ME...

ME...
MUSCAT-OMAN 2005

Jumat, 30 Januari 2009

YANG BERIMAN, YANG BERMORAL

Konon, sekarang ini di kalangan umat Islam Indonesia terdapat 250 faham dan aliran yang tidak mainstream, atau yang dalam terminologi MUI dinamakan sesat. Sebuah kondisi yang telah diterangkan Rasulullah melalui sabdanya, ”Umatku akan berpecah belah menjadi 73 golongan, dan hanya satu yang masuk surga (yang benar), yaitu al-Jama’ah” (HR. Abu Dawud dari Mu’awiyah bin Abu Sufyan).

Dalam Hadits lain dijelaskan maksud dari ”al-jama’ah” atau golongan yang selamat tersebut, yaitu mereka yang mengikuti Rasulullah dan para shabatnya (HR. Al-Tirmidzi), dan secara kuantitatif mereka adalah mayoritas atau al-Sawad al-A’zham (HR. Ibn Majah).

Masing-masing golongan atau sekte yang ada mengklaim bahwa merekalah golongan yang selamat, dan orang lain di luar golongan mereka pasti sesat. Hal ini, berpotensi menimbulkan kegamangan dan kebingungan di kalangan umat Islam, terutama masyarakat awam yang tidak memahami ajaran Agamanya dengan baik.

Dalam konteks keindonesiaan, MUI telah memberikan acuan guna mendeteksi faham dan ajaran sesat, di antaranya adalah ketika doktrin yang diajarkan sebuah kelompok secara lugas mengingkari rukun iman dan atau rukun Islam, atau meyakini adanya nabi setelah Nabi Muhammad, dan gampang mengkafirkan orang lain tanpa dalil syar’i yang benar.
Setidaknya ada tiga teori yang bisa menjelaskan kemunculan banyaknya aliran sesat di tengah masyarakat,

Pertama, ketidakmampuan ulama dalam menyampaikan ajaran Islam dengan benar, atau karena mereka tidak ”menyapa” umat secara intensif dan tulus.

Banyak dai yang sebenarnya belum memiliki pengetahuan Agama yang memadai, namun karena dekat dengan dunia hiburan (misalnya televisi) mereka berdakwah. Bahkan artis dan pelawak-pelawak yang dalam kesehariannya tidak berperilaku secara islami, diperingatan-peringatan hari besar Islam, mereka menjadi juru dakwah. Sementara sebagian ulama yang memiliki ilmu yang mumpuni justru bersikap apatis dan cuek dengan kondisi umatnya. Akhirnya, umat dibimbing oleh dai-dai karbitan yang hanya bisa menyampaikan ajaran Islam secara sepotong-potong.

Faktor eksklusivitas ulama yang pada akhirnya menciptakan jarak antara mereka dengan umat, juga memiliki andil dalam kegagalan dakwah. Hal ini bisa jadi merupakan buah dari ”fitnah” politik di mana ulama hanya mau berdakwah dan mendidik umat yang berasal dari partainya.

Ketidakmampuan ulama dalam mendidik umatnya, merupakan faktor utama timbulnya kesesatan-kesesatan dan penyimpangan ajaran Agama. Di sini, kita dapati bahwa dengan reedukasi dan dialog, banyak pengikut ajaran sesat yang bertobat, yang membuktikan bahwa kesesatan mereka berawal dari ketidaktahuan mereka terhadap ajaran Islam yang benar, dan kealpaan ulama dalam mendidik umatnya.

Kedua adanya perasaan terdesak, frustasi, inferioritas, dan ketidakberdayaan umat dalam menghadapi realitas hidupnya menjadikan mereka merindukan sosok ”ratu adil”, ”imam mahdi”, dan ”isa al-maw’ud”. Mereka yang secara sosial dan ekonomi terpinggirkan, dan tidak harapan untuk mendapatkan keadilan dan kecukupan, akan mudah diajak mengimani sosok ratu adil yang diharapkannya bisa mengubah kondisinya. Dan faktanya, aliran-aliran sesat yang muncul ke permukaan biasanya mengusung seseorang sebagai nabi, misalnya Mushadek yang memipin al-Qiyadah al-Islamiyah, Lia Aminuddin dengan jamaah Salamullahnya, dan Ahmadiyah dengan nubuwat Mirza Ghulam Ahmadnya. Orang yang dalam keadaan terdesak biasanya gugup dan tumpul akal sehatnya. Orang-orang seperti ini yang sangat mudah dibohongi dan diajak mengikuti faham sesat.

Ketiga, adanya konspirasi intelejen guna mendiskreditkan umat Islam. Asumsi ini didasari kesamaan pola kemunculan nabi-nabi palsu yang biasanya dua tahun menjelang pemilu.
Apapun motif dan pemicu timbulnya faham dan aliran sesat di kalangan umat Islam, para ulama berkewajiban untuk meluruskannya dan menjaga akidah umat dari penyimpangan dan kesesatan.


MORALITAS KAUM BERIMAN
Ada korelasi yang kuat antara kesadaran beragama seseorang dengan sikap dan perilakunya sehar-hari. Hal ini disebabkan ajaran Agama yang juga menitikberatkan pada sisi sosial dan pembentukan moral individu dan masyarakat.

Agama tidak berhenti pada titik ”pemberitahuan” bahwa Allah itu ada, dan bahwa Dia menciptakan surga dan neraka sebagai tempat pembalasan amal perbuatan manusia (dan jin). Agama memuat nilai-nilai keluhuran budi di mana orang meyakini bahwa dirinya akan mempertanggungjawabkan perbuatannya di hadapan Tuhan. Keyakinan ini dengan sendirinya akan menjadi motivasi bagi masing-masing individu untuk sekuat tenaga berbuat baik (fastabiqul khayrat).

Ibadah mahdah (pure rituality) seperti shalat berdzikir yang sering difahami sebagai ibadah indiviudalistik, juga memiliki hikmah yang terkait dengan pembentukan moral dan budi yang luhur (akhlak karimah). Misalnya ibadah puasa yang ”mengenalkan” rasa lapar, dapat memunculkan rasa empati dan peduli terhadap penderitaan dan kesusahan sesama manusia. Atau pelaksanaan shalat beramaah yang menegasikan strata sosial di mana setiap orang berdiri sama rata menghadap kiblat tanpa membedakan status sosial dan kondisi ekonominya.

Mereka yang beriman kepada al-Quran, akan mendapati banyak perintah bersedekah, saling menolong, saling menghormati, bersikap jujur, mengemban amanah dengan baik, dan banyak lagi ajaran moral yang luhur. Di waktu yang sama mereka akan menjauhi perbuatan zina, membunuh, mencuri, kekejian, saling menistakan, saling mencaci, dan sikap-sikap tercela lainnya yang dijelaskan al-Quran.

Di sini, tingkat keimanan seseorang seharusnya dapat dilihat dari sikap dan perbuatannya sehari-hari. Islam dan keimanan akan membawa orang pada titik di mana ia yakin bahwa Allah selalu bersamanya dan membalas perbuatan-perbuatannya. Seseorang yang memproklamirkan dirinya sebagai seorang muslim mukmin, adalah seseorang yang moralitasnya baik dan selalu berusaha melakukan kebajikan.

Namun beda antara harapan dengan realita (des sein des solen). Banyak orang yang tidak korupsi karena takut KPK, bukan karena al-Quran melarang pencurian dan Rasulullah melaknat koruptor. Tidak sedikit juga orang yang berhenti berjudi karena takut digrebek polisi, bukan karena karena sadar bahwa judi adalah langkah-langkah setan yang bisa menjerumuskannya ke dalam kubangan kenistaan.

Di sini, ulama berperan dan bertanggungjawab untuk meningkatkan pelayanannya kepada umat. Ulama menjadi garda depan guna menjaga akidah umat dan moralitas mereka. Ulama harus mampu membuktikan bahwa keimanan dan keislaman akan membuat moralitas bangsa menjadi lebih baik.

Rasulullah memprioritaskan pemantapan akidah pada sepuluh tahun periode Mekkah, sebelum umat Islam dikenalkan hukum dan syariah Islam. Ini jelas membuktikan bahwa akidah adalah pokok yang dengan sendirinya akan menjadikan seseorang taat ajaran Agama, dan bermoral luhur. Logikanya, seseorang yang tidak meyakini adanya Tuhan, tidak akan berbuat sesuatu untuk Tuhan. Dan orang yang tidak meyakini kebenaran Agamanya, tidak akan menjalankan ajaran dan syariah Agama dengan tulus. Di sini, pemanatapan akidah harus menjadi prioritas utama. Allah A’lam.

Tidak ada komentar: