ME...

ME...
MUSCAT-OMAN 2005

Kamis, 04 Maret 2010

LAZ, JANGAN DIBUBARKAN!

Oleh: Andi Rahman, MA.

Tahun 2009, sekolah SMART Ekselensia Indonesia telah meluluskan siswanya. Alumni perdana dari sekolah yang mendapat izin menyelenggarakan program belajar akselerasi ini, seluruhnya diterima di perguruan tinggi negeri (PTN) seperti Universitas Indonesia, Institut Teknologi Bandung, dan Universitas Padjajaran. Seorang alumni melanjutkan studinya di luar negeri, yaitu Muhammad Syukron yang sekarang tengah belajar di Belgia. Siswa-siswa yang dididik di SMART EI berasal dari golongan dhuafa yang menjadi mustahik (penerima zakat), karena sekolah ini dibiayai oleh zakat.
Sekolah SMART EI adalah satu dari banyak program yang diselenggarakan oleh Dompet Dhuafa sebagai LAZ (Lembaga Amil Zakat). Ketika wacana pembubaran LAZ menyeruak di tengah-tengah masyarakat, muncul keprihatinan yang mendalam. Sekolah-sekolah sejenis SMART EI yang selama ini telah menunjukkan keberhasilannya dalam mendidik dan mengajarkan anak-anak dari kelompok masyarakat marjinal akan terhenti. Program dan aktivitas pemberdayaan masyarakat miskin yang selama ini dilaksanakan LAZ, terancam tidak berlanjut. Pelibatan masyarakat sipil dalam upaya mengentaskan kemiskinan akan diberangus. Tegakah kita melakukannya?

Undang-undang Zakat
Kelahiran UU no. 38 tahun 1999 tentang pengelolaan zakat merupakan anugerah besar yang wajib disyukuri. Sebelumnya zakat, yang merupakan instrumen ekonomi utama untuk mengentaskan kemiskinan, dimarjinalkan. Respon dari masyarakat terkait penerbitan UU ini sangat meriah. Hal ini terbukti dengan kemunculan lembaga amil zakat yang tumbuh bagaikan cendawan di musim hujan. Yusuf Wibisono melansir bahwa saat ini setidaknya ada BAZNAS (badan amil zakat nasional), 18 LAZ nasional, 33 BAZ provinsi, 429 BAZ kabupaten/kota, dan 4.771 BAZ kecamatan.
Namun demikian UU ini bukan tanpa kelemahan. Misalnya dari sisi implementasinya, di mana setelah 10 tahun berjalan, UU no. 38 tahun 1999 belum memiliki PP (peraturan pemerintah). Banyaknya lembaga pemungut zakat yang tidak terkontrol dan sulit diawasi juga merupakan permasalahan yang menimbulkan kepelikan tersendiri. Selain itu, ada beberapa isu krusial yang perlu diselesaikan, sehingga revisi UU no. 38 tahun 1999 menjadi sebuah pilihan yang perlu segera dilakukan. Sekarang ini, di masyarakat beredar dua ”proposal” undang-undang zakat yang baru, yaitu yang berasal dari Depag RI, dan yang berasal dari civil society (LAZ).
Rancangan UU zakat yang diusung oleh Depag RI mendapat resistensi (penolakan) yang kuat, utamanya dari masyarakat sipil pemerhati zakat dan LAZ. Poin yang paling besar mendapat sorotan adalah tawaran sentralisasi pengelolaan zakat. Depag memahami bahwa zakat harus dikelola hanya oleh BAZ dan masyarakat berpartisipasi melalui BAZ. Konsekuensi dari sentralisasi zakat adalah pembubaran LAZ. Untuk itu, agar tetap diakui keberadaannya LAZ harus melebur ke BAZ, atau menjadi ormas.
Nampaknya, tawaran Depag berdasar ayat 103 surat al-Taubah ditafsirkan sebagai kewenangan pengelolaan zakat yang hanya dimiliki oleh pemerintahan, yang dalam hal ini dilakukan oleh BAZ. Seharusnya, LAZ yang mendapat izin dari pemerintah juga diakui sebagai kepanjangan tangan dari pemerintah. Tafsiran ini tentunya bukan satu-satunya alasan, ada faktor lain yang melandasi timbulnya inisisasi sentralisasi zakat, dari pada sekedar ”kepatuhan menjalankan penafsiran ayat”.

Pengingkaran Terhadap Demokrasi
Dari tahun ke tahun, penerimaan ziswaf (zakat, infak dan wakaf) meningkat. Menurut Indonesia Zakat and Development Report (IZDR), hingga akhir tahun 2007, dana ziswaf nasional yang berhasil dikumpulkan mencapai 361 milyar rupiah. Asumsi pertumbuhan rata-rata tahunan (AAGR) sebesar 52,88% selama periode 2004-2008. Dua pertiga dana ziswaf ini masuk melalui LAZ.
Besarnya kepercayaan masyarakat terhadap LAZ mengindikasikan tingkat kepercayaan (trust) yang tinggi. Bagi sebagian orang, institusi pemerintahan identik dengan birokrasi yang secara umum dipersepsikan lemah dan korup.
Keterlibatan masyarakai sipil dalam pengelolaan zakat dijamin dalam konstitusi (pasal 29 ayat 2), bahwa negara menjamin kebebasan warga negara untuk menjalankan ajaran agamanya, yang dalam konteks Islam adalah zakat. Sistem demokrasi menghendaki keterlibatan masyarakat sipil dalam pembangunan, yang pada akhirnya menjadikan ”isu” sentralisasi pengelolaan zakat menjadi ahistoris. Menafikan keberhasilan LAZ dalam membangun peradaban zakat dan menginisiasi program pengentasan kemiskinan, adalah sebuah kemunduran yang memilukan hati.
Rencana revisi UU 38 tahun 1999 perlu dipikirkan matang-matang dengan melibatkan pihak-pihak terkait. Pemerintah dan parlemen perlu mengajak diskusi LAZ, para pakar pemerhati zakat, dan akademisi. Kegaduhan masyarakat terkait inisiasi Depag RI bisa jadi salah dan mispersepsi. Namun, kita perlu memahaminya dalam bingkai kepedulian bersama terhadap upaya pengentasan kemiskinan. Kita ingin ada banyak anak seperti Syukron yang bisa mendapatkan pendidikan terbaiknya, walaupun mereka berasal dari keluarga yang dhuafa dan termarjinalkan. Allah al-Musta’an.

(tulisan dimuat di majalah Dzulfikar edisi Februari 2010)

Tidak ada komentar: