertama, peringatan maulid sebagaimana yang dikehendaki ulama, yaitu berkumpulnya sekelompok orang yang membaca Alquran, sirah rasulullah, dan menyantap hidangan yang disediakan. Ada juga yang menabuh rebana dengan tetap menjaga etika dan kesopanan.
Hadratusy syaikh mengutip Abu Syamah dalam kitabnya al-Ba’its Fi Inkar al-Bida’ wa al-Hawadits yang menyatakan bahwa salah satu bid’ah yang terbaik yang ada di zamannya adalah tradisi peringatan mauled rasulullah yang dimanifestasikan dalam bentuk sedekah, kegembiraan, dan berbuat baik kepada kaum dhuafa.
Pada tanbih pertama ini, Hadratusy syaikh banyak mengutip riwayat (hadis) dan pendapat ulama terkait anjuran bergembira dengan mawlid rasulullah. Beliau mengutip hadis riwayat al-Tirmidzi tentang kebolehan membunyikan rebana di masjid saat mengumumkan pernikahan. Beliau mengkritik al-Tirmidzi yang mendhaifkan hadis tersebut.
Kedua, Hadratusy syaikh kembali menyatakan keharaman peringatan mauled yang disertai kemunkaran. Beliau mengutip al-Baydhawi dalam Tafsirnya, “Ketaatan yang memunculkan kemaksiatan yang rajih (lebih dominan dari pada ketaatan itu sendiri) wajib ditinggalkan. Karena segala sesuatu yang menjerumuskan kita ke dalam keburukan adalah buruk”.
Ketiga, Hadratusy syaikh mengutip ucapan al-Fakihani, seorang ulama mazhab Maliki tentang keharaman peringatan mauled yang disertai kemunkaran. Sementara ketika peringatan mauled ini dilakukan berupa berkumpulnya sekelompok orang yang menyantap hidangan yang disediakan, maka hukumnya bid’ah yang makruhah. Pendapat al-Fakihani yang menyatakan kemakruhan mauled yang diselenggarakan tanpa kemunkaran ini dikritik oleh Yusuf al-Dajawi.
Keempat, Hadratusy syaikh mengutip Abu ‘Abdullah bin al-Haj, seorang ulama mazhab Maliki, tentang keharaman perayaan mauled dengan disertai kemunkaran.
Kelima, Hadratusy syaikh mengutip Ibn Hajar (al-‘Asqalani) yang menyatakan bahwa peringatan mauled adalah bid’ah yang memuat kebaikan dan keburukan. Jika mauled dilaksanakan dengan cara yang benar dan menjauhi kemaksiatan, maka ia menjadi bid’ah hasanah. Demikian pula sebaliknya jika mauled dilaksanakan dengan disertai kemunkaran, maka ia adalah bid’ah yang haram. Al-‘Asqalani kemudian menyatakan riwayat yang menyatakan anjuran menampakkan kegembiraan atas lahirnya rasulullah, dan manifestasi kegembiraan yang diperbolehkan (yaitu dengan ibadah).
Keenam, Hadratusy syaikh mengutip al-Qadhi ‘Iyadh tentang kewajiban memuliakan rasulullah yang salah satunya berupa peringatan hari kelahirannya. Al-Qadhi menyatakan bahwa rasulullah wajib dimuliakan baik saat beliau hidup maupun setelah kemangkatannya.
Ketujuh, Hadratusy syaikh mengutip Ibn al-Haj al-Fasi tentang keharaman memuliakan sesuatu bukan pada tempatnya. Demikian juga haram hukumnya menggunakan sesuatu yang menghinakan pada sesuatu yang dimuliakan.
Kedelapan, Hadratusy syaikh mengutip al-Qadhi ‘Iyadh keharaman menghina rasulullah.
Kesembilan, Hadratusy syaikh memaparkan bahwa merayakan mauled dengan disertai kemunkaran adalah perbuatan yang sangat buruk.
Kesepuluh, Hadratusy syaikh memaparkan kemunkaran yang dilakukan bersamaan dengan peringatan mauled, seperti memubadzirkan harta dan berlebihan dalam berdandan (dan berpakaian). Hadratusy syaikh juga membahas banyak hal pada tanbih ini.

c. Khatimah
Hadratusy syaikh mengulas tentang tradisi NU (Nahdhatul ‘Ulama) dalam memperingati mauled. Beliau memaparkan dalil membaca (Alquran) dengan suara yang merdu

Buku ini selesai ditulis pada hari Ahad, 14 Rabi’ al-Tsani 1355 H (ditulis dalam rentan waktu kira-kira delapan belas hari).

Selasa, 21 Oktober 2008

Silabus Ulumul Hadis 1 PTIQ

Silabus Mata Kuliah Ulumul Hadis I PTIQ

Sesi 1, Pengenalan Hadis:
a. Definisi Hadis, Khabar, Naba', Atsar, dan Sunnah
b. Definis Sanad dan Matan
c. Definisi Rawi, Muhaddits, Hafidz, Hakim, dan Amirul Mukminin

Sesi 2, Kedudukan Dan Fungsi Sunnah Dalam Islam:
a. Kehujjahan Sunnah
b. Inkarus Sunnah

Sesi 3, Pengenalan Ulumul Hadis:
a. Kemunculan dan Perkembangan Ulumul Hadis (pra Ramahurmuzi hingga pasca Ibn Shalah)
b. Objek Kajian Ulumul Hadis
c. Pengenalan Karya/Literatur Ulumul Hadis
d. Manfaat Ulumul Hadis

Sesi 4, Klasifikasi Hadis Ditinjau Dari Diterima Atau Ditolaknya Sebuah Hadis:
a. Shahih (Definisi , Kriteria/Syarat dan Contoh)
b. Dhaif (Definisi dan Contoh)
c. Hasan (Definisi dan Contoh)
d. Shahih Muhtaff Bil Qara'in (Shahih Karena Faktor Eksternal)

Sesi 5, Hadis Hasan:
a. Definisi, Kriteria/Syarat dan Contohnya
b. Ulama Yang Menggunakan Terminologi Hasan (Ali al-Madini dan al-Tirmidzi)
c. Arti Ucapan al-Tirmidzi: “Hadis Hasan Shahih”
d. Berhujjah Dengan Hadis Hasan

Sesi 6, Macam-macam Hadis Dhaif (A):
a. Maudhu/Palsu (Definisi, Contoh, Tanda Kepalsuan, dan Hukum Meriwayatkannya)
b. Matruk/Semi Palsu (Definisi dan Contohnya)
c. Munkar (Definisi dan Contohnya)

Sesi 7, Macam-macam Hadis Dhaif (B):
a. Mubham (Definisi dan Contohnya)
b. Maqlub (Definisi dan Contohnya)
c. Syadz (Definisi dan Contohnya)
d. Mudhtharib (Definisi dan Contohnya)
e. Mushahhaf (Definisi dan Contohnya)
f. Mu'allal/Ma'lul (Definisi dan Contohnya)
g. Hukum Berhujjah Dengan Hadis Dhaif (Yang Bukan Munkar, Matruk, dan Maudhu')

Sesi 8, Macam-macam Inqitha' (Keterputusan Sanad):
a. Mu'allaq (Definisi dan Contohnya)
b. Mursal (Definisi dan Contohnya)
c. Mu'an 'an dan Muannan (Definisi dan Contohnya)
d. Mudallas (Definisi, Macam dan Contohnya)

Sesi 9, Sisipan Dalam Matan
a. Mudraj (Definisi dan Contohnya)
b. Ziyadah al-Tsiqat (Definisi dan Contohnya)

Sesi 10, Klasifikasi Hadis Berdasarkan Kuantitas Perawi:
a. Mutawatir (Definisi, Kriteria/Syarat dan Contohnya)
b. Ahad Yaitu Masyhur, Aziz, dan Gharib ((Definisi dan Contohnya)
c. Berhujjah Dengan Hadis Ahad

Sesi 11, Klasifikasi Hadis Berdasarkan Nisbat
a. Qudsy (Definisi dan Contohnya)
b. Marfu' (Definisi dan Contohnya)
c. Mauquf (Definisi dan Contohnya)
d. Maqthu (Definisi dan Contohnya)

Literatur/ Sumber Bacaan
1.Taysir Mushtalah Hadis karya Mahmud al-Thahhan
2.Manzhumah al-Bayquniyah
3.Muqaddimah karya Ibn Shalah
4.Tadrib al-Rawi karya al-Suyuthi

Merawat Anak Yatim

Petang itu, kang Jamil mengantar pak Yanto berkunjung ke kediaman kyai Achid.

“Kyai, saya telah menunaikan ibadah haji tiga tahun yang lalu, dan tahun ini saya ingin berhaji lagi. Bagaimana menurut Kyai?” Tanya pak Yanto setelah berbasa-basi secukupnya.

“Dalam banyak Hadis disebutkan betapa besar pahala ibadah haji yang mabrur.” Jawab Kyai, “Misalnya Hadis muttafaq ‘alaih yang menyatakan bahwa pahala haji yang mabrur adalah surga. Dan Hadis riwayat al-Bukhari yang menyatakan bahwa orang yang hajinya mabrur, semua dosanya akan dihapuskan, mirip seperti bayi yang baru terlahir di dunia”.

Pak Yanto dan kang Jamil mendengarkan jawaban kyai dengan seksama.

"Tapi ia masuk surga sendirian", Demikian ujar kyai Achid.

"Beda dengan orang yang mau merawat anak yatim, atau membiayai pendidikannya. Orang ini dijamin oleh Kandjeng Nabi Muhammad masuk surga bersama beliau". Tambah beliau, "Demikian keterangan dari Ummul Mukminin Aisyah, seperti yang termaktub dalam Hadis riwayat al-Imam al-Bukhari".

"Kyai, surga Kandjeng Nabi seperti apa bagusnya?" Tanya pak Yanto.

"Di surga tersedia semua yang kita kehendaki dan kita inginkan. Demikian keterangan yang terdapat dalam al-Quran Surat al-Zukhruf ayat 71. Bahkan semua kenikmatan yang mungkin terlintas di benak kita, sesungguhnya kenikmatan surga lebih baik, jauh lebih enak, dan juuaauuuh lebih nikmat". Jawab kyai dengan bersemangat."Dalam Hadis riwayat al-Imam Muslim diterangkan bahwa orang yang terakhir masuk surga akan mendapat surga yang luasnya sepuluh kali lipat dunia ini. Dan surga yang demikian itu adalah surga kelas emperan, kelas yang paling ekonomis.” Sambung kyai, “Lalu menurut sampeyan surga tempat tinggal Kandjeng Nabi seperti apa?".

"Tentu surga untuk Kandjeng Nabi jauh lebih luhur, lebih agung, lebih indah, lebih nyaman, lebih menyenangkan, lebih enak, lebih baik dan lebih nikmat. Pokoknya surga untuk Kandjeng Nabi pasti yang terbaik! Kelas super super super Vi Ai Pi, lah!". Jawab kang Jamil mantap.

"Nah, orang yang mau merawat anak yatim akan bersama beliau di surga kelas super super super VIP itu". Sambut kyai.

"Jadi kita bisa dapet surga kelas super super super Vi Ai Pi, kalau kita mau merawat anak yatim Kyai?". Tanya kang Jamil lagi.

"Betul, demikian janji Kandjeng Rasul seperti yang disampaikan oleh Ibunda Aisyah". Jawab kyai dengan senyumnya yang menyejukkan hati.

"Walaupun amal kebajikan kita sedikit?" Kang Jamil penasaran.

"Ya, walau amal kebajikan kita sedikit, yang penting ikhlas dan Allah Ta'ala menerimanya". Kyai menghela napasnya, “Semisal presiden akan melakukan perjalanan ke luar kota dengan menaiki kereta api, menurut sampeyan, kira-kira dia naik kereta api kelas ekonomi atau kelas VIP?”

“Ya tentunya naik kelas VIP!” jawab kang Jamil, “Masak presiden naik kereta api kelas ekonomi”.

“Nah, presiden biasanya ditemani menteri-menterinya dan robongan yang terdiri dari para pelayan dan petugas pengaman kepresidenan. Menurut sampeyan, rombongan presiden itu naik kereta VIP yang sama dinaiki presiden atau mereka naik kereta kelas ekonomi?” Tanya kyai lagi.

“Para menteri dan rombongan pastinya ikut kereta yang sama dengan yang dinaiki presiden” jawab kang Jamil.

“Lho, pelayan dan petugas keamanan kok bisa naik kereta yang sama dengan yang dinaiki presiden?” Tanya kyai Achid.

“Tentu saja bisa, lha wong presiden yang mengajak mereka” jawab pak Yanto dengan mantap.

“Begitu pula kita yang amal kebajikannya minim dan sering kali masih disusupi perasaan ujub dan riya`. Kita bisa masuk surga kelas vi ai pi kalau diajak Rasulullah.” ujar kyai Achid, “Jadi, kalau saya boleh mengusulkan, anda urungkan saja niat berhaji lagi, toh anda sudah pernah melaksanakan ibadah haji sementara kewajiban haji hanya berlaku sekali seumur hidup. Uang ONHnya bisa anda salurkan untuk panti asuhan anak yatim, agar anda diajak Rasulullah masuk ke dalam robongan beliau, dan menjadi tetangga beliau di surga yang kelasnya super vi ai pi”.

Kang Jamil dan pak Yanto menganggukan kepala..

Shadaqah Dan Pertambahan Harta

"Tidak akan berkurang harta sebab shadaqah" (HR. al-Tirmidzi)



Shadaqah yang dimaksudkan beliau di sini adalah zakat, dan memang penggunaan kata shadaqah untuk arti zakat, digunakan juga dalam al-Quran surat al-Taubah ayat 60, "Sesungguhnya shadaqah-shadaqah (zakat-zakat) itu, hanyalah untuk orang-orang fakir..."

Sungguh pun demikian, banyak juga ulama yang mengartikan shadaqah di sini meliputi infaq, shadaqah, dan wakaf. Artinya penggunaan kata shadaqah tidak terbatas hanya pada zakat.

Penjelasan sabda Rasulullah pada hadis "Tidak akan berkurang harta dengan shadaqah" banyak sekali. Di sini kita akan coba menerjemahkannya secara kuantitatif dan kualitatif dari sisi keuangan dan perbankan.

Secara kuantitatif, dana yang kita keluarkan dalam bentuk zakat dan shadaqah tidak berkurang dapat dibuktikan dengan memakai kerangka akuntansi.

Dalam akuntansi kita mengenal harta lancar (current asset) dan harta tetap (fixed asset). Dan kategori harta yang paling lancar adalah uang tunai atau uang di bank. Jika anda memiliki uang Rp. 1.000.000 kemudian anda belanjakan Rp. 25.000, maka anda akan merasakan uang anda di saku berkurang dan tersisa 97,5 persen. Secara akuntansi, istilah 'hilang' sesungguhnya tidak terlalu tepat, tetapi yang tepat adalah perpindahan harta dari pos harta lancar ke pos biaya atau pengeluaran.

Dalam kaitannya dengan infaq dan zakat, hilangnya dana sebesar Rp. 25.000 akan dicatat oleh Allah Ta'ala bukan di pos biaya, melainkan di sisi Aset dalam jumlah yang beratus-ratus kali lipat. Analogi ini akan lebih jelas lagi jikalau Rp. 25.000 tadi anda tabung.

Menabung di dunia, bunganya hanya 18 sampai 20 persen setahun, itu pun jikalau banknya sehat dan tidak dilikuidasi. Berbeda jikalau menabung pada Allah Ta'ala, bunga atau bagi hasilnya adalah 700 persen, atau bahkan lebih, maka total harta lancar anda akan bertambah, bukannya berkurang.

Kemudian ada perbedaan dalam soal jatuh tempo pencairan. Jika anda menabung di bank, maka jatuh tempo pengambilannya, kalau deposito mungkin enam bulan atau setahun sekali, dan kalau obligasi mungkin 10 sampai 20 tahun. Sedangkan investasi kepada Allah Ta'ala diambil ketika kita berpulang kepadanya nanti, mungkin seminggu, mungkin setahun, sepuluh tahun, atau bahkan bisa sehari lagi atau sejam lagi…(Ya Rabbi, 'tersenyumlah' kepadaku saat kita 'bertemu' nanti)

Penjelasan kedua adalah penjelasan secara kualitatif. Coba perhatikan surat Ibrahim ayat 7," Dan ingatlah ketika Tuhanmu memaklumkan sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami (Allah Ta'ala) akan menambahkan (ni'mat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (ni'mat Allah) maka sesungguhnya siksa-Ku sangatlah pedih".

Di sini Allah Ta'ala mengaitkan proses penambahan ni'mat dengan syukur, atau dalam bahasa statistiknya, ada positive correlation (hubungan yang positif) antara penambahan aset dan proses syukur yang salah satu manivestasinya adalah pengeluaran zakat, infaq, dan shadaqah.

Mungkin saja Allah Ta'ala sudah merencanakan rezeki tahap dua anda, namun pencairannya ditangguhkan sampai syukur, zakat dan infaq terjadi dahulu. Dan jika infaq dan zakat terjadi, maka turunlah rezeki tahap dua itu. Sebaliknya jika zakat dan infaq tidak terjadi, maka rezeki berikutnya pun tidak turun juga. Wallahu a'lam.***

(disadur dari BICARA, Bisnis Cara Rasulullah, Asuhan Syafi'i Antonio)



Saat ditanya tentang shadaqah dan zakat, Kyai Achid mengutip firman Allah Ta'ala pada Surat al-Baqarah ayat 276, Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa.

"Banyak hikmah yang terkandung dalam ibadah shadaqah dan zakat" Jawab kyai Achid. "Selain tentunya berpahala, sebenarnya harta yang disedekahkan tidak berkurang melainkan berkembang, dan kita akan bertambah kaya" lanjut kyai.

"Kok bisa, harta yang diberikan ke orang lain, malah membuat kita kaya?" Kang Jamil bertanya.

"Memang secara matematis, harta yang kita sedekahkan memang berkurang, tapi sesungguhnya ia justru bertambah" Kyai Achid mulai menjelaskan.

"Ehm, maaf Kyai, matematis itu apa maksudnya?" Kang Jamil menyela

Kyai tersenyum, "Matematis maksudnya secara hitungan dzahir, seperti hitungan satu tambah satu sama dengan dua"

"Oo, begitu"

"Dengan bersedekah berarti kita telah beribadah, dan ibadah sesungguhnya adalah upaya kita untuk mendekatkan diri kepada Allah Ta'ala. Nah, siapa yang dekat dan dikasihi oleh Allah Ta'ala, maka hatinya akan penuh dengan ketenangan dan ketentraman, betul ndak Kang?!."

"Betul Kyai, orang yang dekat dengan Gusti Allah Ta'ala pasti tentrem dan nyaman hatinya" Mantap sekali kang Jamil menjawab.

"Nah, orang yang hatinya dipenuhi Allah Ta'ala dengan ketenangan, ia akan bekerja dengan penuh konsentrasi dan temenanan (bersungguh-sungguh). Dan hasil kerjanya pun menjadi baik dan sempurna".

"Maksud Kyai, hasil kerjanya akan Opotimal?!"

"Bukan opo timal, tapi optimal" Sambung kyai lalu tertawa sampai terlihat gigi serinya.

"Ayo, silahkan diminum tehnya, Kang Jamil"

"Inggih (iya) Pak Yayi, terima kasih" jawab kang Jamil lalu menyeruput tehnya.

"Semisal kita punya uang sepuluh ribu rupiah, terus lima ratus rupiah kita sedekahkan, dan empat ribu lima ratus rupiah kita belikan nasi di warung. Sisanya lima ribu rupiah kita tabungkan. Menurut Kang Jamil, berapa uang yang sebenar-benarnya milik saya?"

"Saya tahu, pasti uang yang benar-benar menjadi milik kita, adalah lima ratus rupiah yang kita sedekahkan" Jawab Kang Jamil dengan mantap.

"Kok bisa?!" Kyai Achid bertanya kembali.

"Karena uang lima ratus rupiah yang kita sedekahkan, akan kita dapatkan kembali di akhirat nanti, bahkan bukan hanya lima ratus rupiah, melainkan dilipatgandakan oleh Gusti Allah menjadi ribuan, atau bahkan jutaan. Adapun uang empat ribu lima ratus yang kita belikan makanan di warung, akan segera menjadi keringat dan kotoran. Dan sisa uang sebanyak lima ribu rupiah yang ditabungkan, akan menjadi milik ahli waris, sebab ketika kita meninggal, maka uang itu jelas-jelas tidak bisa kita bawa ke alam barzakh, jadi yang memilikinya adalah ahli waris kita".

"Ya, benar apa yang Kang jamil katakan" Kyai menimpalinya.

"Iya benar dong Kyai, kan Kyai juga yang mengatakannya saat pengajian di mushala, saya masih ingat kok, waktu kita mengaji kitab Taqrib kemarin lusa!"

Kyai kembali tertawa, kemudian mempersilahkan kang Jamil menyicipi Sukun goreng, dan meminum kembali tehnya. Lalu keduanya bergegas ke mushala, karena waktu shalat Isya' sudah hampir masuk. Dan tak lama kemudian, suara nyaring adzan kang Jamil, terdengar merdu terbawa hembusan angin, melewati dedaunan pohon randu yang rimbun tumbuh di sekeliling mushala, memanggil orang-orang yang mulai berdatangan ke mushala untuk melaksanakan shalat Isya' berjamaah.



Dalam Alquran Surat al-Baqarah ayat 268 diterangkan bahwa, Syaithan menjanjikan (menakut-nakuti) kalian dengan kemiskinan dan menyuruh kalian berbuat kejahatan (kikir); Sedang Allah menjanjikan untuk kalian ampunan dari-Nya dan karunia, dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui.

Juga dalam Surat al-Naba' ayat 39 Ia berfirman, Katakanlah, "Sesungguhnya Tuhanku melapangkan rezeki bagi siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya dan menyempitkan baginya (siapa yang dikehendaki-Nya). Dan barang apa saja yang kamu nafkahkan, maka Allah akan menggantinya dan Dialah Pemberi rezeki yang sebaik-baiknya.

Ketika seseorang memiliki kelapangan rezeki, dan ia enggan menafkahkannya untuk kepentingan Islam dan muslimin, dengan pertimbangan bahwa dengan menafkahkan rezeki, maka hartanya berkurang, maka sesungguhnya ia telah membenarkan syaitan, dan mendustakan Allah Ta'ala, karena syaitan merayunya untuk menjadi nritil dan pelit serta menakut-nakutinya dengan kemiskinan jika ia bersedekah, padahal Allah Ta'ala justru menjanjikan keberkahan dan kekayaan kepada siapa saja yang ikhlas bersedekah dan berderma.



Info Ringan:

Dalam banyak Hadis diterangkan betapa besar pahala ibadah Haji yang Mabrur. Misalnya al-Imam al-Thabrani dalam kitab al-Mu'jam al-Ausath II/198 dan al-Imam Ahmad dalam Musnad-nya meriwayatkan Hadis dari Shahabat Abu Hurairah yang menyatakan bahwa pahala Haji mabrur adalah surga.

Dan al-Imam al-Bukhari dalam kitab Shahih al-Bukhari II/553 meriwayatkan Hadis dari Shahabat Abu Hurairah bahwasanya orang yang hajinya mabrur, maka semua dosanya akan dihapus, sehingga diilustrasikan seperti halnya bayi yang baru terlahir di dunia.

"Tapi ia masuk surga sendirian" Demikian kata kyai Achied.

"Beda dengan orang yang mau merawat anak yatim, atau membiayai pendidikannya, maka ia dijamin oleh Baginda Rasulullah masuk surga bersama beliau". Tambah beliau, "Demikian keterangan dari Ibunda Aisyah, seperti yang disebutkan dalam Hadis riwayat al-Imam al-Haitsami dalam kitab Majma' al-Zawaid (VIII/160)".

"Kyai, surga Kandjeng Nabi seperti apa bagusnya?" Tanya kang Jamil.

"Di surga semua yang kita kehendaki dan kita hasrati tersedia, demikian keterangan yang terdapat dalam al-Quran Surat al-Zukhruf ayat 71. Bahkan semua kenikmatan yang mungkin terlintas di benak kita, sesungguhnya kanikmatan surga lebih baik, jauh lebih baik, juuaauuuh lebih baik". Jawab Kyai.

"Dalam Hadis riwayat al-Imam al-Daylami dalam kitabnya al-Firdaus bi Ma'tsur al-Khitab, diterangkan bahwa orang yang terakhir masuk ke dalam surga, yaitu orang mukmin yang terakhir kali diangkat dari neraka setelah ia dibersihkan dari dosa-dosanya, ia mendapat surga yang luasnya sepuluh kali lipat dari dunia ini, dan surga yang demikian tersebut adalah surga yang kelas emperan, kelas paling ekonomis. Lalu menurut sampeyan surga tempat tinggal Kandjeng Nabi seperti apa?", Tanya Kyai Achied.

"Tentu surga untuk Kandjeng Nabi jauh lebih luhur, lebih agung, lebih indah, lebih nyaman, lebih menyenangkan, lebih enak, lebih baik dan lebih nikmat. Pokoknya surga untuk Kandjeng Nabi pasti yang terbaik! Kelas super super super Vi Ai Pi, lah!". Jawab kang Jamil mantap.

"Nah, orang yang mau merawat anak yatim akan bersama beliau di surga kelas super super super VIP tersebut". Sambut Kyai.

"Jadi kita bisa dapet surga kelas super super super Vi Ai Pi, kalau kita mau merawat anak yatim Kyai?". Tanya kang Jamil lagi.

"Betul, demikian janji Kandjeng Rasul seperti yang disampaikan oleh Ibunda Aisyah". Jawab Kyai sambil tersenyum menyejukkan hati.

"Walaupun amal kebajikan kita sedikit?" Kang Jamil penasaran.

"Inggih, walau amal kebajikan kita sedikit, yang penting ikhlas dan Allah Ta'ala menerimanya". Jawab Kyai

Otarki: Menanami Lingkungan Dan Penghijauan Pekarangan

Otarki identik dengan Jepang. Keterbatasan tanah yang dapat ditanami serta etos kemandirian yang dimiliki penduduk negeri sakura, menjadikan otarki sebagai kultur yang terlembagakan dengan baik dari generasi ke generasi.

Dalam pengertian yang sederhana, otarki dipahami sebagai budaya menanami pekarangan rumah dengan tanaman-tanaman yang produktif, termasuk di dalamnya tanaman obat-obatan. Di Jepang, otarki juga dilakukan dengan media pot. Hasilnya, penduduk jepang relatif lebih berswa semabada pangan di bandingkan Indonesia.

Indonesia yang diberkati kekayaan alam yang berlimpah, perlu "mengimpor" budaya ini. Karena kita memiliki laut yang mengandung hasil laut yang hampir tidak terbatas, di mana tanpa harus melakukan budi daya perikanan, kebutuhan ikan, udang, teripang dan sebagainya seharusnya dapat terpenuhi. Di daratan, potensi alam negeri ini juga tidak kalah melimpah. Banyak tanaman lokal seperti umbi-umbian, rempah-rempah dan makanan pokok sehari-hari dapat tumbuh dengan sendirinya. Namun nyatanya kita belum berswa sembada pangan. Kita masih perlu mengimpor beras dari Vietnam, bahkan kita pernah menjual kapal buatan PT DI (IPTN) dengan pembayaran berupa tepung. Dan rasanya kita perlu mengurut dada, mengingat bahwa untuk memenuhi kebutuhan garam, kitapun masih harus mengimpor dari luar negeri.

Luas pekarangan rumah dan tanah kosong yang dimiliki mayoritas masyarakat Indonesia belum tergarap dengan maksimal. Untuk pekarangan rumah yang luasnya 1 x 2 meter, seseorang dapat menanam 1 pohon terong yang merambat, 1 pohon kunyit, 1 pohon jahe, 3 pohon cabai, 1 pohon tomat, 1 pohon lengkoas yang masing-masing ditanam dalam pot ukuran sedang. Kemudian sebagai penyejuk, silahkan dia memilih pohon belimbing, rambutan, mangga, jambu air, jambu batu, atau pohon lain yang buahnya berukuran kecil atau sedang. Ia pun masih dapat menambah 1 pohon pepaya di pojok pekarangan. Dengan demikian, pekarangan rumah yang mungil tadi dapat memenuhi kabutuhan pangan, paling tidak sambal terong untuk pelengkap lauk nasi, sekaligus rempah untuk membuat obat-obatan alternatif bagi penyakit ringan seperti gatal-gatal, masuk angin, dan flu.

Untuk mendapatkan benih cabai, tomat, dan pepaya, kita cukup menjemur biji-biji buah tersebut selama satu hari, untuk kemudian disebar di tanah (atau pot). Untuk menanam terong, jahe, dan langkoas, kita cuma perlu menanamnya dalam tanah. Selanjutnya, kita menyiraminya jika hujan tidak turun. Tanpa pupuk dan perawatan yang rumit, pohon-pohon itu dapat tumbuh dengan baik, dan memberikan hasil yang tidak terputus oleh musim.

Orang-orang tua kita sudah mengingatkan, bahwa semisal besok kiamat datang, dan di tangan kita ada satu benih papaya, maka hendaknya kita menanamnya. Apa yang kita tanam, terkadang tidak kita nikmati hasilnya, namun demikian, orang setelah kita akan bersyukur kepada kita atas "warisan" tanaman yang kita tinggalkan. Nabi Muhammad shallalahu 'alaihi wa sallam pernah bersabda, Apabila seorang muslim menanam, kemudian tanaman itu dimakan burung, manusia, ataupun hewan, maka itu sudah termasuk sedekah (HR. Bukhari dan Muslim)

Sejarah Calender Hijriyah

“Setelah sampai di Madinah, Rasulullah menetapkan penanggalan”. (HR. Al-Hakim dalam al-Iklil)

Dalam Fath al-Bari, Ibn Hajar menyatakan Hadis ini mu’dhal (ada dua perawi hadis yang hilang dalam mata rantai sanad), dan hadis mu’dhal kualitasnya dhaif (validasinya lemah). Sementara dalam riwayat yang populer (masyhur), disebutkan bahwa khalifah Umar bin al-Khathab adalah orang yang meresmikan penanggalan hijriyah. Al-Hakim sendiri juga memiliki riwayat yang menyatakan bahwa penanggalan hijriyah pertama kali ditetapkan oleh khalifah Umar pada bulan Rabi’ al-Awwal tahun 17 H. Penanggalan ini berdasarkan perputaran bulan terhadap bumi, sehingga ia juga disebut sebagai kalender qamariyah atau kalender bulan.

Ibn Sirin mengisahkan bahwa seorang laki-laki dari Yaman berkunjung ke Madinah dan menyatakan bahwa di Yaman orang-orang sudah memiliki penanggalan untuk mencatat peristiwa-peristiwa. Khalifah Umar yang mendengarnya, tertarik dan memutuskan untuk menetapkan penanggalan yang digunakan kaum muslimin. Sebelumnya, Abu Musa al-Asy’ari juga mengeluhkan surat-surat yang datang kepadanya dari khalifah Umar tanpa tanggal, bulan dan tahun. Hal itu membingungkan akibat tidak diketahui urutan kronologis surat yang dikirimkan khalifah Umar. Sehingga semisal ada dua surat khalifah yang diterima Abu Musa al-Asy’ari, dan masing-masing berisi instruksi yang berbeda, akan timbul masalah terkait surat mana yang diterapkan dan dilaksanakan.

Al-Sakhawi dalam al-I’lan bi al-Taubikh li Man Dzamm al-Taurikh menyebutkan banyak riwayat terkait penetapan tahun pertama dalam penanggalan qamariyah. Setidaknya ada empat opsi yang mengemuka di kalangan shahabat: (1) Tahun kelahiran Rasulullah, (2) tahun pengangkatan beliau sebagai rasul, (3) tahun beliau berhijrah, dan (4) tahun kemangkatan beliau.

Untuk menetapkan tahun pertama penanggalan, khalifah Umar bermusyawarah dengan shahabat-shahabat senior. Opsi pertama dan kedua ditolak dengan alasan bahwa tahun kejadiannya masih diperselisihkan di kalangan mereka sendiri. Opsi keempat juga ditolak karena kewafatan Rasulullah telah menimbulkan kesedihan yang mendalam di kalangan kaum muslimin. Kemudian ditetapkan peristiwa hijrahnya Rasulullah sebagai tahun pertama penanggalan. Dalam sebuah riwayat dinyatakan bahwa yang mengusulkan opsi ketiga ini adalah Ali bin Abu Thalib, ”Kita memulai penanggalan dari peristiwa hijrahnya Rasulullah dari Mekkah yang saat itu dipenuhi kemusyrikan”. Umar mengamininya dan berkata, ”Hijrah adalah momentum yang memisahkan antara kebenaran dengan kebatilan”.

Masyarakat Arab sendiri sebelum diseru agama Islam, telah mengenal bulan-bulan (penanggalan). Hanya saja saat itu belum ditetapkan tahun penanggalan. Sehingga peristiwa yang terjadi di tengah-tengah mereka, diingat dalam tanggal dan bulan saja. Sementara untuk tahunnya, mereka mengasosiasikannya dengan peristiwa unik yang terjadi. Misalnya saat tentara Abrahah beserta tentaranya yang menunggangi gajah menyerbu Mekkah, sejarah mencatat peristiwa yang menandai kelahiran Rasulullah itu dengan tahun ”Gajah”.



Peristiwa Hijrah

Dengan membuka literatur sejarah, kita akan dapati fakta bahwa Rasulullah berhijrah pada bulan Rabi’ al-Awwal, bukan bulan Muharram. Sekilas memang ada kerancuan: Penanggalan qamariyah ditetapkan bermula pada saat hijrahnya Rasulullah, yaitu bulan Rabi’ al-Awwal. Tapi kenapa bulan Muharram yang dijadikan bulan pertama dalam penanggalan ini?

Al-Kautsari menyatakan bahwa penetapan bulan pertama ini didasarkan pada fakta bahwa niat berhijrah muncul pada bulan Muharram. Tepatnya beberapa saat setelah peristiwa bai’at (sumpah kesetiaan kaum muslimin yang berasal dari kota Madinah kepada Rasulullah) yang terjadi pada pertengahan bulan Dzilhijjah. Bai’at ini sendiri dianggap sebagai ”muqaddimah” hijrah. Maka bulan Muharram yang berlaku setelah Dzilhijjah ditetapkan sebagai momentum hijrah itu sendiri.



Penanggalan Di Libya

Ketika kebanyakan kaum muslimin menetapkan ”Islamic Calendar” berdasarkan tahun terjadinya peristiwa hijrah Rasulullah dari kota Mekkah ke Madinah, Pemerintah Libya menetapkan tahun wafatnya Rasulullah sebagai awal penanggalannya. Dalam Islamic Calender Muammar El-Gadhafi menyatakan,

There is no doubt that the birth of Jesus (P.B.U.H) is one of the miracles of Almighty Allah, Creator of all Things. The birth of a human having no father and commissioned with a divine message deserves to be registered and followed in dating. But the death of the Seal of the Prophets (S.A.W) meant the termination of all divine message and the final stopping of divine revelations until Resurrection day. It meant the complete and eternal silence between heaven and earth. Allah will not address us either directly or from behind a veil after Muhammad’s death. Allah will not descend any sacred scriptures upon us and will not send any messenger after Muhammad (S.A.W). This date in which the Seal of Prophets died denoted all these cosmic meanings. It is more deserving to base our calendar on this date, and it is more deserving to be preserved by mankind in view that it is date unsure passed in importance by any other date.

Muammar el-Gadhafi menyadari bahwa hijrah adalah momentum agung dalam Islam. Selain itu, masih banyak lagi peristiwa-peristiwa besar lainnya, misalnya peristiwa Pembebasan Kota Mekkah (Fath Makkah) dan kemenangan saat perang Badar. Hanya saja, masih menurutnya, kemangkatan Rasulullah adalah momentum terbesar dan paling layak dijadikan dasar penanggalan,

However we shall always celebrate al-Hijra and say that so many years have passed since it took place. We shall continue to celebrate the occupation of Mecca and say that so many years have passed since it happened. We shall continue to celebrate the incursions led successfully by the Prophet in person and all other eventful incursions. We shall continue to celebrate these events every year, but we shall base our calendar on the year of the death of Prophet Muhammad (S.A.W).

Semoga semangat tahun baru menginspirasikan kita untuk berbuat yang lebih baik.

Haji Esoteris

Haji menurut makna etimologis berarti berkehendak (al-qashd). Dan dalam terminologis syar’i-nya berarti berkehendak mengunjungi Baitullah untuk niat ibadah [M. Nawawi al-Bantani dalam Tausikh ’ala Ibn Qasim].

Haji yang disyariatkan pada tahun keenam hijrah [al-Malibary dalam Fath al-Mu’in], merupakan satu dari rukun Islam yang lima. Hal ini ditegaskan Rasulullah dalam sebuah Hadis,بُنِيَ اْلإِسْلاَمُ عَلىَ خَمْسٍ شَهاَدَةُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّداً رَسُوْلُ اللهِ وَإِقاَمُ الصَّلاَةِ وَإيْتاَءُ الزَّكاَةِ وَالحَجُّ وَصَوْمُ رَمَضَانَ

“Islam didirikan atas lima (dasar); Persaksian bahwa tiada tuhan selain Allah dan Muhammad merupakan Rasullah, melaksanakan shalat, menunaikan zakat, haji, dan puasa pada bulan Ramadhan”. [muttafaq ’alaih dari Ibn Umar]

Shahabat Ibn Abbas pernah menyatakan bahwa siapa yang memiliki keyakinan bahwa haji tidak wajib, maka ia telah menjadi kafir, dan kewajiban haji bagi orang yang mampu melaksanakannya merupakan ijma’ (konsensus) umat Islam. [Ibn Qudamah dalam al-Mughni].

Rasulullah setelah diutus menjadi nabi dan rasul hanya pernah sekali melaksanakan ibadah haji dan empat umrah yang salah satunya dilakukan bersamaan dengan pelaksanaan ibadah haji beliau. Keempat umrah Rasulullah dilaksanakan pada bulan Dzulhijjah, kecuali umrah yang dilaksanakan bersamaan dengan haji, yaitu saat haji Wada’ tahun 10 H [muttafaq ’alaih dari Anas bin Malik]. Namun demikian, sebelum diutus menjadi nabi dan rasul, beliau telah sering melaksanakan haji. [Al-Malibary]. Al-Imam Muslim meriwayatkan Hadis dari Qatadah,

سَأَلْتُ أَنَسًا: كَمْ حَجَّ رَسُوْلُ اللهِ؟ قَالَ حَجَّةً وَاحِدَةً وَاعْتَمَرَ أَرْبَعَ عُمَرٍ
“Aku bertanya kepada Anas bin Malik, “Berapa kali Rasulullah menunaikan haji?” ia menjawab: “Beliau berhaji satu kali dan berumrah empat kali”.

Dan saat ditanya oleh salah seorang shahabat, apakah haji wajib dilaksanakan setiap tahun, Rasulullah menjawab bahwa haji hanya wajib dilaksanakan sekali seumur hidup, “Seandainya aku menjawab iya (bahwa haji wajib dilaksanakan setiap tahun), maka akan menjadi sebuah ketetapan (untuk melaksanakan haji setiap tahun), dan kalian tidak akan mampu melaksanakannya” [HR. Muslim].

Dan bagi orang yang telah mampu berhaji hendaknya ia bersegera menunaikannya,
مَنْ أَرَادَ الحَجَّ فَلْيَتَعَجَّلْ
“Siapa yang berkehendak melaksanakan haji, hendaknya ia bersegera” [HR. Abu Dawud dan al-Hakim dari Ibn Abbas]

Mereka yang menunda-nunda haji padahal telah mampu melaksanakannya, maka mereka telah berdosa besar. Hal ini berdasarkan Hadis yang diriwayatkan oleh al-Imam al-Tirmidzi dalam kitab Sunan-nya, مَنْ مَلَكَ زَادًا وَرَاحِلَةً تُبْلِغُهُ إِلىَ بَيْتِ اللهِ وَلَمْ يَحُجَّ فَلاَ عَلَيْهِ إِلاَّ أَنْ يَمُوْتَ يَهُوْدِياًّ أَوْ نَصْرَانِيًّا
“Siapa yang telah memiliki ongkos dan kendaraan yang bias mengantarkannya ke Baitullah, namun ia tidak (mau) berhaji, maka tidak ada dosa baginya kecuali ia (disuruh memilih antara) mati sebagai orang yahudi atau orang nashrani”.

Keikhlasan dalam Berhaji

Perintah ibadah Haji dalam al-Qur`an, di awali dan di akhiri dengan kata “lillâh”, yang menyiratkan nuansa keikhlasan dalam pelaksanaannya. Hal ini termaktub dalam al-Qur`an Surat Alu Imran ayat 97,...وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلا ً…
“…Dan karena Allah (lillâh), haji wajib atas manusia, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah…”

Dan dalam al-Qur`an Surat al-Baqarah ayat 196,وَأَتِمُّوا الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ لِلَّهِ ...
“Dan sempurnakanlah ibadah haji dan `umrah karena Allah (lillâh)…”

Keikhlasan dalam menunaikan rukun dan syarat haji, menjadi syarat diterimanya ibadah haji. Al-Imam al-Daylami pernah meriwayatkan Hadis dari Shahabat Anas bin Malik, bahwa Rasulullah pernah bersabda,يَأْتِيْ عَلىَ النََّاسِ زَمَانٌ يَحُجُّ أَغْنِيَاءُ أُمَّتِيْ لِلنُّزْهَةِ وَأَوْسَطُهُمْ لِلتِّجَارَةِ وَفُقَرَاؤُهُمْ لِلْمَسْئَلَةِ وَقُرَّاؤُهُمْ لِلسُّمْعَةِ وَالرِّياَءِ
“Akan datang masa pada umatku, di mana kaum kaya dari umatku beribadah haji untuk bertamsya, kaum menengah mereka beribadah haji untuk berniaga (kepentingan bisnis), kaum faqir mereka beribadah haji untuk meminta-minta, dan kaum terpelajar mereka berhaji untuk pamer dan riya” [HR. al-Daylamy dari Anas bin Malik]

Mereka yang beribadah haji, akan mendapatkan balasan sesuai dengan niat dan orientasinya. Keikhlasan seseorang yang berarti ia beramal semata-mata karena Allah, akan mendapatkan balasan atas perbuatannya berada di sisi Allah berupa pahala dan keridhaan-Nya. Dan ketika amal ibadah tidak berangkat dari keikhlasan hati, maka orientasi duniawi yang melatarbelakangi semua ibadah, termasuk ibadah haji tentunya, akan menjadi balasan bagi amalnya. Sementara itu, Allah yang tidak ‘menjadi tujuan dari amalnya, tentu tidak menyediakan balasan apa-apa atas perbuatan-perbuatan tersebut.

Haji Esoteris
Dalam banyak Hadis diterangkan betapa besar pahala ibadah haji yang mabrur. Misalnya Hadis yang diriwayatkan dari Shahabat Abu Hurairah, bahwasanya Rasulullah pernah bersabda,
الحَجُّ المَبْرُوْرُ لَيْسَ لَهُ جَزَاءٌ إِلاَّ الْجَنَّةَ
“Haji Mabrur tidak ada balasananya kecuali surga” [HR. Ahmad]

Dan dalam Hadis lain, diterangkan bahwasanya orang yang hajinya mabrur, maka semua dosanya akan dihapus, sehingga diilustrasikan seperti halnya bayi yang baru terlahir di dunia.
مَنْ حَجَّ فَلَمْ يَرْفُثْ وَلَمْ يَفْسُقْ رَجَعَ كَيَوْمَ وَلَدَتْهُ أُمُّهُ
“Siapa yang haji, dan tidak berbuat perbuatan yang sia-sia dan perbuatan kefasikan, maka ia akan kembali (bersih dari dosa) seperti (bayi) pada hari dilahirkan oleh ibunya” [HR. Al-Bukhari]

Dalam al-Qur`an Surat al-Zukhruf ayat 71 diterangkan bahwa semua kenikmatan yang terlintas dalam benak manusia, sesungguhnya kenikmatan surga lebih baik dan lebih sempurna,
يُطَافُ عَلَيْهِمْ بِصِحَافٍ مِنْ ذَهَبٍ وَأَكْوَابٍ وَفِيهَا مَا تَشْتَهِيهِ الْأَنْفُسُ وَتَلَذُّ الْأَعْيُنُ وَأَنْتُمْ فِيهَا خَالِدُونَ.
"Diedarkan kepada mereka piring-piring dari emas, dan piala-piala dan di dalam surga itu terdapat segala apa yang diingini oleh hati dan sedap (dipandang) mata dan kamu kekal di dalamnya."

Namun demikian, orang yang berhaji mabrur akan memasuki surga ‘sendirian’. Berbeda dengan orang yang mau merawat anak yatim, atau membiayai pendidikannya, maka ia dijamin oleh Rasulullah masuk surga bersama beliau. Dalam sebuah Hadis yang diriwayatkan dari Ummul Mukninin Aisyah,أَناَ وَكاَفِلُ الَيتِيْمِ فِي الجَنَّةِ كَهاتَيْنِ وَجَمَعَ بَيْنَ السَّبَابَةِ وَالوُسْطَى
“Aku (Rasulullah) dan orang yang merawat anak yatim di surga (berdekatan) seperti dua jari ini. Dan beliau menggabungkan antara jari telunjuk dan jari tengahnya” [HR. Al-Bukhari dan Muslim]
Dalam sebuah Hadis yang diriwayatkan oleh al-Imam al-Daylamy, diterangkan bahwa diterangkan bahwa orang yang terakhir masuk ke dalam surga, yaitu orang mukmin yang terakhir kali diangkat dari neraka setelah ia dibersihkan dari dosa-dosanya, ia mendapat surga yang luasnya sepuluh kali lipat dari dunia ini. Surga yang demikian tersebut adalah surga yang kelas ‘emperan’, kelas paling ekonomis.

Ketika surga ‘kelas emperan’ sedemikian luas dan hebat, maka surga yang akan ditempati Rasulullah tentu lebih bagus dan lebih luhur, yang jika dianalogikan dengan hotel, maka surga yang ditempati Rasulullah adalah president suite dari hotel berkelas diamonds.
Jika anda tertarik bersama Rasulullah di surga kelas super super super VIP, kalau sudah pernah berhaji, maka tidak usah berhasrat pergi ke Mekkah lagi untuk berhaji, selain membuat ‘sumpek’ Arafah dan Mina, uang ONH-nya bisa disumbangkan ke panti asuhan anak yatim, Dompet Dhu’afa, atau ke lembaga sosial lainnya yang akuntabel. Di sini artinya anda telah melaksanakan haji sosial.

Rasulullah yang menjadi teladan kita, setelah berhijrah, beliau hanya sekali menunaikan haji. Allah A’lam.

Ibn Hajar Juga Manusia

METODOLOGI PENULISAN KITAB

TAHRIR TAQRIB AL-TAHDZIB

KARYA BASYSYAR ‘AWWAD MA’RUF DAN SYU’AIB AL-ARNA`UTH

Oleh: Andi Rahman



Dalam kajian filologi, nama Basysyar ‘Awwad Ma’ruf dan Syu’aib al-Arna`uth bukanlah sosok yang asing. Belasan manuscript telah ditahqiq, baik yang dilakukan secara individual maupun team work, selain beberapa kitab syarah (penjelasan), muraja’ah, dan karya-karya original dari dua ulama ini yang semuanya telah diterbitkan.

Dalam situs www.adabwafan.com/browse[1] disebutkan beberapa masnuscript yang telah ditahqiq oleh Basysyar, misalnya: Tarikh Madinah al-Salam karya al-Khathib al-Baghdady, Tuhfah al-Isyraf bi Ma’rifah al-Athraf karya al-Mizzy, al-Muwaththa` (Riwayat Yahya bin Yahya al-Laitsy) karya Malik bin Anas, al-Jami’ al-Kabir-Sunan al-Tirmidzy karya al-Tirmidzy, Wajiz al-Kalam karya Syamsuddin al-Sakhawy, Hayah al-Shahabah karya al-Kandahlawy, dan Tahdzib al-Kamal karya al-Mizzy. Beliau juga memuraja’ah kitab Syama`il al-Naby karya al-Tirmidzy yang ditahqiq oleh Mahir Yasin Fahl, menulis Tafsir al-Thabary yang diterbitkan dalam 7 jilid, Syarh Ibn Majah, dan Dhabth al-Nash wa al-Ta’liq ‘alaih, serta mengoleksi Hadis-hadis yang ada dalam beberapa Musnad yang diberi nama al-Musnad al-Jami’ ma’a al-Faharis yang diterbitkan dalam 22 jilid.

Masih dalam situs yang sama, disebutkan beberapa manuscript yang telah di tahqiq oleh Syu’aib al-Arnauth, misalnya: al-Da` wa al-Dawa`, Zad al-Ma’ad, dan al-Thib al-Nabawy, ketiganya merupakan karya Ibn Qayyim al-Jauziyyah. Beliau juga menahqiq Riyadh al-Shalihin karya al-Nawawy, Syarh Aqidah al-Thahawiyah karya Ibn ‘Abd al-‘Izz al-Hanafy, Siyar A’lam al-Nubala` karya al-Dzahaby, Jami’ al-‘Ulum wa al-Hikam karya Ibn Rajab al-Hanbaly, Musnad al-Imam Ahmad karya Ahmad bin Hanbal, Mawarid al-Zham`an Ila Zawa`id Ibn Hibban karya al-Haytsamy, al-Marasil karya Abu Dawud, Shahih Ibn Hibban bi Tartib Ibn Balban karya Ibn Balban al-Farisy, dan al-Adab al-Syar’iyyah karya Ibn Muflih al-Maqdisy. Beliau juga membimbing penahqiqan kitab Tahdzib Siyar A’lam al-Nubala` karya al-Dzahaby yang dilakukan oleh Ahmad Fayiz al-Himshy.

Kedua pakar Hadis dan filologi kontemporer ini kemudian berkolaborasi menulis kitab Tahrir Taqrib al-Tahdzib.



Latar Belakang Penulisan Kitab

Sejarah mencatat kitab Tahdzib al-Kamal, karya agung al-Mizzy (654-742 H), sebagai rujukan utama biografi perawi-perawi yang ada dalam al-Kutub al-Sittah (al-Bukhary, Muslim, al-Tirmidzi, Abu Dawud, al-Nasa`i, dan Ibn Majah). Para ulama menyatakan bahwa tidak ada kitab yang dapat menyamainya, di mana pengarangnya (al-Mizzy) telah menciptakan metode penulisan buku yang belum pernah ada sebelumnya. Tidak sedikit jumlah ulama yang kemudian mencoba mengkaji kitab ini secara mendalam, kemudian menulis ringkasan atau tambahan atasnya,[2] misalnya: Jamaluddin Rafi’ al-Sallamy (668-718 H) menulis al-Kuna al-Mukhtashar min Tahdzib al-Kamal fi Asma` al-Rijal, al-Dzahaby (673-748 H) menulis Tadzhib al-Tahdzib, al-Kasyif fi Ma’rifah Man Lahu Riwayah fi al-Kutub al-Sittah, al-Mujarrad min Tahdzib al-Kamal, dan al-Muqtadhab min Tahdzib al-Kamal, al-Gassany al-Andarsyi (690-750 H) menulis Mukhtashar li Tahdzib al-Kamal, ‘Ala` al-Din Mughulthay (689-762 H) menulis Ikmal Tahdzib al-Kamal, al-Husayny (715-765 H) menulis al-Tadzkirah fi Rijal al-‘Asyrah, Ibn Katsir (701-774 H) menulis al-Takmil fi al-Jarh wa al-Ta’dil wa Ma’rifah al-Tsiqat wa al-Dhu’afa` wa al-Majahil, Ibn Bardas al-Ba’labakky (720-786 H) menulis Bughyah al-Arib fi Ikhtishar al-Tahdzib, Ibn Mulaqqin (723-804 H) menulis Ikmal Tahdzib al-Kamal fi Asma` al-Rijal, dan Sibth Ibn al-‘Ajamy la-Halaby (753-841 H) menulis Nihayah al-Sul fi Ruwat al-Sittah al-Ushul.[3]

Banyaknya ulama yang telah mengkaji kitab Tahdzib al-Kamal, tidak menyurutkan keinginan Ibn Hajar al-‘Asqalany (773-852 H) untuk menulis ringkasan kitab ini. Malahan kitab yang dinamainya Tahdzib al-Tahdzib ini kemudian menjadi rujukan utama ulama-ulama sesudahnya. Ibn Hajar meringkas karya al-Mizzy menjadi sekitar sepertiga isi kitab Tahdzib al-Kamal, dengan metodologi penulisan sebagaimana berikut:

1. Mencantumkan seluruh rawi yang disebutkan dalam kitab Tahdzib al-Kamal, dengan penambahan rawi yang sesuai dengan standart (syarat) yang dimilikinya, serta penambahan biografi yang dianggap dapat membantu membedakan apa-apa yang tidak dijelaskan oleh al-Mizzy.

2. Menulis kembali biografi rawi yang tidak dicantumkan al-Mizzy, padahal ia ada dalam kitab al-Kamal.

Ibn Hajar kemudian meringkas isi kitab ­Tahdzib al-Tahdzib dalam kitab Taqrib al-Tahdzib. Kitab ini (Taqrib al-Tahdzib) selesai ditulis pada tahun 827 H. Namun demikian, Ibn Hajar masih menganggap perlu mengkaji ulang isi kitab ini dan melakukan revisi-revisi serta menambahkan penjelasan yang dirasa perlu. Hal ini berlangsung hingga dua tahun menjelang kewafatannya. hingga dapat dikatakan bahwa isi dari kitab ini (al-Taqrib) merupakan ijtihad terakhir darinya dalam menentukan status dan kualitas rawi-rawi Hadis yang disebutkannya dalam kitab itu.[4] Secara lengkap, metode penulisan kitab Tahdzib al-Tahdzib dan Taqrib al-Tahdzib ini diterangkan Ibn Hajar dalam Muqaddimah kitab Taqrib al-Tahdzib.

Hasil ijtihad Ibn Hajar dalam Taqrib al-Tahdzib kemudian dijadikan pegangan utama dalam rangka meneliti status para rawi Hadis oleh para pengkaji Hadis, bahkan oleh banyak ulama yang membimbing penulisan karya ilmiah di pascasarjana. Ada kesan penyakralan kitab ini, dan anggapan bahwa isi kitab ini bersifat qath’i yang tidak dapat dikritisi. Hal ini juga pernah dirasakan Basysyar ‘Awwad Ma’ruf dan Syu’aib al-Arna`uth. Padahal dalam kitabnya, Ibn Hajar tidak memberikan penjelasan yang signifikan terutama pada rawi-rawi yang diperselisihkan status dan kualitasnya. Di waktu yang sama, banyak kontradiksi yang dilakukan Ibn Hajar dalam memberikan status dan penilaian kualitas rawi. Dan nampaknya, hal yang juga luput dari perhatian banyak ulama, adalah bahwa penilaian terhadap para rawi bersifat ijtihadiyah yang dapat dikritisi.[5]

Para ulama tidak ada yang meragukan kepakaran Ibn Hajar dalam kajian Hadis dan Ulum al-Hadis. Namun manusia sangat mungkin melakukan kesalahan dan kekeliruan, tidak terkecuali Ibn Hajar. “Adalah sebuah kebenaran yang pahit, bahwa ijtihad Ibn Hajar dalam kitabnya ini tidak sesuai dengan nama besar yang disandangnya”, demikian ungkap Basysyar ‘Awwad Ma’ruf dan Syu’aib al-Arnauth.[6] Melalui penelitian atas status para rawi yang telah ditetapkan Ibn Hajar dalam kitab Taqrib al-Tahdzib, dengan meng-cross check pendapat para ulama pakar jarh wa ta’dil, didapati tidak sedikit pendapat Ibn Hajar yang terkoreksi, baik yang berkaitan dengan kualitas rawi, maupun tahun kematian dan thabaqat (tingkatan)-nya.[7] Pengalaman menahqiq berbagai manuscript yang berkaitan dengan kitab Hadis dan Ulum al-Hadis, menjadi salah satu latar belakang ditulisnya kitab Tahrir Taqrib al-Tahdzib.



Muqaddimah al-Tahqiq Sebagai Pengantar Kitab Tahrir

Dalam Muqaddimah kitab Tahrir Taqrib al-Tahdzib, Basysyar ‘Awwad dan Syu’aib al-Arna`uth menyebutkan beberapa kaedah dan hal-hal yang dianggap perlu untuk diketahui pembaca kitabnya. Disebutkan juga marhalah-marhalah (periodenisasi) kritik Hadis[8]:

Marhalah pertama, periode kritik Matan Hadis. Periode ini dimulai pada masa shahabat dan berakhir pada pertengahan awal abad II H. Para shahabat saling mengkritisi matan Hadis yang didengarnya dari shahabat lain, sebagaimana Aisyah mengkritik Abu Hurairah, Umar bin al-Khathab dan Ibn Umar, di waktu yang sama Umar bin al-Khathab mengkritisi Aisyah dan Fathimah binti Qais.

Marhalah Kedua, periode kodifikasi Hadis (al-Tabwib wa al-Tanzhim) dan penilaian kualitas Hadis. Dalam marhalah ini kita kenal banyak pakar Hadis seperti Ali al-Madini, Yahya bin Ma’in, Ahmad bin Hanbal, Abu Zur’ah, al-Bukhari sebagainya.

Ulama terdahulu, seperti Malik bin Anas, Sufyan bin ‘Uyaynah, Sufyan al-Tsaury, dan al-Auza’iy memberikan penilaian atas para rawi karena mereka hidup semasa dengan rawi-rawi tersebut. Sementara ulama setelahnya, mengambil penilaian ini langsung dari mereka. Permasalahan yang timbul kemudian adalah: Bagaimana ulama abad ketiga Hijriyah dapat menilai kualitas rawi-rawi dari generasi tabi’in yang tidak mereka temui, sedangkan ulama pendahulunya tidak menjelaskan status dan kualitas rawi-rawi itu?

Misalnya, Ibn Abi Hatim pernah bertanya kepada ayahnya tentang kualitas seorang rawi yang bernama Ahmad bin Ibrahim al-Halaby. Setelah dibacakan Hadis yang berasal dari Ahmad bin Ibrahim, Abu Hatim berkata, “Aku tidak mengenalnya! Dan semua Hadis yang diriwayatkan darinya palsu dan bathil tidak memiliki sanad (laysa laha ushul). Hadis yang kamu bacakan menunjukkan bahwa dia (Ahmad bin Ibrahim) adalah seorang pendusta (kadzdzab)”. Saat Ibn Abi Hatim menanyakan bertanya lagi kepada ayahnya tentang biografi seorang rawi yang bernama Ahmad bin al-Mundzir bin al-Jarud al-Qazzaz, Abu Hatim menjawab, “Aku tidak mengenalnya!” Dan saat dibacakan sebuah Hadis yang diriwayatkan darinya (Ahmad bin al-Mundzir), Abu Hatim menyatakan bahwa Hadisnya shahih.[9]

Abu ‘Ubaid al-Ajiry pernah bertanya Abu Dawud tentang kualitas Maslamah bin Muhammad al-Tsaqafy al-Bashry, “Yahya bin Ma’in menganggapnya dhaif (laysa bi syai`)” Abu Dawud menanggapinya, “Kami telah dikabarkan Musaddad: Hadis-hadisnya baik (mustaqimah)”, Abu ‘Ubaid menanyakan status sebuah Hadis yang diriwayatkan Maslamah bin Muhammad yang ditanggapi oleh Abu Dawud: ”Siapa saja yang meriwayatkan Hadis itu, maka curigailah dia”.[10]

Berdasarkan tiga kasus di atas, nampak bahwa Abu Hatim dan Abu Dawud tidak mengenali rawi-rawi yang ditanyakan kepadanya kecuali dengan cara melakukan kajian atas matan Hadis-hadis yang diriwayatkan dari rawi-rawi itu. Ironisnya, cara ini pula yang dijadikan pedoman menentukan status dan kualitas Hadis.

Pada marhalah ini, kritik matan lebih dominan dibanding kritik sanad. Abu Hatim mengisahkan kedatangan seorang tokoh ahl al-ra`y yang membawa catatan Hadis kepadanya agar ia memberikan status kualitas tiap-tiap Hadis yang dibacakan dari catatan itu, “Hadis ini keliru (khatha`), Hadis itu batil (bathil), dan Hadis ini dusta (kadzib), sementara sisanya shahih”. Timbul pertanyan dari tokoh itu: Dari mana Abu Hatim mengetahui status dan kualitas Hadis-hadis yang dibacakan sementara ia tidak mengatahui rawi-rawi Hadisnya. “Aku tidak mengenal rawi-rawi Hadis itu, hanya saja aku tahu bahwa Hadis itu keliru” Jawab Abu Hatim.

“Apa Anda mengetahui hal-hal yang bersifat ghaib”, Tanyanya.

Abu Hatim menolak dianggap mengetahui hal-hal ghaib, “Silahkan engkau tanyakan orang yang memiliki keilmuan yang setingkat denganku tentang Hadis-hadis yang telah engkau tanyakan kepadaku. Jika penilaiannya sama dengan penilaianku, maka engkau akan mengetahui bahwa hal ini bukan sebuah kebetulan, tetapi berdasarkan ilmu”.

Maka dipilihlah Abu Zur’ah sebagai pakar Hadis untuk meng-cross check penilaian Hadis yang diberikan Abu Hatim. Tidak lama waktu berselang, orang tadi mendatangi kembali Abu Hatim dengan membawa hasil penilaian Abu Zur`ah yang ternyata sama persis dengan penilaian Abu Hatim. “Alangkah menakjubkan, bahwa anda berdua (Abu Hatim dan Abu Zur`ah) memiliki kesamaan penilaian tanpa adanya kesengajaan (konspirasi)”, decak kagum orang tadi.[11]

Seorang ahli emas (mata uang dinar) dapat dengan mudah mengetahui kualitas emas, tanpa harus mengetahui proses pembuatannya, atau adanya pemberitahuan dari orang yang mengolahnya. Demikian pula ahli permata akan dapat dengan mudah membedakan antara permata dengan kaca. “Demikian pula kami yang telah dianugerahi ilmu, yang tidak dapat kami beritahukan kepadamu, kami mampu mengetahui bahwa Hadis ini dusta atau munkar”. Demikian pungkas Abu Hatim.[12]

Marhalah ketiga, periode mengumpulkan pendapat ulama-ulama terdahulu tentang status dan kualitas Hadis, dengan disertai penjabaran Hadis yang diriwayatkannya dan status Hadis itu. Metode ini digunakan oleh ulama abad III Hijriyah, seperti Ibn Hibban (w. 354 H), Ibn ‘Addy al-Jurjani (w. 365 H), dan al-Daruquthny (w. 385 H).

Marhalah keempat, periode menyandarkan status dan kualitas rawi kepada pendapat ulama-ulama belakangan (muta`akhirin), khususnya pendapat Ibn Hajar al-‘Asqalani dalam kitab al-Taqrib. Periode ini berlangsung hingga sekarang, di mana kebanyakan pengkaji Hadis merasa cukup dengan penilaian yang diberikan Ibn Hajar akan status dan kualitas rawi, dan penilaian ulama belakangan seperti al-Hakim dan al-’Iraqy dalam hal keshahihan atau kedha’ifan Hadis. Padahal tidak sedikit dari ulama-ulama itu yang tasahul, misalnya al-Hakim.

Kaedah-kaedah yang ditetapkan para ulama mushthalah bersifat ijtihadiyah. Sebagian merupakan hasil penelitian yang akurat (istiqra` tam) dan kebanyakan merupakan hasil penelitian parsial. Demikian pula penilaian atas rawi. “Terkadang dua orang imam (pakar) Hadis berbeda pendapat tentang status dan kualitas seorang rawi, dan sebuah Hadis. Sebagian mendhaifkan sebuah Hadis sementara ada pakar yang menganggap Hadis itu shahih. Sebagian men-jarh seorang rawi, sementara ada juga yang men-ta’dil rawi itu. dari sini memberi kesan bahwa panshahihan Hadis termasuk masalah ijtihadiyah yang ada padanya perbedaan pendapat”. Demikian tulis al-Shan’ani dalam kitab Irsyad al-Nuqqad Ila Taysir al-Ijtihad. Al-Mundziry menganggap perbedaan muhadditsin seperti perbedaan fuqaha`.[13]

Masih ada beberapa hal yang dipaparkan Basysyar ‘Awwad Ma’ruf dan Syu’aib al-Arna`uth dalam Muqaddimah al-Tahqiq kitab Tahrir, yang nampaknya dimaksudkan untuk memberikan pandangan umum kepada pembaca akan isi kitab, sekaligus justifikasi atas kritik yang dilakukan terhadap kitab al-Taqrib karya Ibn Hajar.



Metodologi Penulisan Kitab Tahrir Taqrib al-Tahdzib

Sebelum menulis kitab Tahrir, Basysyar dan Syu’aib telah lebih dahulu mengkaji secara khusus (al-dhabt) kitab al-Taqrib dengan memberikan komentar dan catatan-catatan yang diperlukan. Hal ini dilakukan dengan cara membandingkan manuscript yang ditulis langsung oleh Ibn Hajar dengan manuscriprt yang ditulis oleh Muhammad Amin bin Hasan al-Mayarghany al-Husainy al-Hanafy, kemudian dilakukan cross check dengan kitab Tahdzib al-Kamal. Kajian ini juga dilakukan dengan cara memberikan harakat (tanda baca) atas nama-nama, kunyah (julukan), dan nisbah (asosiasi), serta pembetulan nomor, dan penulisan catatan kaki pada wahm (kekhilafan) yang dilakukan Ibn Hajar.

Kemudian Basysyar dan Syu’aib melanjutkan kajiannya yang kemudian diterbitkan dengan diberi nama Tahrir Ahkam al-Taqrib, dengan metodologi penulisan sebagaimana berikut[14]:

1. Tahqiq (kajian kritis) atas rutbah (derajat) para rawi yang diberikan Ibn Hajar. Ketika hasil kajiannya sama dengan apa yang ditulis Ibn Hajar, maka tidak diberikan komentar apa-apa. Sebaliknya jika ditemukan hasil kajian yang berbeda dengan hukum yang diberikan Ibn Hajar, maka diberikan catatan dengan argumentasi yang signifikan, dengan memberikan tanda bulatan di dalam kurung [(Ž)] sebagai pembeda antara Tahrir dengan al-Taqrib.

2. Melakukan kajian komprehensif atas setiap biografi yang ada dalam kitab al-Taqrib, dengan berdasarkan pendapat para imam jarh wa ta’dil sebagaimana disebutkan al-Mizzy dalam Tahdzib al-Kamal, dan sumber-sumber lain yang disebutkan secara singkat.

3. Mengkaji secara kritis status dan kualitas rawi-rawi yang perselisihkan, dengan membandingkan pendapat-pendapat ulama jarh wa ta’dil, dan terkadang dengan mengkaji riwayat-riwayat yang berasal dari rawi itu.

4. Khusus rawi yang ada dalam kitab Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim yang dikritik oleh beberapa pihak, dijelaskan status riwayat yang ada dalam dua kitab shahih: Apakah masuk dalam kategori ihtijaj, mutabi’ah, atau syahid

5. Menambahkan beberapa hal penting yang tidak disebutkan Ibn Hajar, seperti derajat rawi mudallis, status dan kualitas rawi mukhtalith seraya menentukan murid-murid yang meriwayatkan darinya sebelum ikhtilath atau sesudahnya.

6. Setiap Rawi yang dijuluki al-Ighrab oleh salah seorang imam, maka status itu ditetapkan, walaupun yang menjulukinya hanya satu orang. Di sini Ibn Hajar melakukan kerancuan (idhthirab), terutama terhadap ucapan Ibn Hibban yang seringkali menggunakan istilah ighrab. Status yang diberikan Ibn Hibban dan diikuti oleh Ibn Hajar ini tidak dianggap.

7. Adapau tautsiq yang diberikan Ibn Hibban, atau hukum jahalah yang diberikan olehnya, maka secara khusus dibahas dalam bab “Ibn Hibban wa al-Jarh wa al-Ta’dil”. Demikian pula status rawi yang dituduh melakukan bid’ah atau di-jarh dengan jarh yang tidak dibenarkan, maka kesemuanya dibahas dalam bab khusus.

8. Konsistensi dan penyeragaman istilah:

a. Rawi Tsiqah seluruh Hadisnya shahih kecuali jika dicurigai wahm atau terdapat syadz

b. Rawi Shaduq atau Hasan al-Hadis Hadisnya Hasan li Dzatihi dan bisa naik menjadi Shahih li Ghairihi jika terdapat mutabi’

c. Rawi Dha’if Yu’tabar Bih atau Maqbul Hadisnya dhaif dan dapat naik menjadi Hasan li Ghairihi jika ada mutabi’

d. Rawi Dha’if Hadisnya dhaif dan tidak dapat dijadikan mutabi’ atau syahid.

e. Rawi Matruk atau Munkar al-Hadis Hadisnya dhaif sekali, dan tidak dapat naik kualitasnya walaupun didukung oleh mutabi’ atau syahid.

f. Rawi Kadzdzab dan Wadhdha’ dan Halka Hadisnya palsu dan tidak dapat dijadikan hujjah.

9. Walaupun telah diupayakan adanya penyeragaman istilah, tetap dianggap perlu menambahkan istilah yang menjelaskan keadaan seorang rawi, misalnya “Tsiqah fi Ma ‘Ada al-Zuhri” (dhaif jika meriwayatkan Hadis dari al-Zuhri), atau “Tsiqah Yudallis” (dhaif jika meriwayatkan Hadis secara ’An’anah), atau “Tsiqah Yughrib” (Tsiqah jika meriwayatkan Hadis sendirian)., dan seterusnya.

10. Kajian yang ada dalam kitab Tahrir dilakukan berdasarkan pendapat-pendapat ulama terdahulu dengan mencermati pendapat-pendapat itu dan mengkomparasikannya. Kemudian menentukan pendapat yang benar. Hasil akhir yang ada dalam kitab ini (al-Tahrir) bersifat ijtihadiyah yang dapat dikririsi ulang dan dapat terjadi kekeliruan.

Dalam melakukan kajian, Basysyar ‘Awwad dan Syua’iab menggunakan fasilitas computer.

Hanya sabda Rasulullah yang wajib diikuti, selain beliau, kita dapat saja mengambil atau meninggalkan pendapat orang. Adanya perbedaan penilaian status dan kualitas yang ada dalam kitab Tahrir dengan apa yang ada dalam kitab al-Taqrib, bukanlah hal yang aneh, karena ulama terdahulupun berbeda pendapat akan penilaian terhadap seorang rawi.





[1] Tertanggal 10 Desember 2005

[2] Basysyar ‘Awwad Ma’ruf dan Syu’aib al-Arna`uth, “Muqaddimah al-Tahqiq”, dalam Tahrir Taqrib al-Tahdzib, karya Basysyar ‘Awwad Ma’ruf dan Syu’aib al-Arnauth, (Beirut: Mu`assasah al-Risalah, 1997), cet. I, vol I, hal. 8. Selanjutnya disebut Tahrir

[3] Penjelasan kitab-kitab ini secara lengkap dapat dibaca di Muqaddimah kitab Tahdzib al-Kamal cetakan Beirut 1980, vol. I, hal. 51-71

[4] Basysyar ‘Awwad Ma’ruf dan Syu’aib al-Arna`uth, “Muqaddimah al-Tahqiq”, dalam Tahrir …, vol. I, hal. 14

[5] Basysyar ‘Awwad Ma’ruf dan Syu’aib al-Arna`uth, “Muqaddimah al-Tahqiq”, dalam Tahrir… vol I, hal. 14-15

[6] Basysyar ‘Awwad Ma’ruf dan Syu’aib al-Arna`uth, “Muqaddimah al-Tahqiq”, dalam Tahrir …, vol I, hal. 17. [Dengan perubahan redaksional.]

[7] Ridwan Da’wul, “Muqaddimah al-Nasyir”, dalam Tahrir…, vol I, hal. 5

[8] Basysyar ‘Awwad Ma’ruf dan Syu’aib al-Arna`uth, “Muqaddimah al-Tahqiq”, dalam Tahrir…, vol I, hal. 18-24

[9] Tahrir…, vol I, hal. 19

[10] Tahrir…, vol I, hal. 20

[11] Basysyar ‘Awwad Ma’ruf dan Syu’aib al-Arna`uth, “Muqaddimah al-Tahqiq”, dalam Tahrir …, vol I, hal. 20-21 [dengan perubahan redaksional].

[12] Basysyar ‘Awwad Ma’ruf dan Syu’aib al-Arna`uth, “Muqaddimah al-Tahqiq”, dalam Tahrir …, vol I, hal. 22

[13] Basysyar ‘Awwad Ma’ruf dan Syu’aib al-Arna`uth, “Muqaddimah al-Tahqiq”, dalam Tahrir …, vol I, hal. 35

[14] Basysyar ‘Awwad Ma’ruf dan Syu’aib al-Arna`uth, “Muqaddimah al-Tahqiq”, dalam Tahrir …, vol I, hal. 45-50