ME...

ME...
MUSCAT-OMAN 2005

Selasa, 01 September 2009

SOFTPOWER PENANGANAN EKSTRIMISME (telah dimuat di mejalah Dzulfikar edisi Ramadhan 1430 H)

Oleh: Andi Rahman, MA.


Sesaat setelah bom meledak di hotel JW Marriott dan Rizt Carlton, dunia terhenyak: Terorisme masih bertaji di Indonesia. Presiden SBY bereaksi dengan mengeluarkan statement dugaan motif di balik serangan bom itu. Menurutnya, dalang di balik meledaknya bom ini adalah pihak-pihak yang kecewa dengan pelaksanaan pemilu 2009. Belakangan sikap reaktif presiden ini disayangkan oleh banyak kalangan, mengingat belum ada bukti kuat yang mendukungnya.
Kepolisian kembali menggiatkan operasi penanganan terorisme. Penangkapan orang-orang yang diduga terkait dengan peristiwa itu marak dilakukan. Dalam telekonfrensi bersama kepala daerah seluruh Indonesia, presiden SBY menekankan perlunya “kesiagaan nasional” akan aksi teror lanjutan. Masyarakat diminta aktif menjaga wilayahnya dan melapor ke pihak berwajib kalau ada orang yang dicurigai terkait kelompok tertentu yang selama ini dituduh menjadi pelaku teror di Indonesia.
Pemerintah mengedepankan pendekatan “keras” dalam menangani kasus terorisme. Orang-orang yang diduga menjadi pelaku teror dicokok. Sebagian dari mereka ada yang dibebaskan karena tidak terbukti terlibat, dan sebagian yang lain berakhir di penjara (bahkan ada yang divonis mati). Penjara, sebaik apapun fasilitas yang tersedia, merupakan tempat yang menimbulkan trauma. Orang-orang yang sempat dipenjara, baik yang terbukti terlibat terorisme maupun yang menjadi korban salah tangkap, akan terstigmakan sebagai teroris. Perasaan ini memicu trauma yang mematik “rasa dendam”. Akhirnya kebencian terhadap hal-hal yang selama ini menjadi objek perlawanan para ekstrimis semakin meningkat. Saat bebas dari penjara, akan sangat mungkin mereka kembali ke terlibat dalam aksi teror. Bagus Budi Pranoto dan Air Setiawan adalah contoh narapidana terorisme yang kembali melakukan aksinya setelah keluar dari penjara.

Fenomena Global Ekstrimisme Agama
Sebagai sebuah gerakan (movement), ekstrimisme tidak sepi dari nilai. Mengingat bahwa formulasi aksi yang dipilih bersifat radikal, maka nilai yang membangun gerakan kalangan ekstrimis itu dipastikan juga radikal. Agama yang bersifat fundamental adalah “jubah” yang paling pas untuk membungkus aksi radikalistik. Dari sini kemunculan ekstrimisme mengatasnamakan agama menjadi fenomena global yang tidak terelakkan.
Ekstrimisme atas nama agama ditemui di banyak agama, kalau tidak mau dinyatakan ada di semua agama. Di Irlandia ada konflik antara umat Katolik dan Kristen, di India ada ekstrimis Hindu, dan di Indonesia ada ekstrimis muslim. Hal ini tentunya menimbulkan pertanyaan: Apakah agama mengajarkan nilai yang memicu kekerasan dan ekstrimisme?
Memahami perilaku ekstrimistik dengan satu paradigma akan memicu prejudis yang tidak perlu. Stigma teroris yang dilekatkan pada agama, Islam misalnya, adalah bukti kegagalan kita memahami membaca fenomena ekstimisme. Sejatinya para ekstrimis mengenakan topeng agama guna melancarkan aksinya, menyalahgunakan ayat-ayat kitab suci dan keluguan umat untuk mempropagandakan agendanya. Ada faktor politik, ekonomi, sosial, dan budaya yang menyuburkan ideologi ekstrimisme yang perlu dicermati dan dicari pemecahannya.
Agama sendiri bukanlah faktor yang memunculkan radikalisme dan ekstrimisme, karena banyak tokoh-tokoh agama tidak menyetujui aksi ekstrimistik. Bahkan mayoritas umat beragama menolak aksi yang dilakukan para ekstrimis. Agama memicu ekstrimisme ketika ia difahami secara eksklusif dan ditafsirkan keliru dengan melupakan konteksnya. Menggunakan “ayat-ayat pedang” dalam kondisi damai telah memicu aksi ekstrimisme. Orang yang tidak seagama dinilai sebagai musuh dan layak dibunuh. Demikian juga sebaliknya, menggunakan “ayat merpati” dalam kondisi perang juga merupakan sebuah kekeliruan. Di sini, ayat-ayat kitab suci harus ditafsirkan secara utuh dan kontekstual.
Ekstrimisme bukan tanpa sebab dan tanpa sasaran. Ada kepentingan pihak-pihak tertentu yang dengan sengaja menebar benih terorisme. Dalam setiap aksi teror, ada kompleksitas ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, dan rasa ketidakadilan. Mereka yang melakukan aksi terorisme bisa jadi berfikir bahwa keadaan buruk yang mereka rasakan tidak bisa diubah kecuali dengan kekerasan. Mereka yang meyakini bahwa sistem demokrasi yang diterapkan di Indonesia bertentangan dengan nilai-nilai fundamental keyakinannya, perlu diajak dialog untuk mencari titik temu. Mereka yang karena kebuntuan ekonomi memilih ikut serta dalam aksi ekstrimisme, perlu dibukakan akses ekonominya. Satu persatu faktor yang menyuburkan ekstrimisme perlu ditangani.
Selama faktor-faktor penumbuh ekstrimisme belum tertangani, upaya penanggulangan aksi-aksi ekstrimisme hanya akan mengantar kita kepada keberhasilan semu. Semakin banyak terorisme dipenjara, memang membuktikan aparat kepolisian dan intelejen berhasil melakukan counterattack terhadap terorisme. Namun kita perlu memikirkan apa yang terjadi setelah mereka dibebaskan dari penjara dan mendapati bahwa kenyataan masih seperti dulu, kemudian mereka kembali melakukan aksi-aksi terornya. Kita perlu merumuskan alur penanganan yang lebih lembut (softpower) yang bisa menyelesaikan terorisme sampai ke akar-akanya.
Penulis adalah pengajar pesantren Darus-Sunnah, Ciputat.

Tidak ada komentar: