ME...

ME...
MUSCAT-OMAN 2005

Selasa, 22 Desember 2009

mengeraskan bacaan basmalah

Ibn Taymiyah menyatakan,
”Para pakar hadis (ahl al-ma’rifah bi al-Hadîts) sepakat bahwa tidak ada satu hadispun yang menjadi dalil mengeraskan bacaan basmalah. Para kolektor hadis yang masyhur seperti Abû Dâwud, al-Tirmidzî, dan al-Nasâî tidak meriwayatkan hadis yang menjelaskan bahwa basmalah dibaca secara keras. Hadis yang ada seputar membaca basmalah secara keras adalah palsu yang diriwayatkan oleh al-Tsa’labî dan al-Mâwardî dan tokoh-tokoh lain seperti keduanya dalam literatur tafsir dan sebagian literatur fiqh yang ditulis oleh ahli fiqh yang tidak bisa membedakan antara hadis palsu dan tidak palsu...Yang lebih mengherankan adalah bahwa ada sebagian pakar fiqh tidak mengutip hadis dari (sahîh) al-Bukhârî, kecuali satu hadis tentang basmalah, tapi sebenarnya hadis itu tidak ada dalam (sahîh) al-Bukhârî. Jika hanya segitu pengetahuannya terhadap hadis, bagaimana bisa ia memberikan pendapat dalam masalah ini (mengeraskan bacaan basmalah)?!

Atau hadis ini diriwayatkan oleh mereka yang memiliki keilmuan terhadap hadis, seperti al-Dâruqutnî dan al-Khatîb yang mengoleksi riwayat-riwayat (tentang mengeraskan bacaan basmalah). Ketika mereka ditanya tentang kesahîhan hadisnya, mereka menjawab sesuai keilmuan yang mereka miliki. Misalnya saat memasuki negeri Mesir, al-Dâruqutnî diminta mengumpulkan hadis terkait pengerasan suara saat membaca basmalah. Iapun melakukannya. Saat ditanya apakah hadis-hadis itu ada yang sahîh, ia menyatakan bahwa tidak ada riwayat yang sahîh yang berasal dari Rasulullah (hadis marfû’). Sementara riwayat yang berasal dari sahabat ada yang sahîh dan ada yang da’îf.

Hal serupa juga terjadi pada al-Khatîb saat ditanya pertanyaan yang serupa, dia mengutip dua hadis mauqûf kepada Mu’âwiyah. Al-Khatîb menilai bahwa riwayat yang dikutipnya sangat kuat sebagai dalil, namun, menurut Ibn taymiyah, sebenarnya lemah (laysa bi hujjah).”

’Abd al-Fattâh Abû Guddah, al-Sunnah al-Nabawiyah wâ Bayân Madlûlihâ al-Syar’î wa Ta’rîf bi Sunan al-Dâruqutnî¸(Aleppo: Maktab al-Matbû’ât al-Islâmiyah, 1992), cet. I, hal. 26;
lihat juga Ibn Taymiyah, Majmû’ Fatâwâ Ibn Taymiyah, vol. V, hal. 194 dalam www.al-islam.com.
Al-Albani berkata, ”Pendapat yang benar adalah tidak ada hadis yang lugas (sarîh) yang sahîh terkait dengan pengerasan suara bacaan basmalah.
Muhammad Nâsir al-Dîn al-Albânî, Tamâm al-Minnah fi al-Ta’lîq ’alâ Fiqh al-Sunnah¸ (al-Maktabah al-Islâmiyah, 1409 H), ttp., cet. III, hal. 168

Selasa, 01 September 2009

RELASI MUSLIM DENGAN NON MUSLIM

Oleh: Andi Rahman, MA

Secara lugas Alquran menjelaskan tipologi manusia menjadi dua: Mukmin dan kafir. Dalam pemaknaan sederhana, mukmin adalah orang yang menerima dan mempercayai kerasulan Muhammad, sementara kafir adalah orang yang menolak kerasulan Muhammad. Kemudian kafir itu sendiri terbagi menjadi musyrik dan ahlul kitab (QS. Al-Bayyinah: 6-7).
Ahlul kitab adalah umat yahudi dan nashrani yang diturunkan kepada mereka kitab suci, namun menolak kerasulan Muhammad yang termaktubkan dalam Taurat dan Injil (QS. Al-A’raf: 157). Sementara musyrik adalah orang yang beragama bukan berdasarkan kitab suci yang diturunkan dari ”langit”.
Dalam interaksi sosial, tidak ada pembedaan perlakuan yang diterima ahlul kitab dan musyrik. Kedua-duanya merupakan kafir. Hal ini dilihat dari fakta bahwa Rasulullah memperlakukan majusi (penyembah api) selayaknya ahlul kitab, yaitu diberikan hak-hak azasi mereka (termasuk hak menjalankan agama) dengan disertai kewajiban membayar jizyah (upeti) sebagai ”apresiasi” atas perlindungan yang mereka terima dari kaum muslimin.

Pluralitas Dan Eksklusivisme Agama
Pluralitas agama diakui oleh Alquran, dengan penegasan bahwa Islam adalah satu-satunya agama yang benar (QS. Alu Imran: 19 dan 85) dan yang diridhai oleh Allah (QS. Al-Maidah: 3). Walaupun Islam adalah satu-satunya agama yang benar dan umat Islam diwajibkan menyampaikan kebenaran ini, Alquran melarang segala bentuk pemaksaan dalam beragama (QS. Al-Baqarah: 256). Kebenaran Islam wajib disampaikan dengan cara mauizhah (santun) dan hikmah (QS. Al-Nahl: 125).
Klaim eksklusivisme agama atau ”merasa benar sendiri” bukan hanya diyakini oleh umat Islam, tetapi pemeluk agama-agama yang lain juga meyakini hal serupa. Adanya upaya merelatifkan kebenaran agama, tertolak oleh seluruh keyakinan keberagamaan. Masing-masing pemeluk agama pasti meyakini kebenaran agamanya, yang secara tidak langsung menafikan kebenaran agama lain, dan hal ini bukanlah sebuah ancaman bagi keharmonisan kehidupan manusia selama masing-masing umat beragama saling menghargai dan bekerja sama.
Sebagian orang menyatakan bahwa apapun agama yang dianut seseorang, selama ia memiliki keyakinan terhadap eksistensi Tuhan, maka ia pasti dalam kebenaran. Tuhan dianalogikan sebagai tujuan, dan agama adalah jalan walaupun ada yang berkelok namun seluruhnya bermuara kepada satu tujuan.
Pernyataan seperti ini merupakan sebuah kekonyolan melihat fakta bahwa doktrin agama-agama saling menafikan kebenaran satu sama lain. Seseorang tidak bisa beragama Islam dan Hindu dalam waktu yang sama, melihat bahwa Islam tidak membenarkan doktrin Hindu dan demikian juga sebaliknya. Alquran sendiri menyatakan bahwa orang-orang yang menyembah berhala dengan tujuan mendekatkan diri kepada Allah, adalah pendusta dan kafir (QS. Al-Zumar: 3). Alquran juga dengan tegas menilai kafir orang yang meyakini trinitas, yang menjadi keyakinan umat Nashrani (QS. Al-Maidah: 73). Meyakini kebenaran semua agama akan menciptakan agama baru dengan doktrin teologis yang mustahil bisa dirumuskan.
Ketika seseorang ”memproklamirkan” diri sebagai seorang muslim, maka dengan sendirinya ia menyatakan dirinya kafir terhadap agama-agama lain. Demikian juga ketika ada orang yang menyatakan dirinya beragama selain Islam, maka dirinya telah beriman dengan agamanya itu dan kafir terhadap Islam dan agama lainnya.

Dialog Antar Umat Beragama
Antar pemeluk agama diharuskan berdialog untuk mencari titik kesamaan, bukannya titik perbedaan (QS. Alu Imran: 64), karena agama-agama yang berbeda pastilah memiliki nilai kebaikan yang universal. Nilai-nilai ini yang dikembangkan dan diamalkan bersama-sama dalam kehidupan bermasyarakat.
Dialog antar umat beragama yang dilakukan dengan baik, akan mengantarkan manusia ke dalam kebenaran agama berupa hidayah dari Allah Ta’ala (Islam). Namun demikian, tidak menutup kemungkinan bahwa Allah Ta’ala tidak menganugerahkan hidayah-Nya kepada orang yang Dia kehendaki (QS. Al-Qashash: 56). Kepada mereka yang belum atau tidak mendapatkan hidayah dari Allah Ta’ala, Alquran mengajarkan kita sebuah sikap yang arif: Bagimu agamamu dan bagiku Agamaku (QS. Al-Kafirun: 6). Kesadaran akan pluralias agama, akan menciptakan keharmonisan dalam kehidupan manusia yang didasari rasa saling menghargai dan bekerja sama, bukan sikap saling curiga dan saling memusuhi.
Alquran memang mewajibkan kaum beriman memerangi kaum kafir, namun demikian ia juga mengajarkan nilai-nilai toleransi. Ayat-ayat peperangan dan ayat-ayat perdamaian yang termaktub dalam Alquran perlu dipahami secara komprehensif dan proporsional. Rasulullah yang merupakan Penafsir Alquran, tidak menyerang Nahsrani di Najran, Yahudi di Madinah, dan Majusi di Hajar karena kekafiran mereka. Beliau memerangi Yahudi bani Quraizhah akibat pengkhianatan mereka kepada kesepakatan yang mereka buat bersama umat Islam.
Umat Islam boleh, bahkan wajib berperang ketika mereka diserang dan diusir dari rumah mereka (QS. Al-Hajj: 39-40). Selama berperang, kaum muslimin dilarang melampaui batas seperti menyerang orang tua dan anak-anak yang bukan kombatan (QS. Al-Baqarah: 190). Sementara dalam kondisi bukan berperang, umat Islam wajib menjaga hak-hak orang kafir dan berbuat baik kepada mereka sesuai aturan Agama (QS. Al-Mumtahanah: 8-9). Menyerang kaum kafir di saat damai, atau sebaliknya berdiam diri saat diserang merupakan perbuatan konyol yang jelas kelirunya. Demikian juga memerangi mereka yang tidak boleh diperangi atau bersekutu dengan kaum kafir yang menyerang umat Islam juga merupakan kesalahan fatal. Allah Ta’ala A’lam.
Penulis adalah kontributor buku Agama Dan Radikalisme Di Indonesia

SOFTPOWER PENANGANAN EKSTRIMISME (telah dimuat di mejalah Dzulfikar edisi Ramadhan 1430 H)

Oleh: Andi Rahman, MA.


Sesaat setelah bom meledak di hotel JW Marriott dan Rizt Carlton, dunia terhenyak: Terorisme masih bertaji di Indonesia. Presiden SBY bereaksi dengan mengeluarkan statement dugaan motif di balik serangan bom itu. Menurutnya, dalang di balik meledaknya bom ini adalah pihak-pihak yang kecewa dengan pelaksanaan pemilu 2009. Belakangan sikap reaktif presiden ini disayangkan oleh banyak kalangan, mengingat belum ada bukti kuat yang mendukungnya.
Kepolisian kembali menggiatkan operasi penanganan terorisme. Penangkapan orang-orang yang diduga terkait dengan peristiwa itu marak dilakukan. Dalam telekonfrensi bersama kepala daerah seluruh Indonesia, presiden SBY menekankan perlunya “kesiagaan nasional” akan aksi teror lanjutan. Masyarakat diminta aktif menjaga wilayahnya dan melapor ke pihak berwajib kalau ada orang yang dicurigai terkait kelompok tertentu yang selama ini dituduh menjadi pelaku teror di Indonesia.
Pemerintah mengedepankan pendekatan “keras” dalam menangani kasus terorisme. Orang-orang yang diduga menjadi pelaku teror dicokok. Sebagian dari mereka ada yang dibebaskan karena tidak terbukti terlibat, dan sebagian yang lain berakhir di penjara (bahkan ada yang divonis mati). Penjara, sebaik apapun fasilitas yang tersedia, merupakan tempat yang menimbulkan trauma. Orang-orang yang sempat dipenjara, baik yang terbukti terlibat terorisme maupun yang menjadi korban salah tangkap, akan terstigmakan sebagai teroris. Perasaan ini memicu trauma yang mematik “rasa dendam”. Akhirnya kebencian terhadap hal-hal yang selama ini menjadi objek perlawanan para ekstrimis semakin meningkat. Saat bebas dari penjara, akan sangat mungkin mereka kembali ke terlibat dalam aksi teror. Bagus Budi Pranoto dan Air Setiawan adalah contoh narapidana terorisme yang kembali melakukan aksinya setelah keluar dari penjara.

Fenomena Global Ekstrimisme Agama
Sebagai sebuah gerakan (movement), ekstrimisme tidak sepi dari nilai. Mengingat bahwa formulasi aksi yang dipilih bersifat radikal, maka nilai yang membangun gerakan kalangan ekstrimis itu dipastikan juga radikal. Agama yang bersifat fundamental adalah “jubah” yang paling pas untuk membungkus aksi radikalistik. Dari sini kemunculan ekstrimisme mengatasnamakan agama menjadi fenomena global yang tidak terelakkan.
Ekstrimisme atas nama agama ditemui di banyak agama, kalau tidak mau dinyatakan ada di semua agama. Di Irlandia ada konflik antara umat Katolik dan Kristen, di India ada ekstrimis Hindu, dan di Indonesia ada ekstrimis muslim. Hal ini tentunya menimbulkan pertanyaan: Apakah agama mengajarkan nilai yang memicu kekerasan dan ekstrimisme?
Memahami perilaku ekstrimistik dengan satu paradigma akan memicu prejudis yang tidak perlu. Stigma teroris yang dilekatkan pada agama, Islam misalnya, adalah bukti kegagalan kita memahami membaca fenomena ekstimisme. Sejatinya para ekstrimis mengenakan topeng agama guna melancarkan aksinya, menyalahgunakan ayat-ayat kitab suci dan keluguan umat untuk mempropagandakan agendanya. Ada faktor politik, ekonomi, sosial, dan budaya yang menyuburkan ideologi ekstrimisme yang perlu dicermati dan dicari pemecahannya.
Agama sendiri bukanlah faktor yang memunculkan radikalisme dan ekstrimisme, karena banyak tokoh-tokoh agama tidak menyetujui aksi ekstrimistik. Bahkan mayoritas umat beragama menolak aksi yang dilakukan para ekstrimis. Agama memicu ekstrimisme ketika ia difahami secara eksklusif dan ditafsirkan keliru dengan melupakan konteksnya. Menggunakan “ayat-ayat pedang” dalam kondisi damai telah memicu aksi ekstrimisme. Orang yang tidak seagama dinilai sebagai musuh dan layak dibunuh. Demikian juga sebaliknya, menggunakan “ayat merpati” dalam kondisi perang juga merupakan sebuah kekeliruan. Di sini, ayat-ayat kitab suci harus ditafsirkan secara utuh dan kontekstual.
Ekstrimisme bukan tanpa sebab dan tanpa sasaran. Ada kepentingan pihak-pihak tertentu yang dengan sengaja menebar benih terorisme. Dalam setiap aksi teror, ada kompleksitas ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, dan rasa ketidakadilan. Mereka yang melakukan aksi terorisme bisa jadi berfikir bahwa keadaan buruk yang mereka rasakan tidak bisa diubah kecuali dengan kekerasan. Mereka yang meyakini bahwa sistem demokrasi yang diterapkan di Indonesia bertentangan dengan nilai-nilai fundamental keyakinannya, perlu diajak dialog untuk mencari titik temu. Mereka yang karena kebuntuan ekonomi memilih ikut serta dalam aksi ekstrimisme, perlu dibukakan akses ekonominya. Satu persatu faktor yang menyuburkan ekstrimisme perlu ditangani.
Selama faktor-faktor penumbuh ekstrimisme belum tertangani, upaya penanggulangan aksi-aksi ekstrimisme hanya akan mengantar kita kepada keberhasilan semu. Semakin banyak terorisme dipenjara, memang membuktikan aparat kepolisian dan intelejen berhasil melakukan counterattack terhadap terorisme. Namun kita perlu memikirkan apa yang terjadi setelah mereka dibebaskan dari penjara dan mendapati bahwa kenyataan masih seperti dulu, kemudian mereka kembali melakukan aksi-aksi terornya. Kita perlu merumuskan alur penanganan yang lebih lembut (softpower) yang bisa menyelesaikan terorisme sampai ke akar-akanya.
Penulis adalah pengajar pesantren Darus-Sunnah, Ciputat.

Rabu, 26 Agustus 2009

Shalat Witir Dua Kali Dalam Satu Malam

Beberapa orang menanyakan kepada saya tentang pelaksanaan shalat Witir di mana ada anjuran untuk melaksanakannya sebelum kita tidur, di waktu yang sama ada juga perintah menjadikan witir sebagai akhir shalat malam kita. Bagaimana jika seseorang telah melaksanakan shalat Witir sebelum tidur, dan ketika bangun malam saya hendak melaksanakan shalat malam, apakah ia harus shalat Witir lagi?

Hadis tentang anjuran melaksanakan shalat Witir sebelum tidur ini, terdapat dalam riwayat al-Bukhari dari Abu Hurairah,
أَوْصَاني خَلِيْلِيْ بِثَلاَثٍ لاَ أَدَعُهُنَّ حَتىَّ أَمُوْتَ صَوْمِ ثَلاَثَةِ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ وَصَلاَةِ الضُّحىَ وَنَوْمٍ عَلىَ وِتْرٍ
"Aku (Abu Hurairah) mendapat pesan dari Rasulullah tiga perkara yang tidak akan aku tinggalkan sampai aku meninggal; (yaitu) Puasa tiga hari pada tiap bulan, (melaksanakan) shalat Dhuha, dan tidur dalam keadaan (telah melaksanakan shalat) Witir".

Anjuran yang sama juga disampaikan oleh Rasulullah kepada Abu Darda' ra. dan Abu Dzar ra.

Sementara hadis tentang perintah melaksanakan shalat Witir sebagai penutup shalat malam, terdapat dalam riwayat muttafaq ‘alayh dari Ibn Umar ra.,
اجْعَلُوْا آخِرَ صَلاَتِكُمْ بِالَّّليْلِ وِتْرًا
"Jadikanlah shalat Witir sebagai akhir (penutup) shalat malam kalian"

Berdasarkan dua hadis di atas dapat disimpulkan bahwa kita boleh melaksanakan shalat Witir di awal malam, yaitu sebelum kita tidur, atau di akhir malam sebagai penutup shalat malam kita. Yang demikian ini sesuai dengan ajaran Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam sebagaimana terdapat dalam hadis riwayat Muslim dari Jabir ra.,
مَنْ خاَفَ أَنْ لاَ يَقُوْمَ مِنْ آخِرِ الَّليْلِ فَلْيُوْتِرْ أَوَّلَهُ وَمَنْ طَمَعَ أَنْ يَقُوْمَ آخِرَهُ فَلْيُوْتِرْ آخِرَ الَّليْلِ فَإِنَّ صَلاَةَ آخِرِ الَّليْلِ مَشْهُوْدَةٌ وَذَلِكَ أَفْضَلُ
"Siapa yang khawatir tidak dapat bangun pada akhir malam, maka hendaknya ia melaksanakan shalat Witir di awal malam. Dan siapa yang merasa mampu bangun pada akhir malam, maka hendaknya ia melaksanakan shalat Witir pada akhir malam, karena shalat pada akhir malam itu 'masyhudah' (disaksikan oleh malaikat), dan yang demikian itu lebih baik."

Rasulullah terkadang melaksanakan shalat Witir pada awal malam, juga pada pertengahan malam, dan seringkali beliau melaksanakannya pada akhir malam sebagai penutup shalat malam, demikian keterangan dari Ali bin Abu Thalib sebagaimana disebutkan dalam ¬Musnad Ahmad.

Abu Dawud meriwayatkan hadis dari Abu Qatadah, sesungguhnya Rasulullah bertanya kepada Abu Bakar, "Kapan engkau melaksanakan shalat Witir?", Abu Bakar menjawab pada awal malam. Kemudian Rasulullah menanyakan hal yang sama kepada Umar bin al-Khathab, yang dijawab bahwa ia melaksanakan shalat Witir pada akhir malam. Rasulullah kemudian bersabda,
فَقاَلَ لأَبي بَكْرٍ أَخَذَ هَذَا بِالحَزْمِ وَقَالَ لِعُمَرَ أَخَذَ هَذَا بِالْقُوَّةِ
"Orang ini (maksudnya Abu Bakar) mengambil (waktu pelaksanaan shalat Witir) dengan kebijaksanaan, dan orang ini (maksudnya Umar bin al-Khathab) mengambil dengan kekuatan"

Permasalahan yang muncul adalah jika seseorang telah melaksanakan shalat Witir sebelum tidur, kamudian pada malam harinya ia hendak melaksanakan shalat malam, apakah anda masih dianjurkan menutup shalat malam dengan Witir? Jikalau ia melaksanakan Witir lagi pada akhir shalat malamnya, sebagai penutup ibadah shalat malam, maka ia telah melaksanakan perintah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, namun ia telah "menggenapkan" shalat Witirnya.. Sebaliknya ketika ia tidak melaksanakan Witir di akhir shalat malamnya, maka ia tetap "menjaga" Witirnya, tetapi anda tidak melaksanakan perintah Rasulullah untuk menutup ibadah shalat malam dengan Witir.

Ibn Qudamah dalam kitab al-Mughny (II/597-599) menerangkan bahwa orang yang telah melaksanakan Witir (pada awal malam), lalu ia bangun malam dan melaksanakan shalat malam, maka disunahkan baginya melaksanakan shalat sunat dua raka't dua raka'at, tanpa membatalkan Witirnya. Artinya ia tidak usah melaksanakan shalat Witir di awal ibadah shalat malamnya, dan melaksanakan shalat Witir lagi di akhir shalat malamnya sebagai penutup.

Pendapat ini dipegang oleh banyak shahabat seperti Abu Bakar, 'Ammar bin Yasir, Sa'ad bin Abi Waqash, Abu Hurairah, Ibn Abbas (dalam salah satu pendapatnya), dan Ummul Mukminin Aisyah. Dari golongan ulama banyak juga yang berpendapat demikian, seperti Malik bin Anas, al-Hasan al-Bashry, 'Alqamah, Said bin al-Musayyab, al-Syafi'I, Ahmad bin Hanbal, Abu Tsaur, al-Auza'iy, dan Qadhi 'Iyadh.
Al-Tirmidzi meriwayatkan hadis dari Thalq bin Ali, sesungguhnya beliau pernah mendengar Rasulullah bersabda,
لاَ وِتْرَانِ فيِ لَيْلَةٍ
"Tidak ada dua Witir dalam satu malam",
Al-Tirmidzi menilai hadis ini hasan.

Abu Bakar pernah berkata, "Adapan diriku, maka sungguh aku tidur, dan ketika aku terbangun, maka aku shalat dengan (raka'at) genap sehingga masuk waktu shubuh" (al-Mughny II/598). 'Ammar bin Yasir juga berkata demikian (Tuhfah al-Ahwadzy II/470).

Beberapa shahabat seperti Ali bin Abu Thalib, Usamah, Umar bin al-Khathab, Utsman bin 'Affan, Ibn Umar, Ibn Abbas (dalam salah satu riwayat darinya), dan Ibn Mas'ud, serta beberapa ulama seperti Ishaq berpendapat bahwa orang tersebut hendaknya memulai shalat malamnya dengan satu rakaat guna menggenapkan shalat Witir yang telah dilaksanakannya pada awal malam (sebelum ia tidur), kemudian ia shalat malam dua raka'at dua raka'at dan menutupnya dengan shalat Witir. Pendapat kedua ini berpegang kepada sabda Rasulullah, "Jadikanlah shalat Witir sebagai akhir (penutup) shalat malam kalian".

Ibn Abbas pernah berkata, "Jika seseorang telah melaksanakan shalat Witir pada awal malamnya, kemudian ia berkehendak untuk melaksanakan shalat (tahajud) maka hendaknya ia menggenapkan Witirnya (dengan memulai shalatnya satu raka'at), kemudian ia melaksanakan shalat sunah sebanyak yang ia kehendaki, untuk kemudian ia menutupnya dengan shalat Witir" (Tuhfah al-Ahwadzy II/469). Ibn Umar juga melaksanakan hal yang sama, hal ini dijelaskan oleh putera beliau yang bernama Salim.

Tentang perbedaan ini, Ummul Mukminin Aisyah pernah berkata, "Orang-orang yang membatalkan Witirnya (yaitu memulai shalat malam dengan shalat satu rakaat) adalah orang-orang yang bermain-main dengan shalatnya". Yang senada juga diriwayatkan oleh Ibn Abbas, dan saat diberitahu bahwa Ibn Umar melaksanakan "penggenapan" Witir, beliau tidak merasa heran (menyalahkannya) dengan hal tersebut, seraya berkata, "Sesungguhnya Ibn Umar melaksanakan shalat Witir sebanyak tiga kali dalam satu malam. (Tuhfah al-Ahwadzy II/470).

Dari sini saya berpendapat bahwa kita boleh saja melaksanakan "penggenapan" Witir, yaitu yang memulai shalat malamnya dengan satu rakaat, kemudian melaksanakan shalat malam dua raka'at dua raka'at, dan mengakhirinya dengan shalat witir. Demikian juga kita dibenarkan untuk tidak melaksanakan "penggenapan" Witir, dan yang demikian itu bukan berarti kita tidak mematuhi perintah Rasulullah dalam sabda baliau, "Jadikanlah shalat Witir sebagai akhir (penutup) shalat malam kalian".

Demikian jawaban dari saya, semoga benar adanya.***

Selasa, 21 Juli 2009

pertanyaan "anak seribu pulau"

seorang teman saya bekerja di kepulauan seribu, menjalankan bisnis budi daya ikan bandeng. beberapa waktu yang lalu dia mengirimkan pertanyaan, yang secara singkat saya jawab berikut ini:

the question:
Kang....orang2 yg tiap harinya berbuat maksiat, misalnya mabuk terus, benar ga kalo dia meninggal ga boleh di shalatin oleh orang2 muslim,,,hadisnya gmn kang??? ke 2..orang yang kerjanya tiap hari menyelam seperi nelayan..gmn puasanya..sah ga? krn pasti ada air yg masuk,,,jawaban yg bijak tuk mereka tu gm dan apa dalilnya? maklum pertanyaan di pulau, sy sulit cari referensi..

my answear:
1. Allah melarang Rasulullah menyalati orang munafiq (QS. al-Taubah ayat 84) dan rasulullah pernah menyatakan keengganan menyalati orang yang berhutang sampai shahabat Ali berkenan menanggung sementara hutang tersebut.
hati orang tidak ada yang tahu. Rasulullah tahu orang munafiq karena Allah memberi tahunya. sementara ente dan saya tidak bisa menebak hati orang dan tidak diberi tahu Tuhan...jadi, ente dan saya tidak tahu apakah seseorang itu munafiq atau tidak munafiq.
keengganan Rasulullah menyalati orang yang berhutang bukan karena semata faktor hutangnya, tapi mungkin ada faktor lain yang tidak "tersampaikan secara lugas" dalam hadis tersebut.

menyalati orang artinya kita mendoakan dirinya. dan muslim yang banyak dosa tentu sangat layak didoakan.
Alquran mengajarkan kita mendoakan orang mukmin yang sudah mati tanpa membedakan apakah ia banyak dosa atau sedikit (QS. al- Hasyr ayat 10)
perlu kita ingat, setipa kita selalu dalam kondisi "berdosa", di mana banyak kesalahan yang secara sadar maupun tidak sadar kita lakukan sementara kebaikan yang kita lakukan belum tentu diterima...maka kita pun layak didoakan dan dishalati.

kemudian, orang yang menyelam tetep bisa berpuasa selama dia tidak melakukan hal-hal yang membatalkan puasanya. semisal secara tidak sadar meminum air (yang sudah diupayakan untuk dihindari), maka itu termasuk rezeki yang Allah berikan kepadanya (QS. al-Baqarah ayat 286 dan 184), dan Allah senantiasa menghendaki kemudahan bagi hamba-Nya (QS. al-Baqarah ayat 185)

Jumat, 12 Juni 2009

ISLAM MENGENTASKAN KEMISKINAN (opini republika 12 juni 2009)


Oleh: Andi Rahman, MA.

Islam menghendaki terwujudnya kehidupan yang berkecukupan, di mana setiap orang mampu menghidupi dirinya sendiri. Hal ini dilihat dari banyaknya ayat Alquran yang mensyariatkan zakat, sedekah, infaq dan sejenisnya. Orang yang menunaikan zakat atau infaq pastilah berkecukupan bahkan berkelebihan. secara tidak langsung, Alquran memerintahkan umat Islam untuk menjadi umat yang mapan secara ekonomi.
Walaupun Islam menyatakan ”keinginannya” agar seluruh umat Islam mapan, namun ia menyadari bahwa kemiskinan adalah sebuah keniscayaan. Kekayaan dan kemiskinan adalah ”keberpasangan” yang menjadi sunnatulah, seperti laki-laki dan perempuan, atau siang dan malam. Dan sikap Islam terhadap kemiskinan adalah jelas: Keberpihakan terhadap orang miskin.
Keberpihakan Islam terhadap kaum miskin bisa dilihat dari banyaknya instrumen ekonomi yang secara eksplisit terkait dengan pengentasan kemiskinan yang jumlahnya belasan, seperti zakat, infaq, shadaqah, wakaf, kaffarat, dam, khumus, ’usyur, ghanimah, fay’, fidyah, dan hibah.
Instrumen ekonomi ”pro orang miskin” ini tidak bersifat filantropis, sebagaimana yang dipahami oleh sebagian orang. Instrumen-instrumen ini harus dikelola oleh pemerintah bukan diserahkan kepada swasta, dan memiliki kekuatan hukum di mana orang yang enggan menunaikannya bisa diancam pidana dan perdata.
Instrumen ekonomi Islam tidak sama dengan pajak, mengingat penerima ”kebaikan” pajak adalah seluruh warga negara baik miskin maupun kaya, misalnya pembangunan infrastruktur dan subsidi BBM (bahan bakar minyak) yang ditetapkan oleh pemerintah. Sehingga kewajiban warga negara untuk menunaikan pajak tidak menggugurkan kewajiban menunaikan ”instrumen ekonomi Islam”, demikian juga sebaliknya.
Pihak-pihak yang menerima ”kabaikan” instrumen ekonomi Islam sudah ditetapkan oleh Islam. Faqir miskin adalah pihak yang dipastikan mendapat bagian dari seluruh instrumen tersebut. Hal ini merupakan gambaran tingginya keberpihakan Islam terhadap orang miskin.

KEWAJIBAN BERZAKAT
Zakat merupakan kewajiban yang masuk dalam kategori ma’lum min al-din bi al-dharurah di mana orang yang mengingkari kewajiban zakat menjadi murtad. Hal ini karena kewajiban zakat telah dijelaskan dalam banyak ayat Alquran (misalnya al-Baqarah 43) dan hadis shahih (misalnya hadis tentang rukun Islam). Khalifah Abu Bakar pernah menyatakan bahwa orang yang membeda-bedakan antara kewajiban shalat dan zakat wajib diperangi. Kebijakan Abu Bakar ini ditaati oleh seluruh shahabat sehingga dengan sendirinya menjadi ijma’ (konsensus) shahabat.
Vonis murtad ini berlaku bagi orang yang mengingkari kewajiban zakat padahal dia sadar dan mengetahui kewajiban itu. Karena mengingkari kewajiban zakat sama saja dengan mendustakan ayat dan hadis. Orang yang mendustakan ayat dan hadis tidak bisa dianggap muslim. Sementara orang yang tidak menunaikan zakat karena rasa enggan, dengan tetap meyakini bahwa zakat adalah sebuah kewajiban bagi orang yang telah terpenuhi syaratnya, maka ia berdosa besar.
Zakat secara etimologis bermakna tumbuh kembang (al-nama`), pertambahan (al-ziyadah), dan penyucian (al-tathir). Muzakki (orang yang berzakat) akan disucikan jiwanya, dan harta yang dizakatinya akan berkembang dan bertambah secara kuantitatif dan kualitatif, walaupun secara secara zahirnya ia berkurang akibat adanya proses pengalihan kepemilikan harta kepada mustahiq (penerima zakat). Pemaknaan zakat sebagai sebuah aktivitas yang bisa mengembangkan dan menambah harta, dinyatakan secara lugas oleh Rasulullah dalam sabdanya, "Tidak akan berkurang harta dengan shadaqah” (HR. Al-Tirmidzi dengan kualitas hasan shahih)
Secara kualitatif, zakat akan mengembangkan harta orang yang menunaikannya. Hal ini secara implisit dinyatakan dalam surah Ibrahim ayat 7, "Dan ingatlah ketika Tuhanmu memaklumkan sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami (Allah Ta'ala) akan menambahkan (ni'mat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (ni'mat Allah) maka sesungguhnya siksa-Ku sangatlah pedih".
Dalam ayat di atas, Allah Ta'ala mengaitkan proses penambahan ni'mat dengan syukur, yang dalam bahasa statistik lazim disebut positive correlation antara penambahan aset dan proses syukur yang salah satu manivestasinya adalah pengeluaran zakat. Allah Ta'ala mungkin sudah merencanakan rezeki tahap dua, namun pencairannya ditangguhkan sampai syukur dan zakat terjadi dahulu. Jika infaq dan zakat terjadi, maka turunlah rezeki tahap dua itu. Sebaliknya jika zakat dan infaq tidak terjadi, maka rezeki berikutnya pun tidak turun juga.
Dalam Alquran Surat al-Baqarah ayat 268 diterangkan bahwa, ”Syaithan menjanjikan (menakut-nakuti) kalian dengan kemiskinan dan menyuruh kalian berbuat kejahatan (kikir); Sedang Allah menjanjikan untuk kalian ampunan dari-Nya dan karunia, dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui.”
Juga dalam Surat al-Naba' ayat 39 Ia berfirman, “Katakanlah: Sesungguhnya Tuhanku melapangkan rezeki bagi siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya dan menyempitkan baginya (siapa yang dikehendaki-Nya). Dan barang apa saja yang kamu nafkahkan, maka Allah akan menggantinya dan Dialah Pemberi rezeki yang sebaik-baiknya.”
Seseorang yang enggan berzakat padahal persyaratan wajib zakat telah terpenuhi padanya, dengan alasan bahwa dengan menafkahkan rezeki hartanya menjadi berkurang, maka sesungguhnya ia telah membenarkan syaitan, dan mendustakan Allah Ta'ala. Karena syaitan merayunya untuk menjadi nritil dan pelit serta menakut-nakutinya dengan kemiskinan jika ia berzakat, padahal Allah Ta'ala justru menjanjikan keberkahan dan kekayaan kepada siapa saja yang ikhlas berinfaq dan berderma.
Di Indonesia, nampaknya baru zakat yang mendapat tempat di hati umat Islam. Pemerintah telah menetapkan UU Zakat, membentuk BAZ (Badan Amil Zakat), dan mengizinkan LAZ (Lembaga Amil Zakat). Padahal potensi zakat relatif sedikit (2,5%) dibandingkan dengan instrumen lainnya, sebut saja ghanimah (20%), dan infaq yang tidak dibatasi limit minimal dan maksimalnya. Potensi zakat yang sedikit itupun belum dioptimalkan. Padahal jika zakat diterapkan secara optimal dan konsisten, program pemerintah berupa pengentasan kemiskinan bisa lebih akseleratif.
Terpilihnya anggota dewan untuk masa bakti 2009-2014 mudah-mudahan memunculkan ide-ide segar yang berpihak kepada orang miskin. Mengadopsi nilai dan ajaran Ilahi bisa menjadi jawaban dari stagnasi upaya mengentaskan kemiskinan dari bumi Indonesia secara khusus dan dunia secara umum. Allah A’lam.

Rabu, 03 Juni 2009

siswa menulis karya ilmiah

Menulis adalah cara efektif untuk menyampaikan ide, gagasan, saran, informasi, sanggahan, kritik dan ilmu pengetahuan. Dengan menulis, kita dapat berbagi rasa, asa, dan cita kepada orang yang kita kenal dan tidak kita kenal melampaui batas waktu dan tempat. seorang penulis akan tetap hidup bertahun-tahun setelah kematiannya, selama buku dan karyanya masih di baca orang lain. Sedemikian penting peran tulisan dalam kehidupan dan peradaban manusia, sehingga kita harus mulai menulis dan terus menulis untuk kemudian dipersilahkan mati.
Bagi saya, menulis lebih tepat disebut sebagai keterampilan dari pada sebuah disiplin ilmu.

Karenanya, kemampuan menulis seseorang tidak berbanding lurus dengan berapa banyak teori tulis menulis yang ia pelajari atau pelatihan jurnalistik yang ia ikuti, melainkan sesering apa ia mengasah keterampilan menulisnya. Sebagai sebuah keterampilan, setiap orang bisa mengasah bakat jurnalistiknya. Tulisan yang dihasilkan bisa sekedar catatan harian maupun karya ilmiah dan hasil penelitian.

Sebuah karya ilmiah memiliki karakteristik, kekhasannya, sistematika dan metodologi yang diterapkan secara konsisiten. Untuk mahasiswa, buku pedoman penulisan karya ilmiah (skripsi, tesis, dan disertasi) dapat dibeli dengan mudah di toko buku. Lain halnya dengan pedoman penulisan karya ilmiah yang ditujukan untuk kalangan siswa sekolah menengah yang bisa dikatakan tidak ada sama sekali.

Mungkin kita mengira penulisan karya ilmiah untuk siswa sekolah menengah, sama dengan penulisan karya ilmiah untuk mahasiswa, padahal keduanya tidak sama. Ini setidaknya dilihat dari subjek penulisan (siswa atau mahasiswa) dan objek kajian atau penelitiannya.

Untuk mengisi kekosongan literatur ini, sebuah buku telah diterbitkan. Buku yang diberi nama Pedoman Penulisan Karya Ilmiah Untuk Siswa Sekolah Menengah memuat dua hal: Pedoman penulisan karya ilmiah, dan pedoman penyelenggaraan program penulisan karya ilmiah di sekolah.
Buku ini dilengkapi contoh-contoh formulir-formulir yang digunakan dalam penulisan karya ilmiah guna memudahkan siswa yang biasanya masih bersifat imitatif (meniru yang telah ada). Buku ini bisa anda beli di toko buku terdekat, atau melalui Penerbit Media Alo Indonesia.

Penulis juga ”menyediakan dirinya” untuk mendampingi sekolah yang mau menyelenggarakan program penulisan karya ilmiah. Penulis memang sedang mengemban misi ”INDONESIA MENULIS” yang bertujuan meningkatkan budaya menulis di kalangan siswa sekolah menengah (SMP dan SMA/ sederajat). Silahkan menghubungi penulis di 08158241298 dan andiwowo@yahoo.com