ME...

ME...
MUSCAT-OMAN 2005

Selasa, 01 September 2009

RELASI MUSLIM DENGAN NON MUSLIM

Oleh: Andi Rahman, MA

Secara lugas Alquran menjelaskan tipologi manusia menjadi dua: Mukmin dan kafir. Dalam pemaknaan sederhana, mukmin adalah orang yang menerima dan mempercayai kerasulan Muhammad, sementara kafir adalah orang yang menolak kerasulan Muhammad. Kemudian kafir itu sendiri terbagi menjadi musyrik dan ahlul kitab (QS. Al-Bayyinah: 6-7).
Ahlul kitab adalah umat yahudi dan nashrani yang diturunkan kepada mereka kitab suci, namun menolak kerasulan Muhammad yang termaktubkan dalam Taurat dan Injil (QS. Al-A’raf: 157). Sementara musyrik adalah orang yang beragama bukan berdasarkan kitab suci yang diturunkan dari ”langit”.
Dalam interaksi sosial, tidak ada pembedaan perlakuan yang diterima ahlul kitab dan musyrik. Kedua-duanya merupakan kafir. Hal ini dilihat dari fakta bahwa Rasulullah memperlakukan majusi (penyembah api) selayaknya ahlul kitab, yaitu diberikan hak-hak azasi mereka (termasuk hak menjalankan agama) dengan disertai kewajiban membayar jizyah (upeti) sebagai ”apresiasi” atas perlindungan yang mereka terima dari kaum muslimin.

Pluralitas Dan Eksklusivisme Agama
Pluralitas agama diakui oleh Alquran, dengan penegasan bahwa Islam adalah satu-satunya agama yang benar (QS. Alu Imran: 19 dan 85) dan yang diridhai oleh Allah (QS. Al-Maidah: 3). Walaupun Islam adalah satu-satunya agama yang benar dan umat Islam diwajibkan menyampaikan kebenaran ini, Alquran melarang segala bentuk pemaksaan dalam beragama (QS. Al-Baqarah: 256). Kebenaran Islam wajib disampaikan dengan cara mauizhah (santun) dan hikmah (QS. Al-Nahl: 125).
Klaim eksklusivisme agama atau ”merasa benar sendiri” bukan hanya diyakini oleh umat Islam, tetapi pemeluk agama-agama yang lain juga meyakini hal serupa. Adanya upaya merelatifkan kebenaran agama, tertolak oleh seluruh keyakinan keberagamaan. Masing-masing pemeluk agama pasti meyakini kebenaran agamanya, yang secara tidak langsung menafikan kebenaran agama lain, dan hal ini bukanlah sebuah ancaman bagi keharmonisan kehidupan manusia selama masing-masing umat beragama saling menghargai dan bekerja sama.
Sebagian orang menyatakan bahwa apapun agama yang dianut seseorang, selama ia memiliki keyakinan terhadap eksistensi Tuhan, maka ia pasti dalam kebenaran. Tuhan dianalogikan sebagai tujuan, dan agama adalah jalan walaupun ada yang berkelok namun seluruhnya bermuara kepada satu tujuan.
Pernyataan seperti ini merupakan sebuah kekonyolan melihat fakta bahwa doktrin agama-agama saling menafikan kebenaran satu sama lain. Seseorang tidak bisa beragama Islam dan Hindu dalam waktu yang sama, melihat bahwa Islam tidak membenarkan doktrin Hindu dan demikian juga sebaliknya. Alquran sendiri menyatakan bahwa orang-orang yang menyembah berhala dengan tujuan mendekatkan diri kepada Allah, adalah pendusta dan kafir (QS. Al-Zumar: 3). Alquran juga dengan tegas menilai kafir orang yang meyakini trinitas, yang menjadi keyakinan umat Nashrani (QS. Al-Maidah: 73). Meyakini kebenaran semua agama akan menciptakan agama baru dengan doktrin teologis yang mustahil bisa dirumuskan.
Ketika seseorang ”memproklamirkan” diri sebagai seorang muslim, maka dengan sendirinya ia menyatakan dirinya kafir terhadap agama-agama lain. Demikian juga ketika ada orang yang menyatakan dirinya beragama selain Islam, maka dirinya telah beriman dengan agamanya itu dan kafir terhadap Islam dan agama lainnya.

Dialog Antar Umat Beragama
Antar pemeluk agama diharuskan berdialog untuk mencari titik kesamaan, bukannya titik perbedaan (QS. Alu Imran: 64), karena agama-agama yang berbeda pastilah memiliki nilai kebaikan yang universal. Nilai-nilai ini yang dikembangkan dan diamalkan bersama-sama dalam kehidupan bermasyarakat.
Dialog antar umat beragama yang dilakukan dengan baik, akan mengantarkan manusia ke dalam kebenaran agama berupa hidayah dari Allah Ta’ala (Islam). Namun demikian, tidak menutup kemungkinan bahwa Allah Ta’ala tidak menganugerahkan hidayah-Nya kepada orang yang Dia kehendaki (QS. Al-Qashash: 56). Kepada mereka yang belum atau tidak mendapatkan hidayah dari Allah Ta’ala, Alquran mengajarkan kita sebuah sikap yang arif: Bagimu agamamu dan bagiku Agamaku (QS. Al-Kafirun: 6). Kesadaran akan pluralias agama, akan menciptakan keharmonisan dalam kehidupan manusia yang didasari rasa saling menghargai dan bekerja sama, bukan sikap saling curiga dan saling memusuhi.
Alquran memang mewajibkan kaum beriman memerangi kaum kafir, namun demikian ia juga mengajarkan nilai-nilai toleransi. Ayat-ayat peperangan dan ayat-ayat perdamaian yang termaktub dalam Alquran perlu dipahami secara komprehensif dan proporsional. Rasulullah yang merupakan Penafsir Alquran, tidak menyerang Nahsrani di Najran, Yahudi di Madinah, dan Majusi di Hajar karena kekafiran mereka. Beliau memerangi Yahudi bani Quraizhah akibat pengkhianatan mereka kepada kesepakatan yang mereka buat bersama umat Islam.
Umat Islam boleh, bahkan wajib berperang ketika mereka diserang dan diusir dari rumah mereka (QS. Al-Hajj: 39-40). Selama berperang, kaum muslimin dilarang melampaui batas seperti menyerang orang tua dan anak-anak yang bukan kombatan (QS. Al-Baqarah: 190). Sementara dalam kondisi bukan berperang, umat Islam wajib menjaga hak-hak orang kafir dan berbuat baik kepada mereka sesuai aturan Agama (QS. Al-Mumtahanah: 8-9). Menyerang kaum kafir di saat damai, atau sebaliknya berdiam diri saat diserang merupakan perbuatan konyol yang jelas kelirunya. Demikian juga memerangi mereka yang tidak boleh diperangi atau bersekutu dengan kaum kafir yang menyerang umat Islam juga merupakan kesalahan fatal. Allah Ta’ala A’lam.
Penulis adalah kontributor buku Agama Dan Radikalisme Di Indonesia

Tidak ada komentar: